“Ada hikmah dari kejadian ini. Insya Allah Daffa Albana masih akan bertahan, tapi ada sesuatu yang akan terjadi di dalam hidupnya, saat ini adalah titik balik dari kejadian yang akan menjadi takdir yang harus dijalani olehnya,” kata seorang kakek yang memakai imamah tebal berwarna putih melilit di atas kepala. Imamah tebal terlilit sebanyak tujuh lapis. Terlihat sangat rapi susunan dari kain yang terbentuk.
“Tapi... Habib... apa yang harus ana lakukan? Daffa sudah lima hari terbaring tak sadarkan diri,” nyata pria tua yang merupakan guru dari Daffa.
Kakek yang duduk bersila di atas tilam berbentuk persegi empat, mengangkat sorban berwarna hijau yang tergantung di lehernya. Menutupi imamah yang dikenakan. Dia berkata, “Tunggu tiba saatnya, akan ada seorang Hamba Allah yang akan membawa penyembuh untuk Daffa.” Kakek yang memiliki wajah yang sangat cerah, tersenyum kepada pria tua yang ada di hadapannya. Sejatinya, kakek yang kini bersorban hijau menutupi imamahnya, lebih tua dari pria tua yang merupakan guru Daffa, namun perawakannya yang sangat tampan dan mempesona merupakan hasil dari amal ibadah yang tidak terikuti oleh manusia biasa.
“Kheir, Habib. Ana akan menunggu waktu itu dengan penuh kesabaran. Insya Allah,” nyata pria tua. Kemudian dia bangkit dari duduknya, bergeser ke depan dengan menggunakan kedua lututnya sebagai tumpuan dan penggerak dari tubuhnya. Menjulurkan tangan kanannya yang disambut dengan uluran tangan dari kakek yang dipanggilnya Habib. Mencium punggung dan telapak tangan Habib beberapa kali secara bolak –balik. “Ana mohon izin Habib. Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.”
“Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh.”
Pria tua membuka kedua matanya. Dia kembali ke alam sadar. Kembali ke jasadnya yang berada di salah satu kamar di bangunan Rumah Baoh.
Pertemuan yang dilakukan oleh dirinya dan guru spiritualnya sering dilakukan jika dia menemukan kesulitan dalam berbagai masalah. Guru spiritual yang merupakan seseorang istimewa dan memiliki karomah yang diberikan oleh Allah hanya biasa dijumpai dalam keadaan suci dan di alam yang berbeda.
Pria tua bangkit dari duduknya. Dia merapikan tilam yang dijadikan sebagai alas ketika bertafakur dan bertemu dengan guru spiritualnya. Kemudian bergegas keluar dari ruangan yang berdinding kayu seluas 7 x 5 meter persegi.
™*™
Suara pintu kamar berderak pelan.
Miaw...
Pria tua tersenyum kecil. Melangkah perlahan ke arah tempat tidur dimana Daffa berbaring. Duduk di pinggir tempat tidur yang terbuat dari bahan kayu. Mengelus Banu yang berada di samping kiri Daffa. Kucing Persia itu sudah tak sabar ingin mendengarkan penjelasan dari pria tua.
“Kamu sangat khawatir dengan tuanmu ya Banu? Kamu juga ya Bono?” tanya pria tua itu sembari mengelus Bono yang berada di sebrang dirinya, terpisah oleh tubuh Daffa.
“Habib Muhammad Assegaff menyuruh kita untuk menunggu dengan sabar. Akan ada Hamba Allah yang datang ke Besilam dan sholat di Nosah. Dia akan membawakan obat penawar untuk Tuan kalian. Insya Allah, Tuan kalian akan baik-baik saja,” nyata pria tua sambil melihat ke arah wajah pemuda yang terbaring tanpa sadarkan diri. Dia melihat begitu pucat wajahnya. Bibir tipisnya juga terlihat sangat pucat, sudah lima hari tidak menyentuh air. Kekuasaan Allah yang membuat muridnya bertahan dalam koma. Ruhnya entah kemana saat ini.
Meeeeong...
Bono berjalan di atas kepala Daffa, mengitari, berusaha mendekati pria tua yang duduk di samping tempat tidur. Kemudian duduk di pangkuan pria tua itu, berdampingan dengan Banu yang sudah dari tadi dipangku oleh pria tua.
