Aruna terkekeh ketika ia berhasil mencipratkan air ke wajah Namika dan membuatnya langsung menutup wajahnya. “Kamu enggak bakal pernah menang dari aku kalau untuk masalah ini, Mika.”
“Bodo amat!” teriak Namika sambil berusaha menarik kaki Aruna agar ia tenggelam. Aruna memang tenggelam, tapi dia tidak terlihat seperti orang yang ditenggelamkan secara paksa.
Namika yang melihat itu hanya bisa cemberut. Ia melipat tangannya dan melihat awan-awan yang bergerak dengan cepat. Aruna pun ikut melihat apa yang sedang dilihat oleh Namika.
“Bentuk awan yang itu kayak permen ya,” celetuk Aruna sambil merangkul Namika dari belakang.
Badan Namika menegang sejenak dan ia sontak menggeleng. “Itu lebih mirip kayak ipadku. Kamu kok bisa mikir itu permen sih?”
“Malah aku yang seharusnya nanya gitu. Mau dilihat sampai badanmu diputar-putar juga enggak bakal kelihatan kalau itu tuh ipad,” sahut Aruna.
Namika langsung menoleh dan melihat Aruna yang juga sedang melihatnya. Posisi mereka memang lumayan canggung bagi Namika tapi sepertinya Aruna tidak merasa seperti itu.
“Kamu pasti sering gini sama cewek lain ya?” tanya Namika. Tiba-tiba saja mulutnya mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak ia katakan. Namika tidak bisa membayangkan jika Aruna benar-benar melakukan itu dengan perempuan lain.
“Kalau sama anak-anak panti asuhan, ya pernah lah. Tapi kamu juga tahu kalau anak-anak panti asuhan itu umurnya di bawah dua belas tahun semua,” jawabnya.
Namika mengangguk. Setelah di atas usia dua belas tahun, anak-anak panti asuhan itu tinggal di sebuah asrama. Namika kemudian merasakan hembusan napas di telinga Aruna.
Padahal Namika hanya perlu mengatakan kata-kata keramat itu. Tapi tentu saja itu adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Namika menundukkan kepalanya dan memegang kedua tangan yang merangkulnya.
Aruna pun mencium kepala Namika dan melepas rangkulannya. “Mending sekarang kita mandi dulu. Udah sore nih.”
Namika mengangguk pelan. “Kamu mandi di kamar mandi bawah ya. Kamu udah bawa baju kan?”
Laki-laki itu mengangguk. Namika segera berjalan ke atas dan tanpa sadar membanting pintu kamar mandi dengan keras. Wajahnya memerah dan ia langsung duduk di lantai.
“Aruna gila. Dia sadar gak sih kalau dia tuh bikin aku makin suka sama dia?” ucap Namika sambil menyalakan shower.
Ia memejamkan matanya dan mencoba untuk merasakan kembali sensasi yang ia rasakan tadi. Wajah Aruna berada di bahunya dan Namika dapat merasakan dada Aruna di punggungnya.
Gadis itu sontak membuka matanya ketika ia malah memikirkan hal yang lain. Namika kemudian mengambil handuk dan segera mengeringkan rambutnya. Tanpa ia sadari, sudah tiga puluh menit berlalu.
Namika berlari ke bawah dan menemukan Aruna yang sedang memainkan ponselnya. “Aku baru tahu kalau kamu punya hp,” celetuk Namika sambil duduk di sebelahnya.
“Punya sih, tapi sering ganti-ganti juga,” sahut Aruna.
“Wih orang kaya. Uangnya pasti gak habis-habis ya makanya selalu beli hp keluaran terbaru,” ejek Namika.
Aruna terkekeh. “Gausah berlagak kayak gitu. Aku tahu kok kalau hpmu itu sama hpku. Yang beda cuma warnanya aja.”
Mereka langsung tertawa dengan kencang. Beberapa saat kemudian, terdengar suara orang yang menekan bel. Aruna langsung berdiri dan datang dengan membawa beberapa makanan.
“Kok jadinya kamu yang beliin sih? Kan aku tuan rumahnya,” omel Namika namun tangannya tetap menerima makanan itu.
“Soalnya aku udah bikin kamu sakit kemarin,” jawab Aruna santai.
Namika berdecak pelan. “Gausah segininya juga kali. Aku memang sering sakit tapi sembuhnya cepet kok.”
