Hah... Hah... Hah...
Nafas Arta dan Renza terengah-engah. Mereka berdua bersembunyi di gang sempit tempat pembuangan sampah. Mereka menutup hidungnya rapat-rapat karena bau busuk begitu menyengat.
“Akh!” pekik Arta.
Renza langsung membungkam mulut Arta. Karena teriakannya hampir saja membuat mereka berdua tertangkap. Renza lemas karena lari tanpa aba-aba.
“Apa-apaan kau? Mulutmu ini tidak bisa bicara lirih?” ujar Renza.
Pletak!
“Akh!” pekik Renza sembari memegang keningnya yang disentil Arta. “Sakit!” kata Renza.
“Aku ini lebih tua darimu,” kata Arta.
“Terus?” tanya Renza.
“Sopanlah sedikit!”
“Bagaimana aku mau sopan kalau kau menginjak kakiku?”
“Ah!” Arta langsung menyingkirkan kakinya. “Aku tidak sengaj
Seseorang dalam ruangan yang gelap, duduk santai sembari berpangku tangan. Auranya begitu tidak biasa. Di bawah kakinya, ia menginjak sebuah balok yang berdarah kering entah bekas memukul siapa.“Azo, kau salah satu orang yang diakui oleh Jordan tentang kepandaianmu. Menurutmu, siapa yang bertanggungjawab dengan kekacauan yang terjadi?”“Tuan besar, saya—““Hah...” Tuan Don menghela nafasnya. “Aku sangat kecewa. Bagaimana bisa kalian dikalahkan dengan anak yang masih bau kencur,” keluhnya.“Ijin menjawab, Tuan. Meski usianya masih remaja, tenaganya didukung oleh teknik,” jawab Sofia.“Cukup. Amarahku sudah aku lampiaskan pada anak sialan itu. Kalian berempat pergi kunjungi Jordan. Sampaikan salamku padanya.” Tuan besar yang dipanggil oleh Azo adalah Tuan Don. Orang yang berada dibalik semua bisnis ilegal. Azo, Victor, Sofi
Rumah yang ditempati Tuan Don, hanya seperti sebuah tempat untuk singgah saat dahaga menyerang. Rael terbiasa hidup sendiri dalam penthouse atau mansion miliknya yang dibangun dengan uang kejayaan hasil bisnis yang ia jalani. Benar apa yang dikatakan Tuan Don. Hingga titik terakhir hidup Hamid Gul, dia tidak pernah menikahi Nyonya Dum, Ibu Rael. Alasannya karena Hamid Gul tidak mencintainya. Bagaimana Nyonya Dum hamil, itu hanyalah sebuah kesalahan. Kisah masalalu yang enggan Rael ingat karena setiap kali terlintas kisah itu, Rael merasa tidak pernah diharapkan untuk lahir ke dunia. Langit begitu gelap tapi bagi Rael, siang atau malam sama saja baginya. Ia terlahir buta sejak lahir. Entah karena obat-obatan yang dikonsumsi Nyonya Dum karena tidak menginginkannya, atau karena sudah menjadi takdirnya. Rael memi
Renza dan Arta tiba di mansion. Bersamaan dengan itu, berbondong-bondong mobil masuk ke halaman mansion. Renza dan Arta hanya terpaku menatap dan membisu.Deg... Renza terasa tercekik melihat Kiana yang berada dalam gendongan Delice dengan tangan yang terbalut perban dari pangkal hingga ujung. Renza semakin terdiam dan memperhatikan mereka semua yang keluar dari mobil. Tidak ada yang terluka kecuali Kiana.“Kiana!” teriak Renza.“Hei! Pelan!” kata Arta.Duak!“Astaga!” pekik Arta.Drap... Drap... Drap... Tidak peduli dengan kepalanya yang terbentur saat keluar dari mobil, Renza berlari menghampiri Kiana. Ia terlalu asyik bermain-main hingga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga Kiana terluka.Duak! Brak! Renza sangat khawatir hingga ia menabrak pintu ketika masuk ke dalam mansion
