Delice menerima sebuah panggilan ketika ia sedang meeting bersama rekan. Ia menyeringai menerima panggilan tersebut.
Semuanya bertanya-tanya karena baru kali ini, Delice menerima telepon ketika meeting sedang berlangsung. "Meeting kita tunda. Siapkan laporan dana presentasi yang lebih Sempurna. Kita akan meeting lagi lusa," kata Delice. Semuanya bergegas keluar kecual Loid, Ken dan Sam. Ada secerca pertanyaan dari ekspresi mereka tapi Delice tidak langsung menjelaskan dan membiarkan mereka menebak-nebak sesuatu kapasitas otak yang mereka miliki."Apa kau menang undian?" tanya Loid."Pikiran terburuk," jawab Delice."Apa kau dilamar wanita cantik?" tanya Sam."Apa kau ingin aku kenalkan dengan wanita cantik? Aku rasa, gantungan di depan pintu mansion sudah lama menganggur," jawab Delice. "Hm …" Ken berpikir keras. Ia tidak gegabah menebak seperti dua rMata Renza mendelik. Melihat wajah wanita yang saat ini tengah mencium bibirnya. Bibirnya terasa dingin tapi tetap lembut. Tangan yang mungil itu mulai menutupi mata Renza yang menatapnya tanpa ragu. Raina merasakan kekarnya tangan Renza tengah menghimpit pinggangnya. Kedua tangan yang memeluknya dengan agresif. Membuat tubuhnya menempel tanpa cela. Mereka berdua sangat intim padah berada di depan pintu."Nona, saya pergi dulu karena ada beberapa urusan," ucap Arin. Raina mengangguk. Arin penuh pengertian. Ia membiarkan Raina menghabiskan waktunya bersama Renza. Ciuman Raina lembut. Bibir Renza perlahan basah oleh air liurnya. Manis sampai Renza tak bisa berkata-kata. Renza mulai membalas tanpa memperdulikan salju yang mendinginkan tubuh mereka. Lidah Renza menyeruak masuk, memenuh
Raina menatap cermin beberapa saat. Kamarnya yang berantakan sudah kembali rapi. Arin mengetuk pintu kamar Raina. Raina yang sedang seorang diri karena Renza sudah pergi, langsung menghampiri Arin.“Arin, ada apa?” tanya Raina. Wajahnya masih tampak begitu lelah.“Nona, di luar ada seorang pria yang mencari Nona.” Raina menyipitkan matanya. “Siapa? Pesuruh Ayah?” tanya Raina.“Sepertinya bukan, Nona. Saya belum pernah melihat pria itu sebelumnya,” jawab Arin.“Aku akan menemuinya.” Arin memakaikan jaket untuk Raina karena di luar cuaca cukup dingin. Pakaian Raina terlalu tipis. Raina tidak akan memint
Cukup sulit menahan diri selama ini. Akan tetapi, Renza berusaha untuk tetap terlihat bodoh. Orang-orang yang mengetahui tato pada tubuhnya, bentuk tubuh sempurna dibalik pakaian besar yang ia pakai, mereka masih bungkam karena Han belum mengetahuinya.“Saya tidak akan menghindar, jadi lepaskan baju saya,” pinta Renza dengan suara yang cukup lemah.“Kalau sampai kau kabur, aku akan mematahkan lehermu.” Han adalah orang yang Tuan Don besarkan. Renza semakin penasaran dengan pekerjaan seperti apa yang Tuan Don berikan. Meski tendangannya terasa sangat lemah, tapi Renza tidak akan meremehkan Han karena bisa jadi, ia memiliki toleransi untuk tidak mengerahkan seluruh tenaganya pada sembarangan orang.&
Malam itu berakhir tanpa hasil. Akan tetapi, Renza menemukan sebuah data yang bisa ia gunakan sebagai riset penelitian selanjutnya. Beberapa jam bersama Han, Renza sedikit tahu kalau musuhnya kali ini bermain belakang dengan sangat cantik, tanpa ada cacat. Renza juga berpikir demikian.Hah! Renza mendesah sembari membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Namun, ia merasa ada sepasang mata yang mengawasinya."Rachel!" pekik Renza."Kenapa harus terkejut seperti itu? Aku memang suka duduk di atas lemari. Yeah … Aku suka dengan responmu yang sangat peka," ujar Rachel tanpa menoleh. Ia masih sibuk dengan buku komik yang ia baca."Turun!" teriak Renza. Ia berdiri dan meletakkan kedua tangannya di pinggang seolah-olah sedang menantang Rachel."Aku tidak bisa turun. Kau harus menangkapku," kata Rachel begitu acuh. &nbs
