Siluman ular raksasa bergerak dengan cepat. Ekornya meliuk-liuk di atas tanah berpasir, menopang tubuhnya yang besar. Bagian atas dari siluman itu berubah wujud menjadi seeorang perempuan, tapi tak cantik lagi. Berparas hitam dengan rambut hitam yang tergerai panjang. Gigi taring terlihat di mulutnya yang terbuka. Lidah ular yang panjang menjulur dan terdengar suara mendesis dari mulutnya yang berwarna hitam.
Gerakan siluman ular raksasa itu sangat cepat. Dengan penuh nafsu ingin menghabisi nyawa ketiga makhluk yang menjadi lawannya beberapa menit yang lalu. Padahal lawannya sudah tergeletak tak berdaya.
Siluman ular raksasa menggerakkan kepalanya, bersiap untuk mematuk tubuh pemuda yang telah bersimbah darah di bagian punggung. Dia tak memperdulikan kedua kucing yang terbaring di bagian depan perut pemuda. Sasaran serangannya terfokus kepada pemuda yang meringkuk di atas tanah berpasir.
Suara desis kemenangan terdengar dari mulutnya. Kepalanya berubah kembali menjadi seekor ular. Kepalanya yang besar, siap mematuk pemuda itu dengan bisa hitam yang sangat beracun.
Splash.
Tiba-tiba kepala siluman ular raksasa terhuyung ke samping. Suatu benda menghantam kepala hitamnya degan sangat keras. Niatnya untuk mematuk mangsa, tertahan.
Satu menit siluman ular raksasa berusaha menstabilkan dirinya dari hantaman benda keras. Poisisnyapun tergeser beberapa meter karena hantaman benda yang menjadikan kepala sebagai sasarannya.
Setelah fokusnya kembali, dia melihat seorang pria tua berjubah putih yang berdiri beberapa meter di hadapannya. Siluman ular raksasa belum menyadari benda apa yang telah menghantamnya tadi.
“Kamu... bangsa jin, tak punya kekuatan sebesar kami, manusia yang diciptakan dari tanah. Enyahlah dari sini!” Pria tua berjubah menaikkan suaranya beberapa oktaf di kalimat terakhir.
Splash.
Benda keras kembali menghantam kepala siluman ular raksasa. Kini, mata sebelah kanan menjadi sasaran. Siluman itu meringis.
Splash.
Kembali benda keras menghantam tubuh siluman ular raksasa. Kali ini, leher dan bagian perutnya yang menjadi sasaran. Lehernya terkelupas dari sisik hitam yang tebal. Memar.
“Apakah aku yang harus mengembalikanmu ke neraka, Hai... Siluman Ular!” bentak pria tua yang menggulung suatu benda ditangannya.
Splash.
Kembali hantaman benda keras mengenai siluman ular raksasa.
“Aaaaagh!” teriak siluman ular raksasa. Terlihat darah hitam keluar dari mata bagian kanan yang sebelumnya sudah terluka.
“Kau masih merasakan besutan kainku, belum lagi jika merasakan tasbih yang penuh do’a kubesutkan ke tubuhmu,” nyata pria tua dengan memasang muka sangar.
Ternyata... hantaman benda keras berasal dari kain panjang putih yang bergulung di tangan pria tua. Kain itu sengaja dibesut dan mencambuk tubuh siluman ular berulang kali.
“Enyahlah...! Aku tak bernafsu untuk membunuhmu. Biarkan hukum dunia ini yang akan menyiksamu,” teriak pria tua itu. Wajahnya sangat murka ketika mengatakan kalimat perintah.
Tanpa diperintah kembali, siluman ular raksasa bergerak dengan cepat masuk ke dalam hutan. Sepertinya kekuatan dari asap hitam pekat untuk menghilangkan dirinya dengan cepat, sudah tidak berfungsi dengan baik.
Pria tua dengan segera melompat ke arah pemuda yang tergeletak dengan posisi meringkuk.
“Daffa... Daffa....” panggil pria tua itu dengan lembut.
Meee...ong.
Pria tua melihat ke arah sumber suara.
