"Apa? Serius istrimu di penjara?" "Sst! Pelankan suaramu, Hanna! Kau sengaja untuk mempermalukan aku?" Alfian mendelik tajam. Ia merasa risi saat belasan pasang mata dari pengunjung kafe yang berada di sekitar meja mereka menoleh dan menatap dengan kening berkerut. "Sorry, sorry! Aku kaget. Kok bisa?" Hanna memelankan suaranya. "Wanita gila itu memang keterlaluan. Bisa-bisanya dia menyerang Arisha di tempat umum." Alfian mendesah lesu. "Susah payah aku berjuang untuk menjebak Arisha setelah dia terusir dari rumah itu, tapi gagal. Giliran ketemu, nggak tahunya di kantor polisi. A—" "Sebentar! Maksudmu, Arisha benaran sudah diusir?" Alfian mengangguk. "Wow! Berarti rencana kita berhasil dong! Wanita tua itu benar-benar bodoh! Mudah sekali ditipu! Hanya dengan modal tampang melas dan dua lembar foto, dia percaya dengan semua yang kita katakan." Hanna mengangkat cangkir kopinya dan mengajak Alfian tos. "Ayo kita rayakan!" Alfian menatap cangkir di tangan Hanna tanpa semangat. "Ap
"Nggak mau! Nggak mau!" Silla geleng-geleng kepala, kemudian menutup mulutnya dengan dua tangan."Sayang, Silla harus makan. Ayo, buka mulutnya!" bujuk Dareen, menyodorkan sesendok bubur ayam, tepat di depan mulut Silla. "Katanya mau ikut daddy cari Kak Sha. Ya, kan?"Silla mengangguk. Netra birunya seketika mengembun."Kalau begitu, Silla harus makan biar cepat sehat. Kalau Silla terus berbaring di sini, dokter tidak akan mengizinkan Silla untuk pulang.Hening sejenak. Silla terpana menatap Dareen. Perlahan ia menurunkan tangan yang menutup mulut."Silla mau ikut daddy nyari Kak Sha ….""Makanya … sekarang makan, ya?"Silla mengangguk, lalu mengangakan mulutnya walau enggan.Berdiri di ambang pintu dengan jemari yang masih menggenggam gagangnya, Nyonya Hart menyeka kristal bening di sudut matanya dengan jari.Hatinya terenyuh menyaksikan betapa keras usaha Dareen untuk merayu Silla agar mau makan.Yang lebih menyentuh hati, Nyonya Hart mendengar langsung betapa kuat keinginan Silla u
Tuk! Tuk! Entakan hak sepatu bergema memenuhi ruangan kafe yang terlihat lengang. Dua orang pria, yang sedang duduk menunggu di sebuah meja, segera berdiri, membungkuk hormat. "Kami siap menjalankan tugas, Nyonya!" "Hm!" Nyonya Hart duduk di hadapan mereka. "Silakan duduk!" "Terima kasih, Nyonya!" Dua pria itu kembali duduk, diam menunggu perintah. Nyonya Hart mengutak-atik ponselnya. Tidak lama kemudian, ponsel kedua pria itu berdenting. Serentak keduanya membuka galeri. "Aku mau kalian temukan gadis dalam foto itu secepatnya!" Dua pria itu saling lirik sejenak, lalu kompak mengangguk dan menjawab dalam satu suara. "Siap, Nyonya!" "Siap, Nyonya!" Bunyi notifikasi lainnya menyusul bersuara. Kening kedua pria itu mengerut, menyadari mereka menerima dua foto tambahan yang berbeda. "Pantau gerak-gerik mereka! Mungkin mereka akan mengantar kalian untuk menemukan gadis itu!" "Siap, Nyonya!" "Siap, Nyonya!" "Jika mereka membahayakan gadis itu, kalian tahu apa yang harus dilak
