Sekerumunan orang berkumpul mengelilingi meja bundar. Hanya saja, ada satu orang yang sedang geram sembari menatap kartu yang berceceran di atas meja. Ia duduk dalam ketidak tenangan.
“Kau sedang meremehkanku?” gertak Renza.
“Hahaha... Aku tidak perlu turun tangan untuk melawanmu,” ujar Teo.
“Kau meminta mereka yang berhutang padamu karena judi untuk melawanku. Tapi kalau mereka kalah kau akan melipat gandakan hutang mereka? Kesepakatan macam apa ini?” teriak Renza.
‘Posisi seperti ini menyulitkanku,’ batin Renza.
Renza merasa Teo tidak adil dalam hal ini. Dia yang membuka lebar secara terang-terangan tentang judi yang disahkan dalam SMA HG. Banyak sekali murid yang terperangkap. Tidak peduli itu murid laki-laki atau perempuan.
Kemenangan pertama membuat mata mereka buta akan k
Kesepakatan baru diantara Teo dan Renza. Di mana Renza akan mempertaruhkan dirinya sendiri, uang yang ia bawa dan juga black card miliknya. Sedangkan Teo, siap menghapus semua bunga atas hutang semua murid HG.“Kau sudah siap, Tuan muda Teo?” tanya Renza sembari menyeringai.Plak!“Akh!” pekik Renza. Arta tiba-tiba saja memukul kepala Renza tanpa alasan yang jelas. “Sialan! Apa yang kau lakukan? Kau sedang cemburu, sayang?” seru Renza sembari mengusap kepalanya.“Kalau main, ya main saja. Kau terlalu banyak bicara,” omel Arta.“Apa boleh buat. Ayo kita ulang permainan, karena aku muak melihat kalian bermesra-mesraan,” gertak Teo. Babak pertama tidak ada yang membuka kartu. Tidak diketahui siapa pemenang yang sebenarnya. Permainan pertama dianggap sebagai pemanasan. Sekarang, enam orang yang terdiri dari Renza,
“Jangan ada yang berani menyentuh kartunya!” ulang Renza. Teo menarik tangannya dan mengusap pergelangannya yang memerah. Ia menyumbingkan bibirnya, tersenyum licik karena sudah merasa menang. Renza terlihat frustasi, emosi dan mengeluarkan amarahnya dalam satu ekspresi atas kekalahan yang dia dapatkan. Teo mencengkeram pundak Renza. “Kau harus menjadi orang yang berbesar hati untuk menerima kekalahan,” kata Teo.“Kalah?” Renza menaikkan sebelah alisnya. “Kau sudah yakin kalau kau menang?” imbuhnya.“Bukankah sudah sangat jelas?”“Mizi, Zin, Gith, bisakah kalian berdiri disampingku?” pinta Renza.“Mereka adalah orangku. Untuk apa mereka berada disampingmu?” Diluar dugaan. Entah apa yang terjadi, entah ramuan atau rayuan
Hah... Hah... Hah... Nafas Arta dan Renza terengah-engah. Mereka berdua bersembunyi di gang sempit tempat pembuangan sampah. Mereka menutup hidungnya rapat-rapat karena bau busuk begitu menyengat.“Akh!” pekik Arta. Renza langsung membungkam mulut Arta. Karena teriakannya hampir saja membuat mereka berdua tertangkap. Renza lemas karena lari tanpa aba-aba.“Apa-apaan kau? Mulutmu ini tidak bisa bicara lirih?” ujar Renza.Pletak!“Akh!” pekik Renza sembari memegang keningnya yang disentil Arta. “Sakit!” kata Renza.“Aku ini lebih tua darimu,” kata Arta.“Terus?” tanya Renza.“Sopanlah sedikit!”“Bagaimana aku mau sopan kalau kau menginjak kakiku?”“Ah!” Arta langsung menyingkirkan kakinya. “Aku tidak sengaj