Aruna mengacak rambut Namika. “Masa gitu? Mending kita makan dulu sebelum makanannya dingin.”
Mereka berdua segera menghabiskan makanan itu. Tatapan Namika terus mengarah pada Aruna. Ia memutuskan untuk mengatakan rahasianya pada Aruna malam ini.
Namika menarik Aruna ke sofa dan memilih sebuah series secara acak. Aruna tampak sangat menikmati film tersebut dan mengomentari beberapa hal. Tanpa mereka sadari, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Namika mengusap matanya dan mengangkat kepalanya. Aruna menarik bahu Namika dan merangkulnya dengan erat.
“Aku bakal bilang sesuatu, tapi kamu jangan bereaksi yang terlalu heboh ya,” bisik Aruna.
Gadis itu mengangguk. Sepertinya dia akan mengatakan rahasianya setelah Aruna mengatakan itu. Namika menyandarkan kepalanya di bahu Aruna.
“Alasan aku bisa ada di dalem air dalam waktu yang selama itu ya karena aku siren,” ucap Aruna.
Namika langsung mengerutkan keningnya dan menatap Aruna dengan saksama. “Tunggu, jadi orang-orang waktu itu ngincer kamu juga dong?”
Kini Aruna yang terlihat bingung, namun dia tetap mengangguk. “Ada beberapa siren yang memiliki kekuatan untuk membuat sebuah obat yang dapat menyembuhkan semua penyakit. Tapi sebaiknya kita bahas itu nanti, oke?”
Namika mengangguk. Matanya beralih pada kaki Aruna. Dari film-film yang ia tonton, bukankah siren langsung memiliki sirip ketika terkena air? Tapi Aruna selalu baik-baik saja. Bahkan tidak terjadi apa pun ketika mereka berenang tadi.
“Kami, para siren, adalah manusia berdosa yang terlahir dari alam. Kami diberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan kami. Namun jika kami tidak bisa memperbaiki kesalahan itu, maka kami akan mati di umur dua puluh tahun.”
Tubuh Namika langsung menegang. Ia teringat dengan pembicaraan mereka berdua beberapa hari yang lalu. Jadi inilah alasan kenapa Aruna bersikap seperti itu.
“Jadi gimana caranya untuk memperbaiki kesalahan itu?” tanya Namika. Dia tidak bisa membayangkan jika suatu hari Aruna akan meninggalkannya.
Aruna tersenyum samar. “Aku enggak tahu. Para siren yang berhasil berubah menjadi manusia tidak bisa mengatakan itu pada kami. Jika mereka membicarakannya pada kami, maka kami tidak dapat mendengarnya. Jika mereka menulisnya, maka kami tidak akan bisa membacanya.”
Aruna dapat merasakan tubuh Namika yang melemas. Dengan perlahan dia memeluknya dan mencium rambut Namika. Semua perasaan itu tercampur menjadi satu.
“Ada satu hal lagi yang harus aku bilang,” ucap Aruna.
Namika berusaha menahan air matanya dan menatap mata teduh Aruna. “Kamu akan melupakanku pada hari ke delapan kita bertemu. Jika dihitung, dalam waktu satu jam, kamu akan melupakanku.”
“Enggak mungkin. Mana bisa gitu? Kenapa ada banyak banget aturan yang mengikat siren sih?” pekik Namika.
“Itu karena kita adalah orang yang berdosa. Walaupun aku juga enggak tahu apa dosaku di masa lalu, tapi itu pasti enggak bisa dimaafkan dengan mudah,” jawab Aruna sambil menyandarkan punggungnya.
Namika menggigit bibir bawahnya. Kenyataan itu membuatnya mual. Dia kira dia bisa memiliki masa depan yang indah bersama Aruna. Lagi pula, bukankah mereka sangat cocok?
“Aruna,” panggil Namika. Gadis itu melingkarkan tangannya di perut Aruna dan menenggelamkan wajahnya di dada Aruna.
Aruna mengusap kepala Namika dengan sangat lembut. “Kamu pasti tahu kalau aku juga bukan manusia biasa kan? Aku adalah salah satu anggota Gifted, dan kekuatanku adalah membaca pikiran.”
Aruna terlihat sedikit terkejut namun sepertinya dia sudah menduga hal itu. “Jadi gimana kekuatanmu ini beraksi? Kamu perlu kontak dengan seseorang atau bisa langsung membaca pikiran mereka?”