“Bono... kau sudah sadar? Cepat... bangunkan Banu, kita harus segera mengobati Daffa,” ujar pria tua.
Bono segera melompat ke arah Banu yang masih pingsan, tak sadarkan diri. Menjilati wajah Banu beberapa kali dengan perlahan-lahan.
Miiii... aw....
Bono menghentikan jilatannya ketika Banu siuman. Bono memberi isyarat kepada Banu, memalingkan wajahnya ke arah pemuda yang bernama Daffa yang sekarang telah berada di pangkuan pria tua.
“Cepat... kakek harus membawanya ke Rumah Baoh di Besilam. Dia harus segera disembuhkan.” Pria tua itu memerintah kedua kucing untuk segera bergerak dan tersadar dari apa yang telah terjadi.
Dia menebarkan kain panjang di atas tanah berpasir. Menggendong Daffa yang masih tak sadarkan diri dan meletakkan tubuh kurus pemuda itu di kain putih yang terbentang. Pria tua itu mencabut lempengan hitam yang masih tertancap di punggung korban. Kemudian menempelkan jari jempol kanan ke lidahnya dan selanjutnya menempelkan telapak jempol tadi ke luka yang diderita oleh Daffa.
Pria itu membaca sholawat berulang kali dan sedikit menekan telapak jempol ke daerah luka. Darah dari sumber luka sedikit terhenti.
“Ayo... Banu... Bono!” perintah pria tua itu. Dia telah menyelesaikan ritual yang bertujuan untuk menghentikan darah sang korban.
Kedua Kucing Persia melompat dengan cepat ke kain putih yang sudah terbentang.
Tak menunggu lama lagi, pria tua itu segera berdiri. Melipatkan kedua lengannya di dada. Menatap lurus ke depan. Mulutnya membaca sesuatu yang berasal dari ayat al-qur’an. Secara ajaib, kain putih yang terbentang tadi, terangkat perlahan kemudian melesat dengan cepat menuju langit yang tak berbintang di malam ini.
Dalam hitungan detik, hilang dari pandangan di gelap malam.
“Dan Kami menurunkan sebagian dari Al-Qur’an sebagai obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Israa’ : 82)
™*™
Di kamar salah satu bangunan yang bernama Rumah Baoh, Daffa telah terbaring di sebuah tempat tidur yang terbuat dari kapuk. Bahan dari pohon kapas untuk tempat tidur yang sering disebut dengan tilam oleh orang di daerah melayu pesisir. Pemuda yang berparas pucat pasi saat ini terbaring tanpa sadar. Koma, lebih tepatnya.
Pria tua yang merupakan guru dari Daffa telah berusaha untuk mengobati luka di punggungnya. Luka itu telah kering, tapi sisik siluman ular raksasa yang telah mengenai tulang punggung muridnya, membuat pemuda itu belum bisa keluar dari masa koma.
Miaw
Banu yang berada di samping kanan Daffa seolah-olah berbicara sesuatu kepada pria tua yang duduk di kursi, di pojok kamar yang berdinding kayu.
“Kakek juga bingung Banu. Entah apalagi yang harus ana lakukan. Dia belum juga siuman, padahal sudah lima hari dari kejadian itu,” nyata pria tua yang sedang duduk di kursi kayu. Tangan kanannya menggaruk-garuk kepala yang berambut putih.
Miiiii... aw....
Sudah kakek coba Banu, tapi Allah belum berkehendak. Ada sesuatu hikmah dari kejadian ini Banu. Tapi kakek tak tahu itu pelajaran dan hikmah apa yang akan diberikan Allah kepada kita,” ujarnya.
Meeong
Bono yang sedari tadi hanya diam di samping Daffa, menjilati pipi Daffa tepat di tahi lalat yang berada di tulang pipi sebelah kiri. Masih ada bekas luka karena terkena gesekan pasir. Berulang kali Kucing Persia berwarna hitam melakukan hal itu. Dia berusaha untuk membuat tuannya sadar dari siumannya.
Meeong...
Suara Bono semakin menyayat hati. Kini kepalanya tertunduk. Berhenti melakukan jilatan yang sudah puluhan kali dilakukannya selama lima hari ini.