Seseorang dalam ruangan yang gelap, duduk santai sembari berpangku tangan. Auranya begitu tidak biasa. Di bawah kakinya, ia menginjak sebuah balok yang berdarah kering entah bekas memukul siapa.“Azo, kau salah satu orang yang diakui oleh Jordan tentang kepandaianmu. Menurutmu, siapa yang bertanggungjawab dengan kekacauan yang terjadi?”“Tuan besar, saya—““Hah...” Tuan Don menghela nafasnya. “Aku sangat kecewa. Bagaimana bisa kalian dikalahkan dengan anak yang masih bau kencur,” keluhnya.“Ijin menjawab, Tuan. Meski usianya masih remaja, tenaganya didukung oleh teknik,” jawab Sofia.“Cukup. Amarahku sudah aku lampiaskan pada anak sialan itu. Kalian berempat pergi kunjungi Jordan. Sampaikan salamku padanya.” Tuan besar yang dipanggil oleh Azo adalah Tuan Don. Orang yang berada dibalik semua bisnis ilegal. Azo, Victor, Sofi
Rumah yang ditempati Tuan Don, hanya seperti sebuah tempat untuk singgah saat dahaga menyerang. Rael terbiasa hidup sendiri dalam penthouse atau mansion miliknya yang dibangun dengan uang kejayaan hasil bisnis yang ia jalani. Benar apa yang dikatakan Tuan Don. Hingga titik terakhir hidup Hamid Gul, dia tidak pernah menikahi Nyonya Dum, Ibu Rael. Alasannya karena Hamid Gul tidak mencintainya. Bagaimana Nyonya Dum hamil, itu hanyalah sebuah kesalahan. Kisah masalalu yang enggan Rael ingat karena setiap kali terlintas kisah itu, Rael merasa tidak pernah diharapkan untuk lahir ke dunia. Langit begitu gelap tapi bagi Rael, siang atau malam sama saja baginya. Ia terlahir buta sejak lahir. Entah karena obat-obatan yang dikonsumsi Nyonya Dum karena tidak menginginkannya, atau karena sudah menjadi takdirnya. Rael memi
Renza dan Arta tiba di mansion. Bersamaan dengan itu, berbondong-bondong mobil masuk ke halaman mansion. Renza dan Arta hanya terpaku menatap dan membisu.Deg... Renza terasa tercekik melihat Kiana yang berada dalam gendongan Delice dengan tangan yang terbalut perban dari pangkal hingga ujung. Renza semakin terdiam dan memperhatikan mereka semua yang keluar dari mobil. Tidak ada yang terluka kecuali Kiana.“Kiana!” teriak Renza.“Hei! Pelan!” kata Arta.Duak!“Astaga!” pekik Arta.Drap... Drap... Drap... Tidak peduli dengan kepalanya yang terbentur saat keluar dari mobil, Renza berlari menghampiri Kiana. Ia terlalu asyik bermain-main hingga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga Kiana terluka.Duak! Brak! Renza sangat khawatir hingga ia menabrak pintu ketika masuk ke dalam mansion
“Kiana!” teriak Kumey sembari melambaikan tangannya. Kiana hanya menyipitkan matanya karena disamping Kumey sudah ada As dan sekumpulan anggotanya.‘Apa yang terjadi?’ batin Kiana.Tap... Tap... Tap... Kiana melangkah mendekati Kumey lalu menarik tangannya. Kiana membiarkan Kumey berdiri dibelakang tubuhnya. Entah perasaan seperti apa yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Kiana hanya fokus pada tindakannya yang sejak awal akan menghapus perundungan yang terjadi.“Berhenti menjadi pengganggu!” ujar Kiana. As dan yang lain membungkuk, memberikan hormat pada Kiana. “Kami semua minta maaf, Nona!” kata As, mewakili pembicaraan.“Ap—apa yang terjadi?” gumam Kiana lirih.“Kami tidak akan mengganggu dan mengusik semua anak yang terlihat lemah. Ini...” As memberikan kartu nama. &l