“Saat ini, aku sudah bisa membaca semua pikiran orang-orang di sekitarku dalam radius enam meter. Aku menginap di sini agar aku bisa mengistirahatkan kekuatanku,” jawab Namika dan Aruna mengangguk.
“Tapi aku enggak bisa membaca pikiranmu. Itulah salah satu alasan kenapa aku selalu nyaman kalau sama aku. Aku enggak tahu dan enggak peduli apa yang kamu pikirkan tentang aku.”
Namika tahu jika dia benar-benar terlihat seperti orang bodoh di hadapan Aruna. Namika merasa tidak ada orang lagi yang bisa menemaninya selain Aruna. Laki-laki itu adalah penyelamatnya.
“Aku juga me-” Aruna langsung membungkam mulut Namika. Namika menatapnya dengan sedikit bingung.
“I know, me too.”
Namika tersenyum dan tanpa sadar air matanya mengalir. “Can I kiss you?”
Aruna tidak menjawab dan langsung menarik leher Namika. Bibir mereka bersentuhan dan Namika merasa sangat bahagia. Mungkin, ini adalah jalan terbaik.
Namika melepaskan ciuman itu dan mengusap air mata Aruna. “Kalau aku lupa sama kamu, bikin aku ingat sama kamu, Runa. Walaupun aku yakin kalau aku pasti bakal tetep ingat sama kamu.”
Aruna memainkan helaian rambut Namika. “Alasan aku jaga jarak sama kamu ya karena aku takut kalau kamu bakal jadi orang yang berarti buat aku.” Kedua orang itu terdiam. Namika menatap layar televisi yang berwarna hitam. “Berarti Sirius itu siren juga ya?” “Iya. Hampir semua anak-anak di panti asuhan itu siren yang lahir di lautan. Sirius secara rutin menyuruh aku untuk mengecek apakah ada siren yang lahir.” Namika tak bisa berpikir lebih jauh. Semuanya terlihat sangat rumit. Dia bahkan baru tahu jika makhluk seperti itu nyata dan Aruna adalah salah satu dari mereka. “Jadi yang aku lihat waktu aku pertama kali dateng ke sini tuh kamu? Tapi kayaknya kamu juga udah sadar kalau aku ngelihatin kamu waktu itu,” celetuk Namika. Laki-laki itu terkekeh. “Tante Mutia itu sudah tahu semuanya tentang siren, jadi aku pikir enggak apa kalau aku ketahuan. Aku juga udah nyangka kalau kamu itu anggota Gifted.” “Jadi gitu. Oh iya, gimana siren bisa terlahir? Aku masih kurang ngerti konsep dilahir
“Namika, aku tahu walaupun aku sama Yumi ngomong macem-macem, kamu enggak bakal mau dengerin selama itu enggak sama dengan keyakinan kamu. Ikuti kata hati kamu.” “Bener. Namanya juga udah bucin. Aku yakin kamu enggak bakal ngerelain si Aruna itu begitu aja kan? Walaupun aku enggak ada di posisimu, aku pasti bakal menghabiskan waktuku dengan dia selama aku bisa,” sahut Yumi. Namika mengusap air matanya dan mencoba untuk menetralkan napasnya yang terengah-engah. Emosinya masih belum stabil karena dia benar-benar baru mengetahui hal itu kemarin. “It’s not the worst, guys. Dia juga bilang kalau orang yang kenal atau mengetahui siren bakal melupakan siren itu dalam waktu satu minggu. Tapi anehnya, hari ini adalah hari ke delapan dan aku masih inget sama dia.” Alora menjetikkan jarinya. “Aku rasa hal itu sama kutukan yang dimiliki sama siren ada hubungannya deh. Cuma aku enggak tau apa yang bikin dua hal itu jadi berhubungan.” “Kalau boleh jujur, aku emang enggak pengen menjauh dari di
Aruna tidak tahu apa yang dia inginkan. Hubungannya dengan Namika tidak memiliki kejelasan. Ah, lebih tepatnya Aruna yang tidak menginginkan kejelasan itu. Dia takut serakah. Aruna tidak yakin dia bisa melepaskan Namika setelah dia tahu bahwa dia memiliki Namika. Gadis itu memiliki masa depan yang panjang, berbeda dengan dirinya. “Jadi alasanmu enggak bisa baca pikiranku itu karena kita beda ya?” tanya Aruna sambil memperhatikan rambut Namika yang terkena hembusan angin. Perempuan itu terlihat sangat cantik di mata Aruna. Rambut panjangnya yang bergelombang itu benar-benar membuatnya kagum. Tanpa sadar Aruna sudah memegang sehelai rambut Namika. Namika yang menyadari itu hanya tersenyum. “Iya. Karena itulah aku ngerasa nyaman banget sama kamu. Aku enggak pernah ngerasa seperti ini sebelumnya. Rasanya sangat tenang.” Namika berdiri dan duduk di sebelah Aruna. Laki-laki itu menggunakan kemeja putih dan celana selutut yang menampakkan kaki jenjangnya. Jantung Namika berdetak dengan
