“Erika? Ada apa denganmu?” Retno yang panik menggedor rumah dua lantai bertipe 36 itu. “Erika,” Retno berteriak keras. “Erika ini Tante Retno. Buka pintunya.” Sudah 2 hari Erika tidak ke kampus dan ke kantor tanpa ada kabar. Itu tentu membuat Retno dan sahabat Erika panik, apalagi kimi sudah hari ke-3. “Erika?” Retno memekik senang ketika pintu rumah itu terbuka. “Maaf, Tante siapa ya?” Bukan Erika yang keluar, tapi seorang perempuan bertubuh gempal. “Keluarganya Erika ya? Saya dari tempat kerjanya. Saya datang untuk melihat keadaannya.” Perempuan yang membuka pintu itu terlihat bimbang. Dia sempat berbalik sebentar, sebelum akhirnya membuka pintu rumah dengan lebih lebar. “Silakan Tante, tapi Erika belum tentu mau bertemu. Dia bahkan tidak mau bertemu kami para sahabatnya.” “Kami? Ada berapa orang yang datang?” tany
Erika mendesah pelan ketika mengingat masa lalunya yang kelam. Dia yang sudah cukup lama tidak minum alkohol, kini memeluk sebotol wine. Dia ingin mengosongkan pikirannya dengan cara mabuk. “Hah, dia benar-benar sok tidak tahu apa-apa,” gumam Erika sudah mulai mabuk. “Tidak masuk akal sekali.” Perempuan itu mendengus mengingat percakapannya dengan Kaisar siang tadi. Tentu saja Erika sama sekali tidak menceritakan apa yang dulu terjadi. Dia masih yakin dan percaya kalau Kaisar sesungguhnya tau semanya. Buktinya, dulu pria itu tidak mau menolongnya sama sekali. “Halo,” Erika menyahut riang ketika mengangkat ponselnya yang berdering. “Kau … mabuk?” tanya Bima dari seberang sana. “Oh, Bim-Bim. Aku tidak mabuk sama sekali, Sayang. Aku sadar.” “Kau jelas sedang mabuk. Kalau tidak kau pasti tak akan memanggilku sayang.” Kekehan Erika terdengar
“Argh ... Kepalaku sakit sekali,” Erika menggeram begitu dia tersadar dari tidurnya yang nyenyak. “Kalau tahu akan sakit kepala, kenapa kau minum sebanyak itu?” Mata Erika langsung terbuka begitu mendengar suara yang dikenalnya. Dia bahkan langsung duduk dan menyebabkan kepalanya makin berdenyut saja. “Minum obatmu dan setelah itu bersiaplah ke kantor dan jangan lupa pesankan sarapan untukku.” “Kenapa Pak Kaisar ada di sini?” tanya Erika tak menghiraukan perintah bosnya itu. “Ada orang yang menelepon dan mengatakan kau hilang, padahal hanya pingsan karena mabuk.” “Hah?” Erika tentu saja merasa bingung, tapi Kaisar tidak mempedulikan sekretarisnya lagi. Dia yang sudah lumayan rapih, memilih untuk pergi ke walk in closet untuk memilih dasi yang cocok. “Bima ya yang meneleponmu ya?” Erika dengan cepat tersadar dengan h
“Mau apa kau ke sini?” tanya Kaisar segera menghampiri sekretarisnya. Niat Kaisar sih untuk menutupi pandangan sang ayah, tapi terlambat. Seno sudah terlanjur melihat Erika yang mematung di depan pintu, bahkan dia sampai berdiri lagi saking kagetnya. “Kau …” Seno menaikkan jari telunjuknya dan menatap Erika dengan mata melotot. “Apa yang kau lakukan di sini?” “Keluar,” gumam Kaisar lirih sekali, agar hanya Erika yang bisa mendengarnya. Sayangnya, perempuan itu masih bergeming. “Apa yang perempuan itu lakukan di sini?” hardik Seno terlihat marah dan itu ditujukan untuk anaknya. “Dia ….” “Kau mempekerjakan wanita ini?” gertak pria paruh baya itu, ketika melihat landyard yang dipakai Erika. “Ya. Dia bekerja di sini atas rekomendasi Flora.” Merasa tidak bisa lagi menghindar, Kaisar terpaksa jujur. “Apa maksudnya itu?”