“Ketika Allah punya kuasa, kita tidak bisa melawannya. Allah punya suatu tujuan membuat Tuan kalian seperti ini. Sabar... ikhlas... tawakkal itu yang harus kita lakukan,’ ujar pria tua dengan suara sedikit parau.
Meong...
Miaw...
“Kakek rasa kalian sudah faham dengan segala takdir kan? Kalian masih ingat bagaimana kita dipertemukan. Habib Ali Assegaff, Tuan kalian... Ustadz Daffa, Kakek, dan kalian berdua, kucing kesayangan Daffa. Jadi semua ada hikmahnya. Kita berkumpul karena ada maksud dan tujuan dari Allah untuk kita. Ada tugas yang harus kita selesaikan di dunia ini,” jelas pria tua dengan panjang lebar. Suaranya semakin parau. Sepertinya dia menahan sesuatu di matanya.
Pria tua memegang punggung telapak tangan Daffa. “Banyak bersholawat, Nak. Kakek tau kalau kamu bisa mendengarkan perkataan kakek. Kita akan segera mendapatkan obat penawar untuk dirimu.”
Terdengar sayup-sayup suara sholawat sebagai pengantar azzan yang akan dikumandangkan dari mesjid yang berada di tak jauh dari Rumah Baoh. Masjid yang biasa disebut dengan Nosah di perkampungan Besilam –Babussalam akan mengumandangkan azan Ashar. Waktu ashar di hari kelima ketika Daffa Albana mengalami koma tanpa diketahui kemana ruhnya berada.
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tiada ketakutan dan tiada pula dia bersedih (hati). (Yaitu) orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa keapada Allah”. (Yunus : 62-63).
~ 6 tahun yang lalu. ~“Ma, Empa udah selesai nih....” Anak remaja laki-laki bangkit dari tempat duduknya, melangkah menuju dapur dengan perlahan. Tangan kanan membawa piring. Dia mendekati ibunya yang sedang sibuk melakukan persiapan untuk makan siang. Berhenti beberapa langkah di belakang ibunya. Terpaku. Menatap ibunya dari balik kaca mata berbentuk petak. Kedua tangan memegang piring bekas makan.“Udah selesai ya Nak? Piringnya diletakkan aja ya di wastafel...,” ujar wanita setengah baya dengan lembut tanpa melihat ke anaknya.“Empa cuci deh piringnya, Ma...,” ujarnya pelan. Kedua matanya melihat ke arah punggung ibunya. Masih berdiri terpaku.“Enggak usah, Nak. Nanti Bi Inah aja yang nyuci,” balas wanita itu. Lagi-lagi tanpa menoleh ke arah anaknya.“Ma, Empa sekarang sudah terbiasa mandiri. Di pesantren Empa nyuci piring dan baju sendiri kok. Jadi Empa bisa, Ma.&r
Malam tanpa bintang tapi tak terlalu gelap karena dibantu oleh beberapa lampu penerangan mesjid bersejarah di Kota tanjung Pura, berdiri seseorang anak laki-laki memakai baju jubah putih panjang. Kepalanya tertutup dengan peci putih berlogo terompah Rasulullah di kiri dan kanan. Anak laki-laki berdiri terpaku di halaman depan mesjid berdesain campuran Timur Tengah dan India. Dia melihat lurus ke depan, ke arah pintu utama mesjid dengan wajah penuh rasa penasaran.Apa yang aku lakukan di sini, di sepertiga malam?Masih berdiri terpaku, berusaha untuk mencari jawaban. Kedua matanya melihat ke menara mesjid yang menjulang tinggi di bagian kirinya.Sepi.Hening.Malam yang begitu senyap, membuat dirinya semakin penasaran dengan situasi yang dialaminya saat ini.“Assalamu’alaikum... Daffa Albana...,” sapa seseorang yang tiba-tiba muncul di samping kanannya.“Wa’alaikumussalam.” Ana