Namika menatap koleksi dress di lemarinya. Namika bukanlah orang yang menyukai dress, tapi dia merasa dia terlihat bagus di dress berwarna putih. Aruna memang jarang mengatakan secara langsung, tapi Namika bisa langsung melihat emosi di matanya. Namika memang tidak bisa membaca pikiran Aruna, namun dia hafal dengan ekspresi seseorang ketika memikirkan sesuatu. Ia dengan perlahan mengambil dress selutut dan memakainya. Pakaian itu menampakkan bagian punggungnya dan membuat Namika menjadi lebih percaya diri. Tangannya beralih pada beberapa alat di sudut ruangan. Sepertinya sudah lama sekali Namika tidak melatih tubuhnya. Mungkin Tante Mutia akan segera menghukumnya jika dia mengetahui hal itu. Tapi Namika yakin jika tantenya sudah mengetahui hal itu. Hanya saja dia tidak mau menganggu waktu istirahat Namika. Sayangnya Namika juga tidak mau membiarkan kerja kerasnya sia-sia. “Entar sore aku olahraga deh. Sekarang mending aku bersihin villa dulu,” ucap Namika pada dirinya sendiri. I
Namika menatap beberapa orang yang melewati villa Aruna. Kecurigaannya semakin bertambah ketika pengunjung pantai itu tidak kunjung sepi. Namun Namika tidak bisa membaca pikiran mereka karena dia masih mengurus Velia. Ia melirik ke arah kamar. Aruna sedang tidur dengan lelap. Namika tersenyum kecil ketika melihat itu. Ia kemudian berjalan ke dalam dan duduk di samping Aruna. Dengan perlahan tangannya menyingkirkan rambut Aruna yang menghalangi matanya. Namika membaringkan tubuh Velia di samping Aruna dan bayi itu benar-benar menempel pada Aruna. Sudah sebelas hari Namika tinggal di sini dan dia tidak pernah merasa hidupnya sebaik ini. Jika saja tidak ada orang-orang yang menganggu kehidupan mereka, mungkin ini akan terasa sempurna. Ia menepuk bahu Aruna dengan perlahan dan laki-laki itu membuka matanya. “Aruna, aku mau keluar dulu ya. Kamu lanjut aja tidur sambil jaga Velia di sini,” ucap Namika dan Aruna mengangguk samar. Aruna kemudian membawa Velia ke pelukannya dan kembali te
Aruna mengangkat tubuh Velia dan bayi itu tertawa dengan senang. Perkembangan tubuh siren memang luar biasa. Walaupun mereka berkembang seperti manusia normal, tubuh siren lebih cepat tumbuh. Velia sudah mulai belajar untuk duduk walaupun Aruna memperkirakan usianya baru seminggu. Aruna juga mulai membawa Velia ke laut untuk memperkenalkannya dengan habitat asli mereka. Sirip Velia memiliki perpaduan warna ungu dan merah muda. Aruna kini sedang berada di goa dan menatap Velia yang berguling. Sepertinya Velia harus belajar bagaimana cara berenang. “Velia, kamu tahu kan kalau aku mencintai Namika?” tanya Aruna tiba-tiba. Bayi itu tampaknya mendengar kata-kata Aruna, namun dia memilih untuk mengabaikannya. Aruna tidak merasa terganggu dengan hal itu. “Yah, siapa sih yang enggak jatuh cinta sama dia? Namika tuh cantik banget, mana dia dari keluarga old money. Kalau dipikir-pikir, aku juga enggak pantas sama dia sih.” Namika memiki wajah yang cantik dan keluarga yang jelas. Aruna tida