“Banu... Bono..., tetaplah berada di samping Daffa. Kalian bisa mengambil energi negatif dari tubuhnya. Kakek akan mencari cara lain. Insya Allah ada satu jalan yang bisa menyembuhkan Daffa,” pinta pria tua yang memakai jubah putih. Dia mengambil peci putih yang terletak di meja. Peci putih berbentuk sedikit unik. Bentuk atasnya meruncing seperti piramid. Lalu bergegas menuju pintu keluar kamar yang berbahan kayu. Menoleh sekali ke arah Daffa dan kedua Kucing Persia peliharaan muridnya.
“Jangan tinggalkan tuan kalian ya, Kakek akan kembali secepatnya,” pinta pria tua. Dia tersenyum ke arah kedua kucing itu.
Miaw.
Meong.
Dengan perlahan pria tua membuka pintu kamar dan kembali menutupnya setelah dirinya yang kurus keluar dari tempat tersebut.
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu suatu pelajaran dari Tuhanmu, dan penyembuh segala penyakit yang ada di dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Yunus : 57).
Besilamadalah sebuah perkampungan yang terletak di BumiSumatera Utara.Lebih tepatnya di daerahKabupaten Langkat, Kecamatan Padang Tualang, sekitar 65km dari kotaMedan.Secara etimologis, kata "besilam" berarti pintu kesejahteraan. Kampung ini pertama sekali dibangun oleh Almarhum Tuan Guru SyekhAbdul Wahab Rokanatau yang lebih dikenal dengan sebutan Tuan Guru Babussalam. Ia adalah seorang Ulama dan pemimpin Tarekat Naqsabandiyah. Di desa ini terdapat makam SyekhAbdul Wahab Rokanyang dikenal juga dengan Syekh Besilam yang merupakan murid dari Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Qubais Mekkah.Tampak sekilas, desa Besilam mirip dengan sebuah pesantren yang terpencil, teduh, asri dan damai. terlihat ada Masjid utama dan sebuah bangunan berkubah lengkung di sebelah masjid, sebuah bangunan utama dari kayu hitam yang besar dengan gaya rumah panggung serta beberapa bangunan tambahan lainnya. Selain terdapat makam Syekh Abd
“Ada hikmah dari kejadian ini. Insya Allah Daffa Albana masih akan bertahan, tapi ada sesuatu yang akan terjadi di dalam hidupnya, saat ini adalah titik balik dari kejadian yang akan menjadi takdir yang harus dijalani olehnya,” kata seorang kakek yang memakai imamah tebal berwarna putih melilit di atas kepala. Imamah tebal terlilit sebanyak tujuh lapis. Terlihat sangat rapi susunan dari kain yang terbentuk.“Tapi... Habib... apa yang harus ana lakukan? Daffa sudah lima hari terbaring tak sadarkan diri,” nyata pria tua yang merupakan guru dari Daffa.Kakek yang duduk bersila di atas tilam berbentuk persegi empat, mengangkat sorban berwarna hijau yang tergantung di lehernya. Menutupi imamah yang dikenakan. Dia berkata, “Tunggu tiba saatnya, akan ada seorang Hamba Allah yang akan membawa penyembuh untuk Daffa.” Kakek yang memiliki wajah yang sangat cerah, tersenyum kepada pria tua yang ada di hadapannya. Sejatinya, kakek yang kini berso
~ 6 tahun yang lalu. ~“Ma, Empa udah selesai nih....” Anak remaja laki-laki bangkit dari tempat duduknya, melangkah menuju dapur dengan perlahan. Tangan kanan membawa piring. Dia mendekati ibunya yang sedang sibuk melakukan persiapan untuk makan siang. Berhenti beberapa langkah di belakang ibunya. Terpaku. Menatap ibunya dari balik kaca mata berbentuk petak. Kedua tangan memegang piring bekas makan.“Udah selesai ya Nak? Piringnya diletakkan aja ya di wastafel...,” ujar wanita setengah baya dengan lembut tanpa melihat ke anaknya.“Empa cuci deh piringnya, Ma...,” ujarnya pelan. Kedua matanya melihat ke arah punggung ibunya. Masih berdiri terpaku.“Enggak usah, Nak. Nanti Bi Inah aja yang nyuci,” balas wanita itu. Lagi-lagi tanpa menoleh ke arah anaknya.“Ma, Empa sekarang sudah terbiasa mandiri. Di pesantren Empa nyuci piring dan baju sendiri kok. Jadi Empa bisa, Ma.&r
