“Kaisar.” “Hah? Kenapa?” Yang empunya nama langsung terlonjak mendengar panggilan itu. “Kau itu kenapa sih?” Retno menegur putranya. “Dari tadi dipanggil, tapi gak dijawab sama sekali. Melamun saja terus.” “Maaf, Ma. Aku lagi banyak pikiran.” Hanya itu saja yang bisa dikatakan lelaki itu pada ibunya. “Kalau emang lagi banyak kerjaan, gak usah bantu Mama. Pesanannya belum banyak kok. Masih bisa diurus sendiri. Sana, balik ke Erika lagi.” Kaisar langsung meringis mendengar nama itu disebut. Dia jadi teringat lagi dengan kebodohan yang dia buat tempo hari, saat Erika mengatakan ingin menyerah. Beberapa hari lalu, pada akhirnya Kaisar hanya bisa diam. Lelaki itu terlalu terkejut 9untuk mengatakan sesuatu, sampai akhirnya Erika kesal dan memintanya untuk segera pulang saja. “Hei, kenapa melamun lagi?” Retno memukul lengan putranya. “Maaf.” Lagi-lagi hanya itu yang bisa dikatakan oleh Kaisar. “Jangan-jangan, kau bertengkar dengan Erika ya?” Sang mama dengan mudah menabak. Sayangny
“Sialan.” Kaisar mengumpat, setelah melihat ponselnya sekitar dua puluh lima menit kemudian. “Kenapa aku baru baca sekarang?” Lelaki yang baru saja mau masuk ke dalam pusat perbelanjaan itu, langsung putar balik. Dia tidak punya banyak waktu lagi dan harus segera mengejar Erika ke bandara. “Sialan.” Kaisar kembali mengumpat, ketika lupa di mana memarkir motornya. “Kenapa juga dia tidak bilang-bilang mau ke luar negeri?” Setelah sekitar lima menit mencari, pada akhirnya Kaisar bisa menemukan motornya. Dia pun bergegas pergi untuk mengejar sang pujaan hati, takut kalau tidak akan bertemu dan Erika tidak mau kembali lagi. Untung saja jalanan tidak terlalu macet. Padat, tapi masih bisa dilalui oleh motor, tanpa harus terjebak macet selama berjam-jam lamanya. Sayangnya, tetap saja butuh waktu lama ke bandara karena lokasinya yang jauh. “Maaf,” teriak Kaisar cukup kencang, ketika harus mengambil parkiran orang. “Saya lagi buru-buru, pacar saya kabur.” Alasan yang tidak masuk akal, ta
“Apa sih yang kau lakukan di rumah orang?” Bima bertanya dengan kedua tangan berada di pinggang. “Padahal kau sudah diusir.” “Aku tidak diusir,” jawab Kaisar sang kakak, dengan suara sengau. Saat ini, Kaisar Arya Jayantaka sedang terbaring lemah di atas ranjang. Tentu saja dia masih tinggal di rumah Erika yang super besar itu, walau yang empunya rumah telah pergi. Itu membuat adiknya yang datang menjenguk, berdecak kesal. “Sadarlah sedikit, Kai. Kau sudah dicampakkan begitu, tapi masih juga ingin tinggal di sini.” Bima masih menasihati sang kakak, sambil merapikan beberapa pakaian yang berserakan. “Tapi itu juga salahku. Itu karena dari awal aku tidak tegas dan menghindarinya. Aku yang duluan menyakiti Erika.” Walau sudah ditinggal, lelaki yang tengah sakit itu masih membela pujaan hatinya. “Terserah, tapi yang jelas kau tidak bisa terus tinggal di rumah orang. Walau sempit, tinggal di rumah sendiri lebih baik. Setidaknya ada yang melihatmu kalau sakit seperti sekarang.” Bima te
“Mimpiku terlalu indah,” gumam Kaisar ketika dia baru saja terbangun dari tidurnya, keesokan hari. Kaisar mendesah pelan ketika mengingat mimpinya. Dia bisa melihat Erika dengan sangat jelas dalam mimpi itu, bahkan bisa mendengar suara pujaan hatinya. Namun, itu tidak mungkin kan? Erika sedang ada di Amerika. “Sudahlah, Kai. Sudah saatnya kau sadar dan kembali pada kenyataan.” Lelaki itu pada akhirnya bangun dari ranjang. Kaisar sudah merasa lebih sehat, tapi masih sedikit lemas. Karenanya dia tidak merapikan ranjang dan memilih untuk pergi ke dapur untuk memakan sesuatu saja. Siapa tahu ada masakan sang mama yang bisa dihangatkan. Namun, belum juga sampai di dapur, Kaisar bisa mendengar suara berdengung. Sepertinya, seseorang sedang menggunakan blender entah untuk apa. “Mama? Sepagi ini sudah datang?” Kaisar tentu mengernyit karena ini masih sangat pagi. Baru jam enam pagi. “Oh, kau sudah bangun?” Kedua bola mata Kaisar membulat mendengar suara itu. Suara lembut yang jelas bu