Kaisar mengernyit ketika melihat nomor telepon ART Erika terpampang nyata di layar ponselnya. Merasa ada yang mungkin tidak beres, dia menghentikan pekerjaannya dan mengangkat telepon. “Ada apa, Bik?” “Anu, Den. Ini Non Erika dia sepertinya gak sehat. Dari tadi muntha-muntah terus.” “Muntah?” Kaisar jadi bingung kenapa ini harus dilaporkan padanya. “Iya, Den.” “Sudah ke dokter belum?” “Sepertinya sih belum.” Kaisar mendesah mendengar jawaban itu. “Ya, sudah. Bibik buatkan bubur buat Erika dan aku akan segera ke sana.” Akhirnya Kaisar memutuskan untuk menjenguk saja. “Imel, jadwal hari ini tolong diatur ulang,” Kaisar memberitahu pengganti Erika sambil berlalu pergi. Baru juga seteng jalan ke tempat sekretarisnya, Kaisar kembali mendapat telepon. Lagi-lagi Bik Sum yang melapor kalau Erika sepert
“Apa maksudmu? Aku tidak pernah bicara pada ayahmu soal Erika.” Kaisar sudah beranjak dari pinggir ranjang, tapi Erika segera menahan tangannya. Rupanya perempuan itu juga ingin mendengar percakapan pasangan suami istri itu. Terpaksa Kaisar menyalakan speaker. “Oh, bukan kau yang berbicara pada Papa soal memindahkan Erika?” tanya Flora ikutan terdengar bingung. “Memindahkan Erika? Apa maksudnya itu?” “Kata Papa, dia ingin mengambil Erika untuk bekerja di perusahaan kami.” “Apa?” pekik Kaisar terkejut mendengar itu. Bukan hanya Kaisar, Erika pun terkejut. Atau lebih tepatnya merasa cemas, sampai-sampai tangan yang sedari tadi memegang lenngan Kaisar, berubah mencengkram. Cukup keras sampai Kaisar menoleh. Mata Kaisar melirik tangan kekasihnya yang memutih akibat mencengkram terlalu keras, kemudian naik ke wajah cantik itu. Jelas sekali ka
Erika menatap tiga orang pria yang kini saling tatap di depanya ini. Dia merasa telah terjadi perang dingin lewat tatapan yang saling menusuk itu. Jelas saja ini membuat suasana menjadi canggung. Kenapa juga sih Chris harus datang? “Okay teman-teman, pasien sudah harus istirahat. Jadi tolong silakan pulang,” Queenie berhasil memecahkan ketegangan itu. “Ah, iya benar juga.” Retno menepuk pelan keningnya. “Nanti artinya Mama sama Bima saja ya, Kaisar sama Flora.” “Loh? Aku kan masih mau tinggal,” Bima langsung memprotes. “Ih, kau ini kenapa sih Bim? Orang sudah dibilangin pasiennya buuh istirahat.” Flora tidak segan mendorong iparnya dan segera mengamit lengan suaminya. “Lalu tamu yang ini gak diusir?” tanya Kaisar enggan pergi sebelum pria bernama Chris yang baru datang itu diusir juga. “Saya hanya sebentar kok. Tidak mungkin juga saya membiarkan pasien berla
“Kau sudah bangun?” Erika yang baru saja keluar dari kamarnya, tersentak mendengar suara yang tidak dia kenali. Dengan cepat dia mencari sumber suara dan langsung mendesah lega begitu melihat Queenie duduk di ruang tamu sambil nonton. “Apa yang kau lakukan di sini?” “Apakah kau tidak bisa melihat?” Queenie yang juga sedang makan mie instan dalam cup, mengeluarkan garpu yang tadinya menggantung di mulut untuk berbicara. “Terima kasih sudah menjagaku semalaman, sekarang kau sudah bisa pulang.” Erika segera mengusir perempuan yang baginya sangat mengganggu itu. Dia ingin sendiri. “Sayang sekali tidak bisa.” Queenie mengutak-atik ponselnya dan memperlihatkan sesuatu pada Erika di sana. “Kekasihmu memesankan cek darah untuk di rumah dan aku bertugas untuk membantu. Lebih tepatnya aku yang akann melakukan.” “Apa?” Erika m