Siapa lagi yang memiliki sikap konyol kalau bukan Loid Muchen. Ia bahkan bisa membuat orang tercengang disaat suasa tergenting sekalipun.
"Hei, cepat! Rasanya aku ingin menghajarmu saja!" teriak Sam."Astaga! Memintanya untuk bertindak ternyata sangatlah sulit," gumam Ken. Loid seperti mengabaikan semua ocehan rekannya terhadap dirinya. Ia terdiam beberapa saat sembari menatap Kiana yang sedang meronta.Buagh!"Akh!" pekik Ken.Kiana memiliki tubuh yang lentur. Ia meluruskan salah satu kakinya untuk menghantam kepala Ken.
Buagh!
Kedua siku Kiana bekerja. Ia menghantam Sam dan Ken tanpa henti. Gerakannya membabi buta, akan tetapi terarah.
Buagh!
"Akh! Kenapa aku juga?" pekik Loid yang mendapatkan tendangan tepat di ulu hatinya.
&
Zeki mencari Kiana. Ia ingin menunjukkan kualitas dirinya. Dalam suatu kekurangan yang ada padanya, ia ingin menujukkan suatu kelebihan bahwa ia sanggup, ia mampu, ia bisa menjaga Kiana sebaik mungkin. Bahkan melebihi apa yang mereka semua pikirkan. Namun, tekadnya terhenti ketika di depan matanya, Kiana dalam dekapan pria lain. Mulut Zeki hanya bisa bungkam, diam dan matanya menatap sangat dalam. Hatinya yang bergelora, bertanya-tanya. Bagaimana Kiana bisa sadar dalam dekapan pria asing? Bagaimana ada sebuah kebetulan seorang pria buta bertemu dengan Kiana. Namun, pertanyaan itu hanya tersimpan di dalam benaknya.“Kita bertemu lagi dalam situasi yang sama,” ujarnya.“Namamu Rael, bukan? Bisakah kay berikan Kiana padaku?” pinta Zeki.&ldqu
Di dalam sebuah gedung kontruksi, dua orang penting tengah berkumpul. Beberapa pria yang memakai seragam bodyguard, berbaris melingkar dan menghadap ke belakang. Membelakangi dua pria yang sedang bicara serius. Para bodyguard juga siap menutup telinga mereka. Berpura-pura untuk tidak mendengar apa-apa.“Bukankah Anda sangat keterlaluan, Tuan?” ujar Jordan.“Siapa yang kau maksud keterlaluan? Aku?” tanya Tuan Don sembari menunjuk diri sendiri.“Siapa lagi kalau bukan Anda?” ujar Jordan.“Mulutmu semakin hari semakin pedas, Jordan. Katakan. Katakan apa yang membuatmu berpikir kalau aku sudah keterlaluan!” Suara yang tegas itu, menanamkan suatu keteguhan hati. Tuan Don yang memalingkan pandangannya dan Jordan ya
Ketika Rael hendak keluar dari pintu keluar mansion miliknya, seorang pria tengah menunggunya. Pria tersebut berdarah, tapi bukan darah miliknya. Di bawah kakinya, berpijak pada beberapa tubuh orang yang sudah ia kalahkan."Paman!" pekik Rael pada Delice yang sedang menghisap cerutu."Apa kau sibuk?" tanya Delice. "Indramu makin tajam rupanya sampai kau tahu kalau itu aku," kata Delice."Aku bisa tahu dari bau parfume yang Paman pakai," kata Rael."Rael, mari kita bicara. Di sini sudah aman karena aku sudah mematikan semua sistem." Rael tidak menjawab. Ia hanya mengikuti Delice yang sudah masuk ke dalam mansionnya. Mansion besar yang kosong dan terasa sepi."Kau masih saja betah tinggal ditempat yang mengekangmu seperti ini," ujar Delice."Apa boleh buat? Aku harus terlihat lemah untuk menarik kualitas diri yang kuat," jawab Rael."Astaga! Bisa gila aku kalau memikirkannya." &
"Rai, lusa kita akan kembali ke London. Ayah meminta kita untuk pulang," ujar Zaila."Kak, sebelumnya…" Rai terdiam. Ia nampak tengah berpikir serius. "Ayah tidak mengizinkan kita kembali sebelum kita mendapatkan apa yang sedang kita cari. Menurutmu, Kak. Apa yang membuat Ayah sampai memanggil kita?" tanya Rai."Entahlah!" jawab Zaila. Zaila yang terbiasa menanggapi suatu dengan santai, kini ia terlihat tegang. Zaila dan Rai adalah saudara kandung. Hanya saja, Ayah dan Ibunya memiliki nama belakang yang berpengaruh sehingga nama belakang mereka tidak sama. Zaila Ge voisaihe, Rai Exjenkyle, Meysha Exjen Vosaihe. Mereka adalah tiga bersaudara kandung yang dibesarkan dalam keluarga yang memiliki pengaruh yang sangat besar."Rai, kita bersiap saja," ucap Zaila. "Apapun yang Ayah katakan, kita harus persiapkan telinga," lanjutnya."Bagaimana kalau Ayah tahu tentang kedekatanm
