Delice duduk di atas atap. Ia memperhatikan sekitar dengan santai. Semua tempat tersapu oleh matanya. Bersih tanpa sisa.
"Apa yang mau kau lakukan? Kau mengatakan kalau ini urusan anak-anak. Tapi, untuk apa kau sekarang ada di sini?" "Hei, Loid!" Delice menengadah ke atas karena Loid berdiri di sampingnya. "Anak-anakku terperangkap. Mana mungkin aku diam saja?" sambungnya."Untuk apa kau memintaku untuk menemanimu? Mereka bukan anak-anakku," kata Loid."Kau ingin aku pukul sampai kepalaku terlempar?" pekik Delice. "Calon besan sialan!" gerutu Delice. "Aku hanya bercanda," kata Loid. "Dev sudah mengawasi luar daerah. Diego juga mulai bergerak. Setidaknya, kekacauan terjadi hanya di New York," ujar Delice."Meski begitu, cukup melelahkan juga." Mereka mengawasi dari dekat sejak dua jam yang lalu. Selain hilir mudik tamu yang masuk ke dalam casino, tidak ada lagi hal menarik lainnya.Tubuhnya kotor dipenuhi oleh tanah, darah dan juga cucuran keringat. Di tangannya terdapat pistol yang sudah kehabisan peluru. Tanah di sekitarnya yang tertutup oleh dedaunan kering, menjadi tidak karuan. Fokusnya sudah selesai. Napasnya yang terengah-engah mulai stabil. Di belakang tubuhnya, dibalik pohon yang cukup besar, seseorang duduk di atas akar menunggunya sembari memperhatikan setiap detail latihannya."Bocah, untuk apa kau di sini? Bukankah kau seharusnya sibuk karena menurut rencana yang kau katakan, perseteruan mulai terjadi?""Mau di sana, di sini, atau di mana pun, bukankah bukan urusan Paman?""Brian! Dasar bocah tengik!" maki Ken. Pemimpin perusahaan HG Group yang sering kali mengganggu Ken adalah Brian. Meski pertemuan pertama mereka tidak begitu baik. Namun, kesan itu membuat Brian memiliki ketertarikan tersendiri terhadap Ken."Apa Paman mau minum?" Bria
Leon meminggirkan mobilnya. Akhirnya ia memutuskan untuk bicara di dalam mobil. Zaila terlihat sedikit terkejut. Setelah sekian lama, mereka akhirnya bertemu tapi dalam situasi yang tidak mendukung dan tidak sejalan."Keluarlah sebagai dealer, Zaila. Sejak awal, kau mempercayaiku. Tentu saja kau akan mempercayaiku hingga akhir, bukan?" ucap Leon."Aku tidak bisa keluar," jawab Zaila."Kenapa?" pekik Leon."Karena ada kontrak yang mereka simpan.""Aku kira kau berhubungan dengan Jordan. Sialan! Kau malah berhubungan dengan Nick!" ujar Leon. Ia mengacak-acak rambutnya sendiri. Dirinya frustasi karena rencananya akan terhambat jika lawannya adalah Zaila. "Mana mungkin aku bisa melawanmu? Aku tidak akan bisa melakukannya," sambungnya."Aku bertemu Jordan sekali setelah tiga bulan kau menghilang. Ia hanya mengatakan kalau aku tidak boleh mencarimu, tidak boleh mengkhawatirkanmu. Aku tidak boleh
Zaila merangkul leher Leon. Ia tidak peduli lagi tentang posisi mereka yang sebentar lagi akan saling bermusuhan. Saat ada kesempatan, mereka saling meluapkan rindu."Aku tidak bisa menceritakan semuanya padamu untuk saat ini, tapi percayalah. Aku selalu mencintaimu tanpa henti," ujar Leon. Leon kembali melumat bibir Zaila. Rasanya berbeda jika melakukannya penuh cinta tanpa adanya amarah. Akan tetapi, darah memang lebih kental dari air. Leon mencium kasar bibir Zaila sampai Zaila merasakan bibirnya sedikit nyeri. Lidahnya bahkan dikecup rakus oleh Leon. Zaila berpikir kalau ciuman itu adalah ciuman rindu yang membuat Leon begitu tidak sabar ingin melahap Zaila sampai batas akhir."Leon, pelan …" pinta Zaila. Seolah-olah, suara Zaila tertelan oleh angin. Leon tidak mendeng
