Malam itu berakhir tanpa hasil. Akan tetapi, Renza menemukan sebuah data yang bisa ia gunakan sebagai riset penelitian selanjutnya.
Beberapa jam bersama Han, Renza sedikit tahu kalau musuhnya kali ini bermain belakang dengan sangat cantik, tanpa ada cacat. Renza juga berpikir demikian. Hah! Renza mendesah sembari membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Namun, ia merasa ada sepasang mata yang mengawasinya. "Rachel!" pekik Renza. "Kenapa harus terkejut seperti itu? Aku memang suka duduk di atas lemari. Yeah … Aku suka dengan responmu yang sangat peka," ujar Rachel tanpa menoleh. Ia masih sibuk dengan buku komik yang ia baca."Turun!" teriak Renza. Ia berdiri dan meletakkan kedua tangannya di pinggang seolah-olah sedang menantang Rachel."Aku tidak bisa turun. Kau harus menangkapku," kata Rachel begitu acuh. &nbsRaina keluar dari sebuah restoran. Ia belum pergi dari New York karena ada beberapa hal yang harus ia selesaikan. Namun, ia juga tidak mengatakan kepada Arin tentang keberadaannya. Saat Raina hendak masuk ke dalam mobilnya, sebuah tangan membekap mulutnya. Ia meronta, tapi tubuhnya diseret kasar ke sudut parkiran tersebut."Siapa kau?" teriak Raina."Apa itu penting? Bukankan kau juga sudah tahu siapa yang memerintahku?" jawabnya. Raina terkejut sehingga ia langsung gemetaran. Ia mengepalkan tangannya karena mengetahui siapa orang yang sudah mengirim dua pria tersebut padanya."Katakan pada orang itu, aku tidak sudi kembali menjalin hubungan dengannya!" ucap Raina. Ia begitu tegas menolak tanpa ragu."Kalau begitu, kami akan membawamu dengan paksa!" Pria tersebut memegang erat lengan Raina. Raina berusaha menariknya tapi
Naura memakai kacamatanya. Ia menutupi wajahnya menggunakan helaian rambut supaya tidak banyak orang yang mengenalinya. Delice membunyikan klakson mobil. Naura langsung masuk dan bernapas lega."Kenapa ekspresimu begitu?" tanya Delice. "Ini hotel kita, kenapa kau malah menyembunyikan diri?" lanjutnya. Naura menoleh. Bibirnya melengkung membentuk bulan sabit. "Karena aku ingin cepat berduaan denganmu. Kalau ada yang tahu aku di sini, pasti ditahan untuk mimum-minum," jawab Naura."Sudah pandai merayuku rupanya? Coba rayu aku lagi," pinta Delice."Kenapa tidak mencoba untuk minta rayu wanita tadi?" goda Naura."Wanita kalau sudah cemburu menyeramkan." Naura hanya terkekeh kecil. Ia benci cemburu, ia muak dengan itu, namun tidak dipungkiri kalau cintanya sudah kembali seperti dulu atau mungkin lebih be
Kiana merangkai bunga untuk mengisi waktunya yang kosong. Entah sudah berapa lama, ia sulit untuk tidur di waktu yang tepat. Malam sangat sunyi. Rembulan bahkan tidak begitu terang. Bintang juga tidak terlihat. Kiana mulai bosan dan membiarkan tangkai bunga berserakan."Mau ke mana?" Langkah Kiana terhenti. Ia menoleh ke arah sumber suara."Rael? Sejak kapan kau di sini?" tanya Kiana. "Kau datang melalui pagar lagi?" lanjutnya."Melewati jalan wajar terlalu biasa," jawab Rael."Aku terkadang heran. Bagaimana kau bisa melewati semuanya?""Karena aku memiliki apa yang tidak orang lain miliki." Kiana terkekeh. Ucapan Rael terdengar puitis. Kiana tidak seberapa menanggapi. Ia tetap berpaling dari tempatnya dan beranjak pergi. Akan tetapi, Rael meraih lengan Kiana."Ada apa?" tanya Kiana."Bisakah temani a
