"Dasar wanita jalang! Kamu tidak pantas untuk hidup, kamu harus mati! Mati! Mati!" Terdengar sumpah serapah dari dalam sebuah rumah mewah yang berada di dekat sebuah perkebunan karet.
"Tidak! Tidak! Jangan, saya tidak bersalah. Jangan bunuh saya, tolong jangan bunuh saya," pinta seorang wanita muda sambil mengesot menjauh."Jangan lari kau, Jalang! Perempuan sundal sepertimu itu lebih baik menjadi penghuni neraka," caci seorang lelaki pada seseorang.Pria muda berdarah Belanda itu lalu mendekati seorang perempuan yang meringkuk di pojok ruangan sambil menangis. Tubuhnya bergetar dengan hebatnya karena rasa takut yang begitu dahsyat.Wajahnya menunduk sambil menangis, dia tidak berani menatap lelaki yang terus menghampirinya dengan membawa sebuah pisau belati yang sudah terhunus. Mata keduanya sama-sama memerah.Wanita itu terus menangis ketakutan, dia mencoba beringsut menjauh dari sang lelaki tetapi apa mau dikata, dia sudah terjepit di pojok ruangan yang tak memungkinkan dia untuk berpindah lagi."Kamu harus mati, Wening. Aku tidak akan membiarkan pengkhianat sepertimu terus hidup dan menyakiti hatiku. Kamu harus mati dan menjadi penghuni neraka!" Pria Belanda itu mendesis marah, langkah kakinya terus mendekati Weningasih yang merasa ketakutan karena harus berhadapan dengan maut."Tidak, tidak, Tuan, jangan bunuh saya. Tuan sudah salah paham, saya tidak mengkhianati siapa pun," tampik Wening."Hoer, onbeschaemd vercke, teef, kochelaresse!" Sebastiaan Van de Kroft kembali memaki Wening, wanita pribumi yang dinikahinya satu bulan silam. "Aku menyesal menikahi pribumi berbau busuk sepertimu. Pembohong! Kau pikir aku tidak tahu apa yang sudah kau lakukan di belakangku, hah!"Wening terus menggeleng, dia menampik semua tuduhan Sebastiaan, pria berkebangsaan Belanda yang menjadi tuan tanah di desanya dan menguasai semua perkebunan yang ada termasuk perkebunan orang tua Wening setelah dua orang tua itu mati di tangan Sebastiaan dengan cara yang kejam.Wanita itu terus berusaha meyakinkan bahwa dirinya tidak pernah bermain api dengan Jono, lelaki pribumi yang diangkat Sebastiaan sebagai pengawal pribadinya, seperti yang tengah dituduhkan suaminya pada dirinya.Sementara itu, Sebastiaan yang sudah kesetanan tidak mau tahu dengan penjelasan Wening yang terus saja menolak mengakui tuduhan perselingkuhan yang dialamatkan padanya.Dalam lima hitungan, Sebastiaan sudah berhasil mendapatkan Wening. Dengan sekali tarik, Sebastiaan menarik rambut panjang Wening hingga terlepas ikatan sanggulnya, Sebastiaan menyentakkan tangannya yang masih menjambak rambut Wening hingga wanita itu terpelanting ke tanah."Auh, sakit, Tuan. Tolong jangan sakiti saya lagi, Tuan. Saya benar-benar tidak mengerti dengan semua yang Tuan bicarakan. Saya tidak pernah bermain apa seperti yang tuan tuduhkan pada saya," elak Wening yang masih teguh dengan pendapatnya."Oh, ya, lalu kenapa tadi malam aku melihat kalian berdua keluar dari dalam gudang gabah dengan keadaan tidak karuan?" tuduh Sebastiaan.Wening terkejut mendengar perkataan Sebastiaan, dia tidak menyangka jika hal itu diketahui oleh suaminya. Wening