“Dasar sinting.” Kaisar menggumamkan hal itu sambil melihat ponselnya.
Sekarang, lelaki itu sudah keluar dari kafe. Rupanya, dia tidak perlu membayar apa pun karena Erika sempat menyelipkan uang pada pelayan saat keluar tadi. Lebih dari cukup untuk membayar semua pesanan mereka. Lalu sekarang, Kaisar duduk di atas mobil majikannya di tempat parkir basement. Dia sudah sampai di gedung tempat Erika tinggal, tapi masih belum ingin turun dari mobil karena sedang melihat apa yang dikirimkan Queenie padanya. [thequeen.queenie: Ngemil sambal goreng bareng adik tercintah @erika_wiratama, sekalian mau jualan nih. Yang minat, PM ya. Stok sangat terbatas.] Queenie mengirimkan Kaisar tautan berisi fotonya bersama dengan Erika. Mereka sedang memakan sambal goreng jualan sang mama yang tadi ditolak orang. Mana, Erika juga mengunggah hal yang sama. “Dia ini benar-benar ingin terlihat jahat ata“Kurasa aku sedang jatuh cinta,” gumam Kaisar yang seluruh wajahnya, ditutupi oleh majalah. “Hah? Maksudnya apa?” Viktor yang paling pertama bertanya. “Mungkin dia sudah move on.” Kali ini Reino yang berbicara. Hari ini kaisar sedang cuti dan memutuskan menghabiskan waktu dengan teman-temannya. Itu dia lakukan karena ingin mencoba untuk curhat atau mungkin meminta pendapat. Namun, sepertinya dia salah. Dua orang lelaki yang duduk di depannya ini jelas tidak bisa diandalkan dalam hal percintaan. Viktor memang bukan lelaki playboy, tapi dia juga sudah cukup sering berganti pasangan. Tidak sesering Reino, tapi tetap saja. “Rasanya percuma aku datang ke kantor sialan ini untuk bertemu kalian.” Kaisar melempar majalah yang menutupi wajahnya dengan kesal. “Hei, Bung. Kau itu pegawai di sini. Kami yang menggajimu, jadi sopanlah sedikit,” tegur Reino hanya untuk bercanda saja. “Aku tertarik dengan apa yang kau katakan tadi.” Berbeda dengan Reino, Viktor memilih untuk lebih serius. “Ka
“Eh? Usaha makanan?” tanya Retno agak kaget dengan ide putranya. “Ya.” Reino mengangguk yakin. “Kan Mama bisa masak, jadi kita buat saja usaha kecil-kecilan.” “Tapi bukannya kau ada pekerjaan?” Bima yang hari ini ikut berdiskusi bertanya. “Aku bekerja dengan Erika dan aku yakin dia tidak akan masalah kalau aku sedikit membantu Mama.” Bima hanya mengangguk saja ketika mendengar itu. Dia bahkan tidak mau repot-repot bertanya, ketika mendengar nama Erika disebut. Bukannya Bima tidak peduli, tapi urusan percintaan kakaknya dan perempuan itu tidak bisa dia campuri. Apalagi, dia sudah pernah ditolak Erika. “Kalau begitu, bertanyalah dulu pada Erika.” Retno pada akhirnya tidak langsung mengiyakan. “Setelah dia setuju, baru kita pikirkan lagi.” *** “Boleh. Lagian, kenapa harus tanya aku?” Itu yang dikatakan Erika saat Kaisar bertanya. “Karena kau sendiri yang bilang kalau aku harus denganmu dua puluh empat jam. Kalau ada keperluan, aku harus melapor dan hanya boleh meninggalka