“Kurasa aku akan menikah dalam waktu dekat,” ucap Erika dengan raut wajah riang. “Eh, kok bisa?” Vanessa yang paling pertama menyahut dengan raut wajah kaget. Kebetulan, mereka memang sedang melakukan panggilan video grup. “Lelaki mana yang akhirnya berani melamarmu?” Lydia juga ikut bertanya dengan nada antusias. “Padahal kupikir kau akan menunggu Kaisar sampai tua.” Cinta yang meledek, sambil menyuapi anaknya makan. “Aku dengan Kaisar kok,” jawab Erika masih dengan nada riang. “Tadi pagi dia melamarku.” Seruan bernada kaget langsung terdengar. Satu per satu sahabat Erika, mulai menanyakan banyak hal. Mereka tentu saja penasaran kenapa bisa Kaisar Arya Jayantaka pada akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Erika Wiratama. Tentu saja Erika tidak keberatan menceritakan lamaran yang sama sekali tidak romantis itu, tapi tetap berhasil membuatnya terharu. Dia bahkan memamerkan cincin tipis yang dibelikan Kaisar. “Cantik kan?” tanya Erika benar-benar tak bisa untuk tidak tersenyum
“Erika.” Kaisar berteriak, sembari mengetuk pintu. “Kau belum makan.” Tentu saja tidak ada jawaban dari balik pintu. Perempuan cantik itu, bungkam dan tidak ingin berbicara pada sang kekasih. Entah Erika yang terlalu negatif atau apa, tapi dia merasa terkhianati. “Aku bukannya tidak ingin menikah.” Pada akhirnya, Kaisar kembali mencoba menjelaskan. “Aku tidak mempermainkanmu. Aku hanya meminta sedikit waktu, sampai aku cukup stabil untuk menghidupimu.” “Saat ini aku bahkan tidak pekerjaan, loh. Aku hanya bantu-bantu mama buat jualan dan itu pun masih baru merintis. Aku janji tidak akan lama-lama.” Seberapa banyak penjelasan yang diberikan Kaisar, tampaknya Erika enggan mendengar. Perempuan itu tetap bungkam dan mengunci diri di dalam kamar. Itu jelas membuat Kaisar menjadi makin sakit kepala. *** “Kenapa sih perempuan sulit sekali dimengerti?” Gagal membujuk Erika keluar kamar, pada akhirnya Kaisar berkunjung ke rumah temannya. “Kalau mereka mudah dimengerti, bukan perempuan
“Aku gak jadi nikah.” Erika meneriakkan itu di depan ponselnya. “Hah? Maksudnya gimana?” Para sahabat Erika yang terhubung melalui panggilan video call, langsung memekik karena terkejut. “Aku udah balikin cincin yang dikasih Kaisar,” jawab Erika dengan wajah cemberut, siap untuk menangis. “Loh? Kenapa?” Cinta yang paling pertama bereaksi. “Perasaan baru berapa hari lalu kamu dilamar.” “Iya, tapi dia hanya asal ngelamar. Gak beneran mau nikah, apalagi dalam waktu dekat.” Erika menjawab dengan ekspresi kesal yang berlebihan. “Bentar-bentar.” Lidya langsung menghentikan sahabatnya yang baru mau menyambung kalimat itu. “Maksudnya gimana sih? Coba cerita yang detail.” Akhirnya, mengalirlah cerita Erika begitu saja. Tentu saja dia menceritakan itu dengan menggebu-gebu karena benar-benar merasa kesal. Tapi ternyata, itu membuat para sahabatnya jadi bingung. “Kenapa kau langsung minta pisah sih?” Vanessa yang bertanya dengan bingung. “Itu kan bisa dibicarakan baik-baik dulu.” “Aku su
“Kau itu bodoh atau apa?” tanya Viktor dengan kedua alis yang terangkat. “Mana bisa main menikah saja di catatan sipil dengan KTP saja?” “Aku hanya ... terburu-buru,” ringis Kaisar merasa agak malu juga. “Aku lupa kalau banyak yang harus diurus sebelumnya.” “Kau benar-benar bucin.” Viktor pada akhirnya hanya bisa menggeleng melihat temannya itu. “Bisa jangan terus menghina, Kai?” Setelah sekian lama diam, akhirnya Erika ikut berbicara. “Aku hanya mengatakan kenyataan, bukan menghina.” Viktor tentu akan membantah karena memang seperti itu dan membuat Erika mendengus kesal. Erika dan Kaisar memang langsung ke kantor Viktor si pengacara setelah dari DISDUKCAPIL dan ditolak. Tentu saja mereka datang ingin meminta bantuan dan bisa dengan mudah ditebak oleh Viktor. “Jadi mau dibantu nih?” tanya Viktor memainkan kedua alisnya, sekedar hanya untuk menggoda. “Kalau kau tidak sibuk dan mau,” jawab Kaisar rasional. Dia tahu sahabatnya itu cukup sibuk dan sebenarnya punya tarif yang m