Wush.Angin malam menerpa kulit putih Daffa. Terasa dingin di malam ini. Kini dirinya berada di balkon puncak paling atas menara mesjid bersejarah. Menara tunggal yang terdapat di mesjid setinggi enam puluh meter.“Indah kan Kota Tanjung Pura ini?” Sang Kakek bertanya tanpa mengharapkan jawaban dari Daffa. “Walaupun kebanyakan anak muda seperti kamu, lebih memilih keluar dari kota kecil ini untuk mencari pekerjaan. Alasan mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Mereka belum mengerti bahwa kehidupan yang layak bisa didapatkan di kota kecil ini, tak hanya layak di dunia, tapi juga layak di akhirat kelak,” jelasnya dengan bersungguh-sungguh.“Apa yang ingin kakek tunjukkan sekarang?” tanya Daffa karena tidak sabar untuk mengetahui jawaban dari pertanyaannya tadi. Tak terlalu memperdulikan pemandangan kota kecil yang hanya dihiasi lampu-lampu rumah dan ruko yang menurutnya hanya pemandangan biasa.“Kemari
Masjid Azizi berdiri di atas tanah seluas 18.000 meter persegi. Masjid Azizi dibangun atas anjuran Syekh Abdul Wahab Babussalam pada masa pemerintahan Sultan Musa al-Muazzamsyah. Mulai dibangun pada tahun 1320 H (1899M) atau setidaknya 149 tahun sejak Langkat resmi berdiri sebagai Kesultanan, namun Sultan Musa wafat sebelum pembangunan masjid selesai dilaksanakan. Pembangunan diteruskan oleh putranya yang bergelar Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah (1897-1927) Sultan Langkat ke-7.Rancangan masjid ditangani oleh seorang arsitek berkebangsaan Jerman, para pekerjanya banyak dari etnis Tionghoa dan masyarakat Langkat sendiri. Sedangkan bahan bangunan didatangkan dari Penang Malaysia dan Singapura dengan menggunakan kapal ke Tanjungpura. Pada masa itu sungai Batang Serangan masih berfungsi baik dan kapal-kapal dengan tonase 600 ton dapat melayarinya.Masjid Azizi diresmikan sendiri oleh Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muham
Mesjid di atas kolam buatan yang berada di pinggir jalan besar di Kota Tanjung Pura terlihat sangat unik. Mesjid yang dibangun ditahun 90-an ini merupakan salah satu mesjid yang ada di kota kecil Kecamatan Tanjung Pura. Daffa duduk di pinggir teras yang terbuat dari semen berbatu. Melihat ke arah kolam yang beriak karena terlihat beberapa ikan yang ingin diberi makan atau hanya sekedar menghirup oksigen. Kedua mata yang mengenakan kaca mata berbentuk petak melihat kolam secara fisik, namun pikirannya melanglang buana. Pikirannya meraba mimpi yang masih diingatnya dari awal sampai akhir. Tak ada satu penggalanpun yang dilupakannya. Dia ingat kelima petunjuk yang diberikan oleh Sang Kakek –yang entah dari mana asalnya- mengaku bernama Habib Ali Assegaff. “Habib...,” gumamnya. Setau dirinya, sangat jarang orang bergelar Habib di Sumatera Utara ini. Kebanyakan ada di Jawa, Kalimantan dan Palembang. Anak laki-laki yang memakai baju batik panjang berdominan
“Baik, Tuan. Saya cek kembali.” Suara dari pemuda tampan tapi tak memiliki kepercayaan diri yang besar itu semakin melemah. Entah apa yang telah terjadi sehingga dirinya tak mempunyai kepercayaan diri yang besar. “Sudah Tuan. Kita akan mendarat di markas besar dalam beberapa detik saja.” “Bawa anak ini! Kita segera berangkat!” Terdengar derap kaki yang berlari menuju kamar tempat anak laki-laki itu tersudut. Pemuda itu mengangkat lengan anak laki-laki secara paksa, sehingga menuruti kemauannya untuk berdiri dan berjalan keluar menuju ruangan lain. Tok. Tok. Tok. Langkah kaki perlahan dengan hentakan tongkat terdengar jelas di malam yang hening itu. Pria berkumis juga berjalan dengan perlahan keluar menuju ruangan di depan mereka. Rangga dan anak laki-laki mengikutinya dari belakang. Berjalan menuju pintu keluar dan sedikit berbelok ke kiri ke tempat yang ditujunya. Lalu, dia berhenti dan berdiri di tengah-tengah antara dua ruangan baru. Pria itu berdi
