Share

Bab 4

Author: Miola Xaveria
last update Last Updated: 2024-11-27 19:12:22

"Eh Dek, ngapain kamu tidur di situ?” Guncangan tangan Mas Halid membuatku terjaga.

Mataku mengerjap. Suara adzan dari desa terdengar sayup. Kuurut kepalaku yang berdenyut. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi semalam, hingga bisa tidur di depan pintu.

“Dek, kok malah bengong, kamu tidur sambil jalan? Perasaan nggak pernah kamu tidur sambil jalan.”

“A–anu, Mas, semalam aku kebangun, terus dengan ada suara orang baca Yasin, aku bangunin kamu, tapi kamu nggak bangun, bangun. Terus aku turun dari ran—”

Belum aku selesai cerita, tiba-tiba suara genset di samping rumah tersendat-sendat. Lampu di ruang tengah pun berkedip-kedip.

“Kayaknya habis bahan bakar, Dek, mas matikan dulu ya. Senternya ada di dekat tas.”

“Iya, Mas.” Sebelum lampu benar-benar mati, aku perhatikan ruangan tengah ini. Kosong, tidak ada apa pun di sini, hanya ada sofa, lemari hias, meja TV dan ada karpet yang digulung dan disandarkan di sudut ruangan.

Tak berapa lama, lampu benar-benar mati. Hanya kegelapan tersisa di setiap sudut ruangan. Mataku sudah mulai terbiasa dengan ruangan yang gelap.

Kuhidupkan senter, lalu menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu.

Terdengar suara Mas Halid berdeham, dia pun masuk lalu mengunci kembali pintu depan. Sepertinya dia langsung ke kamar mandi.

Aku tunaikan shalat subuh pertamaku di rumah asing yang seperti menyimpan banyak misteri. Baru semalam di sini aku sudah merasakan hal-hal janggal di rumah ini.

Sepertinya aku harus mengundang tetangga untuk melakukan pengajian di rumah ini. Pasalnya ini rumah sudah sepuluh tahun terbengkalai, dulu kata Pak Hamdan, awal-awal ditinggal oleh pemiliknya, masih sempat dibersihkan oleh kerabatnya. Namun seiring berjalannya waktu, takada lagi yang membersihkan rumah mewah ini.

Jam tujuh pagi, sekitar lima orang pekerja sudah datang, mereka membawa masing-masing satu mesin terbas. Mereka semua berasal dari desa tetangga yang berjarak kurang lebih lima kilometer dari perkebunan ini.

"Pasarnya nggak jauh kok, Mbak, di dekat balai desa itu. Nah kebetulan hari ini hari pasaran. Soalnya satu minggu cuma dua kali, Senin sama Kamis. Kalau mau setiap hari, bisa ke pasar induk ada di kecamatan sebelah," kata salah seorang pekerja bernama Mas Budi, setelah aku tanya di mana letak pasar.

Pria itu terlihat paling muda dibandingkan yang lain. Mungkin umurnya sekitar 30-an tahun. Sementara yang lain sudah cukup berumur.

"Jadi kalau di pasar sini adanya sayur-sayuran sama sembako ya, Mas."

"Iya Mbak."

"Terima kasih, Mas."

Aku kembali kedalam untuk bersiap ke pasar, membeli kebutuhan dapur dan kamar mandi, serta makanan ringan untuk para pekerja.

Untuk makan siang, mereka membawa bekal masing-masing, tetapi aku dan Mas Halid harus menyiapkan makanan ringan dan kopi ketika mereka istirahat.

"Dek, mas mau lihat batas kebun dulu sama Mas Budi, baru nanti mas mau ngurus listrik ke kantor PLN."

"Jadi aku pergi ke pasarnya sendirian, Mas? Atau nunggu Mas?"

"Kalau sendirian berani nggak Dek? Itu lho nggak jauh dari kita berhenti kemarin, kan dekat situ ada Balai Desa, nah cari aja, pasti rame-rame di sana, kalau nunggu mas takutnya lama. Batas ujung selatan aja bisa sampai 30 menit bolak-balik."

"Eeemmm, iya deh, Mas. Aku ke pasar sendirian aja, tapi mereka bersihkan sekitar rumah kita dulu kan, Mas? Udah singgup gitu soalnya."