Malam tanpa bintang tapi tak terlalu gelap karena dibantu oleh beberapa lampu penerangan mesjid bersejarah di Kota tanjung Pura, berdiri seseorang anak laki-laki memakai baju jubah putih panjang. Kepalanya tertutup dengan peci putih berlogo terompah Rasulullah di kiri dan kanan. Anak laki-laki berdiri terpaku di halaman depan mesjid berdesain campuran Timur Tengah dan India. Dia melihat lurus ke depan, ke arah pintu utama mesjid dengan wajah penuh rasa penasaran.Apa yang aku lakukan di sini, di sepertiga malam?Masih berdiri terpaku, berusaha untuk mencari jawaban. Kedua matanya melihat ke menara mesjid yang menjulang tinggi di bagian kirinya.Sepi.Hening.Malam yang begitu senyap, membuat dirinya semakin penasaran dengan situasi yang dialaminya saat ini.“Assalamu’alaikum... Daffa Albana...,” sapa seseorang yang tiba-tiba muncul di samping kanannya.“Wa’alaikumussalam.” Ana
Wush.Angin malam menerpa kulit putih Daffa. Terasa dingin di malam ini. Kini dirinya berada di balkon puncak paling atas menara mesjid bersejarah. Menara tunggal yang terdapat di mesjid setinggi enam puluh meter.“Indah kan Kota Tanjung Pura ini?” Sang Kakek bertanya tanpa mengharapkan jawaban dari Daffa. “Walaupun kebanyakan anak muda seperti kamu, lebih memilih keluar dari kota kecil ini untuk mencari pekerjaan. Alasan mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Mereka belum mengerti bahwa kehidupan yang layak bisa didapatkan di kota kecil ini, tak hanya layak di dunia, tapi juga layak di akhirat kelak,” jelasnya dengan bersungguh-sungguh.“Apa yang ingin kakek tunjukkan sekarang?” tanya Daffa karena tidak sabar untuk mengetahui jawaban dari pertanyaannya tadi. Tak terlalu memperdulikan pemandangan kota kecil yang hanya dihiasi lampu-lampu rumah dan ruko yang menurutnya hanya pemandangan biasa.“Kemari
Masjid Azizi berdiri di atas tanah seluas 18.000 meter persegi. Masjid Azizi dibangun atas anjuran Syekh Abdul Wahab Babussalam pada masa pemerintahan Sultan Musa al-Muazzamsyah. Mulai dibangun pada tahun 1320 H (1899M) atau setidaknya 149 tahun sejak Langkat resmi berdiri sebagai Kesultanan, namun Sultan Musa wafat sebelum pembangunan masjid selesai dilaksanakan. Pembangunan diteruskan oleh putranya yang bergelar Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah (1897-1927) Sultan Langkat ke-7.Rancangan masjid ditangani oleh seorang arsitek berkebangsaan Jerman, para pekerjanya banyak dari etnis Tionghoa dan masyarakat Langkat sendiri. Sedangkan bahan bangunan didatangkan dari Penang Malaysia dan Singapura dengan menggunakan kapal ke Tanjungpura. Pada masa itu sungai Batang Serangan masih berfungsi baik dan kapal-kapal dengan tonase 600 ton dapat melayarinya.Masjid Azizi diresmikan sendiri oleh Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muham