Malam ini, tepat pukul delapan malam. Kiana tidak dapat mengelak dari Ken. Mereka memiliki urusan pekerjaan. Sebuah pesta yang bisa memberikan petunjuk dengan apa yang harus Kiana lakukan dihari yang akan datang. Kiana mengenakan gaun merah. Kulitnya yang putih membuat gaun itu bercahaya ketika melekat ditubuhnya. Seharusnya, Kiana pergi bersama Delice. Namun, Ken menjadi perwakilan karena tidak memungkinkan bagi Delice untuk menunjukkan diri dihadapan musuh yang akan melumatkannya."Kiana, apa kau sudah siap?" tanya Ken sembari mengetuk pintu kamar Kiana.'Sejujurnya, aku masih kesal, tapi aku harus profesional,' batin Kiana. Kiana membuka pintu. Ia sudah sangat siap dengan wajahnya yang tampak seperti Naura ketika masih muda."Daddy, aku sudah siap," ujar Kiana."Pakai ini!" Ken memakaikan sebuah topeng yang senada dengan gaun yang Kiana kenakan. "Daddy tidak ingin wajahmu menja
Sejak simpang siur informasi tentang Meysha mulai menyebar, dimulai dari latar belakang Meysha dan yang lainnya, Kiana duduk diam sembari memikirkan banyak hal. Sahabat? Sahabat yang seperti apa yang tidak tahu menahu tentang identitas Meysha? Pikir Kiana. Kiana merasa sangat buruk saat ini. Kiana membayangkan, bagaimana ia bisa mengenal Meysha. Menganggapnya menjadi seorang sahabat tanpa tahu siapa dirinya. Mungkin karena Kiana tidak peduli dengan siapa Meysha dibalik kelembutannya. Ia hanya ingin Meysha tersenyum sebagai penyejuk hatinya.Hosh ... Hosh ... Hosh ... Napas Kiana terengah-engah. Ia kabur dari kejaran musuh Tuan Dogam yang sudah memungutnya dari jalanan. Kala itu, K
Tok ... Tok ... Tok ... "Kiana, kata Renza, kau mencari Daddy?" Kiana menghela napasnya. Ia bahkan tidak tahu kalau Renza sengaja memanggil Ken untuk ke kamarnya. Kiana terpaksa membuka pintu kamarnya. Meski pintu itu bisa saja dibuka langsung oleh Ken, namun Ken memilih untuk menunggu Kiana menyambutnya. "Sepertinya otak Renza sedang berkelana. Daddy kembali saja," ucap Kiana enggan. "Nih!" Ken memberikan sebuah kertas yang sudah memiliki beberapa coretan di dalamnya. "Apa ini?" tanya Kiana. "Informasi tentang pria yang menemuiku semalam." "Daddy, masuklah!" pinta Kiana. Ada meja kerja di dalam kamar Kiana. Ia menyalakan laptop dan duduk sembari memeriksa informasi yang baru saja Ken berikan padanya. "Apa yang terjadi pada malam itu antara Daddy dan Olin, bukanlah sebuah kesalahan. Kami melakukan
Jin Moures sudah tiba di rumahnya setelah ia bercengkrama sedikit dengan Son. Di ruang utama yang ia lewati, seorang pria paruh baya yang mengenakan kemeja putih sedang menunggunya. Pria tampan yang dewasa. "Bagaimana?" "Ayah, Son belum membutuhkan bantuan kita," ucap Jin. "Negara mana yang harus kita kunjungi? Itali, Jepang, Rusia atau New York?" Siapa lagi pria itu kalau bukan Serchan Moures. Bangsawan di Inggris. Hubungan persahabatn antara Serchan dengan Naura, membuat Serchan tidak sampai hati membiarkan permasalahan tentang HG Group melebar sampai ke setiap sudut dunia. "Hm... Kita tidak akan pergi. Kita akan di sini karena..." Jin terdiam. "Bicara terus terang. Aku lelah," ucap Serchan. "Karena kita harus berurusan dengan keluarga Exjen Vosaihe!" Serchan mendelik. "Exjen Vosaihe? Kenapa?" tanya Serchan. "Karena