Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 37Selesai menyiapkan makan siang, aku naik ke atas.Tok tok tok!"La, nggak makan siang?" tanyaku setengah teriak. Pintu itu masih belum dibukanya."Nggak Mah, nanti aja, Lala belum laper."Aku bergeming di depan pintu kamar. Jujur, perasaanku mulai tak karuan lagi, tapi aku harus tahan, aku tak boleh gegabah dan sampai terpancing emosi lagi. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, bahwa selain jadi ibu, aku akan jadi sahabat untuk Lala mulai sekarang. Jadi aku harus terus memahami bagaimanapun kondisinya, dan aku tak boleh memaksa untuk mencari tahu sesuatu yang sedang terjadi padanya. Aku pun kembali turun dan menghampiri Mas Halbi yang sedang di meja makan. Sambil makan itu aku memulai obrolan dengannya."Mas, kayaknya kita perlu cari tahu soal Lala, anak itu sedikit mencurigakan lagi.""Coba tanya temannya, Sisi. Mungkin dia tahu apa yang terjadi sama Lala di sekolah."Benar, tanpa menunggu makan siang selesai dulu, aku pun langsung meng
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 38POV Halbi."Astagfirullah, apa yang kalian lakukan sama anak saya, hah?!" Aku mendengar suara teriakan Indri yang memekik dari arah toilet perempuan.Aku yang baru saja keluar dari toilet laki-laki pun cepat menghampiri."Ada apa ini Indri?""Lihat itu, Mas." Indri menunjuk ke dalam. Di mana ada sekitar lima orang siswa perempuan di sana.Sementara di lantai toilet kulihat Lala sedang menangis dengan kondisi yang sudah berantakan. Bajunya juga kotor, rambutnya acak-acakan dan wajahnya buru-buru."Ya Tuhan Lala." Tanpa izin permisi aku menerobos masuk, lalu mengangkat putriku dari dalam. "Minggir!" Aku teriak pada anak-anak yang masih menghalangi jalanku itu."Ayah!" Lala bergumam lirih."Minggir kalian minggir!" Indri membabi buta, menarik rambut dan mendorong mereka satu persatu keluar."Dasar anak-anak kurang ajar, kecil-kecil sudah jadi preman kalian ya, mau jadi apa kalian, hah?!" Indri teriak sekencang-kencangnya. Hingga beberapa guru
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 39Semalam dirawat, Indri belum menunjukkan tanda-tanda siuman. Beberapa alat medis juga masih terpasang di tubuhnya, seolah menjadi penghubung terakhir antara dirinya dan kehidupan. Aku duduk di kursi di sisi ranjang, memandangi wajahnya yang pucat, tak berdaya. Napasnya pelan, dibantu mesin yang terus berbunyi ritmis, menjadi pengingat betapa rapuhnya hidup ini.Kata Lala serangan jantung itu datang seperti badai. Tak ada peringatan, tak ada tanda-tanda. Indri hanya tampak sesak setelah mendengar Lala dicut dari sekolah, lalu tiba-tiba terjatuh di lantai ruang keluarga.Aku ingat paniknya diriku saat itu, memanggil namanya, mengguncang tubuhnya, tapi dia tak menjawab. Dengan gemetar, aku membawanya ke rumah sakit, menyetir dengan kecepatan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya, sambil terus memohon kepada Tuhan agar dia bertahan.Tapi kini, setelah beberapa jam berlalu, dia masih terbaring seperti ini. Wajahnya tak lagi bersinar seperti bia