Mesjid di atas kolam buatan yang berada di pinggir jalan besar di Kota Tanjung Pura terlihat sangat unik. Mesjid yang dibangun ditahun 90-an ini merupakan salah satu mesjid yang ada di kota kecil Kecamatan Tanjung Pura. Daffa duduk di pinggir teras yang terbuat dari semen berbatu. Melihat ke arah kolam yang beriak karena terlihat beberapa ikan yang ingin diberi makan atau hanya sekedar menghirup oksigen. Kedua mata yang mengenakan kaca mata berbentuk petak melihat kolam secara fisik, namun pikirannya melanglang buana. Pikirannya meraba mimpi yang masih diingatnya dari awal sampai akhir. Tak ada satu penggalanpun yang dilupakannya. Dia ingat kelima petunjuk yang diberikan oleh Sang Kakek –yang entah dari mana asalnya- mengaku bernama Habib Ali Assegaff. “Habib...,” gumamnya. Setau dirinya, sangat jarang orang bergelar Habib di Sumatera Utara ini. Kebanyakan ada di Jawa, Kalimantan dan Palembang. Anak laki-laki yang memakai baju batik panjang berdominan
“Baik, Tuan. Saya cek kembali.” Suara dari pemuda tampan tapi tak memiliki kepercayaan diri yang besar itu semakin melemah. Entah apa yang telah terjadi sehingga dirinya tak mempunyai kepercayaan diri yang besar. “Sudah Tuan. Kita akan mendarat di markas besar dalam beberapa detik saja.” “Bawa anak ini! Kita segera berangkat!” Terdengar derap kaki yang berlari menuju kamar tempat anak laki-laki itu tersudut. Pemuda itu mengangkat lengan anak laki-laki secara paksa, sehingga menuruti kemauannya untuk berdiri dan berjalan keluar menuju ruangan lain. Tok. Tok. Tok. Langkah kaki perlahan dengan hentakan tongkat terdengar jelas di malam yang hening itu. Pria berkumis juga berjalan dengan perlahan keluar menuju ruangan di depan mereka. Rangga dan anak laki-laki mengikutinya dari belakang. Berjalan menuju pintu keluar dan sedikit berbelok ke kiri ke tempat yang ditujunya. Lalu, dia berhenti dan berdiri di tengah-tengah antara dua ruangan baru. Pria itu berdi
Pemuda yang memotong rambutnya dengan rapi berlari cepat menuju kamar adik laki-lakinya, melongok ke dalam. “Kemana Empa...?” Terlihat raut wajahnya cemas. Pucat, padahal kulitnya tergolong berwarna sawo matang. Kemudian pemuda itu berlari menuju teras yang pintunya terbuka lebar, tak jauh dari kamar adiknya. Hanya berjarak tujuh meter. Dia sempat melihat dua sosok bayangan yang berkelebat. Salah satu sosok itu memanggul satu tubuh di bahunya. “Ya allah, Empa...!” Histeris yang dikeluarkan dari mulutnya tersekat. Pemuda yang memiliki tubuh kurus dan tinggi berlari, masuk ke dalam dan menuju tangga. Turun ke bawah dengan terburu-buru dan langsung menuju pintu keluar rumah. Semua yang dilakukannya terburu-buru. Kunci rumah berdentangan. Daun pintu terhempas kuat. Bak kesetanan dia berlari menuju halaman depan rumah dan membuka pagar dengan cepat. Dia melihat dari atas tadi, sosok makhluk yang membawa adiknya melompat dengan sigap, keluar rumah tanpa mem
“Baik, Tuan. Saya cek kembali.” Suara dari pemuda tampan tapi tak memiliki kepercayaan diri yang besar itu semakin melemah. Entah apa yang telah terjadi sehingga dirinya tak mempunyai kepercayaan diri yang besar. “Sudah Tuan. Kita akan mendarat di markas besar dalam beberapa detik saja.” “Bawa anak ini! Kita segera berangkat!” Terdengar derap kaki yang berlari menuju kamar tempat anak laki-laki itu tersudut. Pemuda itu mengangkat lengan anak laki-laki secara paksa, sehingga menuruti kemauannya untuk berdiri dan berjalan keluar menuju ruangan lain. Tok. Tok. Tok. Langkah kaki perlahan dengan hentakan tongkat terdengar jelas di malam yang hening itu. Pria berkumis juga berjalan dengan perlahan keluar menuju ruangan di depan mereka. Rangga dan anak laki-laki mengikutinya dari belakang. Berjalan menuju pintu keluar dan sedikit berbelok ke kiri ke tempat yang ditujunya. Lalu, dia berhenti dan berdiri di tengah-tengah antara dua ruangan baru. Pria itu berdi
