Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 41Lala pun naik ke atas.Sementara aku dan bapaknya Lala kembali mengobrol ringan tentang perkembangan Lala dan rencana kami ke depannya."Sebaiknya kita langsung nikah aja Ndri setelah proses cerai kamu selesai," kata Mas Halbi."Iya, Mas. Nanti aku bicarakan sama ibu, gimana baiknya."Mas Halbi, mengangguk lalu dia pamit untuk pulang.Beberapa bulan kemudian. Proses ceraiku dengan si Darma diputus pengadilan. Dan kami pun mulai memikirkan langkah serius kami selanjutnya.Pagi itu, Mas Halbi meneleponku dengan suara yang terdengar penuh semangat. "Ndri, malam ini aku mau jemput kamu sama Lala. Kita makan malam di rumah Kak Lian."Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna ajakannya. "Makan malam? Memangnya ada acara apa, Mas?""Kak Lian baru pindah ke kota ini, dan dia bilang ingin ketemu Lala. Dia penasaran, katanya sudah lama banget nggak lihat keponakan satu-satunya. Dan aku pikir, sekalian aja aku ajak kamu. Di sana kan pasti ada keluarga bes
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 42POV HalbiSatu jam berlalu sejak aku mengantar Lala ke sekolah. Pikiranku tak henti memutar kejadian semalam, membayangkan wajah-wajah keluargaku yang masih menyimpan dendam pada Indri. Saat aku memarkirkan mobil di halaman rumahnya, aku menarik napas dalam.Aku mengetuk pintu. Indri muncul dengan Arkan di gendongannya. Wajahnya tampak lelah, tapi ia berusaha tersenyum."Masuk, Mas," katanya sambil membukakan pintu.Aku melangkah masuk dan meletakkan kunci mobil di meja kecil dekat pintu. Setelah duduk di kursi ruang keluarga, aku mengusap wajahku, mencoba meredam kegelisahan. Indri ikut duduk di seberangku, menatapku dengan raut penuh tanya."Ndri." Aku memulai, berusaha tegas meski nada bicaraku terdengar pelan, "aku sudah pikirkan ini matang-matang. Aku mau kita percepat pernikahan kita. Gak perlu tunggu lama-lama lagi."Wajahnya berubah. Dia tampak terkejut. "Mas, kenapa harus buru-buru? Semalam aja kita lihat gimana respon keluargamu."
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 43Di ruang akad nikah yang sederhana, aku duduk di samping penghulu dengan tenang. Lala duduk di kursi belakang bersama ibu mertua.Saat penghulu membacakan doa, aku merasakan tanganku sedikit gemetar. Tapi tatapan Lala yang penuh harap menguatkanku.Aku melafalkan ijab kabul dengan lancar, dan suara "sah" dari para saksi menjadi penanda bahwa aku dan Indri kini resmi kembali menjadi suami istri.Setelah acara selesai, Lala berlari menghampiri kami dengan wajah berseri-seri. "Ayah, Mamah, selamat ya. Sekarang kita benar-benar keluarga lagi," katanya sambil memeluk kami berdua.Aku menatap Indri, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku melihat ketenangan di wajahnya. Aku tahu perjalanan kami masih panjang, tapi aku yakin kami akan mampu melewati semuanya bersama-sama.Hari itu menjadi awal baru bagi keluarga kecil kami, meski aku sadar badai konflik dengan keluargaku sendiri mungkin akan segera datang. Tapi aku sudah siap. Demi Lala,
