Perempuan berparas cantik dengan rambut panjang tergerai itu terkekeh. Dia melemparkan ratusan lempengan hitam ke arah lawannya. Matanya yang semula terlihat indah, kini menajam dengan tatapan yang penuh dendam.
Lawannya adalah seorang pemuda berjubah putih dengan memakai peci berwarna senada. Dengan cepat lawan perempuan cantik itu menjentikkan jarinya. Jentikkan pertama, melesat sebuah bola putih seukuran kelereng dengan cepat ke arah lempengan-lempengan hitam sebesar jagung yang dipipihkan.
“Bono, tugasmu untuk membatalkan serangan itu!” teriaknya kepada seekor kucing hitam berliris putih yang berada di samping kaki. Kemudian melakukan jentikan kedua dengan cepat.
Kemudian berteriak lagi,” Banu, buat pelindung diri untuk kita bertiga!” Pemuda itu memerintah kucing berwarna coklat susu dan berwarna putih di ke empat kaki yang sedang bertengger di pundak. Jentikan kedua juga merupakan benda yang sama, tapi mengambang sejajar di dadanya.
Reaksi kedua Kucing Persia sangatlah cepat.
Bono menatap dengan mata hitamnya ke arah bola putih yang melesat. Lempengan itu bergerak dengan cepat dan semakin membesar. Bukan berukuran sebesar kelerang lagi tapi melebar membentuk satu dinding. Terbentang di depan mereka bertiga.
Sedangkan kucing bernama Banu juga membesarkan cahaya putih sebesar kelereng dengan kekuatan pikirannya. Menggelembung sebesar balon udara dan membungkus diri mereka bertiga.
Bono masih fokus dengan yang diperintahkan oleh majikannya. Melebarkan bola putih untuk menahan serangan lawan. Ratusan lempengan hitam yang dikeluarkan oleh perempuan cantik, telah melesat dan tertahan oleh dinding bercahaya putih.
“Patahkan serangannya, Bono!”
Meong.
Bono kembali menatap ke arah dinding putih yang telah menahan serangan lawan mereka. Berdiri dengan tubuh yang menegang. Menggeram dengan suara yang tertahan di tenggorokan.
Dinding cahaya putih bergerak maju ke depan dan berusaha membungkus semua lempengan hitam pipih dari lawan. Tanpa sisa, ratusan lempengan hitam itu telah berhasil ditahan oleh Bono dengan memerintahkan dinding cahaya putih.
Setelah tertahan oleh dinding cahaya putih beberapa menit, lempengan hitam yang berjumlah ratusan kini dibungkus oleh cahaya putih yang berbentuk menjadi bundar. Cahaya putih yang awalnya berbentuk dinding tipis, kini telah berubah bentuk menjadi balon udara yang berdiameter 100 sentimeter. Membungkus lempengan hitam dan semakin mengecil detik demi detik. Menekan lempengan hitam yang berjumlah ratusan di dalam gelembung udara.
Lempengan–lempengan hitam berontak dengan gerakan acak untuk keluar dari gelembung cahaya putih. Pergerakan mereka semakin terdesak karena cahaya putih semakin mengecil di setiap detik. Menekan ratusan lempengan di ruang yang semakin sempit.
Terdengar suara jeritan yang menyayat di telinga. Suara itu berasal dari ratusan lempengan hitam. Perempuan cantik yang menjadi lawan mereka berpucat pasi. Dia berusaha terus menggerakkan kedua tangannya untuk memerintahkan lempengan-lempengan yang dikeluarkan dari tangan agar terbebas dari himpitan bola udara yang semakin mengecil.
“Bangsat!” Makian itu berasal dari mulut perempuan yang berparas cantik. Sungguh tak sesuai perkataan dengan paras yang dimilikinya. “Aku belum mengeluarkan seluruh kekuatanku!” Perempuan itu terkekeh. Kedua tangannya bergerak secara acak di depan dada yang tadinya untuk membebaskan ratusan lempengan hitam, sekarang ditekuk ke depan. Dia tak menghiraukan lagi ratusan lempengan hitam yang semakin menjerit karena sudah terjepit gelembung udara yang semakin mengecil, saat ini telah berukuran sebesar bola kaki. Dipastikan dalam beberapa detik lagi, cahaya putih itu akan melenyapkan lempengan hitam yang semakin terdesak. Melebur dengan cahaya putih.