Dua penjaga yang siap siaga di depan pintu VVIP khusus, membungkukkan tubuhnya. Mereka memberi hormat kepada Jordan yang datang secara khusus dan tiba-tiba hanya untuk bertemu dengan Mike. Namun, penjaga tersebut kompak menghalangi Teo untuk masuk.“Singkirkan tangan kalian!” pekik Teo.“Mohon maaf, Tuan. Tuan Mike hanya ingin bertemu dengan Tuan Jordan,” jelas salah satu penjaga.“Aku tidak apa-apa. Kau silakan saja tunggu di luar. Aku akan menemuinya sendiri,” ujar Jordan. Ia berusaha meyakinkan Teo karena Teo yang jauh lebih paham bagaimana bajingannya seorang Mike.“Baiklah.” Teo membalikkan tubuhnya dan pergi begitu saja. Padahal ia sudah mengeluarkan aura suram yang sangat hitam. Penjaga membuka pintu. Jordan merapikan pakaian, tapi sebelum itu, ia memberikan tatapan untuk dua penjaga tersebut sebagai peri
Kiana merenung menatap bintang. Rasanya disuruh menunggu itu sangat membosankan. Kiana hanya merangkai bunga karena ia jenuh. Ingin berlatih, tapi tubuhnya sudah sangat lelah untuk bergerak dengan gerakan yang berat.Srak ... Srak ... Srak ... Terdengar suara langkah seseorang yang menginjak dedaunan kering. Langkahnya terdengar lambat tapi ketika Kiana membalikkan tubuhnya, seseorang sudah berada di belakangnya.“Akh!” pekik Kiana. Ia hampir saja terjatuh karena menabrak tubuh yang besar dan kokoh. Orang tersebut menangkap pinggang Kiana. Ia terselamatkan dari nyeri pinggang yang akan terasa sulit lebih dari hasil pertarungan sengit.“Apa kau baik-baik saja?”“Kak Zeki!” pekik Kiana. Ia buru-buru melepaskan diri dan men
"Daddy, kenapa Daddy diam saja? Apa Daddy tidak ingin bicara denganku?" tanya Kiana. Raut wajahnya terlihat sangat sedih. Rasanya aneh ketika Kiana meminta Ken untuk bicara berdua saja dengannya. Selama ini, Kiana menjadi sangat tertutup dalam setiap hal apalagi perasaan. Mungkinkah saat ini ia sedang jengah dan ingin meluapkannya? Atau, ia memiliki beberapa hal yang tidak bisa ia atasi seorang diri? Pikir Ken."Apa yang kau katakan? Daddy terlalu senang sampai-sampai tidak tahu harus bicara apa," ujar Ken."Apanya yang senang? Kita berbincang ringan saja," kata Kiana. Ken duduk di atas kursi yang tersedia di taman tersebut. Kiana tiba-tiba saja berbaring dan mengunakan paha Ken sebagai bantal untuk kepalanya. Ken lega. Akhirnya, ia merasakan Kiana kembali manja seperti waktu dulu. Ken mengusap lembut rambut Kiana yang sudah ia warnai menjadi hitam
Hotel Grand … Di dalam salah satu kamar, tidak ada penjaga. Hotel tersebut beraktifitas seperti biasa. Jordan menuruti keinginan Rael untuk tidak menempatkan siapapun saat ia menunggu Mike. Rael menikmati waktunya yang sendirian dalam sejenak sebelum Mike menemuinya dan menyerang mentalnya.Tok … Tok … Tok … Rael membuka pintu kamarnya. Mungkin saja kamar nomor 777 akan menjadi saksi tragedi yang akan terjadi atau malah sebaiknya. Saksi yang akan mengetahui obrolan apa yang terjadi. Rael menggunakan lensa mata sepeti biasanya. Memakai wig untuk menutupi warna asli rambutnya. Mike datang dengan dua orang yang bersamanya. Dua orang tersebut salah satunya adalah Rion.'Jadi, dia orang yang J