lalu menjelaskan bahwa Jono berusaha memperkosanya tetapi gagal karena dia berhasil melarikan diri dari lelaki itu.Sayang, Sebastiaan tidak mau mendengarkan penjelasan Wening. Tangannya kembali meraih surai indah istrinya, menjambak wanita itu dengan kasar dan tiba-tiba terdengar sebuah pekikan tertahan. Hanya sekejab lalu menghilang begitu saja.Sebastiaan menatap puas tembok di depannya yang kini sudah berubah warna dengan semburat warna merah. Lelaki itu tertawa sambil memiringkan bibirnya seraya bergumam sendiri."Sudah kubilang, jangan pernah berani bermain api denganku jika kau ingin selamat. Tapi, sayangnya kau tak percaya dengan semua ucapanku. Kau sudah kubereskan, tinggal laki-laki yang sudah berani menyentuhmu itu saja lagi yang harus kuselesaikan."Sebastiaan menyipitkan matanya, sebuah senyum sadis terukir di wajahnya. Sorot matanya menatap licik ke bawah ke arah tubuh istrinya yang telah luruh bersimbah darah.Pria itu kemudian berteriak, "Jono!"Mendengar suara sang tuan memanggil, Jono datang tergopoh-gopoh mendatangi arah suara. "Siap, Tuan! Ada yang bisa saya kerjakan untuk Tuan?"Sebastiaan membalikkan badannya menghadap Jono yang menatapnya tanpa kedip meski bau amis darah menyeruak mulai masuk ke dalam indera penciumannya. Sebastiaan menghampiri Jono dan membisikkan sesuatu pada pria itu.Mendengar perintah tuannya membuat Jono reflek menggeleng, apalagi setelah melihat jasad wanita yang berada di depannya dengan keadaan yang mengerikan"Kenapa kamu menolak, heh?! Bukannya kemarin malam kalian berdua sudah bertukar peluh di gudang gabah? Jangan kamu pikir aku tak tahu! Sekarang cepat lakukan perintahku atau kubunuh kau!""Tapi, Tuan ... ." Jono tidak menyelesaikan kalimatnya karena sebuah peluru telah melubangi dahinya hingga menembus tulang tengkoraknya dan bersarang di sana.Usai menghabisi kedua orang itu, Sebastiaan melangkah masuk ke kamar mandi dan membersihkan tubuhnya yang masih berpakaian lengkap. Selepas berganti pakaian, barulah pria itu memanggil para penjaga dan menyuruh mereka agar menyingkirkan kedua mayat tersebut sekaligus membersihkan noda darah yang membekas"Perintah Tuan sudah kami laksanakan. Apa ada hal lain lagi yang harus kami lakukan, Tuan?" tanya salah seorang penjaga yang baru saja selesai mengerjakan perintah Sebastiaan."Tidak. Tugas kalian sekarang hanyalah tingkatkan penjagaan, jangan sampai ada binatang pengerat lagi seperti mereka berdua. Jika kalian menemukan yang seperti itu, langsung habisi saja di tempat, jangan kasih ampun!""Baik, Tuan!"Sebastiaan menganggukkan kepalanya lalu pergi meninggalkan para penjaga yang langsung kembali ke pos masing-masing.Semenjak kejadian itu, Sebastiaan seakan menjadi sosok yang berbeda, sorot matanya yang biasanya hangat dan ramah kini berubah dingin dan tajam. Sikapnya pun berubah menjadi mudah marah dan tanpa ampun.Tak satupun pekerja di rumah itu berani menatap Sebastiaan apalagi membicarakan masalah Wening dan Jono, sebab meski semuanya sudah mengetahui penyebab kematian Wening dan Jono, tetapi tak satu pun orang di rumah itu yang berani menyinggung masalah tersebut kecuali