Namika merasa badannya seperti melayang di sebuah kegelapan yang nyaman. Ia menyukai perasaan itu. Tapi sebuah tangan tiba-tiba menyentuh kepalanya dengan sangat lembut. Ia membuka matanya dan menyadari jika ia berada di sebuah tempat yang tidak ia ketahui. Tempat itu memiliki pencahayaan yang minim dan beberapa gelembung muncul di sekitarnya. Namika kemudian menyadari jika itu adalah goa bawah laut. Ia langsung menoleh dan melihat seorang perempuan yang memiliki telinga yang berbentuk sirip. Namika langsung mengernyitkan keningnya. “Aku jadi enggak kaget kenapa Aruna bisa suka sama kamu. Kamu memang cantik banget dan sifat kalian melengkapi satu sama lain,” kekehnya sambil berenang memutari Namika. “Kamu siapa?” tanya Namika. Ia mencoba mengangkat tangannya dan menyadari jika tubuhnya terasa sangat ringan. Ia pun duduk di sebelah Namika dan rambutnya yang berwarna biru berkibar mengikuti arus air. Perhatian Namika teralih pada siripnya yang berwarna putih disertai gradasi biru d
Namika menatap dirinya di cermin. Tanda itu selalu menarik perhatian Namika dan ia sangat menyukainya. Hal itu membuat Namika merasa bahwa dia dan Aruna sudah terikat dengan satu sama lain. Matanya mengarah ke beberapa pengawal yang mengelilingi villanya. Sudah satu minggu sejak kejadian itu dan hingga saat ini Namika sama sekali belum pernah keluar dari villa itu. Tapi itu tidak apa karena Aruna selalu mengunjunginya setiap hari. Namika menggunakan skincarenya sambil menunggu Aruna untuk datang. Ia pun langsung tersenyum ketika mendengar suara pintu depan yang terbuka. Gadis itu segera turun ke bawah dan memeluk Aruna dengan erat. Laki-laki itu mencium dahinya dan menatap Namika dari atas hingga bawah untuk memastikam kondisinya. “Aku udah sehat kok. Kamu enggak perlu sampai segitunya,” ucap Namika sambil memalingkan wajahnya. “Kita enggak tahu kalau misalkan kondisimu drop lagi gara-gara kejadian itu kan? Oh iya, kapan kamu mau ke psikolog?” tanya Aruna. Namika menelan ludahny
Namika melirik beberapa orang yang kini sedang berdiam di villa yang Alora sewa. Entah mengapa gadis itu tiba-tiba merencanakan sesuatu yang sangat mendadak seperti ini."Jadi.. Kita sekarang mau ngapain?" tanya Yumi bingung.Alora tertawa kecil. "Ngapain aja juga boleh. Kalau aku sih hari ini mau minum aja. Dapet wine yang manis banget nih."Namika melirik Archie yang sedang menghisap vapenya. Laki-laki itu sama sekali tidak merasa canggung walaupun mereka berempat menatap Archie dengan tatapan bingung."Ini kalian berdua udah baikan apa gimana?" tanya Namika.Archie terdiam sejenak dan menatap Namika. "Hmm, mungkin bisa dibilang gitu? Aku tahu kok kalau kamu sama Yumi masih ngerasa enggak nyaman sama aku.""Masalahnya kamu tuh brengsek banget, tahu. Untung aja waktu itu kamu sogok aku pakai uang. Kalau enggak, mungkin sampai sekarang kamu juga masih belum aku maafin," sahut Arjuna.Aruna mengangguk setuju. "Yaudahlah. Minta rokok dong, Juna. Masih pusing banget nih ngurusin anggota
Namika menatap kedua kakinya yang terbenam di kolam renang. Rasanya sangat aneh karena untuk pertama kalinya, hidupnya terasa tenang lagi. Kejadian kemarin terasa seperti mimpi buruk."Aku yakin kalau aku pasti udah mati kalau kekuatannya Tante Mutia enggak aktif," komentar Aruna. Paha laki-laki itu masih terlihat sangat menyeramkan karena luka yang disebabkan oleh Luke."Jujur aku kaget banget kemarin. Ternyata Tante Mutia masih bisa melampaui batasannya dia. Yah, walaupun lumayan terbatas karena untuk lawan yang kuat, kekuatannya enggak bisa jadi pasif."Laki-laki itu mengusap rambut Namika dengan lembut. "Aku bersyukur deh, kamu enggak ada luka sama sekali. Tante Mutia lumayan parah lukanya, mana psikisnya juga lumayan terluka gara-gara Luke."Namika memang sempat melihat kondisi Mutia sekilas. Namun, dia harus mendapatkan perawatan sehingga Namika meninggalkannya di kamar. Namika melirik paha Aruna."Kamu kenapa enggak minum mithril aja? Kan pasti langsung sembuh?" tanya Namika. D
