“Astaga Kaisar Arya Jayantaka,” desis Retno begitu kesal saat melihat anaknya datang. “Kau ke mana saja sih dua hari menghilang.”
“Nginap di apartemen,” Kaisar menjawab acuh. Dia berjalan melewati ibunya dan masuk ke dalam ruangan kerja. “Astaga anak itu. Bentar ya, Ka. Tante mau ngobrol dulu sama Kai.” Retno yang tadinya sedang berbicara dengan Erika langsung pamit. Sang sekretaris pun memberi senyum penuh kelegaan. Dia tak tahan berbicara dengan Retno dalam jangka waktu lama. Hari ini untungnya Erika duluan ke kantor dengan mobilnya. Kalau dia sampai bersama Kaisar, mereka mungkin akan dicurigai. “Mbak Erika akrab ya dengam keluarganya bos,” Imel berkomentar setelah Retno menghilang ditelan pintu ruangan anaknya. “Ya. Ayah saya dulunya bekerja di sini dan saya sering main ke rumah Jayantaka dulunya.” “Oh.” Imel mengangguk mengerti den“Guys, aku pulang duluan ya.” Erika segera membereskan barang-barangnya dengan cepat, begitu dosen kekuar. “Woi, jangan lari-lari,” Vanessa meneriaki sahabatnya itu. Erika yang sudah agak jauh itu, tidak mendengar. Atau lebih tepatnya, menulikan telinga. Dia yang sudah dijemput, tentu tidak boleh berlama-lama tinggal di kelas. Masih banyak hal lain yang harus dia lakukan setelah ini. “Loh, Ibu Retno?” Erika terkaget melihat atasannya duduk di jok belakang mobil yang menjemputnya. “Kamu ngapain sih, Sayang? Sini masuk, nanti kamu telat ke kantor.” Dua orang perempuan itu sama-sama menerbitkan senyum di wajah mereka. “Kok bisa sih Bu Retno yang jemput? Biasanya kan sama Pak Adi saja,” perempuan berumur 21 tahun itu bertanya, setelah duduk cantik di sebelah Retno. “Tante mau ke kantor jengukin Om dan karena searah, sekalian saja Tante jemput kamu. Untung saja tepat waktu.” Tidak ada lagi yang bisa dikatakan Erika. Perempuan muda yang masih duduk
“Erika? Ada apa denganmu?” Retno yang panik menggedor rumah dua lantai bertipe 36 itu. “Erika,” Retno berteriak keras. “Erika ini Tante Retno. Buka pintunya.” Sudah 2 hari Erika tidak ke kampus dan ke kantor tanpa ada kabar. Itu tentu membuat Retno dan sahabat Erika panik, apalagi kimi sudah hari ke-3. “Erika?” Retno memekik senang ketika pintu rumah itu terbuka. “Maaf, Tante siapa ya?” Bukan Erika yang keluar, tapi seorang perempuan bertubuh gempal. “Keluarganya Erika ya? Saya dari tempat kerjanya. Saya datang untuk melihat keadaannya.” Perempuan yang membuka pintu itu terlihat bimbang. Dia sempat berbalik sebentar, sebelum akhirnya membuka pintu rumah dengan lebih lebar. “Silakan Tante, tapi Erika belum tentu mau bertemu. Dia bahkan tidak mau bertemu kami para sahabatnya.” “Kami? Ada berapa orang yang datang?” tany
Erika mendesah pelan ketika mengingat masa lalunya yang kelam. Dia yang sudah cukup lama tidak minum alkohol, kini memeluk sebotol wine. Dia ingin mengosongkan pikirannya dengan cara mabuk. “Hah, dia benar-benar sok tidak tahu apa-apa,” gumam Erika sudah mulai mabuk. “Tidak masuk akal sekali.” Perempuan itu mendengus mengingat percakapannya dengan Kaisar siang tadi. Tentu saja Erika sama sekali tidak menceritakan apa yang dulu terjadi. Dia masih yakin dan percaya kalau Kaisar sesungguhnya tau semanya. Buktinya, dulu pria itu tidak mau menolongnya sama sekali. “Halo,” Erika menyahut riang ketika mengangkat ponselnya yang berdering. “Kau … mabuk?” tanya Bima dari seberang sana. “Oh, Bim-Bim. Aku tidak mabuk sama sekali, Sayang. Aku sadar.” “Kau jelas sedang mabuk. Kalau tidak kau pasti tak akan memanggilku sayang.” Kekehan Erika terdengar
