'Aish! Kenapa sih wanita itu harus berjalan di belakang Tuan Rasyad?'Dareen mengomel dalam hati saat sang koki yang baru masuk tetap mematung di tempatnya.Setelah Rasyad mulai melangkah, barulah wanita itu ikut berjalan. Menyembunyikan sosoknya dari pandangan Dareen dengan berlindung di balik punggung Rasyad.'Ah, mungkin dia malu bertemu denganku. Tuan Rasyad pasti telah memberitahu siapa yang ingin bertemu dengannya.'Membayangkan kekagetan Arisha dan wajahnya yang bersemu merah, Dareen tersenyum tanpa sadar."Tuan Hart, orang yang Anda tunggu telah tiba." Rasyad bergeser ke samping.Seketika sosok koki yang bersembunyi di belakangnya terlihat dengan jelas.Dareen terbelalak. Senyum di wajahnya sirna."Dia—" Dareen tak bisa melanjutkan kata saking kagetnya saat bertemu langsung dengan koki yang didatangkan oleh Rasyad.Rasyad terkekeh pelan. "Anda bukan orang pertama yang terkesima dengan penampilan Shinta.""Shi-Shinta?""Iya. Shinta memang cantik dan menarik. Selama ini Shinta m
"Apa? Serius istrimu di penjara?" "Sst! Pelankan suaramu, Hanna! Kau sengaja untuk mempermalukan aku?" Alfian mendelik tajam. Ia merasa risi saat belasan pasang mata dari pengunjung kafe yang berada di sekitar meja mereka menoleh dan menatap dengan kening berkerut. "Sorry, sorry! Aku kaget. Kok bisa?" Hanna memelankan suaranya. "Wanita gila itu memang keterlaluan. Bisa-bisanya dia menyerang Arisha di tempat umum." Alfian mendesah lesu. "Susah payah aku berjuang untuk menjebak Arisha setelah dia terusir dari rumah itu, tapi gagal. Giliran ketemu, nggak tahunya di kantor polisi. A—" "Sebentar! Maksudmu, Arisha benaran sudah diusir?" Alfian mengangguk. "Wow! Berarti rencana kita berhasil dong! Wanita tua itu benar-benar bodoh! Mudah sekali ditipu! Hanya dengan modal tampang melas dan dua lembar foto, dia percaya dengan semua yang kita katakan." Hanna mengangkat cangkir kopinya dan mengajak Alfian tos. "Ayo kita rayakan!" Alfian menatap cangkir di tangan Hanna tanpa semangat. "Ap
"Nggak mau! Nggak mau!" Silla geleng-geleng kepala, kemudian menutup mulutnya dengan dua tangan."Sayang, Silla harus makan. Ayo, buka mulutnya!" bujuk Dareen, menyodorkan sesendok bubur ayam, tepat di depan mulut Silla. "Katanya mau ikut daddy cari Kak Sha. Ya, kan?"Silla mengangguk. Netra birunya seketika mengembun."Kalau begitu, Silla harus makan biar cepat sehat. Kalau Silla terus berbaring di sini, dokter tidak akan mengizinkan Silla untuk pulang.Hening sejenak. Silla terpana menatap Dareen. Perlahan ia menurunkan tangan yang menutup mulut."Silla mau ikut daddy nyari Kak Sha ….""Makanya … sekarang makan, ya?"Silla mengangguk, lalu mengangakan mulutnya walau enggan.Berdiri di ambang pintu dengan jemari yang masih menggenggam gagangnya, Nyonya Hart menyeka kristal bening di sudut matanya dengan jari.Hatinya terenyuh menyaksikan betapa keras usaha Dareen untuk merayu Silla agar mau makan.Yang lebih menyentuh hati, Nyonya Hart mendengar langsung betapa kuat keinginan Silla u
Tuk! Tuk! Entakan hak sepatu bergema memenuhi ruangan kafe yang terlihat lengang. Dua orang pria, yang sedang duduk menunggu di sebuah meja, segera berdiri, membungkuk hormat. "Kami siap menjalankan tugas, Nyonya!" "Hm!" Nyonya Hart duduk di hadapan mereka. "Silakan duduk!" "Terima kasih, Nyonya!" Dua pria itu kembali duduk, diam menunggu perintah. Nyonya Hart mengutak-atik ponselnya. Tidak lama kemudian, ponsel kedua pria itu berdenting. Serentak keduanya membuka galeri. "Aku mau kalian temukan gadis dalam foto itu secepatnya!" Dua pria itu saling lirik sejenak, lalu kompak mengangguk dan menjawab dalam satu suara. "Siap, Nyonya!" "Siap, Nyonya!" Bunyi notifikasi lainnya menyusul bersuara. Kening kedua pria itu mengerut, menyadari mereka menerima dua foto tambahan yang berbeda. "Pantau gerak-gerik mereka! Mungkin mereka akan mengantar kalian untuk menemukan gadis itu!" "Siap, Nyonya!" "Siap, Nyonya!" "Jika mereka membahayakan gadis itu, kalian tahu apa yang harus dilak