Kedua telapak tangan perempuan itu menyatu di depan dadanya. Mulutnya berkomat-kamit mengucapkan mantera.
Dush.
Asap hitam mengepul dari tubuhnya. Asap hitam yang sangat pekat.
Pemuda dan kedua kucingnya terkejut karena suara dentuman sedang yang berasal dari tubuh perempuan yang menjadi lawan mereka. Fokus mereka sudah tidak ke cahaya putih yang hampir hilang, melenyapkan lempengan hitam yang terbungkus di dalam. Suara jeritan yang menyayat telinga telah berkurang sedikit demi sedikit.
Kini... di hadapan mereka, berasal dari asap hitam pekat yang mulai memudar, terlihat ular hitam berukuran raksasa. Ular itu semakin terlihat jelas ketika asap hitam pekat mulai memudar, detik demi detik.
“Subhanallah....” Pemuda itu mengucapkan kata memohon ampun kepada Allah ketika melihat wujud asli dari perempuan cantik yang menjadi lawan mereka. Ternyata perempuan cantik itu adalah sesosok jin yang berwujud ular. Pemuda itu baru menyadari ternyata lempengan hitam yang menyerang mereka bertiga adalah sisik dari ular raksasa yang berwarna hitam.
Belum hilang rasa terperanjat mereka, ular hitam raksasa yang berdiri dua belas langkah di depan mereka, mengibaskan ekornya. Pemuda dan kedua peliharaannya yang berada di dalam lindungan cahaya putih, terlempar, mencelat ke samping kanan.
Cahaya putih yang membungkus mereka, sirna. Ketiga tubuh makhluk yang diciptakan Allah itu terjatuh di tanah berpasir. Mereka mendarat di samping kanan ular besar, berjarak dua puluh meter.
Pemuda yang berbadan kurus berusaha dengan cepat membangkitkan tubuhnya. Kepalanya terasa pusing karena membentur tanah tadi. Walaupun berpasir tapi terdapat tanah yang keras di balik pasir itu. Pipi kirinya terasa panas. Dia sadar bahwa gesekan pipinya dengan pasir telah membuat luka di wajah. Tapi dia tak menghiraukan hal itu. Matanya mencari kedua kucing miliknya. Dia melihat Banu yang tergeletak beberapa jengkal dari tempatnya tersungkur. Banu berada di sebelah kanan. Pemuda itu bergerak dan merangkak dengan menggunakan kedua lututnya, menggapai Banu yang tak sadarkan diri.
Setelah dengan bersusah payah menggapai kucing berwarna dominan coklat susu, dia mendengar suara desingan yang semakin mendekat. Menoleh ke arah sumber suara. Tiga lempengan hitam melesat cepat ke arah dirinya dan ke arah kedua Kucing Persia.
Matanya bergerak dengan cepat mencari Bono. Karena di malam hari yang hanya disinari cahaya Bulan Sabit, dia tak bisa dengan cepat mendeteksi keberadan Bono yang berbulu dominan hitam. Lima detik berikutnya, pemuda itu dapat melihat Bono yang berada di belakang, berjarak delapan langkah dan lempengan itu juga menuju ke arah Bono. Lawannya ingin membunuh mereka bertiga dengan cara bersamaan dan dalam waktu yang sama.
Singkat.
Waktu seperti sangat cepat berjalan. Pemuda yang memiliki kedua bola mata yang indah menjentikkan jarinya. Empat kali dia menjentikkan jari dengan cepat. Keempat cahaya putih keluar. Tiga cahaya putih diperintahkan untuk menahan lempengan hitam yang menuju ke diri mereka masing-masing. Sedangkan satu cahaya putih diperintahkan untuk membungkus dirinya dan Banu yang digendong dan masih tak sadarkan diri.
Kedua cahaya putih berhasil membungkus lempengan hitam yang berupa sisik ular raksasa. Namun cahaya ketiga tak berhasil menangkap sisik ular raksasa. Meleset. Satu lempengan itu melesat dengan cepat, menuju tubuh Bono yang masih tak sadarkan diri.