jika mereka ingin bernasib sama dengan kedua orang itu.Suasana perkebunan itu menjadi suram dan mencekam, tidak ada satupun yang berani berbuat macam-macam meskipun hanya sekedar bercanda."Bagus! Dengan kematian kedua tikus biadab itu, tidak akan ada lagi yang berani bermain curang di belakangku," gumam Sebastiaan sambil tersenyum puas.Berpuluh tahun kemudian, di sebuah fakultas universitas ternama ada sekelompok kecil mahasiswa yang tengah berdiskusi, raut wajah mereka terlihat sangat tegang, sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu yang serius."Jadi, kemana kita mengisi liburan kali ini?" tanya salah satu dari mereka."Bagaimana kalau kita ke pantai? Tapi, kali ini ke daerah Jawa Tengah saja, kita liburan di Jogjakarta dan salah satu tujuan kita ke Parang Tritis. Bagaimana?" jawab salah satu gadis dari tiga wanita yang ada dalam kelompok tersebut."Jangan ke pantai lagi, deh, kita sudah terlalu sering liburan ke pantai. Bagaimana kalau kali ini kita liburan ke gunung saja, mendaki gunung. Pasti asyik, berkemah di alam terbuka, menikmati keindahan alam semesta," usul seorang pemuda.Lima dari tujuh pemuda pemudi itu saling bertukar pandang dan saling melempar tanya satu sama lain. "Usulan Rusdi itu terdengar sangat menarik. Bagaimana menurut kalian?""Aku setuju dengan pendapatmu, Al. Entah dengan yang lainnya," sahut Santi.Empat teman Santi dan Aldi yang lainnya pun rupanya tidak keberatan dengan ide tersebut, karena sebagian besar sudah setuju makan diputuskan liburan kali ini adalah mendaki gunung.Remaja-remaja itu terlihat antusias, hal itu bisa dilihat dari ekspresi wajah dan sikap mereka yang tak henti-hentinya membahas persiapan mendaki dengan sorot mata yang berbinar-binar.Rusdi pun merasa senang karena usulannya kali ini disetujui oleh hampir semua temannya, hanya ada satu orang yang sejak tadi diam tidak berpendapat apa-apa."Im, kamu kenapa? Kok sedari tadi diam saja? Kamu ikut, 'kan, liburan kali ini?" tanya Santi pada Baim yang duduk di seberangnyaBaim menghela napasnya dalam-dalam. Ada sesuatu yang terasa berat di dalam dadanya, seperti ada sesuatu yang menghalanginya untuk mengiyakan rencana tersebut, tetapi dia tidak tahu apa itu.Santi kembali bertanya pada Baim, tetapi tidak ada jawaban dari pemuda itu, hingga beberapa saat kemudian barulah dia membuka suara."Aku rasa sebaiknya kita urungkan saja rencana liburan kali ini. Lebih baik kita diam di rumah saja.""Kenapa? Ada apa, Im?" Kali ini Aldi yang menimpali perkataan Baim"Aku ... ."Aku rasa, aku tidak bisa ikut dalam liburan kali ini, Gaes," ujar Baim pada akhirnya."Ayolah, Im. Jangan seperti itu, tidak seru kalau salah satu dari kita tidak ikut ke acara liburan kali ini," ujar Alma"Tapi, Al ... aku ... ." Baim kembali menggantung akhir kalimatnya, wajah pemuda itu terlihat kebingungan seperti sedang berusaha menutupi sesuatu."Sudahlah, Im. Tidak usah terlalu dipikirkan, kita semua pasti baik-baik saja. Lagi pula nanti kita akan meminta bantuan ke anak MAPALA untuk memandu kita ke sana. Jadi, jangan khawatir," ucap Aldi kembaran Alma.Aldi merangkul dan menepuk bahu Baim untuk meyakinkan sahabatnya itu bahwa liburan kali ini akan menyenangkan dan tidak akan ada petaka atau apa pun seperti yang ditakutkan oleh BaimTidak Aldi saja yang berusaha meyakinkan Baim, lima teman karibnya yang lain pun ikut membujuk Baim agar bersedia ikut dalam liburan kali ini karena mereka bertujuh tidak akan pernah terpisahkanBaim menghela napasnya dalam, ada rasa berat di dalam