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 44Setelah sarapan, aku bersiap untuk pergi ke toko. Hari ini, aku memutuskan untuk mengajak Indri ikut bersamaku. Aku ingin dia melihat langsung bagaimana kondisi toko yang selama ini diurus oleh Pak Darwin.“Ndri, ayo siap-siap. Aku mau ke toko, mau lihat kondisi di sana, kamu ikut ya,” kataku sambil bangkit dari kursi makan.Indri yang sedang mencuci piring menoleh. “Mas yakin aku perlu ikut? Arkan gimana?”“Arkan kan bisa ditinggal sama Ibu di rumah."Indri akhirnya mengangguk. Dia menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan bersiap. Sebelum berangkat, kami menitipkan Arkan pada ibu mertuaku yang sedang duduk di ruang tamu sambil membaca buku.“Bu, kami mau ke toko sebentar. Arkan dititip sama Ibu dulu ya,” ucap Indri.Ibu mengangguk sambil tersenyum. “Iya, nggak apa-apa. Pergilah, biar Arkan Ibu yang jaga.”Aku dan Indri pun akhirnya berangkat.Di perjalanan, suasana sempat hening. Indri terlihat diam, sepertinya masih memikirkan percakapa
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 45"Mas ... kok dingin banget, ya." Suara Indri terdengar lirih, disertai desahan pelan.Aku langsung menoleh dan melihat wajahnya. Tubuhnya menggigil, dan kulitnya terasa panas saat kusentuh. "Indri, kamu demam," kataku cemas.Ia mencoba membuka mata, tapi kelihatannya terlalu lemah untuk bicara. Tanpa berpikir panjang, aku bergegas mengambil kain dan air dari kamar mandi. Aku meletakkan lap itu di dahinya. "Tunggu sebentar, Mas buatkan teh hangat," ujarku.Aku menuju dapur dengan langkah cepat, membuat secangkir teh manis hangat. Saat kembali, Indri masih menggigil. Aku membantu menyandarkannya perlahan dan mendekatkan cangkir ke bibirnya. "Minum sedikit ya, Ndri. Biar badan kamu hangat."Dengan susah payah, ia meminum beberapa teguk teh. Setelah itu, aku menyelimutinya dengan selimut yang lebih tebal dan terus berjaga di sampingnya.***Esok paginya, aku melihat wajah Indri yang semakin pucat, matanya tertutup rapat, dan napasnya terdengar
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 46Ibu bersandar ke kursi, melipat tangannya di depan dada. “Kalau kamu ingin uang itu, syaratnya kamu harus mau menikahi seorang perempuan pilihan Ibu. Seseorang yang pantas untuk menjadi menantu keluarga kita.”Aku terpaku. “Apa?” gumamku, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar."Ya, apa kurang jelas omongan Ibu?""Tapi Bu, gimana dengan Indri?""Ceraikan dia," tegas Ibu.Aku terbelalak. "Nggak, Bu. Apapun akan Halbi lakukan, asal jangan sampai harus menceraikan Indri. Halbi mohon, Bu. Halbi mohon.""Baiklah, karena Ibu baik, Ibu kasih kamu ospi lain, kamu tidak harus menceraikan perempuan itu, tapi kamu tetap harus menikahi perempuan pilihan Ibu, bagaimana? Atau dengan kata lain perempuan pilihan Ibu ini yang nanti akan jadi istri sahmu di mata orang lain, sementara perempuan itu hanya akan menjadi istri simpananmu."Aku menggeleng-gelengkan kepala. "Tapi Bu, gimana mungkin semua itu akan Halbi lakukan? Gimana kalau Indri dan
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 47Aku sampai di rumah kakakku dengan langkah berat. Setiap langkah yang kuambil terasa semakin menghimpit dada. Pintu rumah terbuka, dan suara ibuku terdengar dari dalam, berbincang dengan seseorang. Dengan napas yang tertahan, aku masuk dan melangkah ke ruang keluarga.Dan di sana dia berdiri. Seorang perempuan yang begitu kukenal—Miranda.Hatiku mencelos. Miranda, mantan kekasihku, berdiri di sana dengan senyum yang sama seperti yang kuingat. Wajahnya tetap anggun, seperti tak ada waktu yang berlalu. Namun, kehadirannya di sini menimbulkan lebih banyak pertanyaan. Kenapa dia ada di sini? Apa mungkin ... dia perempuan yang akan dikenalkan ibu sebagai calon istriku?"Halbi." Suara ibuku memecah keheningan. "Kamu pasti kaget, kan? Ibu sengaja tidak memberitahumu sebelumnya, tapi Ibu yakin dia pilihan yang tepat untuk menjadi istrimu."Darahku seperti berhenti mengalir. Hatiku bergetar antara marah, kecewa, dan tidak percaya. Dari banyaknya pere