Mesjid di atas kolam buatan yang berada di pinggir jalan besar di Kota Tanjung Pura terlihat sangat unik. Mesjid yang dibangun ditahun 90-an ini merupakan salah satu mesjid yang ada di kota kecil Kecamatan Tanjung Pura. Daffa duduk di pinggir teras yang terbuat dari semen berbatu. Melihat ke arah kolam yang beriak karena terlihat beberapa ikan yang ingin diberi makan atau hanya sekedar menghirup oksigen. Kedua mata yang mengenakan kaca mata berbentuk petak melihat kolam secara fisik, namun pikirannya melanglang buana. Pikirannya meraba mimpi yang masih diingatnya dari awal sampai akhir. Tak ada satu penggalanpun yang dilupakannya. Dia ingat kelima petunjuk yang diberikan oleh Sang Kakek –yang entah dari mana asalnya- mengaku bernama Habib Ali Assegaff. “Habib...,” gumamnya. Setau dirinya, sangat jarang orang bergelar Habib di Sumatera Utara ini. Kebanyakan ada di Jawa, Kalimantan dan Palembang. Anak laki-laki yang memakai baju batik panjang berdominan
Masjid Azizi berdiri di atas tanah seluas 18.000 meter persegi. Masjid Azizi dibangun atas anjuran Syekh Abdul Wahab Babussalam pada masa pemerintahan Sultan Musa al-Muazzamsyah. Mulai dibangun pada tahun 1320 H (1899M) atau setidaknya 149 tahun sejak Langkat resmi berdiri sebagai Kesultanan, namun Sultan Musa wafat sebelum pembangunan masjid selesai dilaksanakan. Pembangunan diteruskan oleh putranya yang bergelar Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah (1897-1927) Sultan Langkat ke-7.Rancangan masjid ditangani oleh seorang arsitek berkebangsaan Jerman, para pekerjanya banyak dari etnis Tionghoa dan masyarakat Langkat sendiri. Sedangkan bahan bangunan didatangkan dari Penang Malaysia dan Singapura dengan menggunakan kapal ke Tanjungpura. Pada masa itu sungai Batang Serangan masih berfungsi baik dan kapal-kapal dengan tonase 600 ton dapat melayarinya.Masjid Azizi diresmikan sendiri oleh Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muham
Wush.Angin malam menerpa kulit putih Daffa. Terasa dingin di malam ini. Kini dirinya berada di balkon puncak paling atas menara mesjid bersejarah. Menara tunggal yang terdapat di mesjid setinggi enam puluh meter.“Indah kan Kota Tanjung Pura ini?” Sang Kakek bertanya tanpa mengharapkan jawaban dari Daffa. “Walaupun kebanyakan anak muda seperti kamu, lebih memilih keluar dari kota kecil ini untuk mencari pekerjaan. Alasan mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Mereka belum mengerti bahwa kehidupan yang layak bisa didapatkan di kota kecil ini, tak hanya layak di dunia, tapi juga layak di akhirat kelak,” jelasnya dengan bersungguh-sungguh.“Apa yang ingin kakek tunjukkan sekarang?” tanya Daffa karena tidak sabar untuk mengetahui jawaban dari pertanyaannya tadi. Tak terlalu memperdulikan pemandangan kota kecil yang hanya dihiasi lampu-lampu rumah dan ruko yang menurutnya hanya pemandangan biasa.“Kemari