"Gaes, apa kalian merasakan sebuah kejanggalan di sini?" tanya Alma dengan sedikit berteriak pada keenam temannya yang berjalan di depannya."Kejanggalan apa, Al? Aku sama sekali tidak merasakan apa-apa, kecuali rasa lelah karena sejak tadi hanya melihat hutan dan hutan lagi. Aku ingin cepat istirahat rasanya," jawab Santi yang berjalan persis di depannya."Ish, kamu ini, San. Bagaimana dengan kalian apa di antara kalian ada yang merasakan keanehan di tempat ini?" seru Alma mengulangi pertanyaannya pada teman-temannya yang lain.Mendengar seruan Alma, Rusdi yang memimpin rombongan remaja pendaki itu pun menghentikan langkahnya dan membalikkan badannya, lalu menghampiri Alma yang berada di baris kedua dari belakang.Melihat Rusdi mendatangi Alma, semua temannya yang lain pun mengikuti jejak langkahnya. Semua mengerumuni Alma dan bertanya apa maksud dari pernyataan gadis itu barusan "Ck, kalian ini! Apa di antara kalian tidak melihat atau merasa ada sebuah keanehan di tempat ini?" Alma
"Gaes, lihat!"Suara teriakan Amar mengejutkan keenam sahabatnya yang lain. Sontak mereka berenam menghampiri Amar yang terlihat senang."Apa, Mar? Kenapa kamu berteriak seperti itu, apa ada sesuatu?" tanya Rusdi.Amar tidak berkata apa-apa, dengan wajah tegang dia hanya menunjuk ke arah depan. Serentak keenam temannya itu melihat ke arah yang ditunjuk oleh Amar."Gaes, kalian lihat itu tidak?" Kali ini giliran Aldi yang bertanya pada teman-temannya."Jalan setapak! Apakah ini sebuah petunjuk?" kata Andin."Bisa jadi, ayo kita ikuti saja jalan ini!" ajak Alma.Kemudian mereka pun mengikuti jalan setapak tersebut berbaris dua-dua. Andin dan Rusdi yang berjalan di urutan paling akhir. Keduanya saling bergandeng tangan, terutama Andin. Gadis itu terlihat sedikit khawatir yang berbalut dengan rasa takut. Rusdi yang melihat perubahan wajah gadis di sampingnya semakin merapatkan gandengan tangannya. Bahkan lengan Rusdi sudah melingkar pada bahu gadis itu. Pemuda itu membisikkan kata perlin
"Tidak bisa dibuka? Apa maksudmu dengan kata tidak bisa dibuka, Mar. Jangan bohong kamu," kata Santi mulai panik."Aku tidak bercanda, San. Ini betul-betul tidak bisa dibuka sama sekali," jawab Amar mulai panik"Apa?!" pekik Alma.Gadis berambut hitam panjang itu pun akhirnya melangkah maju mendekat pada daun pintu. Jemarinya menyentuh gagang pintu dan perlahan mulai menarik ke bawah. Alma merasa aneh, lalu dia mencoba lagi. Kali ini dengan penuh tenaga bahkan gagang tersebut di naik turunkan dengan cepat.Dahi gadis itu mengerut dalam. Dia merasa bingung dan aneh, di dalam hatinya dia sampai berpikir kenapa bisa seberat ini, seperti ada yang mengganjal pintu itu sehingga tidak bisa dibuka.Selama beberapa menit, gadis itu menggerak-gerakkan handel pintu. Dia bahkan sampai mengeluarkan sebuah kawat yang sangat pipih untuk membobol kunci pintu itu, tetapi semuanya terasa sia-sia. Pintu itu tetap tidak bisa dibukaSementara itu, di belakangnya, keenam temannya menunggu dengan wajah tega