“Maaf kalau aku mengganggu kencannya ya.” Queenie mengatakan hal itu dengan nada sangat riang. “Sa ... sama sekali tidak masalah.” Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Angga. Tadi perempuan yang berprofesi sebagai perawat itu memang mengunjungi adiknya. Queenie sama sekali memberi tahu Erika dan nyaris saja datang dengan tangan kosong. Sebenarnya, Queenie enggan mengganggu kencan orang. Tapi karena Kaisar juga ikut, alhasil dia juga ingin ikut. Dia ingin melihat lelaki yang jadi gebetan Erika. “Tapi aku baru tahu kalau Erika punya kakak. Bukannya waktu sekolah kau bilang anak tunggal?” tanya Angga dengan hati-hati. “Ya.” Erika mengangguk, sambil mengaduk saladnya. “Dulunya memang anak tunggal, tapi sekarang punya kakak lain ibu. Panjang kalau mau diceritakan.” “Sudahlah.” Queenie segera melambaikan tangannya pada lelaki yang duduk di depan adiknya itu. “Dari p
“Jadi bagaimana?” Erika yang memulai pembicaraan. “Kau sudah mencari tahu dan sudah ingin memberikan jawaban atau penawaran lain?” “Aku sudah mencari tahu.” Angga mengangguk pelan. “Sayangnya aku masih belum mengerti.” “Bagian mana yang belum kau mengerti?” Angga tentu saja mulai menjelaskan. Lelaki itu masih tidak tahu kenapa Erika harus mendekati Jayantaka, padahal perempuan itu membencinya. Dia tidak mengerti kenapa Erika masih mengejar Kaisar, padahal lelaki itu bisa dibilang musuhnya. “Maksudku, kau pernah membencinya dan kini mengejarnya?” tanya Angga dengan kening berkerut. “Bagiku itu aneh.” “Apa kau tidak dengar apa yang dikatakan Queenie tadi?” Alih-alih langsung menjawab, Erika ingin menjelaskan lebih dulu. “Soal selingkuhan?” tanya Angga hati-hati. Walau tadi sudah mendengar, tapi dia tentu tidak ingin salah bicara. “Ya. Aku
“Apa ini?” Reino langsung bertanya ketika menerima bungkusan dari sahabatnya. “Sambal goreng? Kau bikin sendiri?” Kali ini Vic yang bertanya. “Itu sampel makanan buatan mamaku. Rencananya, kami ingin jualan itu.” Kaisar memberi tahu. “Taste good.” Reino mengangguk, sambil mengunyah. “Kalau begitu, aku pesan untuk satu kantor.” “Apa kau gila?” Viktor yang memaki. “Tante Retno tidak mungkin bisa membuat untuk satu kantormu yang berisi nyaris seratus orang itu.” “Aku hanya ingin membantu temanku, agar dagangannya cepat laku. Apa yang salah?” “Salah karena kau bisa membuat seorang perempuan tua bekerja terlalu keras dan berakhir di rumah sakit karena kelelahan.” Kaisar tersenyum mendengar kedua sahabatnya itu bertengkar. Mereka memang orang-orang yang jarang menggunakan filter saat berbicara, tapi mereka jelas orang yang baik. “Mama masih mengerjakan ini secara manual. Belum ada mesin, jadi kalau kau memesan untuk seratus orang sekaligus, pastinya dia akan kelelahan.” Kaisar menja
“Kenalkan ini, Kaisar.” Erika memulai perkenalan itu. “Lalu ini Travis, katanya dia fansku.” “Kalau boleh tahu, dia siapamu?” Travis dengan lancangnya bertanya. “Pacar,” jawab Erika dengan tegas. “Eh, beneran pacar toh. Kiraiin tadi masnya bohong kalau sudah punya pacar.” Perempuan yang tadi mengikuti Kaisar berbicara. Erika menatap perempuan itu dengan mata menyipit. Untung saja perempuan itu segera mengaku dan berakhir dengan sesi foto bersama. “Kau mungkin bisa jadi selebgram juga.” Erika mengatakan itu, setelah mereka berdua duduk manis di dalam mobil. “Tidak terima kasih. Aku tidak cocok dengan hal-hal seperti itu.” Kaisar segera menolak. “Lalu kau cocok sebagai apa? Pengusaha?” Erika menyindir, untungnya Kaisar tidak marah dan malah tertawa. “Aku memang merasa seperti itu.” Kaisar mengangguk penuh percaya diri. “Anak-anak yang lain juga mengatakan seperti itu. Kau sepertinya cocol di bidang pemasaran.” “Sungguh? Teman-temanmu bilang seperti itu?” Erika tidak