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 40POV Indri"Sayaang! Sayaang jangan pergiii! Arkan butuh papahnya, Sayaaang!"Langkahku kembali mati. Badanku juga refleks berbalik ke arahnya lagi. Aku menatapnya tajam dengan guratan emosi yang penuh."Apa kamu bilang? Arkan butuh papahnya? Cih, jangan pernah kamu mengira dia butuh sosok sepertimu, karena cepat atau lambat, nama kamu akan segera kucoret dalam hidup Arkan," tegasku penuh emosi."Gak! Gak bisa. Kamu gak bisa melakukan itu, Maaah! Sayaaang!"Aku kembali berbalik badan dan meninggalnya pergi."Dasar bedebah! Beraninya dia manggil aku sayang. Dia pikir aku bodoh dan mau terjerat untuk kedua kalinya?" Aku menggerutu sendiri sambil terus melangkah lebar-lebar keluar dari kantor polisi. Sementara di sampingku Mas Halbi juga ikut mensejajarkan diri. "Ayo Mas, kita langsung selesaikan urusan kita yang lain aja biar cepet beres, kasihan Arkan di rumah."Bapaknya Lala mengangguk. Kami lekas meluncur ke toko.Hari ini, bapaknya Lala m
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 41Lala pun naik ke atas.Sementara aku dan bapaknya Lala kembali mengobrol ringan tentang perkembangan Lala dan rencana kami ke depannya."Sebaiknya kita langsung nikah aja Ndri setelah proses cerai kamu selesai," kata Mas Halbi."Iya, Mas. Nanti aku bicarakan sama ibu, gimana baiknya."Mas Halbi, mengangguk lalu dia pamit untuk pulang.Beberapa bulan kemudian. Proses ceraiku dengan si Darma diputus pengadilan. Dan kami pun mulai memikirkan langkah serius kami selanjutnya.Pagi itu, Mas Halbi meneleponku dengan suara yang terdengar penuh semangat. "Ndri, malam ini aku mau jemput kamu sama Lala. Kita makan malam di rumah Kak Lian."Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna ajakannya. "Makan malam? Memangnya ada acara apa, Mas?""Kak Lian baru pindah ke kota ini, dan dia bilang ingin ketemu Lala. Dia penasaran, katanya sudah lama banget nggak lihat keponakan satu-satunya. Dan aku pikir, sekalian aja aku ajak kamu. Di sana kan pasti ada keluarga bes
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 42POV HalbiSatu jam berlalu sejak aku mengantar Lala ke sekolah. Pikiranku tak henti memutar kejadian semalam, membayangkan wajah-wajah keluargaku yang masih menyimpan dendam pada Indri. Saat aku memarkirkan mobil di halaman rumahnya, aku menarik napas dalam.Aku mengetuk pintu. Indri muncul dengan Arkan di gendongannya. Wajahnya tampak lelah, tapi ia berusaha tersenyum."Masuk, Mas," katanya sambil membukakan pintu.Aku melangkah masuk dan meletakkan kunci mobil di meja kecil dekat pintu. Setelah duduk di kursi ruang keluarga, aku mengusap wajahku, mencoba meredam kegelisahan. Indri ikut duduk di seberangku, menatapku dengan raut penuh tanya."Ndri." Aku memulai, berusaha tegas meski nada bicaraku terdengar pelan, "aku sudah pikirkan ini matang-matang. Aku mau kita percepat pernikahan kita. Gak perlu tunggu lama-lama lagi."Wajahnya berubah. Dia tampak terkejut. "Mas, kenapa harus buru-buru? Semalam aja kita lihat gimana respon keluargamu."