"Arisha!" Koki di sisi kiri Arisha spontan menahan pinggang Arisha saat gadis itu nyaris terjengkang. Sialnya, karena kaget dan terburu-buru, wajan milik koki tersebut tidak terletak pada tempat yang semestinya. Akibatnya, wajan itu pun jatuh dan menimpa betis laki-laki itu. "Akh!" Lelaki itu meringis. Namun, ia tak melepaskan belitan lengannya pada pinggang Arisha. Seketika suasana gaduh dan panik. "Tenang! Dua orang, bantu Chef Julian dan Arisha! Yang lain teruskan pekerjaan masing-masing!" seru Chef Danu. Ia baru saja kembali masuk ke dapur dan dikagetkan dengan pemandangan terjadinya insiden tersebut. "Kau baik-baik saja?" tanya Chef Danu pada Arisha, setelah dua koki lain membantu mengangkat Chef Julian dan mendudukkannya di atas sebuah kursi. Sementara kedua orang itu mengoyak celana Chef Julian, Chef Danu memperhatikan lantai. "Kenapa bisa ada tumpahan minyak di lantai?" Suaranya menggelegar dalam nada marah. "Aku akan mengusut kejadian ini. Siapa pun pelakunya akan me
Arisha berusaha menyikut seseorang yang membekapnya. Setitik bulir bening menetes di pipinya. Memikirkan kenapa hidupnya selalu berada dalam masalah. "Sst! Ini aku! Rasyad!" bisik lelaki yang di belakangnya. Seketika membuat Arisha berhenti memberontak dan merasa lega. Sementara Dareen masih sibuk mencari keberadaan Arisha, hingga langkah kakinya terdengar mendekat ke tempat persembunyian Arisha Jantung Arisha berdebar kencang. Bahkan, Rasyad pun dapat mendengarnya. Rasyad menyilangkan jari telunjuk di bibir tanpa suara. Ia melepaskan Arisha dan mengode wanita itu agar tetap bersembunyi di tempatnya. Arisha mengangguk, merapatkan punggung ke dinding. Tak lama kemudian, terdengar suara air mengalir. Arisha baru menyadari bahwa mereka bersembunyi di dalam toilet. Brak! Brak! Terdengar suara pintu toilet didorong dengan kasar satu per satu, hingga akhirnya tiba di tempat Arisha bersembunyi. Rasyad menoleh ke belakang dengan gerakan seolah-olah tangannya sedang terburu-buru menga
Semilir angin sore bertiup sepoi. Menghadirkan rasa sejuk yang menenangkan batin. Arisha berjalan menyusuri taman kota dengan langkah pelan. Di sampingnya, Rasyad berulang kali meliriknya tanpa ia sadari. Sesekali pria itu ikut tersenyum kala bibirnya merekah, menyaksikan keindahan taman dan lucunya tingkah polah burung-burung yang sedang bercanda atau berebut makanan dari pengunjung. "Enak sekali hidup mereka. Nggak ada beban dan bebas berkelana ke mana aja," ujar Arisha, seakan berbicara pada diri sendiri. Tatapannya tertuju pada sekumpulan burung yang sedang menikmati remah roti dari kemurahan hati para pengunjung taman. "Terkadang, apa yang orang lain rasakan, tak persis sama dengan apa yang kita lihat," timpal Rasyad, juga melabuhkan pandangan pada burung-burung yang kelaparan itu. "Setiap orang punya kisah hidup yang mereka simpan untuk diri sendiri. Tak sedikit dari mereka yang pandai menutupi luka dan pahitnya kehidupan dengan bersembunyi di balik topeng senyum kepalsuan."