Pemuda yang memotong rambutnya dengan rapi berlari cepat menuju kamar adik laki-lakinya, melongok ke dalam. “Kemana Empa...?” Terlihat raut wajahnya cemas. Pucat, padahal kulitnya tergolong berwarna sawo matang. Kemudian pemuda itu berlari menuju teras yang pintunya terbuka lebar, tak jauh dari kamar adiknya. Hanya berjarak tujuh meter. Dia sempat melihat dua sosok bayangan yang berkelebat. Salah satu sosok itu memanggul satu tubuh di bahunya. “Ya allah, Empa...!” Histeris yang dikeluarkan dari mulutnya tersekat. Pemuda yang memiliki tubuh kurus dan tinggi berlari, masuk ke dalam dan menuju tangga. Turun ke bawah dengan terburu-buru dan langsung menuju pintu keluar rumah. Semua yang dilakukannya terburu-buru. Kunci rumah berdentangan. Daun pintu terhempas kuat. Bak kesetanan dia berlari menuju halaman depan rumah dan membuka pagar dengan cepat. Dia melihat dari atas tadi, sosok makhluk yang membawa adiknya melompat dengan sigap, keluar rumah tanpa mem
Perempuan berparas cantik dengan rambut panjang tergerai itu terkekeh. Dia melemparkan ratusan lempengan hitam ke arah lawannya. Matanya yang semula terlihat indah, kini menajam dengan tatapan yang penuh dendam.Lawannya adalah seorang pemuda berjubah putih dengan memakai peci berwarna senada. Dengan cepat lawan perempuan cantik itu menjentikkan jarinya. Jentikkan pertama, melesat sebuah bola putih seukuran kelereng dengan cepat ke arah lempengan-lempengan hitam sebesar jagung yang dipipihkan.“Bono, tugasmu untuk membatalkan serangan itu!” teriaknya kepada seekor kucing hitam berliris putih yang berada di samping kaki. Kemudian melakukan jentikan kedua dengan cepat.Kemudian berteriak lagi,” Banu, buat pelindung diri untuk kita bertiga!” Pemuda itu memerintah kucing berwarna coklat susu dan berwarna putih di ke empat kaki yang sedang bertengger di pundak. Jentikan kedua juga merupakan benda yang sama, tapi men
Pemuda yang memotong rambutnya dengan rapi berlari cepat menuju kamar adik laki-lakinya, melongok ke dalam. “Kemana Empa...?” Terlihat raut wajahnya cemas. Pucat, padahal kulitnya tergolong berwarna sawo matang. Kemudian pemuda itu berlari menuju teras yang pintunya terbuka lebar, tak jauh dari kamar adiknya. Hanya berjarak tujuh meter. Dia sempat melihat dua sosok bayangan yang berkelebat. Salah satu sosok itu memanggul satu tubuh di bahunya. “Ya allah, Empa...!” Histeris yang dikeluarkan dari mulutnya tersekat. Pemuda yang memiliki tubuh kurus dan tinggi berlari, masuk ke dalam dan menuju tangga. Turun ke bawah dengan terburu-buru dan langsung menuju pintu keluar rumah. Semua yang dilakukannya terburu-buru. Kunci rumah berdentangan. Daun pintu terhempas kuat. Bak kesetanan dia berlari menuju halaman depan rumah dan membuka pagar dengan cepat. Dia melihat dari atas tadi, sosok makhluk yang membawa adiknya melompat dengan sigap, keluar rumah tanpa mem
“Baik, Tuan. Saya cek kembali.” Suara dari pemuda tampan tapi tak memiliki kepercayaan diri yang besar itu semakin melemah. Entah apa yang telah terjadi sehingga dirinya tak mempunyai kepercayaan diri yang besar. “Sudah Tuan. Kita akan mendarat di markas besar dalam beberapa detik saja.” “Bawa anak ini! Kita segera berangkat!” Terdengar derap kaki yang berlari menuju kamar tempat anak laki-laki itu tersudut. Pemuda itu mengangkat lengan anak laki-laki secara paksa, sehingga menuruti kemauannya untuk berdiri dan berjalan keluar menuju ruangan lain. Tok. Tok. Tok. Langkah kaki perlahan dengan hentakan tongkat terdengar jelas di malam yang hening itu. Pria berkumis juga berjalan dengan perlahan keluar menuju ruangan di depan mereka. Rangga dan anak laki-laki mengikutinya dari belakang. Berjalan menuju pintu keluar dan sedikit berbelok ke kiri ke tempat yang ditujunya. Lalu, dia berhenti dan berdiri di tengah-tengah antara dua ruangan baru. Pria itu berdi
