“Hei. Kau sudah bangun?” Kaisar menyapa kekasihnya yang baru saja terbangun. “Untuk apa kau bertanya hal yang sudah jelas?” suara Erika terdengar serak ketika menjawab dan membuat Kaisar tertawa pelan. “Aku di rumah sakit lagi ya?” Erika bertanya setelah melihat sekitarnya. “Hm.” Kaisar hanya bisa berdehem pelan. “Lalu kenapa kau ada di sini?” “Kau tidak ingat?” tanya Kaisar dengan kening berkerut. “Aku ingat kok, tapi gak semuanya. Aku gak ingat bagaimana bisa sampai di sini.” Kaisar mengangguk mengerti mendengar penjelasan sang kekasih. Dia pun tidak segan menjelaskan bagaimana perempuan itu bisa ada di rumah sakit. Tentu saja Kaisar tidak menceritakan sesi curhat sang ibu. Entah kenapa, Kaisar berpikir kalau Erika lebih baik tidak tahu kalau masa lalunya sudah terungkap. Pria itu juga sadar kalau dengan masa lalu
Plak. Tanpa ada yang bisa mencegah, tangan ramping Flora dengan cepat melayang ke pippi Erika. Semua orang yang ada di depan ruangan Kaisar sudah bisa menduga ini, tapi tetap saja terkejut. “Apa yang kau lakukan?” hardik Kaisar segera memeriksa pipi kekasihnya. “Aku melakukan yang seharusnya,” Flora balas menghardik. “Aku gak apa-apa, Kai,” bisik Erika menepis tangan pria yang terlihat khawatir itu. “Kau mau apa?” tanya Kaisar ketika Erika melangkah maju. “Aku akan berbicara sebentar dan kau tidak perlu khawatir, aku bisa melindungi diriku sendiri,” balas Erika dengan senyuman. Flora dan rekan kerja sesama sekretaris Erika mendengus mendengar adegan itu. Siapa sangka mereka akan menonton adegan sinetron di kantor sendiri. “Aku tidak tahu apakah Kai sudah mengatakan ini atau tidak,” Erika mulai berbicara setelah mendapat izin. “Tapi Kak Flora yang hadir diantara kami dan bukan sebaliknya.” “Apa maksudmu?” hardik Flora merasa terancam. Dia tak ingin satu pun rahasianya terbongka
“APA YANG KAU LAKUKAN?” Seno langsung berterika begitu memasuki ruang kerja anaknya. Pria itu bahkan tak segan menarik kerah anaknya yang masih terkejut, kemudian memukul anaknya itu. Tenaga pria tua yang jarang olah raga itu tidak seberapa, tapi cincin yang dia pakai membuat rasa sakitnya berlipat ganda. “PAPA APA-APAAN SIH?” Kaisar ikut berteriak karena dipukuli tanpa tahu apa-apa. “KAU YANG APA-APAAN.” Seno kembali meraih kerah anaknya, tapi kali ini Kaisar sudah lebih siap. Dia menepis tangan ayahnya dengan cukup mudah dan menghempaskan pria itu ke atas sofa. “KAISAR APA KAU GILA?” Suara lain terdengar ketika Kaisar melakukan semua itu. “KALIAN YANG GILA,” Kaisar balas menghardik. “Kau benar-benar sudah diperdaya perempuan itu,” geram Seno benar-benar merah. “Apa maksudnya itu?” tanya Kaisar masih bingung dengan semua kejadian tiba-tiba ini. “Mana pelacur itu? Kau pasti menyembunyikannya kan?” tanya Stevan yang kini juga sudah terlihat kesal. “Aku tidak mengerti apa yan
Kaisar memagut bibir Erika dengan lembut tanpa paksaan, tapi jelas terasa menuntut. Lelaki itu terlalu banyak pikiran, sehingga rasanya perlu melampiaskannya. “Kai,” bisik Erika dengan napas terengah. “Kenapa?” tanya Kaisar sebelum menyesap leher Erika, sampai meninggalkan bekas. “Kita belum makan malam,” jawab Erika serius. Karena efek sakit, dia jadi mudah lapar. “Kau tidak perlu melakukan apa pun, Sayang. Cukup mendesah saja untukku dan biar aku yang bekerja keras,” jawab Kaisar kini menatap wajah kekasihnya dengan tatapan lembut. Panggilan sayang dan tatapan lembut itu sudah cukup untuk membuat Erika menyerah. Entah kenapa rasanya belakangan ini dia mudah sekali terhanyut dengan gombalan Kaisar, tapi hari ini Erika sedang tidak ingin mencari tahu. Perempuan itu yang pada akhirnya kembali menempelkan bibir mereka. Dia juga yang mulai menggebu-gebu, tapi s