Sementara itu, di ruangan lain. Rusdi, Alma, Aldi, Andin, Baim, dan Amar yang tidak menyadari hilangnya Santi masih terus memeriksa seluruh isi rumah yang anehnya masih terlihat sangat bersih meski dari bentuk bangunannya mereka yakin sudah lama tidak ditempati.Mereka terus memeriksa setiap sudut rumah yang tampak terlantar, suasana semakin terasa mencekam. Cahaya senter hanya menerangi sedikit dari ruangan yang gelap gulita itu, dan langkah-langkah mereka yang terdengar seperti gema di koridor kosong semakin menambah ketegangan.Alma, yang sejak awal telah merasa ada yang tidak beres di rumah ini, tiba-tiba merasa sesuatu menyentuh bahunya. Dia berteriak dan mundur cepat. Ternyata, itu hanya sebuah debu yang jatuh dari langit-langit. Namun, suara teriakan Alma rupanya mampu membuat rasa takut semakin merayap ke dalam hati mereka."Kamu kenapa sih, Al? Jangan teriak- teriak terus, ih. Bikin orang jantungan mulu, sih, kamu ini," protes Baim sambil mengusap dadanya yang berdetak lebih
"Entah, aku juga tidak tahu, Al." Alma, yang selama ini menjadi yang paling skeptis, merasa ada yang memegang lengannya. Dia berteriak dan berusaha melepaskan diri, namun tidak ada yang terlihat. Semua orang dalam kelompok itu semakin panik, berusaha mencari jalan keluar dari ruang bawah tanah yang gelap dan menakutkan ini.Bulu kuduk mereka meremang, wajah-wajah mereka pun memucat karena rasa takut yang luar biasa. Kepanikan semakin nyata di wajah keenam remaja itu.Sementara mereka berusaha keluar, pintu ruang bawah tanah tiba-tiba terkunci dengan sendirinya. Mereka terperangkap di dalam, berjuang melawan ketakutan yang semakin memuncak. "Aduh, sekarang kita malah terperangkap di sini. Kita harus bagaimana sekarang? Apa yang harus kita lakukan? Seandainya tadi kita tidak mengikuti keinginan Rusdi, kita pasti tidak akan terjebak di sini," keluh Amar menyalahkan Rusdi"Sialan kamu, Mar! Bukankah tadi aku memberikan pilihan pada kalian semua dan kalian memilih untuk masuk kemari. Lal
Menjelang dini hari, tidak satupun dari mereka yang bisa tertidur pulas. Karena tidak bisa tidur, mereka memilih untuk mengikuti langkah Andin membaca doa hingga pagi menjelang."Gaes, sepertinya matahari sudah cukup terang di luar. Bagaimana kalau kita coba lagi mencari jalan keluar dari sini, sekaligus mencari keberadaan Santi?" usul Alma."Aku setuju dengan usulmu, Al. Ayo, kita kerjakan sekarang."Mereka berenam pun bergegas membereskan barang- barang mereka dan bersiap mencari jalan keluar dari ruangan gelap tersebut. Baim, Aldi, Amar, dan Rusdi baru saja menyalakan senter ketika tiba-tiba terdengar suara dari arah pintu.Tiba-tiba, pintu ruang bawah tanah itu terbuka dengan sendirinya, melihat hal itu gegas keenam remaja itu keluar dari ruang bawah tanah ke koridor yang gelap. Mereka tidak ingin menunggu lebih lama lagi dan segera berlari menuju pintu utama. Namun, ketika mencoba membuka pintu tersebut, mereka menyadari bahwa itu juga terkunci."Aargh, sial! Kenapa pintu ini tid