"Iya, Dek. Kan kalau yang jauh, mas belum bisa ngawasin jadi mulai kerja dari sekitar sini dulu."

"Ya sudah kalau gitu, aku pergi dulu, Mas. Eh tapi kalau motornya aku bawa, Mas Halid pake motor siapa?"

"Nanti kan bisa pinjam motor Mas Budi atau yang lainnya."

Aku pun bergegas mengambil tas kecil, HP dan juga kunci motor, lalu menjalankan motor menuju desa di mana pasar yang dikatakan Mas Budi berads.

Rumah ini benar-benar di tengah perkebunan sawit yang luas. Bahkan untuk mencapai batas desa, aku harus berkendara kurang lebih satu kilometer perjalanan.

Sampai di Balai Desa, aku segera memarkirkan motor di tempat parkir. Takada tukang parkir di tempat ini, tetapi mereka parkir mandiri dengan rapi.

Pasar di sini tidak terlalu ramai jika dibandingkan dengan pasar di kota tempatku tinggal sebelumnya. Namun untuk untuk desa yang letaknya paling ujung, sudah bisa dikatakan ramai.

Satu hal yang aku suka dari pasar ini, yaitu murah. Apalagi jajanan pasar, setelah melihat-lihat terlebih dahulu aku langsung membeli bahan-bahan makanan, bumbu-bumbu dapur, sabun cuci, gula kopi, teh dan beberapa peralatan yang aku butuh di rumah. Tak lupa aku membeli roti kering, roti empuk jajan pasar dan makanan ringan lainnya.

Setelah selesai belanja aku membeli es batu di salah satu warung yang berada di Desa Weringin–desa tempat tinggalku sekarang. Kata Mas Halid, perkebunan itu masih masuk Desa Wringin.

"Oh, Mbak Miska ini istrinya Halid yang kerja di perkebunan sawit itu?"

"Iya, Bu, baru semalam kami sampai."

"Iya Mbak, Mas Halid semalam beli bensin untuk isi genset. Cukup lama Mas Halid ngobrol sama suami saya."

"Iya, Bu, KWH-nya kayaknya dicabut sama PLN."

"Iya, Mbak, memang, anaknya pemilik yang dulu memang sengaja cabut meteran, biar bayarnya nggak bengkak katanya."

"Oh, begitu ya, Bu." Aku mengangguk-angguk.

"Berani benar ya, Mbak sama Halid tinggal di sana."

"Eehhmm, memangnya kenapa ya, Bu."

"Ah nggak apa-apa, Mbak, oh iya di RT sini ada grup pengajian rutin setiap hari Jum'at, kalau ada waktu, Mbak Miska bisa ikutan. Nanti bergiliran, Mbak, bisa ke rumah Mbak Miska juga."

"Baik, Bu, boleh, setiap hari Jum'at.ya."

"Iya. Mbak, saya minta nomor HP-nya biar enak kalau mau kasih tahu tentang pengajiannya."

"Oh iya, Bu." Aku menyebutkan 12 angkaa nomor telponku, Setelah berbincang sebentar, aku pun pamit pulang.

"Hati-hati, Mbak, usahakan jangan keluar kalau udah Magrib."

"Kenapa Bu?" tanyaku penasaran.

"Eh Mbak, ada yang belanja." Ibu RT itu terlihat gugu dan enggan mengatakan alasan kenapa tidak boleh keluar setelah Magrib.

Mungkin karena karena berada di tengah-tengah kebun itu, jadi bahaya. Aku mencoba berpikir positif, walaupun sebenarnya aku rasa ada hal janggal dengan rumah itu.

***

Related chapters

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 5

    Sepanjang jalan aku terus memikirkan perkataan Bu RT. Memang siapa pun akan berdiam diri di rumah ketika Magrib menjelang. Namun gestur tubuh Bu RT seperti menunjukkan sesuatu yang tidak biasa. Seperti ada yang sembunyikan oleh beliau. Ah mungkin itu hanya perasaanku saja. Kan memang kalau Magrib-magrib tidak boleh keluar rumah.Sampai di rumah aku lihat di sekitaran pagar dan halaman sudah bersih dijabat oleh mereka. Jadi nanti aku tinggal mengumpulkan sampah-sampahnya saja. Rumah bercat putih itu semakin terlihat kemewahannya. Taman yang ada di samping kiri rumah pun sudah bersih. Tampak kolam ikan yang kemarin tertutup rumput, tak luput dibersihkan oleh para pekerja.Nati tinggal ada dan mas Halid mengaturnya saja, dipasang lampu taman, agar suasana rumah ini tidak lagi terlihat sanggup.Sebelum masuk ke dalam rumah tadi, aku lihat para pekerja sudah istirahat untuk melepas dahaga. Aku pun langsung memberikan jajan pasar kepada mereka langsung dari plastik. Karena aku belum sempat