“Bismilla... ah....” Pemuda yang sudah terselubung dengan pelindung diri yang diciptakannya, berusaha melompat sekali ke arah Bono. Berharap memiliki waktu yang tepat untuk menyelamatkan kucing berwarna hitam, berloreng putih.
Sisa kekuatan yang dimiliki telah membawanya di hadapan Bono dengan sekali lompatan. Terduduk di tanah berpasir dengan kedua lutut mendarat terlebih dahulu dan meraih Bono dengan cepat untuk masuk ke dalam pelindung yang telah diciptakan.
Jleb.
“All... ah...,” desah pemuda yang memakai jubah putih. Pecinya entah kemana, tak ada lagi di kepalanya.
Lempengan hitam yang berupa sisik ular raksasa telah menancap di tulang punggungnya. Pada saat yang bersamaan ketika meraih Bono untuk masuk ke dalam lubang pelindung, di saat itulah lempengan hitam juga masuk dan menyerang tulang punggungnya. Ada celah yang dapat ditembus sisik ular raksasa karena dirinya membuka sedikit pelindung untuk meraih Bono. Pelindung yang berupa cahaya putih, melemah dan dapat ditembus oleh lempengan berwarna hitam di saat yang tak diinginkan.
Dirinya terhuyung ke samping. Terjerembab di tanah berpasir. Jubah putih yang dikenakan telah berubah warna menjadi merah, di bagian belakang. Dia tak sadarkan diri. Begitu juga kedua kucing yang telah berada di pelukannya.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (Al-Hijr : 26-27)
Siluman ular raksasa bergerak dengan cepat. Ekornya meliuk-liuk di atas tanah berpasir, menopang tubuhnya yang besar. Bagian atas dari siluman itu berubah wujud menjadi seeorang perempuan, tapi tak cantik lagi. Berparas hitam dengan rambut hitam yang tergerai panjang. Gigi taring terlihat di mulutnya yang terbuka. Lidah ular yang panjang menjulur dan terdengar suara mendesis dari mulutnya yang berwarna hitam.Gerakan siluman ular raksasa itu sangat cepat. Dengan penuh nafsu ingin menghabisi nyawa ketiga makhluk yang menjadi lawannya beberapa menit yang lalu. Padahal lawannya sudah tergeletak tak berdaya.Siluman ular raksasa menggerakkan kepalanya, bersiap untuk mematuk tubuh pemuda yang telah bersimbah darah di bagian punggung. Dia tak memperdulikan kedua kucing yang terbaring di bagian depan perut pemuda. Sasaran serangannya terfokus kepada pemuda yang meringkuk di atas tanah berpasir.Suara desis kemenangan terdengar dari mulutnya. Kepalanya berubah kembali m
Besilamadalah sebuah perkampungan yang terletak di BumiSumatera Utara.Lebih tepatnya di daerahKabupaten Langkat, Kecamatan Padang Tualang, sekitar 65km dari kotaMedan.Secara etimologis, kata "besilam" berarti pintu kesejahteraan. Kampung ini pertama sekali dibangun oleh Almarhum Tuan Guru SyekhAbdul Wahab Rokanatau yang lebih dikenal dengan sebutan Tuan Guru Babussalam. Ia adalah seorang Ulama dan pemimpin Tarekat Naqsabandiyah. Di desa ini terdapat makam SyekhAbdul Wahab Rokanyang dikenal juga dengan Syekh Besilam yang merupakan murid dari Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Qubais Mekkah.Tampak sekilas, desa Besilam mirip dengan sebuah pesantren yang terpencil, teduh, asri dan damai. terlihat ada Masjid utama dan sebuah bangunan berkubah lengkung di sebelah masjid, sebuah bangunan utama dari kayu hitam yang besar dengan gaya rumah panggung serta beberapa bangunan tambahan lainnya. Selain terdapat makam Syekh Abd