“Apa aku membangunkanmu?” Kaisar baru saja naik ke atas ranjang ketika Erika membuka matanya. Pria itu pikir kalau gerakannya membuat kekasihnya itu terbangun. “Ya. Kau membangunkanku, padahal aku masih ngantuk,” jawab Erika dengan suara serak kahsa bangun tidurnya. “Tidur saja lagi. Nanti kalau sarapannya sudah siap aku akan emmbangunkanmu.” Kaisar mengecup kening, kemudian bibir Erika dengan lembut. “Memangnya sudah jam berapa?” “Sudah lewat jam 6 pagi, tapi hari ini hari sabtu. Kau bisa tidur lebih lama.” Erika tak lagi menjawab. Dia memilih untuk mengikuti saran Kaisar karena memang itu yang dia butuhkan saat ini. Setelah yakin tuan putrinya sudah tertidur lagi, Kaisar baru beranjak. Dia ingin memesan makanan online, tapi teringat sepertinya masih banyak lauk yang bisa dipanaskan di kulkas lantai atas. Walau tidak terbiasa melakukan pekerjaan rumah, kali ini Kaisar berpikir untuk melakukannya. Dia toh tidak bisa selamanya mangandalkan orang, apalagi kalau misal nanti per
“Sungguh? Aku boleh ikut?” Erika memekik tidak percaya. “Ya, tapi mungkin kita tidak bisa lama. Itu memang tempat umum, tapi siapa yang tahu kan.” Kaisar mengedikkan bahu dengan santainya. “Tentu saja aku mengerti.” Erika langsung memeluk kekasihnya itu dengan erat. Padahal Erika pikir dia akan kesulitan untuk memperkenalkan diri sebagai selingkuhan seorang Kaisar Arya Jayantaka, tapi nyatanya tidak. Pria itu sendiri yang akan mengenalkan dirinya ke dunia luar. “Tapi gak masalah kan?” tiba-tiba Kaisar bertanya. “Aku sebenarnya agak takut kalau sampai kau dihina orang.” “Tidak masalah, Kai. Kan sudah kubilang. Dia yang datang di antara kita. Bukan aku yang datang di antara kalian.” “Iya sih, tapi tetap saja. Aku khawatir,” jawab Kaisar menunjukkan rasa khawatir itu dengan sungguh-sungguh. “Sebenarnya ada sih yang aku khawatikan.” Erika yang sedari tadi percaya diri, tiba-tiba saja terlihat cemberut. Dan itu tentu saja membuat Kaisar khawatir. “Apa? Coba katakan padaku.” “Aku
“Aku rasa aku perlu ke toilet,” gumam Erika dan langsung beranjak pergi begitu saja meninggalkan Kaisar yang masih mencerna keadaan. “Erika,” Chris memanggil dan langsung mengejar perempuan itu. “Pemandangan yang luar biasa,” gumam Seno jelas menghina. “Dia jadi selingkuhan berapa banyak orang sih?” “Jaga mulut Papa,” desis Kaisar mendekat pada ayahnya. “Aku tahu hubungan mereka seperti apa,” lanjutnya sebelum pergi mengejar sang kekasih. *** Erika melangkah dengan sangat cepat walau menggunakan heels runcing yang tinggi. Dia bahkan menabrak beberapa orang. Otaknya terlalu kacau untuk hanya sekedar berjalan lurus. Chris, orang yang selama ini dia pikir adalah orang baik, ternyata tidak seperti itu. Pria itu ternyata menipunya, padahal Erika sudah percaya padanya. Sudah membiarkan dirinya dilecehkan pria itu hampir tiap malam, tapi apa ini? Chris anak dari seseorang yang