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 43Di ruang akad nikah yang sederhana, aku duduk di samping penghulu dengan tenang. Lala duduk di kursi belakang bersama ibu mertua.Saat penghulu membacakan doa, aku merasakan tanganku sedikit gemetar. Tapi tatapan Lala yang penuh harap menguatkanku.Aku melafalkan ijab kabul dengan lancar, dan suara "sah" dari para saksi menjadi penanda bahwa aku dan Indri kini resmi kembali menjadi suami istri.Setelah acara selesai, Lala berlari menghampiri kami dengan wajah berseri-seri. "Ayah, Mamah, selamat ya. Sekarang kita benar-benar keluarga lagi," katanya sambil memeluk kami berdua.Aku menatap Indri, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku melihat ketenangan di wajahnya. Aku tahu perjalanan kami masih panjang, tapi aku yakin kami akan mampu melewati semuanya bersama-sama.Hari itu menjadi awal baru bagi keluarga kecil kami, meski aku sadar badai konflik dengan keluargaku sendiri mungkin akan segera datang. Tapi aku sudah siap. Demi Lala,
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 44Setelah sarapan, aku bersiap untuk pergi ke toko. Hari ini, aku memutuskan untuk mengajak Indri ikut bersamaku. Aku ingin dia melihat langsung bagaimana kondisi toko yang selama ini diurus oleh Pak Darwin.“Ndri, ayo siap-siap. Aku mau ke toko, mau lihat kondisi di sana, kamu ikut ya,” kataku sambil bangkit dari kursi makan.Indri yang sedang mencuci piring menoleh. “Mas yakin aku perlu ikut? Arkan gimana?”“Arkan kan bisa ditinggal sama Ibu di rumah."Indri akhirnya mengangguk. Dia menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan bersiap. Sebelum berangkat, kami menitipkan Arkan pada ibu mertuaku yang sedang duduk di ruang tamu sambil membaca buku.“Bu, kami mau ke toko sebentar. Arkan dititip sama Ibu dulu ya,” ucap Indri.Ibu mengangguk sambil tersenyum. “Iya, nggak apa-apa. Pergilah, biar Arkan Ibu yang jaga.”Aku dan Indri pun akhirnya berangkat.Di perjalanan, suasana sempat hening. Indri terlihat diam, sepertinya masih memikirkan percakapa
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 93Aku menarik napas dalam-dalam. Rasanya dada ini semakin sesak mendengar obrolan-obrolan yang terus diarahkan pada Lala. Kenapa sih orang-orang ini seperti tidak bisa berhenti membahas pernikahan? Seolah-olah hidup seseorang hanya akan dianggap sempurna kalau sudah menikah."Iya Ndri, lihat tuh si Maura, anak Bibi. Dia udah nikah di usia 17 tahun, sekarang anaknya usia 7 tahun, udah kayak bestie. Siapa yang bakal nyangka kalau dia ternyata udah punya anak," kata salah satu saudaraku lagi, seolah menambahkan beban di suasana yang sudah cukup berat.Aku melirik Maura yang sedang duduk di pojok ruangan. Dia tampak asyik dengan ponselnya, sesekali tertawa kecil sambil mengetik sesuatu. Sementara anaknya yang berusia 7 tahun tampak sibuk melahap sepiring nasi di dekatnya."Maura, coba kamu ceritakan sama saudaramu ini, Nak. Mbak Lala, biar dia cepat mau nikah," Bibiku menimpali lagi, seolah sengaja ingin mempermalukan Lala di depan banyak orang.M
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 92"Maaf loh, bukannya menghina. Tapi kan ini kenyataannya, Ndri."Aku mengangguk pelan, meskipun dalam hati aku merasa muak. "Iya, Bu. Nanti coba saya bicara sama Lala."Bu Atun tersenyum puas. "Iya. Mumpung Juragan Danu juga masih belum ada yang srek tuh. Kali aja kalau sama Lala, dia mau.""Iya, Bu," jawabku seadanya.Setelah membayar belanjaan, aku segera pulang dengan hati yang berat. Langkahku terasa lebih lambat dari biasanya, pikiranku dipenuhi dengan percakapan tadi di warung.Sesampainya di rumah, aku langsung menemui ibu yang sedang duduk di ruang tengah rumahnya, mengiris bawang untuk persiapan memasak."Kata mereka, apa lebih baik Lala dijodohin aja, Bu?" tanyaku, meletakkan belanjaan di meja.Ibu menghentikan kegiatannya dan menatapku dengan ekspresi tak percaya. "Dijodohin sama siapa?"Aku menghela napas. "Ya, sama siapa aja. Sama Juragan Danu misalnya."Ibu langsung melotot. "Husssh! Ngaco kamu, Ndri! Tua bangka begitu, masa mau