“Kiana!” teriak Kumey sembari melambaikan tangannya. Kiana hanya menyipitkan matanya karena disamping Kumey sudah ada As dan sekumpulan anggotanya.‘Apa yang terjadi?’ batin Kiana.Tap... Tap... Tap... Kiana melangkah mendekati Kumey lalu menarik tangannya. Kiana membiarkan Kumey berdiri dibelakang tubuhnya. Entah perasaan seperti apa yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Kiana hanya fokus pada tindakannya yang sejak awal akan menghapus perundungan yang terjadi.“Berhenti menjadi pengganggu!” ujar Kiana. As dan yang lain membungkuk, memberikan hormat pada Kiana. “Kami semua minta maaf, Nona!” kata As, mewakili pembicaraan.“Ap—apa yang terjadi?” gumam Kiana lirih.“Kami tidak akan mengganggu dan mengusik semua anak yang terlihat lemah. Ini...” As memberikan kartu nama. &l
Kiana kembali ke kelas pada jam pelajaran kedua. Di atas mejanya, ada sekotak makanan bersama catatan kecil yang diselipkan di bawah kotak itu. Kiana baru menyadari kalau Kumey memang satu kelas dengannya.“Kia!” sapa Kumey. “Jam pelajaran kedua kosong. Mau ke kantin bersama?” tanya Kumey. Kiana tetap berekspresi dingin. Sejak kejadian masalalu, Kiana tidak berniat untuk memiliki teman lagi. Bahkan dia juga sudah lupa rasanya punya teman. Baginya, hanya ada rekan dan keluarga. Melihat senyum Kumey pada wajahnya yang masih memar, membuat Kiana ingat akan sesuatu.“Apa aku harus jawab, iya?” tanya Kiana.“Tentu saja. Rael pasti senang kalau kau melahap habis makanan yang dia kasih.”“Ini dari Rael?” tanya Kiana. “Tapi di mana dia?” imbuhnya.“Ayo ikut denganku. Aku akan mengatakan yang aku ta
Delice dan Ken berada di dalam ruang meeting. Matanya beradu dengan pria yang berumur sekitar empat puluh tahun. Pria yang menatap Delice penuh kedengkian. Delice hanya fokus pada persentase yang sedang berjalan untuk mendapatkan sebuah proyek. Enam jam terperangkap dalam ruangan bersama orang-orang yang penuh persaingan, akhirnya Delice keluar dari tempat yang menyesakkan. Ketika sampai ditempat parkir, mobil Delice bersebelahan dengan pria yang tidak mengalihkan pandangan matanya sejak beberapa waktu lalu.“Jaga matamu baik-baik, sebelum aku mencongkelnya!” kata Delice sembari memberikan tatapan membunuh.“Cih! Sombong,” balasnya.“Mr. Don, jangan membuatku naik darah di sini. Kalau memang kau berani, kau bisa mendatangiku kapan saja kau mau!” Delice membuka pintu mobilnya.Grep! Tuan Do
Kiana sudah menemukan titik temu keterangan tentang HG Group melalui petunjuk yang pria asing berikan. Pria asing itu tidak lain adalah suruhan Rael. Kiana memakai wig berwarna hitam. Ia memakai soflen berwarna biru untuk menutupi bola matanya yang berwarna merah. Kiana memakai pakaiannya yang sangat rapi. Dia tidak pergi sekolah kali ini karena Kiana akan menghadiri perusahaan kelima karena kebetulan ada wawancara. Kiana memakai kacamata dan membawa tas paling sederhana.“Kiana, mau ke mana?” tanya Sam.“Paman Sam, aku ada urusan. Sampaikan pada orang rumah kalau aku tidak ikut sarapan pagi ini.” Kiana tidak ingin menunda waktu lagi. Dia ingin tahu tempat seperti apa perusahaan kelima itu. Kiana bergegas sebelum tertinggal bus. Setelah duduk di dalam bus, tiba-tiba saja Zeki juga duduk di
“Sei!” Teo memanggil orangnya dengan jentikan jari.“Iya, Tuan.”“Bawa wanita ini untuk latihan. Jangan lupa, siapkan gaun yang serasi denganku,” pinta Teo.“Eh?” Kiana hanya diam karena bingung. Teo mendekati telinga Kiana. “Aku tertarik dengan warna dalaman yang kau kenakan,” bisik Teo.Set! Kiana melayangkan tamparan tapi Teo berhasil menangkap tangan Kiana. Teo tersenyum seperti pria hidung belang.“Kau ini, beraninya menyerang atasan bahkan disaat kau belum mulai bekerja,” omel Teo.“Tatapanmu itu mengerikan, Tuan,” balas Kiana.‘Mesum tidak tahu diri,’ batin Kiana.“Kau benar-benar membuatku tertarik untuk melucuti pakaianmu, Rachel!” bisik Teo. Teo melepaskan tangan Kiana dan berjalan keluar dari ruangan. “Sei, kau urus di