"Kalian salah paham. Aku bukan wanita seperti itu." Arisha mencoba meluruskan pola pikir rekan kerjanya yang keliru. "Alah! Mana mungkin kamu mau mengakui sesuatu yang memalukan seperti itu." "Benar! Selama ini Pak Bos tidak pernah menerima koki baru tanpa melalui serangkaian tes. Kamu sendiri yang masuk ke sini lewat jalur ekspres." Arisha tersenyum kecut. Percuma ia membela diri mati-matian. Semua itu tidak akan ada gunanya. Golongan pembenci yang hatinya telah dikuasai oleh sifat iri dan dengki, tidak akan pernah mampu melihat kebenaran. Mereka hanya percaya dengan apa yang mereka yakini. "Terserah kalian saja. Yang jelas, aku bukan wanita seperti itu." Arisha menjauh dari loker. Seseorang dengan sengaja menjegal kakinya, hingga Arisha nyaris tersungkur. Beruntung Rasyad tiba tepat waktu. Lelaki itu sigap menangkap tubuh Arisha. "Maaf!" Cepat-cepat Arisha melepaskan diri dari dekapan Rasyad. Pemandangan itu membuat karyawan, yang masih berada di ruangan tersebut, saling le
"Arisha! Dipanggil Chef Danu!" seru seorang rekan kerja Arisha. "Sebentar! Tanggung nih." Arisha sedang menyiapkan menu pesanan pelanggan. "Sini! Biar aku yang teruskan. Chef Danu tidak suka menunggu." Lelaki itu mengambil alih wajan di tangan Arisha. "Terima kasih!" Arisha melepaskan celemek yang dikenakannya. Ia senang masih ada koki yang tidak ikut-ikutan membencinya. Ia pun meninggalkan dapur dengan bibir menyunggingkan senyum. Di antara berjuta hal buruk yang menabur duka, tetap ada satu hal baik yang patut untuk disyukuri. "Anda memanggil saya, Chef?" tanya Arisha, setelah Chef Danu mengizinkannya untuk masuk ke ruangannya. "Silakan duduk, Arisha!" Chef Danu menunjuk sofa mini di sudut ruangannya, lalu menyusul Arisha. "Kau tahu kenapa kupanggil kemari?" Arisha menggeleng. Mukanya sedikit tegang. "Santai saja! Aku tidak akan menghukummu! Justru aku akan memberikan penawaran yang menguntungkan," seloroh Chef Danu, berusaha mengusir ketegangan Arisha. "Penawaran?" Arish
"Sayang, kamu kembali? Aku mencemaskanmu." Dareen melesat menyongsong Arisha begitu mendengar derit pintu dibuka. "Jangan menyentuhku!" Arisha menepis tangan Dareen yang ingin memeluknya. "Ya Allah, Sayang … aku sudah mandi lho …." Arisha mendelik. "Mandi sana! Atau kamu tidur di sofa!" Dareen garuk-garuk kepala. Wanita kalau cemburu, semua jadi salah. "Ini sudah malam banget, Sayang. Nanti kalau aku masuk angin, bagaimana?" Arisha menulikan telinga. Ia naik ke atas kasur, lalu bersandar di kepala ranjang sambil bersedekap tangan. Tatapan tajamnya menembus manik kelabu milik Dareen. Dareen merasa semakin serba salah. "Serius … aku harus mandi lagi nih?" "Terserah. Aku nggak maksa." Dareen tersenyum lebar. Mudah sekali membujuk Arisha. "Terima kasih, Sayang!" "Tidur di sofa!" Arisha melempar bantal. Senyum Dareen lenyap. Terlalu cepat ia melakukan selebrasi. Ah, ternyata dia salah memahami makna kata terserah yang terucap dari bibir Arisha. "Ya, ya. Aku mandi lagi." Dareen
"Heh, siapa yang menggoda suamimu? Della? Tidak mungkin. Dia bukan wanita murahan dan bodoh seperti kamu!"Ratih tak terima putri semata wayangnya dianggap sebagai wanita penggoda."Oh ya? Terus apa namanya kalau perempuan masuk ke kamar orang lain dan memeluk laki-laki yang bukan suaminya? Perempuan terhormat tidak akan menyerahkan diri pada laki-laki yang baru dikenal, Tante." Arisha menyeringai sinis. "Dia bahkan dengan tak tahu malu memanggil suamiku sayang. Apa begini hasil didikan, Tante?"Ratih mengeritkan gigi. Kesal lantaran Arisha kini berani melawan kata-katanya."Setelah meninggalkan hotel ini besok, Tante, terutama putri kesayangan Tante ini, jangan pernah muncul lagi di hadapanku!""Sombong kamu sekarang ya! Kamu lupa siapa yang merawat dan membesarkanmu selama ini? Kalau bukan karena tante yang menampungmu, kamu sudah jadi gembel di jalanan."Arisha mencebik. "Tentu aku tidak pernah lupa, Tante. A—""Bagus kalau kamu sadar. Pikirkan juga bagaimana caranya kamu membalas