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 48Aku menatapnya sekilas. Kata-katanya, cara dia berbicara, mungkin akan menjadi magnet bagi pria mana pun. Tapi bagiku, tidak ada apa-apa di sana. Hampa. Perasaanku padanya sudah lama lenyap, dan aku tidak bisa memaksakan diri untuk merasakan sesuatu yang tidak ada."Terima kasih," gumamku singkat, tanpa menatapnya lama-lama. Aku tahu dia berharap lebih, tapi aku tidak ingin memberi harapan yang salah.Aku segera melangkah ke kamar mandi, mencoba mengusir semua pikiran yang berkecamuk di kepalaku. Di bawah siraman air hangat, aku memejamkan mata, berharap rasa sesak di dada ini menghilang. Tapi kenyataannya, rasa bersalah itu justru semakin kuat."Indri ... apa kamu sudah bangun sekarang?" bisikku pada diriku sendiri. ___Selesai membersihkan diri, aku bersiap untuk kembali ke rumah sakit. Namun, sebelum sempat melangkah keluar, Miranda sudah berdiri di pintu, menghalangi jalanku.“Mau ke mana, Mas?” tanyanya, memiringkan kepala dengan senyu
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 95"Sudah Maura, yang penting sekarang kamu aman di rumah Uwa."Maura mengangguk dan tiba-tiba suara teriakan menggema dari luar rumah."Maura! Aku tahu kamu ada di dalam! Keluar, Maura!"Jantungku langsung berdegup kencang. Aku menoleh ke arah Maura yang duduk di kursi dengan wajah pucat pasi. Tangannya mencengkeram ujung bajunya dengan erat, tubuhnya gemetar hebat."Wa ... tolong, Wa. Tolong Maura. Maura takut!" isaknya dengan suara bergetar.Dari luar, suara pria itu semakin menjadi. "Aku melihat sendiri kamu lari ke sini! Jangan pikir bisa sembunyi dariku! Keluar! Dasar perempuan tidak tahu diri! Berani berselingkuh di belakangku, maka harus berani menerima akibatnya!"Maura menutup telinganya sambil menangis. "Wa, dia bakal masuk nggak? Jangan biarkan dia masuk, Wa! Maura takut!"Aku menggenggam tangannya yang dingin. "Tenang, Ra. Uwa nggak akan biarkan dia menyentuh kamu."Mas Halbi yang duduk di sebelahku langsung berdiri, wajahnya meneg
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 94Mas Halbi menghela napas lagi. "Iya, mereka nggak tahu yang sebenarnya. Itu sebabnya kamu nggak perlu ambil hati. Percuma. Kita nggak akan bisa mengubah cara mereka berpikir."Aku menggeleng. "Tapi sakit, Mas. Mereka ngomong tentang Lala seakan-akan dia itu barang bekas yang nggak pantas buat siapa-siapa."Mas Halbi menatapku penuh empati. "Lala bukan barang. Lala anak kita. Dan kita tahu siapa dia sebenarnya. Kita tahu bagaimana dia berjuang. Kita tahu dia bukan seperti yang mereka katakan."Aku terdiam, mencoba mencerna kata-kata suamiku."Yang penting kita ada buat dia. Jangan biarkan mereka membuat kita kehilangan kepercayaan pada anak kita sendiri," lanjut Mas Halbi.Aku menyandarkan kepala ke bahunya, berusaha mengambil kekuatan dari kehadirannya. "Aku cuma capek, Mas. Aku udah capek dengar orang ngomongin anak kita seolah-olah anak kita itu nggak ada harganya.""Aku tahu." Mas Halbi membalas dengan suara rendah. "Makanya kita gak usah