Kiana menuju rumah Kumey. Tidak ada tujuan lain selain itu. Ia seperti orang yang kerasukan iblis, sampai-sampai mengemudikan motor di luar batasan. Motor Kiana berhenti tepat di depan rumah Kumey. Lebih tepatnya, rumah yang selalu Kumey tempati seorang diri selama ini.Drap … Drap … Drap … Kiana berlari. Pagar sudah tidak lagi dikunci. Jantung Kiana sudah tidak karuan lagi. Berdetak sangat cepat. Telapak tangannya begitu dingin. Serangkai perasaan menusuk jantungnya bertubi-tubi.Brak!"Kumey!" teriak Kiana sembari mendobrak pintu rumah Kumey. Kiana membungkuk. Mengambil ponsel Kumey yang tergeletak di depan pintu. Ponsel yang sudah hancur.Tap … Tap … Tap … Kiana berjalan perlahan. Suara langkah kakinya menggema k
"Kenapa kita ke lapangan basket?" pekik Brandon. Renza tidak menjawab pertanyaan Brandon. Ia mengambil bola yang tertata rapi, memainkannya sejenak dan mencetak rekor untuk dirinya sendiri. Brandon berulang kali menghela napas. Ia tidak habis pikir dengan kelakuan Renza yang tidak bisa ia tebak sejak awal."Hei, sinting! Berhenti main-main!" teriak Brandon."Main-main?" tanya Renza sembari memainkan bola basket di tangannya. "Aku atau kau yang main-main?" sambungnya. Brandon menyipitkan matanya. Ia melirik kanan dan kiri. Terdengar Renza yang terkekeh melihat ekspresi wajah Brandon yang bertanya-tanya dalam diam."Kenapa diam? Kalau kau sudah tahu jawabannya, seharusnya meminta mereka untuk menghadapiku sekarang," ucap Renza."Aku tidak mengerti!" Renza melempar bola basket ke belak
Oscar menemui Orva. Orva saat itu sedang menatap sebuah undangan. Undangan yang sama seperti yang Oscar terima."Orva, kau mendapatkan undangan itu juga?" tanya Oscar. Pandangan Orva sama sekali tidak beralih dari undangan itu. Bagian yang Orva pegang, sudah berlipat karena Orva meremasnya."Kak Oscar, aku curiga kalau markas ikut andil dalam hal ini," kata Orva. "Selama bulan terakhir, aku sering melihat anggota markas berkeliaran di sekitar kita," sambungnya."Mau bagaimana lagi? Kita tidak bisa sembunyi seperti pecundang, bukan?" ujar Oscar."Tugas kita melindungi Nona. Kalau kita berurusan lagi dengan mereka, bukankah Nona akan sendirian?" sahut Orva. Oscar duduk di sofa. Ia berpikir serius mencari jalan solusi. Masih ada sepuluh jam untuk hadir atau tidak dalam memenuhi undangan itu."Kau lindungi Nona, aku yang akan menghadapi mereka," kata Oscar.
Prang! Han menarik Renza dan memecahkan botol wine di kepalanya. Renza mampu mengikuti langkah kaki Han yang sangat cepat. Han masuk ke lapangan basket langsung menggila tanpa jeda, bahkan tanpa kata."Apa-apaan kau?" pekik Renza."Kau yang apa-apaan, bajingan!" maki Han. Han datang menemui Renza, tidak selang lama dari Rachel yang memasang wajah penuh curiga. Han langsung mengamuk tanpa sebab. Menghajar Renza secara sepihak. Renza tidak melawan. Baginya, semua waktu dan rencana harus berjalan sesuai keinginannya. Ia tidak ingin hanya karena ego dan harga diri yang terinjak, semuanya hancur berantakan."Kau cemburu padaku?" tanya Renza.Buagh! Renza terpental menabrak keranjang bola basket. Renza mengusap bibirnya
Brugh! Renza terkekeh geli, padahal Han menjatuhkannya dari ketinggian yang lumayan saat turun dari helikopter. Renza masih bisa bertahan meski ia merasakan tubuhnya seperti tercabik-cabik. Han menarik rambut Renza lagi, menyeretnya menyusuri lorong."Akhirnya sampai," kata Han. Renza terbelalak. Ia dibawa di antara tumpukan kontainer. Tempat itu seperti gudang, tapi terlalu damai untuk seorang Han yang bergerak di bidang tergelap dan sudah terjerumus.Srek! Kali ini Han yang terbelalak jauh lebih kaget dibandingkan Renza. Ia menarik kerah kemeja Renza bagian kiri, namun kancing kemeja tersebut terlepas. Menampakkan tatto yang memenuhi bagian tubuh Renza."Kau!" pekik Han. "Kau benar-benar seorang penyusup?" lanjutnya tanpa mengubah ekspresi."Penyusup?" Renza mengerutkan keningnya. "Aku bukan