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 91Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia berbalik dan pergi dengan langkah tergesa-gesa. Warga yang menyaksikan kejadian itu langsung saling berpandangan."Astaghfirullah, kok masih aja ada orang kayak gitu?" gumam salah seorang ibu yang berdiri tak jauh dariku."Iya, ya. Bukannya introspeksi, malah makin menjadi," timpal yang lain.Aku menarik napas panjang dan menoleh ke arah ibu. Jujur, aku selalu kepikiran kalau soal anak. Aku yang punya masalah dengan Bu Een, kenapa jadi Lala yang kena sumpah serapah? Ya Allah semoga saja, Engkau jauhkan anak hamba dari segala mata jahat.Mas Halbi, yang sedari tadi memperhatikan, akhirnya ikut bersuara. "Sudah, Ndri. Lanjutkan saja pembagian sembakonya. Jangan sampai hal tadi mengganggu niat baik kita."Aku mengangguk dan kembali fokus ke apa yang sedang kulakukan. Aku tidak ingin kejadian barusan merusak suasana.Satu per satu, warga kembali maju untuk mengambil sembako."Indri, kamu benar-benar perempua
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 90Aku terperangah dan menggeleng-gelengkan kepala. "Astagfirullah Bu Een. Jangan menuduh orang lain tanpa bukti Bu, fitnah keji itu namanya. Memangnya kapan saya pernah bicara seperti itu?" "Halah bilang aja kamu mau nyangkal.""Saya bukannya menyangkal Bu Een," sanggahku tegas. "Bahkan kalau Bu Een bersedia, ayo kita bersumpah atas nama Tuhan, siapa yang sumpahnya palsu, maka dia siap mendapatkan konsekuensinya."Bu Een menelan ludah. Sementara orang-orang yang hadir di sana makin ramai berbisik-bisik. "Kalau Bu Een berani bersumpah atas tuduhan yang dilontarkan oleh Bu Een itu, maka semua orang boleh percaya pada Bu Een dan semua orang boleh mengobrak-abrik toko saya. Tapi seandainya Bu Een bohong, maka konsekuensinya adalah berupa penderitaan hidup dan nikmat yang siap dicabut oleh Tuhan. Bagaimana?" tantangku.Semua orang saling lirik. Mereka lalu setuju tampak dengan usulku. Sampai akhirnya aku pun melakukan sumpah di bawah Alquran. Ka
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 89Pagi itu, aku duduk di depan toko bersama Mas Halbi. Matahari masih rendah, tapi udara sudah terasa hangat. Toko kami masih sepi. Tak ada satu pun pelanggan yang datang sejak kemarin. Semalam aku sudah cerita pada ibu, soal ini, aku pikir ibu tahu kira-kira kenapa penyebab toko kami bisa sepi seperti ini, tapi ibu bilang namanya jualan pasti ada masa rame dan sepinya. Tapi entah kenapa aku tetap merasa ada yang tak beres dengan tokoku ini.“Mas, aku kepikiran sesuatu."Mas Halbi menoleh. “Apa?”“Gimana kalau hari ini kita bagi-bagi sembako gratis lagi seperti awal kita buka?”Kening Mas Halbi berkerut. "Ya, anggap aja ini sedekah. Selain itu, ini bisa jadi cara buat narik orang-orang supaya mereka kembali belanja di toko kita.”Mas Halbi terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil. “Boleh juga idenya. Ya udah, ayo kita siapin sekarang.”Tanpa menunda lagi, kami mulai mengemas sembako. Aku dan Mas Halbi bekerja dengan penuh semangat, berharap u