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 93Aku menarik napas dalam-dalam. Rasanya dada ini semakin sesak mendengar obrolan-obrolan yang terus diarahkan pada Lala. Kenapa sih orang-orang ini seperti tidak bisa berhenti membahas pernikahan? Seolah-olah hidup seseorang hanya akan dianggap sempurna kalau sudah menikah."Iya Ndri, lihat tuh si Maura, anak Bibi. Dia udah nikah di usia 17 tahun, sekarang anaknya usia 7 tahun, udah kayak bestie. Siapa yang bakal nyangka kalau dia ternyata udah punya anak," kata salah satu saudaraku lagi, seolah menambahkan beban di suasana yang sudah cukup berat.Aku melirik Maura yang sedang duduk di pojok ruangan. Dia tampak asyik dengan ponselnya, sesekali tertawa kecil sambil mengetik sesuatu. Sementara anaknya yang berusia 7 tahun tampak sibuk melahap sepiring nasi di dekatnya."Maura, coba kamu ceritakan sama saudaramu ini, Nak. Mbak Lala, biar dia cepat mau nikah," Bibiku menimpali lagi, seolah sengaja ingin mempermalukan Lala di depan banyak orang.M
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 92"Maaf loh, bukannya menghina. Tapi kan ini kenyataannya, Ndri."Aku mengangguk pelan, meskipun dalam hati aku merasa muak. "Iya, Bu. Nanti coba saya bicara sama Lala."Bu Atun tersenyum puas. "Iya. Mumpung Juragan Danu juga masih belum ada yang srek tuh. Kali aja kalau sama Lala, dia mau.""Iya, Bu," jawabku seadanya.Setelah membayar belanjaan, aku segera pulang dengan hati yang berat. Langkahku terasa lebih lambat dari biasanya, pikiranku dipenuhi dengan percakapan tadi di warung.Sesampainya di rumah, aku langsung menemui ibu yang sedang duduk di ruang tengah rumahnya, mengiris bawang untuk persiapan memasak."Kata mereka, apa lebih baik Lala dijodohin aja, Bu?" tanyaku, meletakkan belanjaan di meja.Ibu menghentikan kegiatannya dan menatapku dengan ekspresi tak percaya. "Dijodohin sama siapa?"Aku menghela napas. "Ya, sama siapa aja. Sama Juragan Danu misalnya."Ibu langsung melotot. "Husssh! Ngaco kamu, Ndri! Tua bangka begitu, masa mau
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 91Setelah mengucapkan kata-kata itu, ia berbalik dan pergi dengan langkah tergesa-gesa. Warga yang menyaksikan kejadian itu langsung saling berpandangan."Astaghfirullah, kok masih aja ada orang kayak gitu?" gumam salah seorang ibu yang berdiri tak jauh dariku."Iya, ya. Bukannya introspeksi, malah makin menjadi," timpal yang lain.Aku menarik napas panjang dan menoleh ke arah ibu. Jujur, aku selalu kepikiran kalau soal anak. Aku yang punya masalah dengan Bu Een, kenapa jadi Lala yang kena sumpah serapah? Ya Allah semoga saja, Engkau jauhkan anak hamba dari segala mata jahat.Mas Halbi, yang sedari tadi memperhatikan, akhirnya ikut bersuara. "Sudah, Ndri. Lanjutkan saja pembagian sembakonya. Jangan sampai hal tadi mengganggu niat baik kita."Aku mengangguk dan kembali fokus ke apa yang sedang kulakukan. Aku tidak ingin kejadian barusan merusak suasana.Satu per satu, warga kembali maju untuk mengambil sembako."Indri, kamu benar-benar perempua
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 90Aku terperangah dan menggeleng-gelengkan kepala. "Astagfirullah Bu Een. Jangan menuduh orang lain tanpa bukti Bu, fitnah keji itu namanya. Memangnya kapan saya pernah bicara seperti itu?" "Halah bilang aja kamu mau nyangkal.""Saya bukannya menyangkal Bu Een," sanggahku tegas. "Bahkan kalau Bu Een bersedia, ayo kita bersumpah atas nama Tuhan, siapa yang sumpahnya palsu, maka dia siap mendapatkan konsekuensinya."Bu Een menelan ludah. Sementara orang-orang yang hadir di sana makin ramai berbisik-bisik. "Kalau Bu Een berani bersumpah atas tuduhan yang dilontarkan oleh Bu Een itu, maka semua orang boleh percaya pada Bu Een dan semua orang boleh mengobrak-abrik toko saya. Tapi seandainya Bu Een bohong, maka konsekuensinya adalah berupa penderitaan hidup dan nikmat yang siap dicabut oleh Tuhan. Bagaimana?" tantangku.Semua orang saling lirik. Mereka lalu setuju tampak dengan usulku. Sampai akhirnya aku pun melakukan sumpah di bawah Alquran. Ka