Malam itu berlalu dengan semua orang yang memiliki aktifitas masing-masing. Saat siang hari, semuanya berjalan seperti hari biasa. Tidak ada keributan. Hanya ada ketenangan. Karena ketenangan itulah, semua orang menjadi gusar. Renza saat ini sedang berada di penthouse milik Raina. Sedangkan Raina sibuk memeriksa pekerjaannya di meja kerja."Apa saya harus diabaikan seperti ini?" tanya Renza. "Apa dokumen itu lebih menarik dibandingkan dengan saya?" sambungnya. Ia merajuk seperti anak kecil yang menginginkan sesuatu."Lakukan apa saja yang kau inginkan, Renza. Aku sedang sibuk saat ini," kata Raina."Aku akan olahraga di sini," ucap Renza."Terserah kau saja." Raina acuh tak acuh karena ia sibuk. Setumpuk pekerjaan sudah menggunung di atas meja. Ia bahkan belum mengerjakan setengah dari tumpukan tersebut. Fokusnya lenyap. Ia te
Generasi pertama naik ke atas panggung. Mereka jalan gontai tanpa membawa kesadaran seolah-olah mata mereka terpaksa terbuka dan seluruh tubuh mereka dipaksa untuk bergerak.Mereka mendekati Kiana dengan senjata yang mereka genggam. Tubuh mereka tercabik-cabik, hancur dan darah segar masih mengucur dari luka yang mereka dapatkan.'Bajingan itu menyiksa mereka sampai seperti ini?' batin Kiana.Kiana memenangkan pertandingan pertama. Para VVIP lemah lunglai tergeletak penuh luka di atas panggung.Kiana menggigit bibirnya sendiri. Ia merasa terlambat dan sangat berdosa. Seharusnya, dalam permainan gila tersebut tidak seharusnya melibatkan banyak orang. Jika HG Group menginginkannya, Kiana tidak akan menolaknya.Melihat generasi pertama yang kokoh dan kuat menjadi ternoda, hati Kiana sangat terluka. Tubuhnya yang sudah lelah, juga luka lama yang terbuka kembali, membuatnya semakin memanas.Pertarungan tersebut membuatnya gila dan semakin bergairah. Kiana yang menghadapi VVIP tidak serius,
Kiana mengerutkan keningnya. Bau amis darah segar dari celine membuatnya sedikit mual. Kiana memperhatikan tangan Celine yang membekas darah kering."Mora, acara sebentar lagi di mulai. Seharusnya kau sudah bersiap. Kenapa kau belum mengenakan seragammu?" tanya Celine sembari menghempaskan tubuhnya di atas sofa yang berada di dalam ruang ganti khusus untuk Kiana."Saya hanya sedikit bingung," jawab Kiana."Apa yang kau bingung kan?" tanya Celine. Ia membersihkan pisau lipat tersebut. "Apa kau ingin membuatku marah?" lanjutnya sembari memberikan tatapan tajam yang tak terkontrol."Maafkan saya, Nona Celine."Di depan mata Kiana, ada beberapa kalung berlian, anting, gelang dan jumlahnya cukup banyak. Perhiasan untuk pria dan wanita yang jika di pakai akan menutupi tubuh Kiana.'Apa yang harus aku lakukan dengan ini?' batin Kiana."Kau kenakan berlian itu tanpa terkecuali. Tidak ada yang boleh tertinggal," ujar Celine. "Aku tidak menyewa model untuk memperagakannya karena acara malam ini