    Last Updated : 2024-11-27
  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    bab 6

    Aku berlari turun dari lantai dua tanpa mengunci kembali pintu kamar yang terakhir aku masuki. Penampakan tali seperti potongan kain kafan bernoda darah itu sukses membuat tubuhku bergetar hebat.Sampai di bawah, aku langsung keluar dari rumah, duduk di teras sambil memeluk lutut. Menunggu Mas Halid yang tak kunjung pulang. Ke mana sebenarnya suamiku itu. Kenapa selama ini kalau hanya melihat batas perkebunan?Ingin rasanya aku menyerah tinggal di sini, baru sehari saja aku sudah diteror dengan hal-hal janggal di rumah ini; bayangan hitam di dalam kamar, pria yang menyerupai Mas Halid, sosok benda seperti mayat yang terbaring di ruang tengah dan ini terakhir tali bernoda darah, seperti bekas digunakan untuk menyiksa seseorang di dalam kamar itu.Apa penghuni rumah ini dulu memiliki kelainan s3ksual menyimpang yang mengharuskan pasangannya ditali di atas ranjang? Atau apa? "Astaghfirullah hal adzim." Buru-buru aku beristighfar untuk menetralkan degup jantung yang tak kunjung reda.Ha

    Last Updated : 2024-11-27
  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 7

    “Ssst … ada Mbak Miska.” Para Bapak-Bapak itu saling sikut. Mereka langsung diam begitu melihatku datang. Sepertinya mereka memang sedang membicarakan rumah besar itu. Apa yang mereka katakan tentang ibu dan anak yang meninggal serempak itu pemilik rumah ini ya? Aku tersenyum, sembari meletakkan teko berisi cairan hitam yang sudah kucampur dengan pemanis serta cemilan roti kering. Untuk besok, rencananya aku akan membuat gorengan saja. Karena memang sudah membeli stok dan kusimpan di kulkas.“Silahkan kopinya, Bapak-Bapak.”“Wah, kok repot-repot, Mbak Miska, kami sudah mau pulang,” kata seorang Bapak yang sedari tadi suka melucu dan banyak omong.“Nggak apa-apa, Pak, cuma kopi, untuk melepas dahaga.”“Sekali lagi terima kasih, Mbak,” ujar yang lainnya.“Sama-sama, Pak. Saya permisi dulu.”“Iya, Mbak.”Aku lantas kembali masuk ke rumah. Di samping kanan dekat garasi, Mas Halid sedang membersihkan bekas rumput-rumput yang belum sempat aku bersihkan. Kolam ikan tadi juga dibersihkan

    Last Updated : 2024-12-03
  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 8

    Mas Halid masih berkurang di dalam selimut. Badannya bergetar tak karuan. Aku lihat Pintu kamar yang tadi dibanting oleh suamiku itu perlahan terbuka dengan sendirinya. Semakin lama terbuka sempurna.Tak lama setelah itu terlihat sosok bayangan seseorang mendekat. Aku ikut masuk ke dalam selimut. Namun aku masih penasaran apa yang akan terjadi di ambang pintu sana."Mas, ada orang menuju ke sini," bisikanku."Bukannya tadi pintu udah aku kunci?""Itu terbuka sendiri."Mas Halid membuka selimutnya. Lalu mengeluarkan kepalanya. "Yaa Allah, itu kayaknya orang yang mas lihat di ruang tengah tadi.""Yaa Allah, Mas, terus gimana kita ini, Mas?"Perlahan bayang itu semakin terlihat jelas dan pekat. Sorot lampu dari ruang tengah membuat bayangan itu terlihat jelas. Seorang laki-laki berbadan tinggi dan membawa sesuatu di tangannya. Namun aku tak begitu jelas, benda apa yang dia bawa.Air mataku mulai mengucur deras. Tangan Mas Halid merengkuhku ke dalam pelukannya. Aku tahu dia juga ketakutan