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 89Pagi itu, aku duduk di depan toko bersama Mas Halbi. Matahari masih rendah, tapi udara sudah terasa hangat. Toko kami masih sepi. Tak ada satu pun pelanggan yang datang sejak kemarin. Semalam aku sudah cerita pada ibu, soal ini, aku pikir ibu tahu kira-kira kenapa penyebab toko kami bisa sepi seperti ini, tapi ibu bilang namanya jualan pasti ada masa rame dan sepinya. Tapi entah kenapa aku tetap merasa ada yang tak beres dengan tokoku ini.“Mas, aku kepikiran sesuatu."Mas Halbi menoleh. “Apa?”“Gimana kalau hari ini kita bagi-bagi sembako gratis lagi seperti awal kita buka?”Kening Mas Halbi berkerut. "Ya, anggap aja ini sedekah. Selain itu, ini bisa jadi cara buat narik orang-orang supaya mereka kembali belanja di toko kita.”Mas Halbi terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil. “Boleh juga idenya. Ya udah, ayo kita siapin sekarang.”Tanpa menunda lagi, kami mulai mengemas sembako. Aku dan Mas Halbi bekerja dengan penuh semangat, berharap u
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 88Ah aku tidak peduli. Yang penting aku ingin yang terbaik untuk anakku.***Pagi-pagi sekali, aku sudah bersiap untuk pergi ke rumah Asep. Mas Halbi menyarankan agar aku tak pergi sendirian, tapi aku yakin ini adalah urusanku sebagai ibu. Aku ingin menyampaikan keputusan Lala dengan baik-baik. Bagaimanapun juga, hubungan baik harus tetap dijaga, meski harus membawa kabar yang mungkin mengecewakan mereka.Saat tiba di rumah Asep, aku melihat Asep sedang duduk di teras rumah, sepertinya baru saja selesai sarapan. Ia tersenyum sopan saat melihatku."Bibi. Silakan masuk, Bi," katanya ramah.Aku mengangguk dan melangkah masuk. Di ruang keluarga, Bu Een duduk di kursi roda dengan wajah yang jauh lebih segar dibandingkan terakhir kali aku melihatnya. Ia sudah bisa berbicara meskipun pelan, dan nenek Asep juga ada di sana, duduk bersisian sambil merajut sesuatu.Setelah berbasa-basi sebentar dan menanyakan kondisi Bu Een, aku pun menghela napas. Aku
Misteri Uang di Tas Sekolah Anakku Part 87Aku menarik napas dalam, "Bu Een sakit, La. Dia kena stroke sekarang, setelah mengalami stres berat akibat luka bakar yang dilakukan oleh majikannya di Arab. Sekarang dia cuma bisa duduk di kursi roda, dan Asep yang merawatnya."Mata Lala membulat. "Serius, Mah? Ya ampun ... Lala baru tahu. Kasihan banget. Lala harus jenguk Bu Een. Bisa antar Lala ke sana sekarang, Mah?"Aku mengangguk. "Tentu. Yuk, kita pergi sekarang."Kami segera berangkat ke rumah Bu Een. Saat sampai, aku melihat Bu Een duduk di kursi roda di halaman rumahnya, ditemani Asep. Dia tampak jauh lebih kurus dari sebelumnya, dan wajahnya penuh dengan kesedihan yang mendalam. Asep yang berdiri di sampingnya terlihat lebih dewasa dari terakhir kali aku melihatnya.Lala melangkah mendekat dengan hati-hati. "Assalamualaikum."Asep menoleh dan langsung tersenyum kecil. "Waalaikumsalam, La."Bu Een hanya menatap kami dengan mata yang tampak lelah. Aku bisa melihat ekspresi di wajahn