Sam tidak mungkin menentang elitisan Gracia. Ia tidak mungkin membiarkan Gracia melewati pedihnya jalan hidup yang akan membakar telapak kakinya setiap ia melangkah maju."Lakukan apa yang kau inginkan. Aku akan berada di belakangmu sebagai pendukung," ucap Sam.Gracia beranjak dari tempatnya. Ia menghampiri Tuan Don yang terkekang oleh rantai yang melilit pada tangan dan kakinya. Mereka bertiga berada di ruangan yang sama sehingga mudah untuk mencari celah kabur."Hei, Pak tua!" teriak Gracia. "Kalau kau membohongiku, aku pastikan kepalamu langsung terlepas dari lehermu!" ancam Gracia."Hahaha ..." Tuan Don terkekeh geli. Ia menertawakan dirinya yang sudah dibodohi oleh Naura, juga dua orang yang menjaga kepercayaan tapi menjadi tertuduh. Bukankah itu konyol? Pikir Tuan Don."Aku akan menempatkan kalian berdua di posisi tertinggi perusahaanku. Kalian bisa melakukan apa saja untuk dendam atau membuktikan kualitas kalian," ucap Tuan Don."Kali ini, aku percaya padamu. Kalau kau membuatk
Rael keluar dari perusahaan miliknya. Ia mendapatkan sebuah kesan pribadi tanpa nama. Sejenak, kisah-kisah kelam kembali terlihat Dan terkenang dalam benaknya."Apa yang akan akan Anda lakukan, Tuan?" tanya Tuan Aaron. Meski ia menilai semuanya rumit, tapi Tuan Aaron sama sekali tidak memiliki pikiran untuk pindah kepercayaan atau Tuan."Alu harus menyelesaikan tugasku dengan baik sampai akhir," jawab Rael."Anda akan bergabung lagi dengan tujuh jenius yang Anda besarkan?" tanya Tuan Vidor. "Bukankah mereka sudah sudah mengkhianati Anda? Bagaimana mungkin Anda masih masih percaya pada mereka?" imbuhnya."Aku tidak berpikir kalau mereka berkhianat. Mereka hanya melakukan apapun yang membuat hati mereka senang. Lagi pula, berTuankan aku yang cacat seperti ini, tidak akan mendapatkan keunggulan dan juga nama baik." Santai, tapi terdengar ada kekecewaan di dalam kalimat Rael. Di tambah lagi dengan dengan ekspresi wajah Rael yang tersakiti."Saya mengerti. Saya akan mengikuti Anda sampai a
Ugh ... Ugh ... Ugh ...Uhuk ... Uhuk ... Uhuk ...Generasi pertama yang dijebak oleh Jordan karena menolak, mereka dijadikan tawanan yang akan memeriahkan puncak acara yang akan menghina harga diri mereka.Mereka semua terbatuk-batuk. Tubuhnya lebam-lebam bahkan ada punggung mereka hampir dibuat meleleh karena disulut oleh besi panas.Argh! Argh! Argh!Teriakan kesakitan itu menjadi nilai plus bagi Jordan. Ia puas karena mereka yang tidak menurut pada akhirnya bisa menjadi mainannya yang berharga."Bajingan kau, Jordan!" teriak Gerald yang tertangkap.Jordan hanya melepaskan Serchan meski Serchan menolak. Ia tidak ingin mengambil resiko karena yang Jordan tawarkan adalah kerjasama dengan bangsawan Inggris, bukan pengamdian dari Serchan. Dua hal tersebut sudah berbeda. Jika Jordan menangkap bangsawan Serchan, tentu saja ia akan dimusuhi oleh Inggris dan itu adalah sesuatu yang bisa dikatakan sebagai mimpi buruk."Bedebah sialan! Meski kau menjadikan kami meleleh bersama api, kami tida
Naura mendapatkan pesan singkat dari Delice. Ia harus memecahkan kode supaya bisa membaca pesan dari Delice.Naura menyipitkan matanya. "Dum? Siapa?" gumam Naura.Naura mendengarkan pesan suara yang terkirim melalui pesan pribadi yang akan otomatis terhapus beberapa detik setelah selesai di dengarkan.Naura tidak bisa melakukannya sendiri. Demi Rael, Delice menelusuri seluk beluk keberadaan Tuan Don. Untuk meruntuhkan sebuah menara, Delice harus menghancurkan pondasinya.Naura mendengarkan dengan saksama. Semua hal yang Delice sampaikan. Delice tidak akan membuat pesan pribadi hapus otomatis jika apa yang ia sampaikan tidaklah penting."Sayang, aku akan menjelaskan intinya secara singkat. Aku harap kau bisa mengerti. Aku tidak memiliki waktu untuk menjelaskannya secara langsung padamu. Yakinlah! Kalau kau melakukan sesuai yang aku rencanakan, kau akan berhasil hingga akhir tanpa terluka."Delice menjelaskan dengan rinci apa yang terjadi. Bagaimana awal mulanya sampai ia bertekad selam