“Bagaimana perempuan ini bisa ada di sini?” Erika nyaris saja berteriak ketika membuka pintu dan menemukan Queenie berdiri di sana. “Oh, kau sudah datang?” Bukannya menjawab Erika, Kaisar malah bertanya basa-basi pada tamunya. “Aku sudah datang,” jawab Queenie acuh. “Kau mengundangnya datang?” kini giliran Erika yang bertanya. “Ya.” Kaisar yang sedang asyik menonton, tidak beranjak dari tempatnya. “Untuk apa?” “Untuk memeriksa kesehatanmu,” Queenie yang menjawab. Itu tentu saja tidak membuat Erika senang. Entahlah, tapi Queenie ini menyebalkan. Dan lagi pula bukannya dia sudah mem-black list semua orang? “Bagaimana dia bisa ada di sini?” Erika kembali bertanya dalam bisikan. Dia meninggalkan Queenie yang sibuk di sudut sofa yang lain. “Aku mengundangnya,” jawaban singkat dan santai Kaisar jelas membuat Erika menggeram marah. “Kau tahu bukan itu yang aku maksud. Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak memasukkan sembarang orang ke dalam rumah?” “Kurasa dia bisa dipercaya.”
“Apa kau baik-baik saja?” “Tidak ada yang akan baik-baik saja, setelah keguguran, Nes.” Erika tersenyum pada sahabatnya. “Sorry.” Vanessa yang tadi bertanya, meringis dan merasa bersalah. “Tidak usah merasa bersalah. Itu tidak akan mengubah apa pun,” balas perempuan cantik yang baru saja memotong rambutnya jadi bob itu. “Tumben kau bisa bijak begitu.” Kali ini Lydia yang mengejek Erika. “Sebenarnya itu bukan kata-kataku, tapi kata-kata si dokter.” Kali ini, giliran Erika yang meringis. “Lagi pula, kantungnya juga kosong. Belum ada bayi di dalamnya.” “Bener juga sih, tapi kan harus tetap nunggu beberapa lama dulu kan?” Giliran Cinta yang bertanya. Empat perempuan yang bersahabat itu, kini tengah berkumpul di salah satu kafe kesukaan mereka. Walau semua sibuk dengan urusan rumah tangga masing-masing, tapi mereka menyempatkan diri berkumpul untuk menghibur Erika. “Ya, apalagi aku cuma diberikan obat dan bukan kuret. Jadi mungkin aku harus bertahan minimal tujuh bulan lagi.
“Erika.” Kaisar meneriakkan nama sang istri ketika dia tiba di rumah. “Sayang, kamu di mana?” Lelaki dengan pakaian kerja yang sudah berantakan itu, berlari menaiki tangga karena tidak mendapat jawaban. Dia juga tidak melihat sang istri di ruang tamu, maupun di dapur. Tinggal kamar yang belum diperiksa. “Sayang.” Kaisar langsung mendesah lega melihat istrinya meringkuk di atas ranjang. “Kamu kenapa?” Tidak ada jawaban dari Erika. Perempuan cantik itu bahkan tidak melepas pelukan pada lututnya. Dia bahkan belum mengganti baju, sejak pulang dari mengantar Queenie. “Erika.” Kaisar segera memeluk istrinya karena tahu ada yang tidak beres. Setidaknya, itu yang dikatakan sang kakak ipar. Lelaki yang terlihat makin matang itu, memang buru-buru pulang setelah mendapat pesan dari Queenie. Iparnya itu tidak mengatakan sesuatu yang spesifik, tapi Kaisar tahu ada yang salah. “Queenie ternyata hamil.” Akhirnya Erika bersuara dan mendongak, setelah cukup lama berdiam diri. “Padahal dia tidak
