“Jadi? Kalian membantu Mama?” tanya Kaisar pada dua perempuan di depannya. “Tidak juga.” Tanpa diduga, Queenie dan Erika menjawab bersamaan. Sekarang,mereka sudah pindah kafe dan Kaisar memandangi dua orang perempuan yang sangat kompak itu. Bukan hanya kompak bicara dan menolong mamanya, tapi gaya berpakaian mereka juga serupa. Hari ini, dua perempuan itu menggunakan kemeja berwarna peach. Bedanya, Queenie masih menggunakan outer, sementara Erika tidak. “Wah, adikku tersayang.” Queenie berusaha untuk memeluk perempuan yang duduk di sebelahnya. “Kita ternyata memang satu hati ya.” “Satu hati apaan?” Erika jelas saja akan menghardik. “Menjauh dariku.” “Ah, jangan begitu sama kakak sendiri dong.” Queenie malah makin ingin mengerjai adik lain ibunya itu. “Eh, menjauh.” Erika segera berdiri dari tempat duduknya untuk menjauh. “Jahat.” Queenie mencebik seolah sedang marah, walau sebenarnya dia hanya bercanda saja. Jujur saja, kelakuan dua perempuan itu membuat Kaisar dan Re
“Dasar sinting.” Kaisar menggumamkan hal itu sambil melihat ponselnya. Sekarang, lelaki itu sudah keluar dari kafe. Rupanya, dia tidak perlu membayar apa pun karena Erika sempat menyelipkan uang pada pelayan saat keluar tadi. Lebih dari cukup untuk membayar semua pesanan mereka. Lalu sekarang, Kaisar duduk di atas mobil majikannya di tempat parkir basement. Dia sudah sampai di gedung tempat Erika tinggal, tapi masih belum ingin turun dari mobil karena sedang melihat apa yang dikirimkan Queenie padanya. [thequeen.queenie: Ngemil sambal goreng bareng adik tercintah @erika_wiratama, sekalian mau jualan nih. Yang minat, PM ya. Stok sangat terbatas.] Queenie mengirimkan Kaisar tautan berisi fotonya bersama dengan Erika. Mereka sedang memakan sambal goreng jualan sang mama yang tadi ditolak orang. Mana, Erika juga mengunggah hal yang sama. “Dia ini benar-benar ingin terlihat jahat ata
“Kurasa aku sedang jatuh cinta,” gumam Kaisar yang seluruh wajahnya, ditutupi oleh majalah. “Hah? Maksudnya apa?” Viktor yang paling pertama bertanya. “Mungkin dia sudah move on.” Kali ini Reino yang berbicara. Hari ini kaisar sedang cuti dan memutuskan menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Itu dia lakukan karena ingin mencoba untuk curhat atau mungkin meminta pendapat. Namun, sepertinya dia salah. Dua orang lelaki yang duduk di depannya ini jelas tidak bisa diandalkan dalam hal percintaan. Viktor memang bukan lelaki playboy, tapi dia juga sudah cukup sering berganti pasangan. Tidak sesering Reino, tapi tetap saja. “Rasanya percuma aku datang ke kantor sialan ini untuk bertemu kalian.” Kaisar melempar majalah yang menutupi wajahnya dengan kesal. “Hei, Bung. Kau itu pegawai di sini. Kami yang menggajimu, jadi sopanlah sedikit,” tegur Reino hanya untuk bercanda saja. “Aku tertarik dengan apa yang kau katakan tadi.” Berbeda dengan Reino, Viktor memilih untuk lebih serius. “Ka
“Eh? Usaha makanan?” tanya Retno agak kaget dengan ide putranya. “Ya.” Reino mengangguk yakin. “Kan Mama bisa masak, jadi kita buat saja usaha kecil-kecilan.” “Tapi bukannya kau ada pekerjaan?” Bima yang hari ini ikut berdiskusi bertanya. “Aku bekerja dengan Erika dan aku yakin dia tidak akan masalah kalau aku sedikit membantu Mama.” Bima hanya mengangguk saja ketika mendengar itu. Dia bahkan tidak mau repot-repot bertanya, ketika mendengar nama Erika disebut. Bukannya Bima tidak peduli, tapi urusan percintaan kakaknya dan perempuan itu tidak bisa dia campuri. Apalagi, dia sudah pernah ditolak Erika. “Kalau begitu, bertanyalah dulu pada Erika.” Retno pada akhirnya tidak langsung mengiyakan. “Setelah dia setuju, baru kita pikirkan lagi.” *** “Boleh. Lagian, kenapa harus tanya aku?” Itu yang dikatakan Erika saat Kaisar bertanya. “Karena kau sendiri yang bilang kalau aku harus denganmu dua puluh empat jam. Kalau ada keperluan, aku harus melapor dan hanya boleh meninggalka