Mesjid di atas kolam buatan yang berada di pinggir jalan besar di Kota Tanjung Pura terlihat sangat unik. Mesjid yang dibangun ditahun 90-an ini merupakan salah satu mesjid yang ada di kota kecil Kecamatan Tanjung Pura. Daffa duduk di pinggir teras yang terbuat dari semen berbatu. Melihat ke arah kolam yang beriak karena terlihat beberapa ikan yang ingin diberi makan atau hanya sekedar menghirup oksigen. Kedua mata yang mengenakan kaca mata berbentuk petak melihat kolam secara fisik, namun pikirannya melanglang buana. Pikirannya meraba mimpi yang masih diingatnya dari awal sampai akhir. Tak ada satu penggalanpun yang dilupakannya. Dia ingat kelima petunjuk yang diberikan oleh Sang Kakek –yang entah dari mana asalnya- mengaku bernama Habib Ali Assegaff. “Habib...,” gumamnya. Setau dirinya, sangat jarang orang bergelar Habib di Sumatera Utara ini. Kebanyakan ada di Jawa, Kalimantan dan Palembang. Anak laki-laki yang memakai baju batik panjang berdominan
Masjid Azizi berdiri di atas tanah seluas 18.000 meter persegi. Masjid Azizi dibangun atas anjuran Syekh Abdul Wahab Babussalam pada masa pemerintahan Sultan Musa al-Muazzamsyah. Mulai dibangun pada tahun 1320 H (1899M) atau setidaknya 149 tahun sejak Langkat resmi berdiri sebagai Kesultanan, namun Sultan Musa wafat sebelum pembangunan masjid selesai dilaksanakan. Pembangunan diteruskan oleh putranya yang bergelar Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah (1897-1927) Sultan Langkat ke-7.Rancangan masjid ditangani oleh seorang arsitek berkebangsaan Jerman, para pekerjanya banyak dari etnis Tionghoa dan masyarakat Langkat sendiri. Sedangkan bahan bangunan didatangkan dari Penang Malaysia dan Singapura dengan menggunakan kapal ke Tanjungpura. Pada masa itu sungai Batang Serangan masih berfungsi baik dan kapal-kapal dengan tonase 600 ton dapat melayarinya.Masjid Azizi diresmikan sendiri oleh Sultan Abdul Aziz Djalil Rachmat Syah bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muham
Wush.Angin malam menerpa kulit putih Daffa. Terasa dingin di malam ini. Kini dirinya berada di balkon puncak paling atas menara mesjid bersejarah. Menara tunggal yang terdapat di mesjid setinggi enam puluh meter.“Indah kan Kota Tanjung Pura ini?” Sang Kakek bertanya tanpa mengharapkan jawaban dari Daffa. “Walaupun kebanyakan anak muda seperti kamu, lebih memilih keluar dari kota kecil ini untuk mencari pekerjaan. Alasan mereka untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak. Mereka belum mengerti bahwa kehidupan yang layak bisa didapatkan di kota kecil ini, tak hanya layak di dunia, tapi juga layak di akhirat kelak,” jelasnya dengan bersungguh-sungguh.“Apa yang ingin kakek tunjukkan sekarang?” tanya Daffa karena tidak sabar untuk mengetahui jawaban dari pertanyaannya tadi. Tak terlalu memperdulikan pemandangan kota kecil yang hanya dihiasi lampu-lampu rumah dan ruko yang menurutnya hanya pemandangan biasa.“Kemari