Raina keluar dari sebuah restoran. Ia belum pergi dari New York karena ada beberapa hal yang harus ia selesaikan. Namun, ia juga tidak mengatakan kepada Arin tentang keberadaannya. Saat Raina hendak masuk ke dalam mobilnya, sebuah tangan membekap mulutnya. Ia meronta, tapi tubuhnya diseret kasar ke sudut parkiran tersebut."Siapa kau?" teriak Raina."Apa itu penting? Bukankan kau juga sudah tahu siapa yang memerintahku?" jawabnya. Raina terkejut sehingga ia langsung gemetaran. Ia mengepalkan tangannya karena mengetahui siapa orang yang sudah mengirim dua pria tersebut padanya."Katakan pada orang itu, aku tidak sudi kembali menjalin hubungan dengannya!" ucap Raina. Ia begitu tegas menolak tanpa ragu."Kalau begitu, kami akan membawamu dengan paksa!" Pria tersebut memegang erat lengan Raina. Raina berusaha menariknya tapi
Naura memakai kacamatanya. Ia menutupi wajahnya menggunakan helaian rambut supaya tidak banyak orang yang mengenalinya. Delice membunyikan klakson mobil. Naura langsung masuk dan bernapas lega."Kenapa ekspresimu begitu?" tanya Delice. "Ini hotel kita, kenapa kau malah menyembunyikan diri?" lanjutnya. Naura menoleh. Bibirnya melengkung membentuk bulan sabit. "Karena aku ingin cepat berduaan denganmu. Kalau ada yang tahu aku di sini, pasti ditahan untuk mimum-minum," jawab Naura."Sudah pandai merayuku rupanya? Coba rayu aku lagi," pinta Delice."Kenapa tidak mencoba untuk minta rayu wanita tadi?" goda Naura."Wanita kalau sudah cemburu menyeramkan." Naura hanya terkekeh kecil. Ia benci cemburu, ia muak dengan itu, namun tidak dipungkiri kalau cintanya sudah kembali seperti dulu atau mungkin lebih be
Kiana merangkai bunga untuk mengisi waktunya yang kosong. Entah sudah berapa lama, ia sulit untuk tidur di waktu yang tepat. Malam sangat sunyi. Rembulan bahkan tidak begitu terang. Bintang juga tidak terlihat. Kiana mulai bosan dan membiarkan tangkai bunga berserakan."Mau ke mana?" Langkah Kiana terhenti. Ia menoleh ke arah sumber suara."Rael? Sejak kapan kau di sini?" tanya Kiana. "Kau datang melalui pagar lagi?" lanjutnya."Melewati jalan wajar terlalu biasa," jawab Rael."Aku terkadang heran. Bagaimana kau bisa melewati semuanya?""Karena aku memiliki apa yang tidak orang lain miliki." Kiana terkekeh. Ucapan Rael terdengar puitis. Kiana tidak seberapa menanggapi. Ia tetap berpaling dari tempatnya dan beranjak pergi. Akan tetapi, Rael meraih lengan Kiana."Ada apa?" tanya Kiana."Bisakah temani a
Kiana menuju rumah Kumey. Tidak ada tujuan lain selain itu. Ia seperti orang yang kerasukan iblis, sampai-sampai mengemudikan motor di luar batasan. Motor Kiana berhenti tepat di depan rumah Kumey. Lebih tepatnya, rumah yang selalu Kumey tempati seorang diri selama ini.Drap … Drap … Drap … Kiana berlari. Pagar sudah tidak lagi dikunci. Jantung Kiana sudah tidak karuan lagi. Berdetak sangat cepat. Telapak tangannya begitu dingin. Serangkai perasaan menusuk jantungnya bertubi-tubi.Brak!"Kumey!" teriak Kiana sembari mendobrak pintu rumah Kumey. Kiana membungkuk. Mengambil ponsel Kumey yang tergeletak di depan pintu. Ponsel yang sudah hancur.Tap … Tap … Tap … Kiana berjalan perlahan. Suara langkah kakinya menggema k