“Maaf kalau aku mengganggu kencannya ya.” Queenie mengatakan hal itu dengan nada sangat riang. “Sa ... sama sekali tidak masalah.” Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Angga. Tadi perempuan yang berprofesi sebagai perawat itu memang mengunjungi adiknya. Queenie sama sekali memberi tahu Erika dan nyaris saja datang dengan tangan kosong. Sebenarnya, Queenie enggan mengganggu kencan orang. Tapi karena Kaisar juga ikut, alhasil dia juga ingin ikut. Dia ingin melihat lelaki yang jadi gebetan Erika. “Tapi aku baru tahu kalau Erika punya kakak. Bukannya waktu sekolah kau bilang anak tunggal?” tanya Angga dengan hati-hati. “Ya.” Erika mengangguk, sambil mengaduk saladnya. “Dulunya memang anak tunggal, tapi sekarang punya kakak lain ibu. Panjang kalau mau diceritakan.” “Sudahlah.” Queenie segera melambaikan tangannya pada lelaki yang duduk di depan adiknya itu. “Dari p
“Jadi bagaimana?” Erika yang memulai pembicaraan. “Kau sudah mencari tahu dan sudah ingin memberikan jawaban atau penawaran lain?” “Aku sudah mencari tahu.” Angga mengangguk pelan. “Sayangnya aku masih belum mengerti.” “Bagian mana yang belum kau mengerti?” Angga tentu saja mulai menjelaskan. Lelaki itu masih tidak tahu kenapa Erika harus mendekati Jayantaka, padahal perempuan itu membencinya. Dia tidak mengerti kenapa Erika masih mengejar Kaisar, padahal lelaki itu bisa dibilang musuhnya. “Maksudku, kau pernah membencinya dan kini mengejarnya?” tanya Angga dengan kening berkerut. “Bagiku itu aneh.” “Apa kau tidak dengar apa yang dikatakan Queenie tadi?” Alih-alih langsung menjawab, Erika ingin menjelaskan lebih dulu. “Soal selingkuhan?” tanya Angga hati-hati. Walau tadi sudah mendengar, tapi dia tentu tidak ingin salah bicara. “Ya. Aku
“Apa ini?” Reino langsung bertanya ketika menerima bungkusan dari sahabatnya. “Sambal goreng? Kau bikin sendiri?” Kali ini Vic yang bertanya. “Itu sampel makanan buatan mamaku. Rencananya, kami ingin jualan itu.” Kaisar memberi tahu. “Taste good.” Reino mengangguk, sambil mengunyah. “Kalau begitu, aku pesan untuk satu kantor.” “Apa kau gila?” Viktor yang memaki. “Tante Retno tidak mungkin bisa membuat untuk satu kantormu yang berisi nyaris seratus orang itu.” “Aku hanya ingin membantu temanku, agar dagangannya cepat laku. Apa yang salah?” “Salah karena kau bisa membuat seorang perempuan tua bekerja terlalu keras dan berakhir di rumah sakit karena kelelahan.” Kaisar tersenyum mendengar kedua sahabatnya itu bertengkar. Mereka memang orang-orang yang jarang menggunakan filter saat berbicara, tapi mereka jelas orang yang baik. “Mama masih mengerjakan ini secara manual. Belum ada mesin, jadi kalau kau memesan untuk seratus orang sekaligus, pastinya dia akan kelelahan.” Kaisar menja
“Kenalkan ini, Kaisar.” Erika memulai perkenalan itu. “Lalu ini Travis, katanya dia fansku.” “Kalau boleh tahu, dia siapamu?” Travis dengan lancangnya bertanya. “Pacar,” jawab Erika dengan tegas. “Eh, beneran pacar toh. Kiraiin tadi masnya bohong kalau sudah punya pacar.” Perempuan yang tadi mengikuti Kaisar berbicara. Erika menatap perempuan itu dengan mata menyipit. Untung saja perempuan itu segera mengaku dan berakhir dengan sesi foto bersama. “Kau mungkin bisa jadi selebgram juga.” Erika mengatakan itu, setelah mereka berdua duduk manis di dalam mobil. “Tidak terima kasih. Aku tidak cocok dengan hal-hal seperti itu.” Kaisar segera menolak. “Lalu kau cocok sebagai apa? Pengusaha?” Erika menyindir, untungnya Kaisar tidak marah dan malah tertawa. “Aku memang merasa seperti itu.” Kaisar mengangguk penuh percaya diri. “Anak-anak yang lain juga mengatakan seperti itu. Kau sepertinya cocol di bidang pemasaran.” “Sungguh? Teman-temanmu bilang seperti itu?” Erika tidak