Kiana kembali ke kelas pada jam pelajaran kedua. Di atas mejanya, ada sekotak makanan bersama catatan kecil yang diselipkan di bawah kotak itu. Kiana baru menyadari kalau Kumey memang satu kelas dengannya.“Kia!” sapa Kumey. “Jam pelajaran kedua kosong. Mau ke kantin bersama?” tanya Kumey. Kiana tetap berekspresi dingin. Sejak kejadian masalalu, Kiana tidak berniat untuk memiliki teman lagi. Bahkan dia juga sudah lupa rasanya punya teman. Baginya, hanya ada rekan dan keluarga. Melihat senyum Kumey pada wajahnya yang masih memar, membuat Kiana ingat akan sesuatu.“Apa aku harus jawab, iya?” tanya Kiana.“Tentu saja. Rael pasti senang kalau kau melahap habis makanan yang dia kasih.”“Ini dari Rael?” tanya Kiana. “Tapi di mana dia?” imbuhnya.“Ayo ikut denganku. Aku akan mengatakan yang aku ta
Generasi pertama naik ke atas panggung. Mereka jalan gontai tanpa membawa kesadaran seolah-olah mata mereka terpaksa terbuka dan seluruh tubuh mereka dipaksa untuk bergerak.Mereka mendekati Kiana dengan senjata yang mereka genggam. Tubuh mereka tercabik-cabik, hancur dan darah segar masih mengucur dari luka yang mereka dapatkan.'Bajingan itu menyiksa mereka sampai seperti ini?' batin Kiana.Kiana memenangkan pertandingan pertama. Para VVIP lemah lunglai tergeletak penuh luka di atas panggung.Kiana menggigit bibirnya sendiri. Ia merasa terlambat dan sangat berdosa. Seharusnya, dalam permainan gila tersebut tidak seharusnya melibatkan banyak orang. Jika HG Group menginginkannya, Kiana tidak akan menolaknya.Melihat generasi pertama yang kokoh dan kuat menjadi ternoda, hati Kiana sangat terluka. Tubuhnya yang sudah lelah, juga luka lama yang terbuka kembali, membuatnya semakin memanas.Pertarungan tersebut membuatnya gila dan semakin bergairah. Kiana yang menghadapi VVIP tidak serius,
Kiana mengerutkan keningnya. Bau amis darah segar dari celine membuatnya sedikit mual. Kiana memperhatikan tangan Celine yang membekas darah kering."Mora, acara sebentar lagi di mulai. Seharusnya kau sudah bersiap. Kenapa kau belum mengenakan seragammu?" tanya Celine sembari menghempaskan tubuhnya di atas sofa yang berada di dalam ruang ganti khusus untuk Kiana."Saya hanya sedikit bingung," jawab Kiana."Apa yang kau bingung kan?" tanya Celine. Ia membersihkan pisau lipat tersebut. "Apa kau ingin membuatku marah?" lanjutnya sembari memberikan tatapan tajam yang tak terkontrol."Maafkan saya, Nona Celine."Di depan mata Kiana, ada beberapa kalung berlian, anting, gelang dan jumlahnya cukup banyak. Perhiasan untuk pria dan wanita yang jika di pakai akan menutupi tubuh Kiana.'Apa yang harus aku lakukan dengan ini?' batin Kiana."Kau kenakan berlian itu tanpa terkecuali. Tidak ada yang boleh tertinggal," ujar Celine. "Aku tidak menyewa model untuk memperagakannya karena acara malam ini
Sam tidak mungkin menentang elitisan Gracia. Ia tidak mungkin membiarkan Gracia melewati pedihnya jalan hidup yang akan membakar telapak kakinya setiap ia melangkah maju."Lakukan apa yang kau inginkan. Aku akan berada di belakangmu sebagai pendukung," ucap Sam.Gracia beranjak dari tempatnya. Ia menghampiri Tuan Don yang terkekang oleh rantai yang melilit pada tangan dan kakinya. Mereka bertiga berada di ruangan yang sama sehingga mudah untuk mencari celah kabur."Hei, Pak tua!" teriak Gracia. "Kalau kau membohongiku, aku pastikan kepalamu langsung terlepas dari lehermu!" ancam Gracia."Hahaha ..." Tuan Don terkekeh geli. Ia menertawakan dirinya yang sudah dibodohi oleh Naura, juga dua orang yang menjaga kepercayaan tapi menjadi tertuduh. Bukankah itu konyol? Pikir Tuan Don."Aku akan menempatkan kalian berdua di posisi tertinggi perusahaanku. Kalian bisa melakukan apa saja untuk dendam atau membuktikan kualitas kalian," ucap Tuan Don."Kali ini, aku percaya padamu. Kalau kau membuatk