“Aku mohon.” Erika menggumamkan kalimat pendek itu, dengan mata terpejam dan kedua tangan terkatup. “Aku mohon kali ini berhasil.” Setelah sekali lagi menggumamkan kalimat serupa, si cantik itu membuka mata. Dia mengeluarkan stik yang sudah terendam beberapa menit pada cairan kuning dalam wadah kecil. Sayang sekali, hasilnya tidak membuat Erika senang. “Negatif lagi.” Erika mengatakan itu pada suaminya, ketika dia keluar dari kamar mandi. “Kamu tes lagi?” tanya Kaisar disertai dengan wajah prihatin. “Tentu saja aku akan terus melakukan tes, setiap kali kita selesai berhubungan,” jawab Erika dengan jujur. “Maksudku, tidak langsung juga.” “Sayang, tidak perlu buru-buru.” Selesai merapikan dasi, Kaisar langsung pergi memeluk istrinya itu. “Kita masih punya cukup banyak waktu untuk punya anak.” “Tapi ini sudah hampir dua tahun, Kai. Lydia saja sekarang sudah hamil anak kedua.” Tentu saja Erika akan mengeluh. Dia sudah sangat ingin menggendong malaikat kecil yang mirip dirinya atau
“Selamat pagi, Pak.” Kaisar menunduk ramah pada lelaki di depannya. “Halo, Kaisar.” Seorang lelaki pria tinggi besar mengulurkan tangan untuk menjabat. “Saya senang karena masih bisa menghubungi kamu.” “Saya yang harusnya senang karena Pak Herdiyanto masih mau menghubungi saya dan menawarkan pekerjaan.” Tentu saja Kaisar akan menunduk sopan. “Itu karena akan sangat sayang kalau bakat sepertimu hanya bekerja sebagai ojek saja.” Pak Herdiyanto menjawab dengan senyum cerah. “Syukurnya saya melihat postingan tunanganmu kamu dan kebetulan juga ada yang baru mengajukan pengunduran diri.” “Sangat kebetulan, Pak.” Kaisar sedikit meringis ketika mendengar hal itu. “Tapi bagi saya, tidak ada kebetulan di dunia ini.” Melihat lawan bicaranya sedikit canggung, Pak Herdiyanto mengatakan hal itu diiringi dengan kedipan mata. “Semua pasti ada alasannya.” Tak ada lagi yang bisa dikatakan oleh Kaisar, selain mengangguk. Dia kemudian mengikuti pria paruh baya itu ke ruangannya dan melakukan wawanca
“Kenapa kau tidak pernah bilang tentang pekerjaanmu?” tanya Erika dengan mata melotot, tidak peduli kalau sekarang dia sedang berada di tempat umum. “Tunggu dulu Erika.” Kaisar yang tadinya masih duduk di atas motor, kini turun untuk menjelaskan. “Aku mohon jangan marah dulu. Aku punya alasan untuk semua ini.” “Yang benar saja?” Erika makin melotot. “Bagaimana mungkin aku tidak marah ketika kau menyembunyikan semua ini.” “Aku tidak berniat untuk menyembunyikan apa pun. Aku hanya ....” “Hanya ingin bersenang-senang dengan cara membonceng perempuan lain?” Erika memotong kalimat tunangannya itu dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Mana mungkin aku seperti itu, aku hanya .... Tunggu dulu.” Kaisar tiba-tiba saja menjadi bingung dengan apa yang dikatakan sang tunangan barusan. “Kau barusan bilang apa?” “Kau mau mengambil kesempatan dari penumpang perempuan kan?” tanya Erika tampak tidak mau menahan diri lagi. “Kau akan dengan sengaja mengerem mendadak agar nanti dada mereka b
“Kau itu bodoh atau apa?” tanya Viktor dengan kedua alis yang terangkat. “Mana bisa main menikah saja di catatan sipil dengan KTP saja?” “Aku hanya ... terburu-buru,” ringis Kaisar merasa agak malu juga. “Aku lupa kalau banyak yang harus diurus sebelumnya.” “Kau benar-benar bucin.” Viktor pada akhirnya hanya bisa menggeleng melihat temannya itu. “Bisa jangan terus menghina, Kai?” Setelah sekian lama diam, akhirnya Erika ikut berbicara. “Aku hanya mengatakan kenyataan, bukan menghina.” Viktor tentu akan membantah karena memang seperti itu dan membuat Erika mendengus kesal. Erika dan Kaisar memang langsung ke kantor Viktor si pengacara setelah dari DISDUKCAPIL dan ditolak. Tentu saja mereka datang ingin meminta bantuan dan bisa dengan mudah ditebak oleh Viktor. “Jadi mau dibantu nih?” tanya Viktor memainkan kedua alisnya, sekedar hanya untuk menggoda. “Kalau kau tidak sibuk dan mau,” jawab Kaisar rasional. Dia tahu sahabatnya itu cukup sibuk dan sebenarnya punya tarif yang m