“Kaisar.” “Hah? Kenapa?” Yang empunya nama langsung terlonjak mendengar panggilan itu. “Kau itu kenapa sih?” Retno menegur putranya. “Dari tadi dipanggil, tapi gak dijawab sama sekali. Melamun saja terus.” “Maaf, Ma. Aku lagi banyak pikiran.” Hanya itu saja yang bisa dikatakan lelaki itu pada ibunya. “Kalau emang lagi banyak kerjaan, gak usah bantu Mama. Pesanannya belum banyak kok. Masih bisa diurus sendiri. Sana, balik ke Erika lagi.” Kaisar langsung meringis mendengar nama itu disebut. Dia jadi teringat lagi dengan kebodohan yang dia buat tempo hari, saat Erika mengatakan ingin menyerah. Beberapa hari lalu, pada akhirnya Kaisar hanya bisa diam. Lelaki itu terlalu terkejut 9untuk mengatakan sesuatu, sampai akhirnya Erika kesal dan memintanya untuk segera pulang saja. “Hei, kenapa melamun lagi?” Retno memukul lengan putranya. “Maaf.” Lagi-lagi hanya itu yang bisa dikatakan oleh Kaisar. “Jangan-jangan, kau bertengkar dengan Erika ya?” Sang mama dengan mudah menabak. Sayangny
“Sialan.” Kaisar mengumpat, setelah melihat ponselnya sekitar dua puluh lima menit kemudian. “Kenapa aku baru baca sekarang?” Lelaki yang baru saja mau masuk ke dalam pusat perbelanjaan itu, langsung putar balik. Dia tidak punya banyak waktu lagi dan harus segera mengejar Erika ke bandara. “Sialan.” Kaisar kembali mengumpat, ketika lupa di mana memarkir motornya. “Kenapa juga dia tidak bilang-bilang mau ke luar negeri?” Setelah sekitar lima menit mencari, pada akhirnya Kaisar bisa menemukan motornya. Dia pun bergegas pergi untuk mengejar sang pujaan hati, takut kalau tidak akan bertemu dan Erika tidak mau kembali lagi. Untung saja jalanan tidak terlalu macet. Padat, tapi masih bisa dilalui oleh motor, tanpa harus terjebak macet selama berjam-jam lamanya. Sayangnya, tetap saja butuh waktu lama ke bandara karena lokasinya yang jauh. “Maaf,” teriak Kaisar cukup kencang, ketika harus mengambil parkiran orang. “Saya lagi buru-buru, pacar saya kabur.” Alasan yang tidak masuk akal, ta
“Apa kau baik-baik saja?” “Tidak ada yang akan baik-baik saja, setelah keguguran, Nes.” Erika tersenyum pada sahabatnya. “Sorry.” Vanessa yang tadi bertanya, meringis dan merasa bersalah. “Tidak usah merasa bersalah. Itu tidak akan mengubah apa pun,” balas perempuan cantik yang baru saja memotong rambutnya jadi bob itu. “Tumben kau bisa bijak begitu.” Kali ini Lydia yang mengejek Erika. “Sebenarnya itu bukan kata-kataku, tapi kata-kata si dokter.” Kali ini, giliran Erika yang meringis. “Lagi pula, kantungnya juga kosong. Belum ada bayi di dalamnya.” “Bener juga sih, tapi kan harus tetap nunggu beberapa lama dulu kan?” Giliran Cinta yang bertanya. Empat perempuan yang bersahabat itu, kini tengah berkumpul di salah satu kafe kesukaan mereka. Walau semua sibuk dengan urusan rumah tangga masing-masing, tapi mereka menyempatkan diri berkumpul untuk menghibur Erika. “Ya, apalagi aku cuma diberikan obat dan bukan kuret. Jadi mungkin aku harus bertahan minimal tujuh bulan lagi.