Mutia menatap Luke yang sedang merangkulnya. Siapa pun yang melihat mereka sekarang pasti berpikir jika mereka berdua adalah kekasih. Yah, mereka tidak salah jika itu terjadi sepuluh tahun yang lalu.Perempuan itu tidak mengerti kenapa Luke sampai harus melakukan ini. Mutia sangat yakin jika Luke masih memiliki akal yang sehat walaupun dia memang posesif saat mereka berpacaran."Sebenarnya ilmu hitam apa yang kau gunakan sampai kau bisa bangkit dari kubur?" tanya Mutia dengan sedikit malas. Entah apa yang harus dia lakukan supaya Luke mau membiarkannya pergi."Yah, entahlah. Ilmu hitam ini berasal dari para roh yang sudah mati. Kau tahu jika pengguna ilmu hitam akan tetap berada di dunia ini jika mereka belum melepaskan ilmu hitamnya, bukan?"Mutia mengernyit. "Aku tahu. Tapi roh? Bukankah mereka tidak bisa mati selama mereka belum melepaskan ilmu hitam mereka itu? Lalu gimana bisa kamu mengambil itu dari mereka?"Luke menyentil dahi Mutia. "Bukannya aku sudah bilang jika aku adalah s
Mutia menatap air laut yang terus menerjang. Kini dia sudah menjadi orang dewasa, namun masa lalu tidak pernah berhenti mengejarnya. Rasanya sangat menyebalkan. Tentu saja Mutia tidak dapat melupakan titik-titik terendah dalam hidupnya. Dia masih mengingat bagaimana sakit yang ia rasakan saat dia sadar bahwa dia dan Galen tidak ditakdirkan untuk bersama selamanya. Saat itu Mutia yakin jika Galen hanya akan menjadi salah satu orang yang pernah hadir dalam hidupnya. Mutia sudah ikhlas dengan kenyataan itu dan menjalani hari-harinya seperti biasa. Kedatangan Angkasa membawa angin segar ke dalam kehidupan Mutia. Laki-laki yang pintar memasak itu selalu berhasil membuat Mutia tersenyum. Mutia bahkan mengira jika Angkasa akan menjadi pasangan hidupnya. Sayangnya khayalannya itu menghilang saat Angkasa meninggal karena tabung gas yang meledak. Saat itu Mutia merasakan sakit yang lebih daripada saat dia tahu bahwa dia dan Galen tidak bisa bersama. Ibu Namika adalah seseorang yang membuat
Namika membuka pintu gerbang villanya dan menatap Tante Mutia yang terlihat sangat lelah. Perempuan itu mengerutkan keningnya dan segera mempersilahkan tantenya itu untuk masuk. “Tante kenapa?” tanya Namika khawatir. Gadis itu tidak pernah melihat Mutia dengan kondisi yang sangat berantakan seperti itu. Mutia mengembuskan napasnya dan menatap langit-langit villa. Dia tidak tahu apakah dia bisa mengungkapkan hal itu kepada Namika. Tapi Mutia tahu jika Namika harus mengetahui hal itu. “Luke yang selama ini kalian bilang.. Aku kenal sama laki-laki itu,” ucap Mutia sambil memejamkan matanya. Tubuh Namika langsung menegang ketika Tante Mutia mengatakan itu. Dia dan Aruna memang sudah menduganya, tapi ia tidak menyangka jika Tante Mutia akan menceritakannya secepat ini. “Aku juga enggak tahu kenapa dia ganti nama jadi Luke. Waktu kita pacaran, namanya dia Galen,” lanjut Tante Mutia. Namika membulatkan matanya dan menahan napasnya sejenak. Namun, dia tetap duduk di samping tantenya dan