    Last Updated : 2024-12-04
  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 9

    Mas Halid mencomot bakwan yang tadi aku goreng, lalu perlahan dimasukkannya ke dalam mulut, tak lupa ia menggigit cabe rawit sebagai pelengkap."Dek, kenapa?" Diletakkan kembali gorengan itu di atas piring. "Kenapa mendadak murung begitu?""Mas, kita batalkan saja kerja di sini, mumpung masih dua hari. Aku ….”“Kenapa, Dek? Justru baru dua hari itu, kita belum tahu kan keadaan di sini, Nanti kita tanya-tanya sama Pak RT. Kita juga udah nerima gaji di awal. Gimana kita mau mengembalikannya, Dek. Sedangkan uangnya udah untuk bayar angsuran. Kalau mau mundur, mau cari kerja di mana lagi, di tempat yang lama kan udah keluar, terus gajinya juga nggak cukup untuk bayar angsuran. Yang ada kita nanti justru tambah utang lagi. Bertahan dulu ya. Nanti kan kalau udah beroperasi normal, kamu ada temannya, banyak pekerja juga yang antar buah sawit ke sini.”“Tapi, Mas. Aku rasa Mas juga udah ngerasain sendiri kejanggalan di rumah ini.”Mas Halid tersenyum. “Kita itu makhluk yang paling sempurna ya

    Last Updated : 2024-12-05
  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 10

    Tiga mayat yang terbujur di ruang tengah, kamar yang ada seutas tali bernoda darah yang mengering dan juga pecut yang kutemukan serta seorang pria yang sedang mencambuk seseorang di ruang tengah sepertinya mengandung teka-teki yang saling berkaitan, tetapi apa? Dan siapa mereka?Aku lempar pecut itu keluar kamar melaui jendela. Aku bergidik membayangkan kata Mas Halid melihat seseorang dicambuk di ruang tengah. Apalagi jika memang benar pecut yang dimaksud adalah benda yang aku buang barusan.“Dek, ngapain? Ayo siap-siap!”“Mas, bentar, ayo ikut aku bentar.” Kutarik tangan Mas Halid keluar dari kamar menuju bawah jendela.“Apa itu, Dek?” Mas Halid kebingungan.“Mas, pecut ini kemarin aku temukan di dekat kolam, terus aku masukan ke plastik sampah, terus Mas bakar kan di samping pagar?”Mas Halid lantas mengambil benda yang tadi aku lempar dari dalam kamar. Dia mengamati dengan seksama.“Iya, kemarin mas sempat lihat tangkainya ini terbakar, kok ada lagi ya, Dek?” “Semalam Mas beneran

    Last Updated : 2024-12-06
  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 11

    Nenek yang duduk di sampingku itu terus saja berbicara denganku. Matanya tajam terus saja menyorotiku. Sementara aku yang tidak tahu apa yang dia bicarakan hanya mengangguk sambil tersenyum.Yang aku ingat dia selalu mengulang kata-kata "Ati-ati, Nduk tembang kae iso ngelilakno." Namun aku tidak tahu apa artinya. Sepertinya dia menggunakan bahasa Jawa. "Dek, udah lama nunggu, maaf ya. Tadi mas langsung nungguin petugasnya nyiapin KWH. Soalnya mas desak hari ini pemasangannya." Tiba-tiba Mas Halid sudah berada di belakangku. Pria itu memarkirkan motornya tepat di samping belanjaanku."Eh, Mas, udah setengah jam, ini ditemani sama Nenek ini."Mas Halid mengangguk sopan pada Nenek itu. Lalu kami pun pamit untuk pulang.Aku naikkan barang belanjaan ke atas motor satu per satu. Aku pun naik ke boncengan belakang motor setelah menyapa nenek itu lagi."Ojo ngasi awakmu ngerukake tembang kae suwe-suwe, Nduk." (Jangan sampai kamu mendengarkan lagu itu lama-lama, Nduk?).Lagi-lagi Nenek itu be

    Last Updated : 2024-12-07
  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 12 A