“Aku gak jadi nikah.” Erika meneriakkan itu di depan ponselnya. “Hah? Maksudnya gimana?” Para sahabat Erika yang terhubung melalui panggilan video call, langsung memekik karena terkejut. “Aku udah balikin cincin yang dikasih Kaisar,” jawab Erika dengan wajah cemberut, siap untuk menangis. “Loh? Kenapa?” Cinta yang paling pertama bereaksi. “Perasaan baru berapa hari lalu kamu dilamar.” “Iya, tapi dia hanya asal ngelamar. Gak beneran mau nikah, apalagi dalam waktu dekat.” Erika menjawab dengan ekspresi kesal yang berlebihan. “Bentar-bentar.” Lidya langsung menghentikan sahabatnya yang baru mau menyambung kalimat itu. “Maksudnya gimana sih? Coba cerita yang detail.” Akhirnya, mengalirlah cerita Erika begitu saja. Tentu saja dia menceritakan itu dengan menggebu-gebu karena benar-benar merasa kesal. Tapi ternyata, itu membuat para sahabatnya jadi bingung. “Kenapa kau langsung minta pisah sih?” Vanessa yang bertanya dengan bingung. “Itu kan bisa dibicarakan baik-baik dulu.” “Aku su
“Erika.” Kaisar berteriak, sembari mengetuk pintu. “Kau belum makan.” Tentu saja tidak ada jawaban dari balik pintu. Perempuan cantik itu, bungkam dan tidak ingin berbicara pada sang kekasih. Entah Erika yang terlalu negatif atau apa, tapi dia merasa terkhianati. “Aku bukannya tidak ingin menikah.” Pada akhirnya, Kaisar kembali mencoba menjelaskan. “Aku tidak mempermainkanmu. Aku hanya meminta sedikit waktu, sampai aku cukup stabil untuk menghidupimu.” “Saat ini aku bahkan tidak pekerjaan, loh. Aku hanya bantu-bantu mama buat jualan dan itu pun masih baru merintis. Aku janji tidak akan lama-lama.” Seberapa banyak penjelasan yang diberikan Kaisar, tampaknya Erika enggan mendengar. Perempuan itu tetap bungkam dan mengunci diri di dalam kamar. Itu jelas membuat Kaisar menjadi makin sakit kepala. *** “Kenapa sih perempuan sulit sekali dimengerti?” Gagal membujuk Erika keluar kamar, pada akhirnya Kaisar berkunjung ke rumah temannya. “Kalau mereka mudah dimengerti, bukan perempuan
“Kurasa aku akan menikah dalam waktu dekat,” ucap Erika dengan raut wajah riang. “Eh, kok bisa?” Vanessa yang paling pertama menyahut dengan raut wajah kaget. Kebetulan, mereka memang sedang melakukan panggilan video grup. “Lelaki mana yang akhirnya berani melamarmu?” Lydia juga ikut bertanya dengan nada antusias. “Padahal kupikir kau akan menunggu Kaisar sampai tua.” Cinta yang meledek, sambil menyuapi anaknya makan. “Aku dengan Kaisar kok,” jawab Erika masih dengan nada riang. “Tadi pagi dia melamarku.” Seruan bernada kaget langsung terdengar. Satu per satu sahabat Erika, mulai menanyakan banyak hal. Mereka tentu saja penasaran kenapa bisa Kaisar Arya Jayantaka pada akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Erika Wiratama. Tentu saja Erika tidak keberatan menceritakan lamaran yang sama sekali tidak romantis itu, tapi tetap berhasil membuatnya terharu. Dia bahkan memamerkan cincin tipis yang dibelikan Kaisar. “Cantik kan?” tanya Erika benar-benar tak bisa untuk tidak tersenyum