Namun, sayangnya hingga pertanyaan itu hilang ditelan bumi, tak ada satupun temannya yang berminat menjawab pertanyaan tersebut.Andin dan Alma menangis tersedu-sedu, mereka saling berpelukkan satu sama lain. Sementara, Amar, Rusdi dan Aldi saling menatap curiga satu sama lain."Kalian berdua kemarin berada di barisan paling belakang bersama Santi, 'kan? Jangan-jangan kalian yang telah membunuh Santi atau jangan-jangan, Aldi yang sudah melakukan hal itu," tuduh Rusdi pada Alma dan Aldi.Andin yang merasa kaget dengan ucapan Rusdi sontak melepaskan pelukannya dari Alma. Dengan tatapan takut, gadis itu berteriak histeris."Kalian berdua benar-benar kejam, tidak punya belas kasihan! Apa salah Santi pada kalian berdua sehingga kalian tega membunuhnya dengan cara menggantung tubuhnya setelah sebelumnya kalian menganiaya Santi terlebih dahulu!"Alma terhenyak mendengar tuduhan yang dilayangkan oleh Rusdi dan Andin. Dia betul-betul tidak menyangka jika kedua sahabatnya itu sampai hati menuduh
Melihat hal itu, Baim tidak dapat lagi menahan rasa mual yang dia rasakan. Di detik berikutnya, Baim memuntahkan semua isi perutnya yang sudah tidak terlalu banyak. Setelah berhasil menguras habis semuanya, dengan tenaga yang hanya tersisa sedikit, pemuda itu mengajak Alma dan Aldi keluar dari tempat itu. "Tunggu, apa itu? Kalian berdua keluar saja terlebih dahulu, aku menyusul. " Aldi yang melihat beberapa buah gulungan di bawah tumpukan pakaian Andin dan Rusdi pun bergegas mengambilnya dan membawanya keluar menyusul adik dan sahabatnya sambil menatap nanar ke arah mayat kedua sahabatnya yang begitu mengerikan. Setelah Aldi dan dua temannya bergegas keluar dari rumah nomor tiga belas, mereka merasa gemetar dan cemas. Aldi memegang gulungan-gulungan tersebut, dan begitu mereka berada di luar, dia membukanya. Gulungan-gulungan itu berisi sejumlah dokumen dan catatan rahasia. Dalam catatan-catatan itu, terkuaklah rahasia besar yang selama ini tersembunyi di dalam rumah tersebut.Merek
"Astaga, Al! Lihat ini, kalian harus melihat ini sekarang! Kalian tidak akan mempercayainya!" Baim berteriak memanggil Alma dan Aldi, sementara Rusdi terkulai lemas di atas jasad Andin dengan darah yang terus mengucur keluar dari luka menganga di lehernyaAlma dan Aldi yang sempat saling pandang satu sama lain langsung mendatangi Baim yang masih heboh menunjuk ke sebuah arah, lebih tepatnya ke bawah tubuh kedua teman mereka tersebut. Kedua remaja tujuh belas tahun itu tersentak kaget, Andin bahkan berteriak lalu menangis saat dirinya melihat apa yang terpampang di depan matanya. "Astaga, Rusdi! Kenapa kamu dan Andin bisa melakukan hal semenjijikan ini di sini, bahkan kalian berdua menjadi gancet dan tidak bisa dipisahkan lagi." Aldi mengusap wajahnya kasar sambil mengentakkan kaki kanannya geram. "Terus bagaimana ini, Al? Apa yang harus kita lakukan untuk memisahkan mereka berdua?" tanya Baim pada Alma yang masih terlihat syok dengan apa yang sudah dilakukan kedua sahabat mereka.