“Ada hikmah dari kejadian ini. Insya Allah Daffa Albana masih akan bertahan, tapi ada sesuatu yang akan terjadi di dalam hidupnya, saat ini adalah titik balik dari kejadian yang akan menjadi takdir yang harus dijalani olehnya,” kata seorang kakek yang memakai imamah tebal berwarna putih melilit di atas kepala. Imamah tebal terlilit sebanyak tujuh lapis. Terlihat sangat rapi susunan dari kain yang terbentuk.“Tapi... Habib... apa yang harus ana lakukan? Daffa sudah lima hari terbaring tak sadarkan diri,” nyata pria tua yang merupakan guru dari Daffa.Kakek yang duduk bersila di atas tilam berbentuk persegi empat, mengangkat sorban berwarna hijau yang tergantung di lehernya. Menutupi imamah yang dikenakan. Dia berkata, “Tunggu tiba saatnya, akan ada seorang Hamba Allah yang akan membawa penyembuh untuk Daffa.” Kakek yang memiliki wajah yang sangat cerah, tersenyum kepada pria tua yang ada di hadapannya. Sejatinya, kakek yang kini berso
~ 6 tahun yang lalu. ~“Ma, Empa udah selesai nih....” Anak remaja laki-laki bangkit dari tempat duduknya, melangkah menuju dapur dengan perlahan. Tangan kanan membawa piring. Dia mendekati ibunya yang sedang sibuk melakukan persiapan untuk makan siang. Berhenti beberapa langkah di belakang ibunya. Terpaku. Menatap ibunya dari balik kaca mata berbentuk petak. Kedua tangan memegang piring bekas makan.“Udah selesai ya Nak? Piringnya diletakkan aja ya di wastafel...,” ujar wanita setengah baya dengan lembut tanpa melihat ke anaknya.“Empa cuci deh piringnya, Ma...,” ujarnya pelan. Kedua matanya melihat ke arah punggung ibunya. Masih berdiri terpaku.“Enggak usah, Nak. Nanti Bi Inah aja yang nyuci,” balas wanita itu. Lagi-lagi tanpa menoleh ke arah anaknya.“Ma, Empa sekarang sudah terbiasa mandiri. Di pesantren Empa nyuci piring dan baju sendiri kok. Jadi Empa bisa, Ma.&r
Malam tanpa bintang tapi tak terlalu gelap karena dibantu oleh beberapa lampu penerangan mesjid bersejarah di Kota tanjung Pura, berdiri seseorang anak laki-laki memakai baju jubah putih panjang. Kepalanya tertutup dengan peci putih berlogo terompah Rasulullah di kiri dan kanan. Anak laki-laki berdiri terpaku di halaman depan mesjid berdesain campuran Timur Tengah dan India. Dia melihat lurus ke depan, ke arah pintu utama mesjid dengan wajah penuh rasa penasaran.Apa yang aku lakukan di sini, di sepertiga malam?Masih berdiri terpaku, berusaha untuk mencari jawaban. Kedua matanya melihat ke menara mesjid yang menjulang tinggi di bagian kirinya.Sepi.Hening.Malam yang begitu senyap, membuat dirinya semakin penasaran dengan situasi yang dialaminya saat ini.“Assalamu’alaikum... Daffa Albana...,” sapa seseorang yang tiba-tiba muncul di samping kanannya.“Wa’alaikumussalam.” Ana
Wush.Angin malam menerpa kulit putih Daffa. Terasa dingin di malam ini. Kini dirinya berada di balkon puncak paling atas menara mesjid bersejarah. Menara tunggal yang terdapat di mesjid setinggi enam puluh meter.“Indah kan Kota Tanjung Pura ini?” Sang Kakek bertanya tanpa mengharapkan jawaban dari Daffa. “Walaupun kebanyakan anak muda seperti kamu, lebih memilih keluar dari kota kecil ini untuk mencari pekerjaan. Alasan mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Mereka belum mengerti bahwa kehidupan yang layak bisa didapatkan di kota kecil ini, tak hanya layak di dunia, tapi juga layak di akhirat kelak,” jelasnya dengan bersungguh-sungguh.“Apa yang ingin kakek tunjukkan sekarang?” tanya Daffa karena tidak sabar untuk mengetahui jawaban dari pertanyaannya tadi. Tak terlalu memperdulikan pemandangan kota kecil yang hanya dihiasi lampu-lampu rumah dan ruko yang menurutnya hanya pemandangan biasa.“Kemari