“Argh ... Kepalaku sakit sekali,” Erika menggeram begitu dia tersadar dari tidurnya yang nyenyak. “Kalau tahu akan sakit kepala, kenapa kau minum sebanyak itu?” Mata Erika langsung terbuka begitu mendengar suara yang dikenalnya. Dia bahkan langsung duduk dan menyebabkan kepalanya makin berdenyut saja. “Minum obatmu dan setelah itu bersiaplah ke kantor dan jangan lupa pesankan sarapan untukku.” “Kenapa Pak Kaisar ada di sini?” tanya Erika tak menghiraukan perintah bosnya itu. “Ada orang yang menelepon dan mengatakan kau hilang, padahal hanya pingsan karena mabuk.” “Hah?” Erika tentu saja merasa bingung, tapi Kaisar tidak mempedulikan sekretarisnya lagi. Dia yang sudah lumayan rapih, memilih untuk pergi ke walk in closet untuk memilih dasi yang cocok. “Bima ya yang meneleponmu ya?” Erika dengan cepat tersadar dengan h
“Mau apa kau ke sini?” tanya Kaisar segera menghampiri sekretarisnya. Niat Kaisar sih untuk menutupi pandangan sang ayah, tapi terlambat. Seno sudah terlanjur melihat Erika yang mematung di depan pintu, bahkan dia sampai berdiri lagi saking kagetnya. “Kau …” Seno menaikkan jari telunjuknya dan menatap Erika dengan mata melotot. “Apa yang kau lakukan di sini?” “Keluar,” gumam Kaisar lirih sekali, agar hanya Erika yang bisa mendengarnya. Sayangnya, perempuan itu masih bergeming. “Apa yang perempuan itu lakukan di sini?” hardik Seno terlihat marah dan itu ditujukan untuk anaknya. “Dia ….” “Kau mempekerjakan wanita ini?” gertak pria paruh baya itu, ketika melihat landyard yang dipakai Erika. “Ya. Dia bekerja di sini atas rekomendasi Flora.” Merasa tidak bisa lagi menghindar, Kaisar terpaksa jujur. “Apa maksudnya itu?”
Kaisar mengernyit ketika melihat nomor telepon ART Erika terpampang nyata di layar ponselnya. Merasa ada yang mungkin tidak beres, dia menghentikan pekerjaannya dan mengangkat telepon. “Ada apa, Bik?” “Anu, Den. Ini Non Erika dia sepertinya gak sehat. Dari tadi muntha-muntah terus.” “Muntah?” Kaisar jadi bingung kenapa ini harus dilaporkan padanya. “Iya, Den.” “Sudah ke dokter belum?” “Sepertinya sih belum.” Kaisar mendesah mendengar jawaban itu. “Ya, sudah. Bibik buatkan bubur buat Erika dan aku akan segera ke sana.” Akhirnya Kaisar memutuskan untuk menjenguk saja. “Imel, jadwal hari ini tolong diatur ulang,” Kaisar memberitahu pengganti Erika sambil berlalu pergi. Baru juga seteng jalan ke tempat sekretarisnya, Kaisar kembali mendapat telepon. Lagi-lagi Bik Sum yang melapor kalau Erika sepert
“Apa maksudmu? Aku tidak pernah bicara pada ayahmu soal Erika.” Kaisar sudah beranjak dari pinggir ranjang, tapi Erika segera menahan tangannya. Rupanya perempuan itu juga ingin mendengar percakapan pasangan suami istri itu. Terpaksa Kaisar menyalakan speaker. “Oh, bukan kau yang berbicara pada Papa soal memindahkan Erika?” tanya Flora ikutan terdengar bingung. “Memindahkan Erika? Apa maksudnya itu?” “Kata Papa, dia ingin mengambil Erika untuk bekerja di perusahaan kami.” “Apa?” pekik Kaisar terkejut mendengar itu. Bukan hanya Kaisar, Erika pun terkejut. Atau lebih tepatnya merasa cemas, sampai-sampai tangan yang sedari tadi memegang lenngan Kaisar, berubah mencengkram. Cukup keras sampai Kaisar menoleh. Mata Kaisar melirik tangan kekasihnya yang memutih akibat mencengkram terlalu keras, kemudian naik ke wajah cantik itu. Jelas sekali ka
Erika menatap tiga orang pria yang kini saling tatap di depanya ini. Dia merasa telah terjadi perang dingin lewat tatapan yang saling menusuk itu. Jelas saja ini membuat suasana menjadi canggung. Kenapa juga sih Chris harus datang? “Okay teman-teman, pasien sudah harus istirahat. Jadi tolong silakan pulang,” Queenie berhasil memecahkan ketegangan itu. “Ah, iya benar juga.” Retno menepuk pelan keningnya. “Nanti artinya Mama sama Bima saja ya, Kaisar sama Flora.” “Loh? Aku kan masih mau tinggal,” Bima langsung memprotes. “Ih, kau ini kenapa sih Bim? Orang sudah dibilangin pasiennya buuh istirahat.” Flora tidak segan mendorong iparnya dan segera mengamit lengan suaminya. “Lalu tamu yang ini gak diusir?” tanya Kaisar enggan pergi sebelum pria bernama Chris yang baru datang itu diusir juga. “Saya hanya sebentar kok. Tidak mungkin juga saya membiarkan pasien berla