Aldi yang berada paling depan otomatis bergerak mundur dengan perlahan, diikuti oleh Alma dan Baim yang sempat terhipnotis dengan sosok bayangan hitam tersebut"Al, kita balik aja, yuk. Aku takut," bisik Baim pada Alma yang berada di depannya. "Ssstt, aku juga takut, Im. Tapi, kita tidak bisa balik lagi, kalau kita balik bagaimana nasib Andin dan Rusdi," kata Alma yang juga berbisik. Baim menghela napasnya dalam, di dalam hatinya membenarkan apa yang dikatakan oleh sahabat karibnya itu. "Ya, sudah kalau begitu. Ayo, kita lanjutkan lagi," sambung Baim masih dengan berbisik. "Sabar, kita tunggu dulu sampai bayangan itu menghilang, baru kita bergerak lagi." Kali ini Aldi ikut menimpali. Alma dan Baim menganggu, mereka kembali bergeser mundur dengan sangat perlahan hingga akhirnya makhluk tak kasat mata yang mengerikan itu menghilang dari pandangan.Setelah memastikan makhluk astral itu benar-benar tidak ada lagi, barulah mereka bergerak maju kembali dengan langkah tak kalah pelan de
Alma dan Aldi spontan memelototkan mata mereka ke arah BaIm yang masih tertawa konyol. Tatapan tajam kedua sahabatnya, rupanya mampu membuat tawa Baim hilang dari bibirnya. Pemuda yang terkadang gemar bergaya seperti wanita itu kontan menunduk dan meminta maaf karena kekonyolan yang sudah baru saja dia lakukan. "Sekarang bukan waktunya bercanda, Im. Kami tau kamu pasti merasa tertekan dengan semua tekanan ini. Kami pun sama sepertimu tapi tolong jangan pernah menganggap remeh dunia tak kasat mata jika kau ingin selamat," tandas Alma. "Maafkan aku, Al. Aku hanya ingin kita bertiga tidak terlalu tertekan dengan semua ini, apalagi jika nantinya kita menjumpai Andin dan Rusdi dalam keadaan tidak seperti yang kita inginkan," ucap Baim lirih. "Maafkan aku, ya.""Huft, ya. Maafkan kami juga, Im. Sekarang lebih baik kita kembali fokus mencari Andin dan Rusdi, semoga saja mereka berdua dalam keadaan selamat."Baim dan Aldi mengangguk setuju, sebelum masuk ke dalam ruang bawah tanah lebih j
Alma, Aldi, dan Baim terus menyusuri ruang bawah tanah rumah mewah itu, mencari tahu keberadaan Andin dan Rusdi. Di tengah gelapnya lorong, suara aneh bergema di sekitar mereka, dan udara terasa semakin dingin. Mereka merasa bahwa sesuatu yang jahat mengintai di sana.Terdengar suara langkah mereka bergema di koridor gelap ruang bawah tanah. Lampu redup bergetar, menciptakan bayangan yang menakutkan di dinding. Alma, Aldi, dan Baim terus berjalan, hati-hati memeriksa setiap sudut ruang.Saat mereka mendekati pintu yang terbungkus oleh aura misterius, Baim merasa bulu kuduknya merinding. "Apa yang kita cari di sini?" tanyanya, suaranya gemetar.Aldi yang mencoba menjaga ketenangan menjawab, "seperti rencana awal, kita mencari di mana Andin dan Rusdi. Kita sudah terlalu lama terpisah dari mereka berdua, semoga saja tidak terjadi apa-apa pada mereka berdua."Mereka meraih gagang pintu dengan perasaan waspada. Saat pintu terbuka, mereka dihadapkan pada pemandangan yang mengejutkan. Di dal
Andin berusaha keras memisahkan diri dari Rusdi tetapi semuanya sia-sia belaka, sebab bukannya terlepas, mereka berdua malahan semakin menempel satu sama lain, milik Rusdi seakan terhisap begitu kuat oleh inti tubuh Andin. Mereka berdua bergerak ke sana-ke mari berusaha melepaskan inti tubuh masing-masing, tetapi hisapan itu semakin kuat seolah tidak ingin melepaskan milik Rusdi. Kedua manusia berbeda jenis kelamin itu terus bergerak liar maju mundur, ke atas dan ke bawah berharap bisa terlepas. Erangan, desahan, dan desisan bercampur baur menjadi satu dengan keringat yang mengalir di tubuh mereka berdua. Keinginan untuk melepaskan diri, timbul tenggelam oleh kenikmatan haram yang mereka reguk bersama-sama. "Ugh, gila, Ndin. Kenapa ini rasanya enak sekali, meskipun agak sedikit sakit tapi rasa nikmatnya sungguh luar biasa," ucap Rusdi dengan napas tersengal oleh kenikmatan duniawi. "Huh, iya, Rus. Enaknya sungguh tak terperikan," jawab Andin. "Gerakan pinggulmu sedikit lebih cepa