Masjid Azizi berdiri di atas tanah seluas 18.000 meter persegi. Masjid Azizi dibangun atas anjuran Syekh Abdul Wahab Babussalam pada masa pemerintahan Sultan Musa al-Muazzamsyah. Mulai dibangun pada tahun 1320 H (1899M) atau setidaknya 149 tahun sejak Langkat resmi berdiri sebagai Kesultanan, namun Sultan Musa wafat sebelum pembangunan masjid selesai dilaksanakan. Pembangunan diteruskan oleh putranya yang bergelar Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah (1897-1927) Sultan Langkat ke-7.Rancangan masjid ditangani oleh seorang arsitek berkebangsaan Jerman, para pekerjanya banyak dari etnis Tionghoa dan masyarakat Langkat sendiri. Sedangkan bahan bangunan didatangkan dari Penang Malaysia dan Singapura dengan menggunakan kapal ke Tanjungpura. Pada masa itu sungai Batang Serangan masih berfungsi baik dan kapal-kapal dengan tonase 600 ton dapat melayarinya.Masjid Azizi diresmikan sendiri oleh Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muham
Mesjid di atas kolam buatan yang berada di pinggir jalan besar di Kota Tanjung Pura terlihat sangat unik. Mesjid yang dibangun ditahun 90-an ini merupakan salah satu mesjid yang ada di kota kecil Kecamatan Tanjung Pura. Daffa duduk di pinggir teras yang terbuat dari semen berbatu. Melihat ke arah kolam yang beriak karena terlihat beberapa ikan yang ingin diberi makan atau hanya sekedar menghirup oksigen. Kedua mata yang mengenakan kaca mata berbentuk petak melihat kolam secara fisik, namun pikirannya melanglang buana. Pikirannya meraba mimpi yang masih diingatnya dari awal sampai akhir. Tak ada satu penggalanpun yang dilupakannya. Dia ingat kelima petunjuk yang diberikan oleh Sang Kakek –yang entah dari mana asalnya- mengaku bernama Habib Ali Assegaff. “Habib...,” gumamnya. Setau dirinya, sangat jarang orang bergelar Habib di Sumatera Utara ini. Kebanyakan ada di Jawa, Kalimantan dan Palembang. Anak laki-laki yang memakai baju batik panjang berdominan
Pemuda yang memotong rambutnya dengan rapi berlari cepat menuju kamar adik laki-lakinya, melongok ke dalam. “Kemana Empa...?” Terlihat raut wajahnya cemas. Pucat, padahal kulitnya tergolong berwarna sawo matang. Kemudian pemuda itu berlari menuju teras yang pintunya terbuka lebar, tak jauh dari kamar adiknya. Hanya berjarak tujuh meter. Dia sempat melihat dua sosok bayangan yang berkelebat. Salah satu sosok itu memanggul satu tubuh di bahunya. “Ya allah, Empa...!” Histeris yang dikeluarkan dari mulutnya tersekat. Pemuda yang memiliki tubuh kurus dan tinggi berlari, masuk ke dalam dan menuju tangga. Turun ke bawah dengan terburu-buru dan langsung menuju pintu keluar rumah. Semua yang dilakukannya terburu-buru. Kunci rumah berdentangan. Daun pintu terhempas kuat. Bak kesetanan dia berlari menuju halaman depan rumah dan membuka pagar dengan cepat. Dia melihat dari atas tadi, sosok makhluk yang membawa adiknya melompat dengan sigap, keluar rumah tanpa mem
“Baik, Tuan. Saya cek kembali.” Suara dari pemuda tampan tapi tak memiliki kepercayaan diri yang besar itu semakin melemah. Entah apa yang telah terjadi sehingga dirinya tak mempunyai kepercayaan diri yang besar. “Sudah Tuan. Kita akan mendarat di markas besar dalam beberapa detik saja.” “Bawa anak ini! Kita segera berangkat!” Terdengar derap kaki yang berlari menuju kamar tempat anak laki-laki itu tersudut. Pemuda itu mengangkat lengan anak laki-laki secara paksa, sehingga menuruti kemauannya untuk berdiri dan berjalan keluar menuju ruangan lain. Tok. Tok. Tok. Langkah kaki perlahan dengan hentakan tongkat terdengar jelas di malam yang hening itu. Pria berkumis juga berjalan dengan perlahan keluar menuju ruangan di depan mereka. Rangga dan anak laki-laki mengikutinya dari belakang. Berjalan menuju pintu keluar dan sedikit berbelok ke kiri ke tempat yang ditujunya. Lalu, dia berhenti dan berdiri di tengah-tengah antara dua ruangan baru. Pria itu berdi
