Berbeda dengan Arisha yang merasa damai di rumah Rasyad, Dareen justru tak bisa menjalani hari dengan tenang. Setiap detik berlalu, ia lalui dengan perasaan gelisah. Terlebih jika mendengar jerit pilu yang mengudara dari bibir lemah Silla saat menyerukan nama Arisha. Hati Dareen tercabik-cabik. Ingin rasanya ia menghadirkan Arisha detik itu juga di hadapan Silla, tapi sampai sekarang ia tak jua menemukan jejak keberadaan gadis itu. "Gimana? Ketemu sama Arisha?" tanya Dareen, menengadah pada James yang baru saja tiba. "Aku sudah mengerahkan dan menyebar orang-orang kita di beberapa titik, termasuk supermarket yang kau ceritakan itu, tapi … masih belum menemukannya." Dareen tertunduk lesu. Entah sudah berapa lama ia duduk di sofa itu, merenungi kepergian Arisha seraya mengawasi Silla yang sedang tidur. "Kerahkan lebih banyak lagi! Aku tidak tega melihat Silla terus mengigau." Tak terasa, bulir bening menggelinding jatuh dari sudut mata Dareen. "Silla sangat membutuhkan Arisha. Kal
"Pak Rasyad dan Bu Arisha?" Seorang aparat polisi keluar dari ruangan lain. "Iya, Pak." Rasyad yang menjawab. "Silakan masuk ke sini, Pak, Bu!" Arisha mengekori Rasyad tanpa menyapa Alfian. Cukup lama dia dan Rasyad berada dalam ruangan tersebut. Menjawab serangkaian pertanyaan yang diajukan polisi. "Terima kasih atas kerjasamanya, Pak, Bu!" Aparat polisi tersebut menyalami Rasyad dan Arisha. Arisha lega akhirnya bisa pamit untuk pulang. "Arisha, tunggu!" Arisha terus saja melangkah. Suara yang tak asing itu sungguh mengganggu. Ia pikir Alfian sudah pulang. Ternyata lelaki itu menunggunya. Berdiri pada sudut yang agak tersembunyi. Arisha mempercepat langkah. "Sepertinya lelaki yang tadi itu mengenalmu, Arisha," kata Rasyad, mengimbangi langkah Arisha. Saat diri merasa terancam dan berada dalam bahaya, rasa sakit pada raga semua sirna. Kekuatan tersembunyi dalam diri muncul ke permukaan begitu saja. Arisha sama sekali tak merasakan sakit pada kakinya. Pikirannya fokus untuk
"Non Arisha? Ini benaran, Non? Ya Allah, Non … bibi senang banget Non Arisha menghubungi bibi." Suara Bi Minah terdengar antusias kala menerima panggilan telepon dari Arisha. "Kok baru sekarang sih Non menelepon bibi!" "Maaf, Bi. Aku … ah, kapan-kapan aja aku cerita. Gimana kabar Silla, Bi? Dia baik-baik aja, 'kan?" "Ih, Non … gak nanyain kabar bibi?" Arisha terkekeh pelan mendengar nada merajuk Bi Minah. "Kalau Bibi mah, aku udah bisa nebak Bibi segar bugar. Kentara dari semangat Bibi yang menggebu-gebu." "Non Arisha bisa aja. Gak jadi deh narik simpati Non Arisha. Padahal, Bibi kan pengin diperhatiin. "Semenjak Non Arisha pergi, rumah jadi sepi. Bibi kesepian ditinggal sendirian. Mana rumahnya gede lagi. Malam-malam serem! Iiih!" "Lho, yang lain ke mana, Bi?" Terdengar helaan napas panjang dari seberang telepon. Perasaan Arisha jadi tidak enak. "Non Silla—" "Silla kenapa, Bi?!" Jantung Arisha dag-dig-dug makin kencang. "Non Silla di—" "Bi Minaaah!" "Aduh, maaf, Non. Bi
"Selamat pagi, Kakak Cantik! Wah, hari ini lebih cantik! Imut!"Irsyad menyapa Arisha dengan ceria. Semenjak Arisha tinggal di rumah mereka, anak itu jarang keluar malam, walau sekadar nongkrong dengan teman-temannya.Bercengkerama dengan Arisha menjadi kesenangan tersendiri baginya. Hingga kalau ada orang lain yang melihat, mereka pasti mengira keduanya adalah adik kakak kandung yang saling mengidolakan satu sama lain."Kakak serius mau masuk kerja?" selidik. Irsyad, memindai penampilan Arisha secara keseluruhan. Mimik mukanya tampak serius. "Kakak nggak cocok kerja di dapur. Terlalu cantik! Cocoknya jadi sekretaris perusahaan besar.""Jangan dengarkan dia! Nih anak kalau ngomong memang nggak pakai filter.""Ish, Kak Rasyad ngapain main serobot aja! Datang nggak diundang. Udah kayak jailangkung aja!" Irsyad mencibir."Hei! Kata itu milikku!"Arisha geleng-geleng kepala melihat kekonyolan kakak beradik tersebut. "Kalian ini … bisa nggak sih sehari aja terlihat normal? Emang nggak cape