"K–kamu mengusir kami? Keluarga istri kamu sendiri?"Kenyataan yang terjadi tak semanis impian Ratih. Sungguh ia tak percaya Dareen akan mengusir dirinya dan Della."Saya rasa apa yang saya katakan sangat jelas. Ayo!" Dareen bangkit dan mulai mengayun langkah menuju pintu."Ma, bagaimana ini? Masa kita balik lagi ke kampung?" rengek Della, berbisik resah di telinga Ratih."Sudah. Ikuti saja dulu! Rencana selanjutnya bisa kita pikirkan nanti."Meski enggan, Ratih dan Della tak punya pilihan selain mengikuti Dareen ke hotel."Wah, Ma … akhirnya kita bisa merasakan tidur di hotel." Della tersenyum semringah, duduk mengempas-empaskan pantatnya pada permukaan kasur."Iya, tapi cuma malam ini," keluh Ratih dengan muka ditekuk masam. "Pasti anak pembawa sial itu menjelek-jelekkan kita di hadapan suaminya. Kalau tidak, mana mungkin suaminya itu mengusir kita. Argh, padahal mama sudah membayangkan hidup enak jadi nyonya besar."Ratih menjatuhkan bobot tubuhnya ke atas kasur. "Eh, benaran empuk
Dua minggu kemudian, Arisha baru saja selesai dirias."Waah, Non Arisha cantik banget," puji Bi Minah dengan pupil yang membesar. "Tuan bakal makin klepek-klepek ini mah.""Apaan sih, Bi. Nggak jelas banget." Pipi Arisha merona merah jambu."Ho oh, Mommy. Mommy kayak princess. Sumpah!" Silla ikut mengacungkan dua jempol."Apakah pengantin wanita sudah siap keluar?" Seorang wanita masuk ke ruangan itu. "Acara akan segera dimulai.""Siap! Siap! Aman!" sahut sang penata rias.Arisha melangkah pelan dengan kepala tertunduk malu ketika MC memanggil dirinya dan Dareen untuk keluar dan naik ke pelaminan."Angkat kepalamu! Saatnya kamu bangga dengan diri sendiri," bisik Dareen, menghadirkan rasa geli di telinga Arisha. "Kamu wanita hebatku. I love you!"Tiga kata terakhir dari Dareen mampu memantik rasa percaya diri Arisha yang sempat tenggelam dilindas hinaan dan cacian oleh orang-orang di sekitarnya.Senyum lebar merekah di bibir Dareen. Menyaksikan Arisha mulai menerima diri sendiri sunggu
"Sayang, Silla anak yang kuat. Silla akan sembuh." "Tapi … Mommy kok nangis? Semua orang juga pada nangis. Silla takut mati, Mommy." Arisha memeluk Silla dengan sebelah tangannya yang bisa bergerak bebas. "Cup, cup. Silla salah paham, Sayang. Mommy … dan semua yang ada di sini nangis, itu … karena terharu Silla akhirnya sadar dan akan segera sembuh." "Benarkah?" Silla memandangi wajah orang yang mengelilinginya satu per satu. Mereka kompak mengangguk tanpa sanggup mengucapkan kata-kata. Arisha mengambil gelang di tangan Dareen. "Lihat! Mommy punya dua gelang. Satu untuk mommy, satu untuk Silla. Silla mau?" "Mau, mau!" Silla menjawab antusias, lupa akan kesedihannya barusan. Sejenak Arisha memilah gelang mana yang akan diberikannya pada Silla. Akhirnya, ia memakaikan gelang bernama Arisha Ayuningtyas kepada Silla. "Di balik gelang ini, terukir nama mommy. Nanti, walaupun Silla nggak bisa melihat mommy karena terhalang jarak dan waktu, percayalah … mommy selalu ada di dekat Sil