"Arisha!" Koki di sisi kiri Arisha spontan menahan pinggang Arisha saat gadis itu nyaris terjengkang. Sialnya, karena kaget dan terburu-buru, wajan milik koki tersebut tidak terletak pada tempat yang semestinya. Akibatnya, wajan itu pun jatuh dan menimpa betis laki-laki itu. "Akh!" Lelaki itu meringis. Namun, ia tak melepaskan belitan lengannya pada pinggang Arisha. Seketika suasana gaduh dan panik. "Tenang! Dua orang, bantu Chef Julian dan Arisha! Yang lain teruskan pekerjaan masing-masing!" seru Chef Danu. Ia baru saja kembali masuk ke dapur dan dikagetkan dengan pemandangan terjadinya insiden tersebut. "Kau baik-baik saja?" tanya Chef Danu pada Arisha, setelah dua koki lain membantu mengangkat Chef Julian dan mendudukkannya di atas sebuah kursi. Sementara kedua orang itu mengoyak celana Chef Julian, Chef Danu memperhatikan lantai. "Kenapa bisa ada tumpahan minyak di lantai?" Suaranya menggelegar dalam nada marah. "Aku akan mengusut kejadian ini. Siapa pun pelakunya akan me
Arisha berusaha menyikut seseorang yang membekapnya. Setitik bulir bening menetes di pipinya. Memikirkan kenapa hidupnya selalu berada dalam masalah. "Sst! Ini aku! Rasyad!" bisik lelaki yang di belakangnya. Seketika membuat Arisha berhenti memberontak dan merasa lega. Sementara Dareen masih sibuk mencari keberadaan Arisha, hingga langkah kakinya terdengar mendekat ke tempat persembunyian Arisha Jantung Arisha berdebar kencang. Bahkan, Rasyad pun dapat mendengarnya. Rasyad menyilangkan jari telunjuk di bibir tanpa suara. Ia melepaskan Arisha dan mengode wanita itu agar tetap bersembunyi di tempatnya. Arisha mengangguk, merapatkan punggung ke dinding. Tak lama kemudian, terdengar suara air mengalir. Arisha baru menyadari bahwa mereka bersembunyi di dalam toilet. Brak! Brak! Terdengar suara pintu toilet didorong dengan kasar satu per satu, hingga akhirnya tiba di tempat Arisha bersembunyi. Rasyad menoleh ke belakang dengan gerakan seolah-olah tangannya sedang terburu-buru menga
Semilir angin sore bertiup sepoi. Menghadirkan rasa sejuk yang menenangkan batin. Arisha berjalan menyusuri taman kota dengan langkah pelan. Di sampingnya, Rasyad berulang kali meliriknya tanpa ia sadari. Sesekali pria itu ikut tersenyum kala bibirnya merekah, menyaksikan keindahan taman dan lucunya tingkah polah burung-burung yang sedang bercanda atau berebut makanan dari pengunjung. "Enak sekali hidup mereka. Nggak ada beban dan bebas berkelana ke mana aja," ujar Arisha, seakan berbicara pada diri sendiri. Tatapannya tertuju pada sekumpulan burung yang sedang menikmati remah roti dari kemurahan hati para pengunjung taman. "Terkadang, apa yang orang lain rasakan, tak persis sama dengan apa yang kita lihat," timpal Rasyad, juga melabuhkan pandangan pada burung-burung yang kelaparan itu. "Setiap orang punya kisah hidup yang mereka simpan untuk diri sendiri. Tak sedikit dari mereka yang pandai menutupi luka dan pahitnya kehidupan dengan bersembunyi di balik topeng senyum kepalsuan."
"Kalian salah paham. Aku bukan wanita seperti itu." Arisha mencoba meluruskan pola pikir rekan kerjanya yang keliru. "Alah! Mana mungkin kamu mau mengakui sesuatu yang memalukan seperti itu." "Benar! Selama ini Pak Bos tidak pernah menerima koki baru tanpa melalui serangkaian tes. Kamu sendiri yang masuk ke sini lewat jalur ekspres." Arisha tersenyum kecut. Percuma ia membela diri mati-matian. Semua itu tidak akan ada gunanya. Golongan pembenci yang hatinya telah dikuasai oleh sifat iri dan dengki, tidak akan pernah mampu melihat kebenaran. Mereka hanya percaya dengan apa yang mereka yakini. "Terserah kalian saja. Yang jelas, aku bukan wanita seperti itu." Arisha menjauh dari loker. Seseorang dengan sengaja menjegal kakinya, hingga Arisha nyaris tersungkur. Beruntung Rasyad tiba tepat waktu. Lelaki itu sigap menangkap tubuh Arisha. "Maaf!" Cepat-cepat Arisha melepaskan diri dari dekapan Rasyad. Pemandangan itu membuat karyawan, yang masih berada di ruangan tersebut, saling le