Malam tanpa bintang tapi tak terlalu gelap karena dibantu oleh beberapa lampu penerangan mesjid bersejarah di Kota tanjung Pura, berdiri seseorang anak laki-laki memakai baju jubah putih panjang. Kepalanya tertutup dengan peci putih berlogo terompah Rasulullah di kiri dan kanan. Anak laki-laki berdiri terpaku di halaman depan mesjid berdesain campuran Timur Tengah dan India. Dia melihat lurus ke depan, ke arah pintu utama mesjid dengan wajah penuh rasa penasaran.Apa yang aku lakukan di sini, di sepertiga malam?Masih berdiri terpaku, berusaha untuk mencari jawaban. Kedua matanya melihat ke menara mesjid yang menjulang tinggi di bagian kirinya.Sepi.Hening.Malam yang begitu senyap, membuat dirinya semakin penasaran dengan situasi yang dialaminya saat ini.“Assalamu’alaikum... Daffa Albana...,” sapa seseorang yang tiba-tiba muncul di samping kanannya.“Wa’alaikumussalam.” Ana
~ 6 tahun yang lalu. ~“Ma, Empa udah selesai nih....” Anak remaja laki-laki bangkit dari tempat duduknya, melangkah menuju dapur dengan perlahan. Tangan kanan membawa piring. Dia mendekati ibunya yang sedang sibuk melakukan persiapan untuk makan siang. Berhenti beberapa langkah di belakang ibunya. Terpaku. Menatap ibunya dari balik kaca mata berbentuk petak. Kedua tangan memegang piring bekas makan.“Udah selesai ya Nak? Piringnya diletakkan aja ya di wastafel...,” ujar wanita setengah baya dengan lembut tanpa melihat ke anaknya.“Empa cuci deh piringnya, Ma...,” ujarnya pelan. Kedua matanya melihat ke arah punggung ibunya. Masih berdiri terpaku.“Enggak usah, Nak. Nanti Bi Inah aja yang nyuci,” balas wanita itu. Lagi-lagi tanpa menoleh ke arah anaknya.“Ma, Empa sekarang sudah terbiasa mandiri. Di pesantren Empa nyuci piring dan baju sendiri kok. Jadi Empa bisa, Ma.&r
“Ada hikmah dari kejadian ini. Insya Allah Daffa Albana masih akan bertahan, tapi ada sesuatu yang akan terjadi di dalam hidupnya, saat ini adalah titik balik dari kejadian yang akan menjadi takdir yang harus dijalani olehnya,” kata seorang kakek yang memakai imamah tebal berwarna putih melilit di atas kepala. Imamah tebal terlilit sebanyak tujuh lapis. Terlihat sangat rapi susunan dari kain yang terbentuk.“Tapi... Habib... apa yang harus ana lakukan? Daffa sudah lima hari terbaring tak sadarkan diri,” nyata pria tua yang merupakan guru dari Daffa.Kakek yang duduk bersila di atas tilam berbentuk persegi empat, mengangkat sorban berwarna hijau yang tergantung di lehernya. Menutupi imamah yang dikenakan. Dia berkata, “Tunggu tiba saatnya, akan ada seorang Hamba Allah yang akan membawa penyembuh untuk Daffa.” Kakek yang memiliki wajah yang sangat cerah, tersenyum kepada pria tua yang ada di hadapannya. Sejatinya, kakek yang kini berso
Besilamadalah sebuah perkampungan yang terletak di BumiSumatera Utara.Lebih tepatnya di daerahKabupaten Langkat, Kecamatan Padang Tualang, sekitar 65km dari kotaMedan.Secara etimologis, kata "besilam" berarti pintu kesejahteraan. Kampung ini pertama sekali dibangun oleh Almarhum Tuan Guru SyekhAbdul Wahab Rokanatau yang lebih dikenal dengan sebutan Tuan Guru Babussalam. Ia adalah seorang Ulama dan pemimpin Tarekat Naqsabandiyah. Di desa ini terdapat makam SyekhAbdul Wahab Rokanyang dikenal juga dengan Syekh Besilam yang merupakan murid dari Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Qubais Mekkah.Tampak sekilas, desa Besilam mirip dengan sebuah pesantren yang terpencil, teduh, asri dan damai. terlihat ada Masjid utama dan sebuah bangunan berkubah lengkung di sebelah masjid, sebuah bangunan utama dari kayu hitam yang besar dengan gaya rumah panggung serta beberapa bangunan tambahan lainnya. Selain terdapat makam Syekh Abd