Gedung tua yang ada di Rusia menjadi tempat pilihan yang cukup akurat untuk menjalankan semua rencana Jordan. Satu per satu tamu yang ia undang sudah mulai berdatangan.Tamu-tamu tersebut menatap heran ke arah gedung yang setengah rusak karena akibat kebakaran hebat beberapa bulan yang lalu.Mereka terdiri dari generasi awal yang membentuk organisasi damai. Jordan mengusik kedamaian yang sudah mereka perjuangkan."Mereka sudah datang tanpa terkecuali. Hah! Tingkat keyakinan yang aku miliki mencapai batasannya," ujar Jordan.Rion menjadi pengikut Jordan, begitu juga dengan Brandon. Mereka memiliki perhitungannya sendiri karena tali kekang HG Group sepenuhnya berada di tangan Jordan."Aku tidak tahu siapa yang menolak dan siapa yang menerima," ucap Jordan."Ah!" pekik Brandon tiba-tiba.Jordan mengundang mereka hanya mengandalkan persiapan insting dadakan. Tidak ada rencana bahkan persentase yang dibayangkan saja tidak ada. Bukankah Jordan terlalu berani untuk mempertaruhkan nyawanya se
Brak!"Kiana!" teriak Leon.Kiana melirik tajam. Ia sangat menunjukkan rasa tidak sukanya pada Leon yang masuk ke dalam kamar pribadinya saat Kiana baru saja merebahkan tubuhnya."Apa kau tidak memiliki sopan santun?" Kiana membalas bentakan Leon dengan kalimat pertanyaan yang tidak kalah sadis."Aku dengar kalau membunuh Zaila dan Rai, bahkan kau memberikan kelingking Rai sebagai bukti. Kiana, apa kau sudah gila?" bentak Rai.Kiana menyibakkan selimut yang baru saja menutupi tubuhnya. Kiana ingin istirahat sejenak untuk memulihkan diri dari beberapa darah yang keluar dari luka barunya."Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau kesulitan berdiri?" tanya Leon. Ia langsung mendekati Kiana untuk mengecek kondisinya.Kiana menepis tangan Leon. "Singkirkan tanganmu itu!" ujar Kiana."Aku memang tidak bisa memaksamu untuk bercerita, tapi aku yakin kalau kau bertarung hebat dengan Rai sebelum berhasil membunuh Zaila dan Rai. Kenapa kau membunuhnya?" tanya Leon lirih.Leon duduk di atas ranjang Ki
Tubuh Delice seperti menggigil kedinginan. Aura yang terpancar dari orang bertopi yang menyerangnya seperti tidak asing. Orang tersebut bahkan hanya diam dan tidak menyerang Delice lagi setelah Celine meninggalkannya."Kenapa tidak menyerang lagi? Kenapa hanya mematung, hah?" tantang Delice."Kenapa aku harus menyerang saat aku tidak ingin?" balas Kiana.Suara Kiana memang tidak asing bagi Delice. Sejenak, ingatan Kiana mulai merasukinya. Namun, Kiana menahan rasa sakit yang saat ini menyerangnya.Sret!Delice membuka paksa topi yang menutupi wajah Kiana. Rambut Kiana yang tertutup oleh topi juga menjadi tergerai karena penyangga hilang.Delice seperti diberikan kejutan yang tidak bisa ia bayangkan. Kiana, putri tercinta yang sedang ia cari ternyata berada di depan matanya."Kiana!" pekik Delice.Delice tidak ingat kalau beberapa menit yang lalu Kiana melukainya dengan luka yang cukup dalam. Meski luka tersebut bukan apa-apa bagi Delice, tapi tentu saja lukanya terasa berbeda karena p