Mutia menggigit bibirnya ketika ia mendengar kabar dari Namika. Ia semakin yakin jika tujuan utama Luke adalah dirinya. Namun kenapa dia dulu sering menyerang Aruna? Tangannya memegang setir dan jantungnya tidak berhenti berdebar. Mutia sudah mengalami pahit dan manisnya hidup walaupun ia bahkan belum mencapai kepala tiga. Lagu yang mengalun di radio pun ia abaikan. Menjadi seseorang yang memiliki hadiah memang membuat hidupnya tidak pernah tenang. Kini Mutia menjadi takut jika Namika akan mengalami hal yang sama dengan apa yang dia rasakan. Pandangannya menatap matahari yang mulai tenggelam. Ah.. Sebuah kenangan tiba-tiba muncul di ingatannya. Sebuah ingatan yang ingin dia lupakan, karena hubungan mereka yang memburuk. Bukannya Mutia membenci hubungan Aruna dan Namika, hanya saja dia melihat mereka setiap dia melihat pasangan itu. Dia melihat mereka yang tidak bisa menyatu karena takdir. “Apa yang bakal terjadi kalau aku enggak pernah pergi ke sini ya?” gumam Mutia pelan. Itu su
Namika menggigit bibirnya ketika rencananya untuk menculik anggota Rajani terus-terusan gagal. Matanya menatap Inola yang sedang bermain air di pantai. Gadis itu mungkin tidak terlihat bagi ancaman di mata orang lain. Tapi setelah Namika berurusan dengan Inola, dia tahu betul jika Inola sangat mudah dimanfaatkan jika berkaitan dengan Aruna. Namika mengembuskan napasnya dan melihat beberapa orang yang sedang berlalu lalang. Ia mengerutkan keningnya ketika menyadari bahwa anggota Rajani mencapai sepuluh orang. Aruna juga selalu dalam mode waspada sejak ia mengintrogasi anggota Rajani itu. Namika terkadang tidak percaya jika Aruna bisa memiliki karakter yang sangat berbeda dengan Baruna. Ia pun melangkahkan kakinya dan mulai berlari kecil. Tante Mutia tidak membiarkan Namika mengabaikan olahraganya. Dia selalu menghubungi Aruna untuk memaksa Namika berolahraga. Tangannya merogoh taser gun yang ia letakkan di kantong celananya. Jika rencananya kali ini gagal, Namika tahu bahwa dia ha
Namika terbangun ketika ia mendengar getaran dari ponselnya. Ia mengerutkan keningnya dan meraba ponselnya yang ada di atas meja. Namika segera membaca pesan yang dikirim itu dan terkekeh. Gadis itu segera turun ke bawah dan melihat Aruna yang sedang meminum jus jeruk. Ia segera memeluk laki-laki itu dan menunjukkan pesan yang dikirim oleh Inola. “Pagi-pagi aku udah digangguin sama fans kamu lho. Kayaknya dia masih enggak terima kalau aku berhasil bikin kamu suka sama aku,” kekeh Namika. Aruna mendesah kasar dan menatap beberapa pesan yang dikirim oleh Inola. “Apa aku bunuh aja dia ya? Lagi pula siren kayak kita enggak punya catatan sipil. Enggak bakal ada yang nyadar kalau dia hilang.” Namika terdiam dan memperhatikan Aruna sejenak. Tentu saja dia menyadari jika Aruna tak bisa disandingkan dengan manusia normal. Entah sudah berapa banyak orang yang Aruna bunuh sebelumnya. “Enggak perlu. Walaupun dia emang nyebelin, kayaknya agak keterlaluan kalau kamu sampai bunuh dia. Biarin aj
Aruna mengelus kepala Namika dengan lembut. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam namun Aruna sama sekali tidak mengantuk. Pikirannya masih tertuju pada anggota Rajani yang mengawasi mereka. Laki-laki itu pun bangkit dari ranjang dan mencium dahi Namika. Matanya mengarah pada senjata yang tersembunyi di tasnya. Dia tidak menyangka bahwa dia akan melakukan hal ini lagi. Namun dia juga tak dapat mengabaikan perintah Sirius. Selama ini Sirius sudah menjadi mesin pembunuh dan Aruna yang melanjutkan tugasnya itu. Ia pun mulai menyiapkan pakaiannya. Aruna melangkah keluar dan menatap keadaan sekitar. Tentu saja pantai itu sangat sepi. Tapi anggota Rajani akan selalu mengawasi mereka selama seharian penuh dan inilah kesempatan Aruna. Akhirnya setelah berjalan sebentar, dia menemukan markas mereka. Tempat itu memang terlihat seperti tempat pedagang dan orang lain tidak akan menyadarinya. Laki-laki itu menempelkan telinganya dan mencoba menebak ada berapa orang yang harus ia bunuh.