"Rus, ini semakin aneh. Apakah kamu merasa bahwa kita berada di jalur yang benar?" tanya Andin dengan ketidakpastian.Rusdi mengangguk, "Iya, Andin. Ada sesuatu di sini yang memandu kita, tapi kita harus tetap waspada."Mereka melanjutkan langkah mereka, semakin dalam ke dalam ruang bawah tanah yang gelap. Cahaya senter Rusdi mengungkapkan lebih banyak misteri di sekitar mereka, seperti simbol-simbol aneh di dinding dan lorong-lorong yang tampaknya tak berujung.Ketika mereka berjalan, tiba-tiba suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Rasanya seperti bumi berguncang. Andin dan Rusdi saling memandang, jantung mereka berdebar kencang."Apakah itu gempa, Rus?" tanya Andin dengan nada khawatir.Rusdi merasa udara semakin panas, "Aku tidak yakin, Andin, tapi kita harus mencari tahu. Ini bisa jadi kunci dari semua misteri ini."Mereka terus berjalan menuju asal suara gemuruh tersebut, dengan harapan bahwa mereka akan menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang menghantui mereka. Akan tetapi,
Dengan perasaan campuran antara harapan dan kekhawatiran, Andin berkata, "Rusdi, kita harus mencari Permata Kelam ini. Mungkin itulah kunci untuk menghentikan kekuatan jahat ini."Rusdi setuju, "Tapi kita harus berhati-hati. Kita tidak tahu apa yang akan kita temui dalam pencarian ini. Kami mungkin harus bersiap untuk menghadapi bahaya yang lebih besar."Mereka memutuskan untuk mengakhiri sesi penelitian mereka dan bersiap-siap untuk pencarian Permata Kelam. Dengan harapan dan keberanian, mereka merasa semakin dekat dengan mengungkap semua misteri dan mengatasi kekuatan jahat yang mengancam mereka dan rumah ini.Andin dan Rusdi memasuki ruang bawah tanah yang gelap dan penuh misteri di rumah kuno itu. Mereka membawa senter sambil mencari petunjuk untuk menemukan Permata Kelam yang konon tersembunyi di dalamnya. Suasana yang terasa semakin mencekam membuat detak jantung mereka semakin kencang."Kita harus tetap hati-hati dan selalu waspada, Ndin. Jangan terbuai dengan apapun yang kita
Tiba-tiba, suasana berubah. Cahaya merah yang mengepung mereka memudar, dan bayangan itu lenyap. Mereka merasa beban mencekam hilang dari ruangan, dan mereka bisa keluar dengan aman. Namun, mereka tahu bahwa rumah itu menyimpan rahasia yang lebih dalam dan menakutkan dari yang mereka bayangkan.Andin dan Rusdi keluar dari kamar dengan perasaan lega, tetapi rasa ingin tahu mereka menggelitik. Mereka berdua duduk di ruang tengah yang kuno, ditemani oleh cahaya temaram dari lilin yang mereka nyalakan.Rusdi bertanya dengan hati-hati, "Andin, apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini? Mengapa kita merasa ada kekuatan gelap di sini?"Andin merenung sejenak sebelum menjawab, "Mungkin ini adalah rumah yang menyimpan kenangan yang tak pernah terselesaikan. Mungkin ada seseorang atau sesuatu yang masih terikat di sini."Mereka berdua merasa seperti ada yang memanggil mereka. Tiba-tiba, sebuah suara bisikan pelan terdengar di udara, "Kembalilah, kembalilah ke rumah ini..."Rusdi menelan ludah, "