"Saya permisi ke toilet sebentar!" Setelah menghabiskan makanan di piringnya, Dareen buru-buru menyeka mulut dan pamit."Wah, pantas saja bentuk badan Anda sangat sempurna, Tuan Hart! Rupanya metabolisme tubuh Anda sangat cepat!"Dareen hanya menanggapi kelakar kliennya dengan seulas senyum tipis, kemudian meninggalkan meja pertemuan.Diam-diam Dareen menyelinap menuju bagian belakang restoran, mencari posisi dapur. Rasa penasarannya tentang koki restoran itu sungguh tak terbendung."Apakah Anda tersesat, Tuan?" sapa seorang pelayan yang kebetulan baru saja kembali dari toilet dan curiga melihat gelagat Dareen.Namun, mengingat reputasi restoran yang sebagian besar pengunjungnya berasal dari kalangan pebisnis dan kelas atas, pelayan itu tak berani asal tuduh."Oh, aku … ehem!" Dareen merapikan pakaiannya dan mengontrol kekagetannya dengan bersikap tenang. "Aku mencari toilet lain. Yang sebelah sana penuh.""Begitu rupanya. Anda bisa lewat sini, Tuan." Pelayan itu menunjuk pada sebuah
'Aish! Kenapa sih wanita itu harus berjalan di belakang Tuan Rasyad?'Dareen mengomel dalam hati saat sang koki yang baru masuk tetap mematung di tempatnya.Setelah Rasyad mulai melangkah, barulah wanita itu ikut berjalan. Menyembunyikan sosoknya dari pandangan Dareen dengan berlindung di balik punggung Rasyad.'Ah, mungkin dia malu bertemu denganku. Tuan Rasyad pasti telah memberitahu siapa yang ingin bertemu dengannya.'Membayangkan kekagetan Arisha dan wajahnya yang bersemu merah, Dareen tersenyum tanpa sadar."Tuan Hart, orang yang Anda tunggu telah tiba." Rasyad bergeser ke samping.Seketika sosok koki yang bersembunyi di belakangnya terlihat dengan jelas.Dareen terbelalak. Senyum di wajahnya sirna."Dia—" Dareen tak bisa melanjutkan kata saking kagetnya saat bertemu langsung dengan koki yang didatangkan oleh Rasyad.Rasyad terkekeh pelan. "Anda bukan orang pertama yang terkesima dengan penampilan Shinta.""Shi-Shinta?""Iya. Shinta memang cantik dan menarik. Selama ini Shinta m
"Apa? Serius istrimu di penjara?" "Sst! Pelankan suaramu, Hanna! Kau sengaja untuk mempermalukan aku?" Alfian mendelik tajam. Ia merasa risi saat belasan pasang mata dari pengunjung kafe yang berada di sekitar meja mereka menoleh dan menatap dengan kening berkerut. "Sorry, sorry! Aku kaget. Kok bisa?" Hanna memelankan suaranya. "Wanita gila itu memang keterlaluan. Bisa-bisanya dia menyerang Arisha di tempat umum." Alfian mendesah lesu. "Susah payah aku berjuang untuk menjebak Arisha setelah dia terusir dari rumah itu, tapi gagal. Giliran ketemu, nggak tahunya di kantor polisi. A—" "Sebentar! Maksudmu, Arisha benaran sudah diusir?" Alfian mengangguk. "Wow! Berarti rencana kita berhasil dong! Wanita tua itu benar-benar bodoh! Mudah sekali ditipu! Hanya dengan modal tampang melas dan dua lembar foto, dia percaya dengan semua yang kita katakan." Hanna mengangkat cangkir kopinya dan mengajak Alfian tos. "Ayo kita rayakan!" Alfian menatap cangkir di tangan Hanna tanpa semangat. "Ap
"Nggak mau! Nggak mau!" Silla geleng-geleng kepala, kemudian menutup mulutnya dengan dua tangan."Sayang, Silla harus makan. Ayo, buka mulutnya!" bujuk Dareen, menyodorkan sesendok bubur ayam, tepat di depan mulut Silla. "Katanya mau ikut daddy cari Kak Sha. Ya, kan?"Silla mengangguk. Netra birunya seketika mengembun."Kalau begitu, Silla harus makan biar cepat sehat. Kalau Silla terus berbaring di sini, dokter tidak akan mengizinkan Silla untuk pulang.Hening sejenak. Silla terpana menatap Dareen. Perlahan ia menurunkan tangan yang menutup mulut."Silla mau ikut daddy nyari Kak Sha ….""Makanya … sekarang makan, ya?"Silla mengangguk, lalu mengangakan mulutnya walau enggan.Berdiri di ambang pintu dengan jemari yang masih menggenggam gagangnya, Nyonya Hart menyeka kristal bening di sudut matanya dengan jari.Hatinya terenyuh menyaksikan betapa keras usaha Dareen untuk merayu Silla agar mau makan.Yang lebih menyentuh hati, Nyonya Hart mendengar langsung betapa kuat keinginan Silla u