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 88Ah aku tidak peduli. Yang penting aku ingin yang terbaik untuk anakku.***Pagi-pagi sekali, aku sudah bersiap untuk pergi ke rumah Asep. Mas Halbi menyarankan agar aku tak pergi sendirian, tapi aku yakin ini adalah urusanku sebagai ibu. Aku ingin menyampaikan keputusan Lala dengan baik-baik. Bagaimanapun juga, hubungan baik harus tetap dijaga, meski harus membawa kabar yang mungkin mengecewakan mereka.Saat tiba di rumah Asep, aku melihat Asep sedang duduk di teras rumah, sepertinya baru saja selesai sarapan. Ia tersenyum sopan saat melihatku."Bibi. Silakan masuk, Bi," katanya ramah.Aku mengangguk dan melangkah masuk. Di ruang keluarga, Bu Een duduk di kursi roda dengan wajah yang jauh lebih segar dibandingkan terakhir kali aku melihatnya. Ia sudah bisa berbicara meskipun pelan, dan nenek Asep juga ada di sana, duduk bersisian sambil merajut sesuatu.Setelah berbasa-basi sebentar dan menanyakan kondisi Bu Een, aku pun menghela napas. Aku
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 87Aku menarik napas dalam, "Bu Een sakit, La. Dia kena stroke sekarang, setelah mengalami stres berat akibat luka bakar yang dilakukan oleh majikannya di Arab. Sekarang dia cuma bisa duduk di kursi roda, dan Asep yang merawatnya."Mata Lala membulat. "Serius, Mah? Ya ampun ... Lala baru tahu. Kasihan banget. Lala harus jenguk Bu Een. Bisa antar Lala ke sana sekarang, Mah?"Aku mengangguk. "Tentu. Yuk, kita pergi sekarang."Kami segera berangkat ke rumah Bu Een. Saat sampai, aku melihat Bu Een duduk di kursi roda di halaman rumahnya, ditemani Asep. Dia tampak jauh lebih kurus dari sebelumnya, dan wajahnya penuh dengan kesedihan yang mendalam. Asep yang berdiri di sampingnya terlihat lebih dewasa dari terakhir kali aku melihatnya.Lala melangkah mendekat dengan hati-hati. "Assalamualaikum."Asep menoleh dan langsung tersenyum kecil. "Waalaikumsalam, La."Bu Een hanya menatap kami dengan mata yang tampak lelah. Aku bisa melihat ekspresi di wajahn
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 86POV IndriHari itu, seperti biasa, aku dan Mas Halbi sedang duduk di toko sembako yang kami kelola di depan rumah. Kami tengah menunggu pelanggan datang, menikmati sejenak waktu yang tenang setelah pagi yang sibuk. Tiba-tiba, sebuah ambulans melintas dengan sirene meraung. Aku terperanjat, dan secara otomatis mataku mengikuti mobil itu. Mas Halbi yang sedang duduk di sampingku juga mengalihkan perhatian. Kami berdua melihat ambulans itu lalu berbelok."Ambulans mau ke mana itu Ndri?" tanya Mas Halbi sambil melirikku."Nggak tahu, Mas."Tak lama, tetangga yang juga melihat ambulans itu mulai berkerumun, lalu mengikuti ambulans tersebut. Penasaran, aku pun memutuskan untuk ikut keluar dan bergabung dengan mereka. Sampai akhirnya ambulans itu berhenti tepat di depan rumah Bu Een, aku melihat para petugas medis membuka pintu ambulans dan dengan hati-hati mengeluarkan seseorang yang terbaring di tandu."Astaghfirullah," gumamku pelan, terkejut s
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 85Aku menggeleng. “Nulis, Ndri. Di HP-nya.”Indri menghela napas lega. “Oalah, syukurlah. Aku kira Lala lagi sedih, makanya mengurung diri di kamar.”“Enggak, untungnya. Tadi aku lihat Lala malah semangat banget.”“Syukurlah kalau gitu. Aku cuma takut kalau Lala kenapa-kenapa.”Aku ikut tersenyum. Mungkin ini jalannya Lala untuk membuktikan sesuatu. Dan aku akan mendukungnya, sebaik mungkin.***Seperti biasa, aku dan Indri sudah bangun sejak pukul 03.00 pagi untuk menyiapkan dagangan. Kami bekerja dengan cekatan di dapur, meracik bahan-bahan agar semuanya siap sebelum subuh.Tiba-tiba, langkah kaki terdengar dari arah kamar. Aku menoleh dan melihat Lala berjalan ke arah kami, masih dengan mata setengah terpejam.“Mah, Yah, hari ini Lala nggak bantuin dulu gak apa-apa kan? Lala mau lanjut nulis novel.”Aku dan Indri saling pandang. Indri tersenyum sambil mengangguk. “Iya, nggak apa-apa, La. Kalau kamu mau fokus nulis, Mamah izinkan.”Mata Lala