Malam tanpa bintang tapi tak terlalu gelap karena dibantu oleh beberapa lampu penerangan mesjid bersejarah di Kota tanjung Pura, berdiri seseorang anak laki-laki memakai baju jubah putih panjang. Kepalanya tertutup dengan peci putih berlogo terompah Rasulullah di kiri dan kanan. Anak laki-laki berdiri terpaku di halaman depan mesjid berdesain campuran Timur Tengah dan India. Dia melihat lurus ke depan, ke arah pintu utama mesjid dengan wajah penuh rasa penasaran.Apa yang aku lakukan di sini, di sepertiga malam?Masih berdiri terpaku, berusaha untuk mencari jawaban. Kedua matanya melihat ke menara mesjid yang menjulang tinggi di bagian kirinya.Sepi.Hening.Malam yang begitu senyap, membuat dirinya semakin penasaran dengan situasi yang dialaminya saat ini.“Assalamu’alaikum... Daffa Albana...,” sapa seseorang yang tiba-tiba muncul di samping kanannya.“Wa’alaikumussalam.” Ana
~ 6 tahun yang lalu. ~“Ma, Empa udah selesai nih....” Anak remaja laki-laki bangkit dari tempat duduknya, melangkah menuju dapur dengan perlahan. Tangan kanan membawa piring. Dia mendekati ibunya yang sedang sibuk melakukan persiapan untuk makan siang. Berhenti beberapa langkah di belakang ibunya. Terpaku. Menatap ibunya dari balik kaca mata berbentuk petak. Kedua tangan memegang piring bekas makan.“Udah selesai ya Nak? Piringnya diletakkan aja ya di wastafel...,” ujar wanita setengah baya dengan lembut tanpa melihat ke anaknya.“Empa cuci deh piringnya, Ma...,” ujarnya pelan. Kedua matanya melihat ke arah punggung ibunya. Masih berdiri terpaku.“Enggak usah, Nak. Nanti Bi Inah aja yang nyuci,” balas wanita itu. Lagi-lagi tanpa menoleh ke arah anaknya.“Ma, Empa sekarang sudah terbiasa mandiri. Di pesantren Empa nyuci piring dan baju sendiri kok. Jadi Empa bisa, Ma.&r
“Ada hikmah dari kejadian ini. Insya Allah Daffa Albana masih akan bertahan, tapi ada sesuatu yang akan terjadi di dalam hidupnya, saat ini adalah titik balik dari kejadian yang akan menjadi takdir yang harus dijalani olehnya,” kata seorang kakek yang memakai imamah tebal berwarna putih melilit di atas kepala. Imamah tebal terlilit sebanyak tujuh lapis. Terlihat sangat rapi susunan dari kain yang terbentuk.“Tapi... Habib... apa yang harus ana lakukan? Daffa sudah lima hari terbaring tak sadarkan diri,” nyata pria tua yang merupakan guru dari Daffa.Kakek yang duduk bersila di atas tilam berbentuk persegi empat, mengangkat sorban berwarna hijau yang tergantung di lehernya. Menutupi imamah yang dikenakan. Dia berkata, “Tunggu tiba saatnya, akan ada seorang Hamba Allah yang akan membawa penyembuh untuk Daffa.” Kakek yang memiliki wajah yang sangat cerah, tersenyum kepada pria tua yang ada di hadapannya. Sejatinya, kakek yang kini berso
Besilamadalah sebuah perkampungan yang terletak di BumiSumatera Utara.Lebih tepatnya di daerahKabupaten Langkat, Kecamatan Padang Tualang, sekitar 65km dari kotaMedan.Secara etimologis, kata "besilam" berarti pintu kesejahteraan. Kampung ini pertama sekali dibangun oleh Almarhum Tuan Guru SyekhAbdul Wahab Rokanatau yang lebih dikenal dengan sebutan Tuan Guru Babussalam. Ia adalah seorang Ulama dan pemimpin Tarekat Naqsabandiyah. Di desa ini terdapat makam SyekhAbdul Wahab Rokanyang dikenal juga dengan Syekh Besilam yang merupakan murid dari Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Qubais Mekkah.Tampak sekilas, desa Besilam mirip dengan sebuah pesantren yang terpencil, teduh, asri dan damai. terlihat ada Masjid utama dan sebuah bangunan berkubah lengkung di sebelah masjid, sebuah bangunan utama dari kayu hitam yang besar dengan gaya rumah panggung serta beberapa bangunan tambahan lainnya. Selain terdapat makam Syekh Abd