Rael keluar dari perusahaan miliknya. Ia mendapatkan sebuah kesan pribadi tanpa nama. Sejenak, kisah-kisah kelam kembali terlihat Dan terkenang dalam benaknya."Apa yang akan akan Anda lakukan, Tuan?" tanya Tuan Aaron. Meski ia menilai semuanya rumit, tapi Tuan Aaron sama sekali tidak memiliki pikiran untuk pindah kepercayaan atau Tuan."Alu harus menyelesaikan tugasku dengan baik sampai akhir," jawab Rael."Anda akan bergabung lagi dengan tujuh jenius yang Anda besarkan?" tanya Tuan Vidor. "Bukankah mereka sudah sudah mengkhianati Anda? Bagaimana mungkin Anda masih masih percaya pada mereka?" imbuhnya."Aku tidak berpikir kalau mereka berkhianat. Mereka hanya melakukan apapun yang membuat hati mereka senang. Lagi pula, berTuankan aku yang cacat seperti ini, tidak akan mendapatkan keunggulan dan juga nama baik." Santai, tapi terdengar ada kekecewaan di dalam kalimat Rael. Di tambah lagi dengan dengan ekspresi wajah Rael yang tersakiti."Saya mengerti. Saya akan mengikuti Anda sampai a
Ugh ... Ugh ... Ugh ...Uhuk ... Uhuk ... Uhuk ...Generasi pertama yang dijebak oleh Jordan karena menolak, mereka dijadikan tawanan yang akan memeriahkan puncak acara yang akan menghina harga diri mereka.Mereka semua terbatuk-batuk. Tubuhnya lebam-lebam bahkan ada punggung mereka hampir dibuat meleleh karena disulut oleh besi panas.Argh! Argh! Argh!Teriakan kesakitan itu menjadi nilai plus bagi Jordan. Ia puas karena mereka yang tidak menurut pada akhirnya bisa menjadi mainannya yang berharga."Bajingan kau, Jordan!" teriak Gerald yang tertangkap.Jordan hanya melepaskan Serchan meski Serchan menolak. Ia tidak ingin mengambil resiko karena yang Jordan tawarkan adalah kerjasama dengan bangsawan Inggris, bukan pengamdian dari Serchan. Dua hal tersebut sudah berbeda. Jika Jordan menangkap bangsawan Serchan, tentu saja ia akan dimusuhi oleh Inggris dan itu adalah sesuatu yang bisa dikatakan sebagai mimpi buruk."Bedebah sialan! Meski kau menjadikan kami meleleh bersama api, kami tida
Naura mendapatkan pesan singkat dari Delice. Ia harus memecahkan kode supaya bisa membaca pesan dari Delice.Naura menyipitkan matanya. "Dum? Siapa?" gumam Naura.Naura mendengarkan pesan suara yang terkirim melalui pesan pribadi yang akan otomatis terhapus beberapa detik setelah selesai di dengarkan.Naura tidak bisa melakukannya sendiri. Demi Rael, Delice menelusuri seluk beluk keberadaan Tuan Don. Untuk meruntuhkan sebuah menara, Delice harus menghancurkan pondasinya.Naura mendengarkan dengan saksama. Semua hal yang Delice sampaikan. Delice tidak akan membuat pesan pribadi hapus otomatis jika apa yang ia sampaikan tidaklah penting."Sayang, aku akan menjelaskan intinya secara singkat. Aku harap kau bisa mengerti. Aku tidak memiliki waktu untuk menjelaskannya secara langsung padamu. Yakinlah! Kalau kau melakukan sesuai yang aku rencanakan, kau akan berhasil hingga akhir tanpa terluka."Delice menjelaskan dengan rinci apa yang terjadi. Bagaimana awal mulanya sampai ia bertekad selam