Mesjid di atas kolam buatan yang berada di pinggir jalan besar di Kota Tanjung Pura terlihat sangat unik. Mesjid yang dibangun ditahun 90-an ini merupakan salah satu mesjid yang ada di kota kecil Kecamatan Tanjung Pura. Daffa duduk di pinggir teras yang terbuat dari semen berbatu. Melihat ke arah kolam yang beriak karena terlihat beberapa ikan yang ingin diberi makan atau hanya sekedar menghirup oksigen. Kedua mata yang mengenakan kaca mata berbentuk petak melihat kolam secara fisik, namun pikirannya melanglang buana. Pikirannya meraba mimpi yang masih diingatnya dari awal sampai akhir. Tak ada satu penggalanpun yang dilupakannya. Dia ingat kelima petunjuk yang diberikan oleh Sang Kakek –yang entah dari mana asalnya- mengaku bernama Habib Ali Assegaff. “Habib...,” gumamnya. Setau dirinya, sangat jarang orang bergelar Habib di Sumatera Utara ini. Kebanyakan ada di Jawa, Kalimantan dan Palembang. Anak laki-laki yang memakai baju batik panjang berdominan
Masjid Azizi berdiri di atas tanah seluas 18.000 meter persegi. Masjid Azizi dibangun atas anjuran Syekh Abdul Wahab Babussalam pada masa pemerintahan Sultan Musa al-Muazzamsyah. Mulai dibangun pada tahun 1320 H (1899M) atau setidaknya 149 tahun sejak Langkat resmi berdiri sebagai Kesultanan, namun Sultan Musa wafat sebelum pembangunan masjid selesai dilaksanakan. Pembangunan diteruskan oleh putranya yang bergelar Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah (1897-1927) Sultan Langkat ke-7.Rancangan masjid ditangani oleh seorang arsitek berkebangsaan Jerman, para pekerjanya banyak dari etnis Tionghoa dan masyarakat Langkat sendiri. Sedangkan bahan bangunan didatangkan dari Penang Malaysia dan Singapura dengan menggunakan kapal ke Tanjungpura. Pada masa itu sungai Batang Serangan masih berfungsi baik dan kapal-kapal dengan tonase 600 ton dapat melayarinya.Masjid Azizi diresmikan sendiri oleh Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muham
Wush.Angin malam menerpa kulit putih Daffa. Terasa dingin di malam ini. Kini dirinya berada di balkon puncak paling atas menara mesjid bersejarah. Menara tunggal yang terdapat di mesjid setinggi enam puluh meter.“Indah kan Kota Tanjung Pura ini?” Sang Kakek bertanya tanpa mengharapkan jawaban dari Daffa. “Walaupun kebanyakan anak muda seperti kamu, lebih memilih keluar dari kota kecil ini untuk mencari pekerjaan. Alasan mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Mereka belum mengerti bahwa kehidupan yang layak bisa didapatkan di kota kecil ini, tak hanya layak di dunia, tapi juga layak di akhirat kelak,” jelasnya dengan bersungguh-sungguh.“Apa yang ingin kakek tunjukkan sekarang?” tanya Daffa karena tidak sabar untuk mengetahui jawaban dari pertanyaannya tadi. Tak terlalu memperdulikan pemandangan kota kecil yang hanya dihiasi lampu-lampu rumah dan ruko yang menurutnya hanya pemandangan biasa.“Kemari