“Erika.” Kaisar meneriakkan nama sang istri ketika dia tiba di rumah. “Sayang, kamu di mana?” Lelaki dengan pakaian kerja yang sudah berantakan itu, berlari menaiki tangga karena tidak mendapat jawaban. Dia juga tidak melihat sang istri di ruang tamu, maupun di dapur. Tinggal kamar yang belum diperiksa. “Sayang.” Kaisar langsung mendesah lega melihat istrinya meringkuk di atas ranjang. “Kamu kenapa?” Tidak ada jawaban dari Erika. Perempuan cantik itu bahkan tidak melepas pelukan pada lututnya. Dia bahkan belum mengganti baju, sejak pulang dari mengantar Queenie. “Erika.” Kaisar segera memeluk istrinya karena tahu ada yang tidak beres. Setidaknya, itu yang dikatakan sang kakak ipar. Lelaki yang terlihat makin matang itu, memang buru-buru pulang setelah mendapat pesan dari Queenie. Iparnya itu tidak mengatakan sesuatu yang spesifik, tapi Kaisar tahu ada yang salah. “Queenie ternyata hamil.” Akhirnya Erika bersuara dan mendongak, setelah cukup lama berdiam diri. “Padahal dia tidak
“Aku mohon.” Erika menggumamkan kalimat pendek itu, dengan mata terpejam dan kedua tangan terkatup. “Aku mohon kali ini berhasil.” Setelah sekali lagi menggumamkan kalimat serupa, si cantik itu membuka mata. Dia mengeluarkan stik yang sudah terendam beberapa menit pada cairan kuning dalam wadah kecil. Sayang sekali, hasilnya tidak membuat Erika senang. “Negatif lagi.” Erika mengatakan itu pada suaminya, ketika dia keluar dari kamar mandi. “Kamu tes lagi?” tanya Kaisar disertai dengan wajah prihatin. “Tentu saja aku akan terus melakukan tes, setiap kali kita selesai berhubungan,” jawab Erika dengan jujur. “Maksudku, tidak langsung juga.” “Sayang, tidak perlu buru-buru.” Selesai merapikan dasi, Kaisar langsung pergi memeluk istrinya itu. “Kita masih punya cukup banyak waktu untuk punya anak.” “Tapi ini sudah hampir dua tahun, Kai. Lydia saja sekarang sudah hamil anak kedua.” Tentu saja Erika akan mengeluh. Dia sudah sangat ingin menggendong malaikat kecil yang mirip dirinya atau
“Selamat pagi, Pak.” Kaisar menunduk ramah pada lelaki di depannya. “Halo, Kaisar.” Seorang lelaki pria tinggi besar mengulurkan tangan untuk menjabat. “Saya senang karena masih bisa menghubungi kamu.” “Saya yang harusnya senang karena Pak Herdiyanto masih mau menghubungi saya dan menawarkan pekerjaan.” Tentu saja Kaisar akan menunduk sopan. “Itu karena akan sangat sayang kalau bakat sepertimu hanya bekerja sebagai ojek saja.” Pak Herdiyanto menjawab dengan senyum cerah. “Syukurnya saya melihat postingan tunanganmu kamu dan kebetulan juga ada yang baru mengajukan pengunduran diri.” “Sangat kebetulan, Pak.” Kaisar sedikit meringis ketika mendengar hal itu. “Tapi bagi saya, tidak ada kebetulan di dunia ini.” Melihat lawan bicaranya sedikit canggung, Pak Herdiyanto mengatakan hal itu diiringi dengan kedipan mata. “Semua pasti ada alasannya.” Tak ada lagi yang bisa dikatakan oleh Kaisar, selain mengangguk. Dia kemudian mengikuti pria paruh baya itu ke ruangannya dan melakukan wawanca
“Kenapa kau tidak pernah bilang tentang pekerjaanmu?” tanya Erika dengan mata melotot, tidak peduli kalau sekarang dia sedang berada di tempat umum. “Tunggu dulu Erika.” Kaisar yang tadinya masih duduk di atas motor, kini turun untuk menjelaskan. “Aku mohon jangan marah dulu. Aku punya alasan untuk semua ini.” “Yang benar saja?” Erika makin melotot. “Bagaimana mungkin aku tidak marah ketika kau menyembunyikan semua ini.” “Aku tidak berniat untuk menyembunyikan apa pun. Aku hanya ....” “Hanya ingin bersenang-senang dengan cara membonceng perempuan lain?” Erika memotong kalimat tunangannya itu dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Mana mungkin aku seperti itu, aku hanya .... Tunggu dulu.” Kaisar tiba-tiba saja menjadi bingung dengan apa yang dikatakan sang tunangan barusan. “Kau barusan bilang apa?” “Kau mau mengambil kesempatan dari penumpang perempuan kan?” tanya Erika tampak tidak mau menahan diri lagi. “Kau akan dengan sengaja mengerem mendadak agar nanti dada mereka b