    "Astaghfirullah, Dek." Entah darimana datangnya Mas Halid. Yang kurasa dia langsung membopongku masuk ke dalam kamar. Entah dia melihat atau tidak sosok mayat hidup yang hidungnya tersumpal kapas itu.Mataku sendiri tidak mampu dikedipkan, mungkin karena terlalu syok karena melihat sosok mengerikan tadi.Mas Halid meletakkanku di atas ranjang, kemudian pria itu menutup pintu dan menguncinya, lalu pria itu kembali mendekatiku setelah menyambar botol minum yang berada di atas meja rias.“Dek sadar, kamu kenapa?” Mas Halid memberiku air putih. Namun tanganku tak mampu meraih, kaku, tak bisa digerakkan. Hanya bola mata mampu aku putar kemana-mana.Mas Halid membukakan penutup botol, lalu menyuapiku minum."A'uudzu Billaahi minasy syaithaanir rajiim, bismillahirrahmanirrahim. Ashadualla illahaillallah." Terdengar suamiku itu membaca ta'awudz lalu dilanjutkan dengan membaca syahadat dan juga shalawat Nabi. “Ayo, Dek, diminum!”Aku mengganggu dan Dengan rakus aku meneguk air putih yang ting

    Last Updated : 2024-12-08

Latest chapter

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 17 B

    “Paling tiga hari lagi selasai, Pak, tapi nanti ada yang mau terus ikut kerja di sini ada juga yang rombogan Pak Dayat itu nggak lanjut. Karena memang pekerjaan mereka borongan khusus membersikan lahan punya orang. Begitu, Pak.”“Oh begitu, nanti saya minta catatan siapa saja yang mau lanjut kerja dan siapa yang berhenti.”“Baik, Pak Halid, nanti saya akan data. Kalau misalnya ada yang mau ikut lagi, apa masih bisa?”“Masih Pak, justru saya mau minta bantuan Bapak jika ada warga lain yang mau kerja. Soalnya saya masih butuh banyak orang untuk manen dan pekerjaan lainnya. Sopir juga saya butuh sekitar empat orang, Pak.”“Baik, baik, Pak Halid, nanti saya samaikan sama teman-teman yang bisa nyopir.”“Kamu itu Jok, gimana sih, ini lho, kenapa malah pakai yang ini. Pak Halid tadi kan suruh yang itu.”Dari dapur terdengar Pak Didik dan Joko bergaduh, entah apa yang diperdebatkan mereka berdua. Hingga suara mereka terdengar sampai di ruang tamu.“Bentar ya, Pak Halid, saya lihat mereka ber

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 17 A

    “Mayat? Di mana ada mayat Jok?” tanya yang lainnya.Banyak mata memandang aneh ke arahku. Apa mereka mengira aku menyembunyikan mayat? Atau apa mereka mengira aku membunuh seseorang dan menyimpan mayatnya disimpan di dalam rumah? Kenapa pandangan mereka seolah aku melakukan sesuatu? Atau hanya perasaanku saja.“Di ruang tengah, Pak, di depan TV, tadi pas aku masuk ke dapur, ada apa-apa di sana, tapi saat aku keluar bawa air minum, aku lihat ada mayat terbujur di depan TV, ditutup kain jarik,” terang Joko dengan suara bergetar. Sepertinya dia sangat syok dengan apa dia lihat.Ternyata tak hanya aku dan Miska yang mendapatkan teror. Bahkan Joko saja yang hanya lewat di ruang tengah harus melihat penampakan yang mengerikan. “Ah masa? Ayo coba lihat Jok!” Pak Didik terlihat tidak percaya dengan penuturan Joko.Joko menggeleng cepat. “Nggak mau, Pak, ngeri.” Joko menolak. Beberapa orang yang penasaran langsung menyeruak masuk ke dalam rumah. sementara itu, Joko diberi minum oleh rekan ke