Malam tanpa bintang tapi tak terlalu gelap karena dibantu oleh beberapa lampu penerangan mesjid bersejarah di Kota tanjung Pura, berdiri seseorang anak laki-laki memakai baju jubah putih panjang. Kepalanya tertutup dengan peci putih berlogo terompah Rasulullah di kiri dan kanan. Anak laki-laki berdiri terpaku di halaman depan mesjid berdesain campuran Timur Tengah dan India. Dia melihat lurus ke depan, ke arah pintu utama mesjid dengan wajah penuh rasa penasaran.Apa yang aku lakukan di sini, di sepertiga malam?Masih berdiri terpaku, berusaha untuk mencari jawaban. Kedua matanya melihat ke menara mesjid yang menjulang tinggi di bagian kirinya.Sepi.Hening.Malam yang begitu senyap, membuat dirinya semakin penasaran dengan situasi yang dialaminya saat ini.“Assalamu’alaikum... Daffa Albana...,” sapa seseorang yang tiba-tiba muncul di samping kanannya.“Wa’alaikumussalam.” Ana
~ 6 tahun yang lalu. ~“Ma, Empa udah selesai nih....” Anak remaja laki-laki bangkit dari tempat duduknya, melangkah menuju dapur dengan perlahan. Tangan kanan membawa piring. Dia mendekati ibunya yang sedang sibuk melakukan persiapan untuk makan siang. Berhenti beberapa langkah di belakang ibunya. Terpaku. Menatap ibunya dari balik kaca mata berbentuk petak. Kedua tangan memegang piring bekas makan.“Udah selesai ya Nak? Piringnya diletakkan aja ya di wastafel...,” ujar wanita setengah baya dengan lembut tanpa melihat ke anaknya.“Empa cuci deh piringnya, Ma...,” ujarnya pelan. Kedua matanya melihat ke arah punggung ibunya. Masih berdiri terpaku.“Enggak usah, Nak. Nanti Bi Inah aja yang nyuci,” balas wanita itu. Lagi-lagi tanpa menoleh ke arah anaknya.“Ma, Empa sekarang sudah terbiasa mandiri. Di pesantren Empa nyuci piring dan baju sendiri kok. Jadi Empa bisa, Ma.&r
“Ada hikmah dari kejadian ini. Insya Allah Daffa Albana masih akan bertahan, tapi ada sesuatu yang akan terjadi di dalam hidupnya, saat ini adalah titik balik dari kejadian yang akan menjadi takdir yang harus dijalani olehnya,” kata seorang kakek yang memakai imamah tebal berwarna putih melilit di atas kepala. Imamah tebal terlilit sebanyak tujuh lapis. Terlihat sangat rapi susunan dari kain yang terbentuk.“Tapi... Habib... apa yang harus ana lakukan? Daffa sudah lima hari terbaring tak sadarkan diri,” nyata pria tua yang merupakan guru dari Daffa.Kakek yang duduk bersila di atas tilam berbentuk persegi empat, mengangkat sorban berwarna hijau yang tergantung di lehernya. Menutupi imamah yang dikenakan. Dia berkata, “Tunggu tiba saatnya, akan ada seorang Hamba Allah yang akan membawa penyembuh untuk Daffa.” Kakek yang memiliki wajah yang sangat cerah, tersenyum kepada pria tua yang ada di hadapannya. Sejatinya, kakek yang kini berso
Besilamadalah sebuah perkampungan yang terletak di BumiSumatera Utara.Lebih tepatnya di daerahKabupaten Langkat, Kecamatan Padang Tualang, sekitar 65km dari kotaMedan.Secara etimologis, kata "besilam" berarti pintu kesejahteraan. Kampung ini pertama sekali dibangun oleh Almarhum Tuan Guru SyekhAbdul Wahab Rokanatau yang lebih dikenal dengan sebutan Tuan Guru Babussalam. Ia adalah seorang Ulama dan pemimpin Tarekat Naqsabandiyah. Di desa ini terdapat makam SyekhAbdul Wahab Rokanyang dikenal juga dengan Syekh Besilam yang merupakan murid dari Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Qubais Mekkah.Tampak sekilas, desa Besilam mirip dengan sebuah pesantren yang terpencil, teduh, asri dan damai. terlihat ada Masjid utama dan sebuah bangunan berkubah lengkung di sebelah masjid, sebuah bangunan utama dari kayu hitam yang besar dengan gaya rumah panggung serta beberapa bangunan tambahan lainnya. Selain terdapat makam Syekh Abd