“Kau itu bodoh atau apa?” tanya Viktor dengan kedua alis yang terangkat. “Mana bisa main menikah saja di catatan sipil dengan KTP saja?” “Aku hanya ... terburu-buru,” ringis Kaisar merasa agak malu juga. “Aku lupa kalau banyak yang harus diurus sebelumnya.” “Kau benar-benar bucin.” Viktor pada akhirnya hanya bisa menggeleng melihat temannya itu. “Bisa jangan terus menghina, Kai?” Setelah sekian lama diam, akhirnya Erika ikut berbicara. “Aku hanya mengatakan kenyataan, bukan menghina.” Viktor tentu akan membantah karena memang seperti itu dan membuat Erika mendengus kesal. Erika dan Kaisar memang langsung ke kantor Viktor si pengacara setelah dari DISDUKCAPIL dan ditolak. Tentu saja mereka datang ingin meminta bantuan dan bisa dengan mudah ditebak oleh Viktor. “Jadi mau dibantu nih?” tanya Viktor memainkan kedua alisnya, sekedar hanya untuk menggoda. “Kalau kau tidak sibuk dan mau,” jawab Kaisar rasional. Dia tahu sahabatnya itu cukup sibuk dan sebenarnya punya tarif yang m
“Aku gak jadi nikah.” Erika meneriakkan itu di depan ponselnya. “Hah? Maksudnya gimana?” Para sahabat Erika yang terhubung melalui panggilan video call, langsung memekik karena terkejut. “Aku udah balikin cincin yang dikasih Kaisar,” jawab Erika dengan wajah cemberut, siap untuk menangis. “Loh? Kenapa?” Cinta yang paling pertama bereaksi. “Perasaan baru berapa hari lalu kamu dilamar.” “Iya, tapi dia hanya asal ngelamar. Gak beneran mau nikah, apalagi dalam waktu dekat.” Erika menjawab dengan ekspresi kesal yang berlebihan. “Bentar-bentar.” Lidya langsung menghentikan sahabatnya yang baru mau menyambung kalimat itu. “Maksudnya gimana sih? Coba cerita yang detail.” Akhirnya, mengalirlah cerita Erika begitu saja. Tentu saja dia menceritakan itu dengan menggebu-gebu karena benar-benar merasa kesal. Tapi ternyata, itu membuat para sahabatnya jadi bingung. “Kenapa kau langsung minta pisah sih?” Vanessa yang bertanya dengan bingung. “Itu kan bisa dibicarakan baik-baik dulu.” “Aku su
“Erika.” Kaisar berteriak, sembari mengetuk pintu. “Kau belum makan.” Tentu saja tidak ada jawaban dari balik pintu. Perempuan cantik itu, bungkam dan tidak ingin berbicara pada sang kekasih. Entah Erika yang terlalu negatif atau apa, tapi dia merasa terkhianati. “Aku bukannya tidak ingin menikah.” Pada akhirnya, Kaisar kembali mencoba menjelaskan. “Aku tidak mempermainkanmu. Aku hanya meminta sedikit waktu, sampai aku cukup stabil untuk menghidupimu.” “Saat ini aku bahkan tidak pekerjaan, loh. Aku hanya bantu-bantu mama buat jualan dan itu pun masih baru merintis. Aku janji tidak akan lama-lama.” Seberapa banyak penjelasan yang diberikan Kaisar, tampaknya Erika enggan mendengar. Perempuan itu tetap bungkam dan mengunci diri di dalam kamar. Itu jelas membuat Kaisar menjadi makin sakit kepala. *** “Kenapa sih perempuan sulit sekali dimengerti?” Gagal membujuk Erika keluar kamar, pada akhirnya Kaisar berkunjung ke rumah temannya. “Kalau mereka mudah dimengerti, bukan perempuan
“Kurasa aku akan menikah dalam waktu dekat,” ucap Erika dengan raut wajah riang. “Eh, kok bisa?” Vanessa yang paling pertama menyahut dengan raut wajah kaget. Kebetulan, mereka memang sedang melakukan panggilan video grup. “Lelaki mana yang akhirnya berani melamarmu?” Lydia juga ikut bertanya dengan nada antusias. “Padahal kupikir kau akan menunggu Kaisar sampai tua.” Cinta yang meledek, sambil menyuapi anaknya makan. “Aku dengan Kaisar kok,” jawab Erika masih dengan nada riang. “Tadi pagi dia melamarku.” Seruan bernada kaget langsung terdengar. Satu per satu sahabat Erika, mulai menanyakan banyak hal. Mereka tentu saja penasaran kenapa bisa Kaisar Arya Jayantaka pada akhirnya memutuskan untuk menikah dengan Erika Wiratama. Tentu saja Erika tidak keberatan menceritakan lamaran yang sama sekali tidak romantis itu, tapi tetap berhasil membuatnya terharu. Dia bahkan memamerkan cincin tipis yang dibelikan Kaisar. “Cantik kan?” tanya Erika benar-benar tak bisa untuk tidak tersenyum