Gedung tua yang ada di Rusia menjadi tempat pilihan yang cukup akurat untuk menjalankan semua rencana Jordan. Satu per satu tamu yang ia undang sudah mulai berdatangan.Tamu-tamu tersebut menatap heran ke arah gedung yang setengah rusak karena akibat kebakaran hebat beberapa bulan yang lalu.Mereka terdiri dari generasi awal yang membentuk organisasi damai. Jordan mengusik kedamaian yang sudah mereka perjuangkan."Mereka sudah datang tanpa terkecuali. Hah! Tingkat keyakinan yang aku miliki mencapai batasannya," ujar Jordan.Rion menjadi pengikut Jordan, begitu juga dengan Brandon. Mereka memiliki perhitungannya sendiri karena tali kekang HG Group sepenuhnya berada di tangan Jordan."Aku tidak tahu siapa yang menolak dan siapa yang menerima," ucap Jordan."Ah!" pekik Brandon tiba-tiba.Jordan mengundang mereka hanya mengandalkan persiapan insting dadakan. Tidak ada rencana bahkan persentase yang dibayangkan saja tidak ada. Bukankah Jordan terlalu berani untuk mempertaruhkan nyawanya se
Brak!"Kiana!" teriak Leon.Kiana melirik tajam. Ia sangat menunjukkan rasa tidak sukanya pada Leon yang masuk ke dalam kamar pribadinya saat Kiana baru saja merebahkan tubuhnya."Apa kau tidak memiliki sopan santun?" Kiana membalas bentakan Leon dengan kalimat pertanyaan yang tidak kalah sadis."Aku dengar kalau membunuh Zaila dan Rai, bahkan kau memberikan kelingking Rai sebagai bukti. Kiana, apa kau sudah gila?" bentak Rai.Kiana menyibakkan selimut yang baru saja menutupi tubuhnya. Kiana ingin istirahat sejenak untuk memulihkan diri dari beberapa darah yang keluar dari luka barunya."Apa yang terjadi padamu? Kenapa kau kesulitan berdiri?" tanya Leon. Ia langsung mendekati Kiana untuk mengecek kondisinya.Kiana menepis tangan Leon. "Singkirkan tanganmu itu!" ujar Kiana."Aku memang tidak bisa memaksamu untuk bercerita, tapi aku yakin kalau kau bertarung hebat dengan Rai sebelum berhasil membunuh Zaila dan Rai. Kenapa kau membunuhnya?" tanya Leon lirih.Leon duduk di atas ranjang Ki
Tubuh Delice seperti menggigil kedinginan. Aura yang terpancar dari orang bertopi yang menyerangnya seperti tidak asing. Orang tersebut bahkan hanya diam dan tidak menyerang Delice lagi setelah Celine meninggalkannya."Kenapa tidak menyerang lagi? Kenapa hanya mematung, hah?" tantang Delice."Kenapa aku harus menyerang saat aku tidak ingin?" balas Kiana.Suara Kiana memang tidak asing bagi Delice. Sejenak, ingatan Kiana mulai merasukinya. Namun, Kiana menahan rasa sakit yang saat ini menyerangnya.Sret!Delice membuka paksa topi yang menutupi wajah Kiana. Rambut Kiana yang tertutup oleh topi juga menjadi tergerai karena penyangga hilang.Delice seperti diberikan kejutan yang tidak bisa ia bayangkan. Kiana, putri tercinta yang sedang ia cari ternyata berada di depan matanya."Kiana!" pekik Delice.Delice tidak ingat kalau beberapa menit yang lalu Kiana melukainya dengan luka yang cukup dalam. Meski luka tersebut bukan apa-apa bagi Delice, tapi tentu saja lukanya terasa berbeda karena p