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 16

    Aku menatap kepergian dua karyawan Toko Anugrah Makmur dengan perasaan kesal. Belum juga aku mendapatkan informasi yang lengkap mengenai rumah ini, tetapi mereka harus buru-buru pergi karena pekerjaan.Aku periksa kembali barang-barang yang tadi aku beli di gudang penyimpanan. Semuanya lengkap, takada yang tertinggal maupun tercecer. Pasalnya tadi aku lihat, tali yang mengikat barang-barang itu sedikit kendur.Aku tutup kembali, lalu aku kunci pintu gudang, setelah semuanya aman. Aku lantas beranjak menuju rumah untuk beristirahat sejenak sebelum beraktivitas memeriksa pekerjaan para pekerja di bagian utara.Aku duduk di teras sambil menikmati semilirnya angin menjelang siang ini, aku memeriksa ponsel yang sedari tadi menjerit-jerit di dalam tas kecilku. Ada nama “My Wife” di layar ponsel pintarku. “Ya, Dek,” jawabku.“Mas, aku ….”Suara Miska terjeda, entah apa yang hendak dia katakan, padahal dari notifikasi di jendela ponsel, banyak panggilan tak terjawab dari wanitaku itu. Seper

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 15 B

    Mreneo, Le!” (Kesini, Le) Nenek itu melambaikan tangan, seperti isyarat untuk mengikutinya.Aku pun menurut, mengikuti nenek itu duduk di teras ruko, tempat Miska dan dirinya berbincang kemarin.“Ketemu, Mas?” tanya tukang parkir tadi.“Iya, Mas. Oh iya, Masnya bisa bahasa Jawa nggak ya? Kalau bisa bantuin saya artikan kata-kata Nenek, soalnya saya nggak paham, tapi saya butuh informasi dari beliau.”“Wah jelas bisa, Mas, walaupun saya bukan orang Jawa, tapi lingkungan tempat tinggal saya orang Jawa semua.”“Wah, bagus itu, tolongin saya, ya. daripada saya buka googl3 translate.”“Boleh, Mas. dengan senang hati.” tukang parkir itu tersenyum.Kami pun duduk di teras bertiga, Nenek itu membuka dagangannya terlebih dahulu.“Kawanen aku, Le.”“Apa dia bilang, Mas?”“katanya kesingangan, Mas.”“Oh, memangnya Nenek tinggal di mana?”“Manggon neng omah gedongan kae kudu kuat. Tembang iku, biso ngelilakno sopo wae sing ngrungokne, opo meneh cah wedok, iso digowo karo Nyai, dadi budak e Nyai.

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 15A

    Aku masih mencerna kata-kata yang dilontarkan tukang parkir itu. Apa benar nenek itu stress? Tapi jika dilihat dari penampilannya, terawat, tidak seperti orang dalam gangguan jiwa lainnya. Bagaimana dengan peristiwa kebakaran pasar? Apa itu hanya kebetulan?“Kalau begitu saya ke toko pertanian dulu, Mas, nanti ke sini lagi. Siapa tahu neneknya sudah datang.”“Memangnya sangat penting ya, Mas?” tanya tukang parkir itu ingin tahu.“Ya begitulah, saya permisi, Mas.” Aku ulurkan uang receh untuk membayar parkir. Tukang parkir itu lantas mengambilnya seraya mengucapkan terima kasih.Aku pun menarik tuas gas menuju toko alat pertanian yang berada tak jauh dari Pasar Pal Tiga. Banyak sekali alat perkebunan yang harus aku beli, diantaranya; fiber untuk memanen sawit, alat semprot, pupuk dan juga pestisida untuk membunuh gulma.Semua barang-barang itu aku beli dalam jumlah banyak, yang nantinya akan digunakan para pekerja untuk merawat dan memanen sawit. Sebelum aku membeli, aku kirim terleb

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 14 B

    “Astaghfirullah hal adzim, wajah wanita itu sama persis dengan wajah mayat yang tadi kulihat di ruang tengah, bahkan gaya sanggulnya dan gaya berpakaiannya pun sama.Sebenarnya apa yang terjadi di rumah ini? Apa kejadian yang aku lihat dan alami, mempunyai hubungan satu sama lain? Pria yang aku lihat di kamar ini? wanita yang dicambuk? Mayat wanita itu?“Arrrggg …,” Kepalaku rasanya mau pecah memikirkan yang terjadi di rumah ini.“Ati-ati, Nduk tembang kae iso ngelilakno." Tiba-tiba aku teringat perkataan Nenek-nenek yang ada di Pasar Pal Tiga, kira-kira apa arti omongannya kemarin ya? Kenapa doa selalu menyebut kata tembang.Aku segera membuka googl3 translate lalu kumasukkan kata-kata yang nenek itu. Muncullah satu kalimat yang membuatku tercengang “Hati-hati, Nduk. Lagu itu bisa membuatmu pusing/hilang kesadaran.” Begitulah yang kudapat dari translate di aplikasi.Jantungku terasa berhenti sejenak, apa yang nenek itu maksud, tembang yang dinyanyikan Miska tempo hari, sehingga d