"Silla takut." Silla menarik tangan Dareen. Sementara matanya tertuju pada Bian. "Lho, kenapa takut, Sayang? Om itu bukan orang jahat kok. Justru Om itu telah mendonorkan darahnya untuk menyelamatkan Silla." Dareen mengelus lembut punggung jangan Silla. "Benarkah?" "Iya. Om itu saudara mommy." Silla kembali tenang dan memberanikan diri untuk membalas senyum Bian. "T–terima kasih, Om," ujar Silla, sedikit gugup. "Iya. Anak manis. Cepat sembuh ya …." Bola mata Bian terus bergerak memindai wajah Silla dan Arisha. Otaknya berpikir keras. Tidak mungkin ada begitu banyak kebetulan tentang kemiripan Silla dan Arisha. "Tuan Hart, bisakah kita bicara empat mata?" "Tentu. Mari kita ngobrol sambil minum kopi, tapi … tunggu sampai omaku tiba di sini. Tidak mungkin kita meninggalkan mereka berdua, bukan?" "Oh. Oke." Sepuluh menit berselang, Nyonya Hart datang dengan langkah tergesa-gesa. "Silla, Sayang. Oma senang kamu akhirnya sadar. Terima kasih. Kamu anak yang kuat!" Nyonya Hart men
"Kamu masih marah? Maaf, aku tidak bermaksud untuk membohongimu. Aku … hanya belum menemukan waktu yang pas untuk menceritakan semuanya." Dada Dareen terasa sesak mendapat perlakuan tak acuh dari Arisha. Semenjak kejadian di dekat ruang ICU, Arisha masih melakukan aksi tutup mulut dengannya. Sekarang saja Arisha berbaring sambil membuang muka. Gadis itu bahkan menjauhkan tangannya saat merasakan jemari Dareen menyentuh kulitnya. "Arisha, kamu boleh memakiku, tapi tolong … jangan mendiamkanku. Aku akui aku salah karena tidak jujur sejak awal." Arisha mengerti Dareen tentu memiliki alasan untuk menyimpan jati diri Silla dari dirinya. Hanya saja, ia tetap merasa kecewa. "Kalau kamu tidak bisa memercayaiku, tidak ada alasan untuk mempertahankan pernikahan ini." Akhirnya Arisha mau juga bicara. Kepercayaan terhadap pasangan merupakan salah satu pilar utama bagi kokohnya mahligai rumah tangga, selain kejujuran, saling menyayangi, dan menjaga komunikasi. "Arisha, aku belum memberitah
"James, kumpulkan karyawan yang sehat dan biasa mendonorkan darah! Silla butuh darah cepat." "Siap, Bro. Golongan darah apa?" "B negatif." "Kok bisa sama ya?" celetuk James dengan kening mengerut. "Apanya yang sama?" "Itu … golongan darah Silla. Kok sama dengan Arisha. Kebetulan yang aneh." Dareen termangu. Kenapa dia bisa lupa bahwa Arisha juga memiliki golongan darah B negatif. "Jangan ngaco! Walaupun golongan darah mereka sama, aku tidak mungkin meminta Arisha untuk mendonorkan darahnya. Dia bahkan masih dirawat." "Siapa yang butuh darah Arisha?" Dareen dan James menoleh kaget. "Tuan Bian," ucap keduanya serentak. "Ya. Aku sempat mendengar kalian menyebut nama Arisha." Bian menatap Dareen dan James bergantian. Akhirnya Dareen yang menjawab. "Putriku kritis dan butuh darah. Kebetulan golongan darahnya sama dengan Arisha." "Kalau begitu, izinkan aku membantu." "Tapi, Tuan … Anda belum lama mendonorkan darah pada Arisha." "Tidak masalah. Waktu itu cuma satu kantong. Lag
"Aku berhasil mendapatkan rekaman CCTV dari bangunan di seberang sekolah," lapor James seraya menyodorkan ponselnya pada Dareen, yang sedang sibuk di belakang meja kerjanya. "Lihat ini! Hanya saja, gambarnya tidak begitu jelas." Dareen mengambil ponsel dari tangan James. Matanya menyipit, memperhatikan setiap detail gerak yang terekam dalam potongan video tersebut. "Aku seperti mengenali postur tubuh wanita yang mendekati Silla," komentar James, terlihat berpikir. "Tapi, aku tidak yakin tebakanku benar." "Anggita!" seru Dareen, terlonjak tegak. Mukanya menegang. "Aku yakin wanita dalam rekaman ini adalah Anggita. Walaupun dia memakai seribu topeng, aku tidak akan pernah salah mengenalinya." "Ah, pantas saja aku merasa tidak asing. Eh, bukankah kalian sudah putus?" "Dia gila!" Dareen mengirimkan rekaman tersebut ke ponselnya, lalu mengembalikan gawai milik James. "Ayo, ikut aku!" "Rasanya, tidak mungkin Anggita membawa Silla ke apartemennya." James meneleng seraya menggeleng tak