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 14 A

    Aku masih mematung memandangi jenazah dengan wajah hancur tersebut dengan badan gemetaran. Ingin rasanya segera berlari keluar rumah, tetapi kaki ini seperti terpatri di lantai. Tidak bisa digerakan sama sekali.Mataku pun seolah enggan sekali digerakkan untuk memandang hal lain. Masih terpaku menatap wanita itu,Perlahan mayat itu bergerak dengan sendirinya. Sia pun bangkit dan duduk layaknya manusia. Lantas dia menoleh ke arahku dengan gerakan kaku.“Astaghfirullah hal adzim.” Aku terkejut setengah mati. Mata mayat itu berkedip-kedip, tetapi sepertinya dia kesusahan menggerakkan bola matanya. Kemudian, wanita itu menyunggingkan senyuman“Kamu bawa kemana calon perewanganku, Le?” Matanya menyorortku tajam.“Perewangan?" Aku tak mengerti apa yang dia katakan. Perewangan apa? Siapa yang dia maksud? Seandainya bisa memilih, lebih baik aku pingsan saja.Mayat hidup itu perlahan menggerakkan bibirnya kembali. Namun bukan berbicara, melainkan bersenandung lagu Jawa."Astaghfirullah hal

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 13

    Tidak ada cita-citaku sebelumnya harus tinggal di rumah mewah penuh misteri yang berada di tengah-tengah perkebunan sawit tempatku bekerja saat ini.Saat aku dan Miska pertama kali tiba di depan rumah itu, aku sudah merasakan hawa tak enak. Rumah nan megah menjulang tinggi itu terbengkalai selama sepuluh tahun lamanya. Entah karena sebab apa pemilik sebelumnya membiarkan rumah itu tak berpenghuni, padahal semua fasilitas di rumah ini pun lengkap.Kami tiba saat matahari sudah tergelincir, hanya menyisakan semburat jingga di ufuk barat, karena perjalanan yang sangat melelahkan.Ketika aku masuk, hawa dingin begitu terasa, terlebih ketika memasuki ruang tengah. Auranya seperti berbeda dengan ruangan-ruangan lainnya.Aku coba menyalakan lampu, tetapi sepertinya listrik di rumah ini sudah diputus oleh PLN. Aku pun keliling rumah, biasanya rumah besar seperti ini, apalagi di tengah-tengah perkebunan yang jauh dari tetangga, menyediakan genset untuk jaga-jaga ketika mati lampu.Aku keliling

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 12 B

    Nanti hari Sabtu mas antar ya, kan hari Ahad mas libur, kita adakan dulu pengajian di sini hari Jum'at nanti.""Beneran Mas?" Aku berbalik badan"Iya. Sekarang sarapan ya, ini mas masakin telur ceplok setengah matang. Soalnya cuma ini yang mas bisa masak.""Makasih ya, Mas."Mas Halid pun menyuapiku nasi dengan lauk andalannya. Sesekali dia pun itu menyantap hasil kreasinya pagi ini."Jadi pengajiannya pakai nasi apa kue aja, Mas?""Oh iya mas lupa bilang sama kamu. Biasanya kalau di sini cuma di kasih nasi kotak, Dek. Jadi begitu selesai acara, bagi nasi kotak, langsung pada pulang. Kalau di tempat kita kan habis acara, makan cemilan dulu, baru pulang dikasih nasi kotak, kan?""Iya, Mas. Ya udah nanti aku ke rumah Bu RT nanyain apa aja isi nasi kotaknya.""Nanti mas antar, Dek, sekalian mas tamya berapa jumlah warga yg ikut pengajian Bapak-Bapaknya."Iya, Mas." Akhirnya, nasi telur ceplok tadi kami habiskan berdua.Sebenarnya aku lapar, karena sudah terbiasa pagi-pagi sudah sarapan

DMCA.com Protection Status