Aku langsung berlari ke kamar, memeriksa siapa yang berada di kamar tadi. Aku takut ada orang yang diam-diam masuk ke rumah saat kami di belakang tadi. Pasalnya aku pintu depan tadi tidak aku kunci.
Lilin di kamar tadi sudah tak berbekas, hanya kepulan asapnya yang masih terlihat mengepulkan asap putih. Aku cari di mana orang itu, tetapi tidak kutemukan ada sesiapa pun di dalam kamar. "Dek. Hidup nggak?" teriak Mas Halid dari luar rumah. "Bentar, Mas, lilin udah mati, jadi gelap di dalam sini, Mas.” “Buruan, Dek,” teriak Mas Mas Halid lagi. “Iya, Mas.” Di dalam sini aku cukup kesulitan mencari saklar lampu. Biasanya berada di dekat pintu dan tingginya sekitar satu meter. Namun sudah aku raba tidak juga aku temukan. Aku kembali meraba dinding sebelah kanan, di sana baru aku temukan saklar lampu. Langsung aku tekan saklar itu, tetapi tidak mau menyala. “Di kamar kayaknya mati, Mas. Coba aku cari di ruang tengah,” pekikku. Aku buru-buru keluar kamar dan mencari saklar lampu. Semoga saja di ruang tengah bisa hidup. “ Astaghfirullah halaazim, Mas. Kamu kok hobi banget ngagetin aku.” Tiba-tiba Mas Halid sudah ada di depan pintu kamar dengan wajah pucat. Ada apa dengan Mas Halid? “Kamu lama banget,” jawabnya singkat. “Mas kenapa mukanya pucet gitu?” Mas Halid hanya menggeleng. Dasar, ditanya malah hanya menggeleng “Mana senternya, Mas, coba cari saklarnya di dekat pintu.” Pria di depanku itu menyerahkan senter yang sedari tadi dia pegang. Namun anehnya, benda sumber cahaya itu tidak dihidupkan. Padahal dari belakang rumah sampai ke sini keadaanya gelap. Terlebih aku sedang mencari tombol lampu. Aku yang msih keheranan melihat tingkah suamiku itu langsung mengambil senter dari tangannya. Pria itu bergeming, tak berinisiatif membantu mencari saklar, padahal aku sudah sesah bernapas dalam kegelapan. Aku cari di dekat meja televisi, feeling-ku di sana, karena aku lihat tadi sebelum gelap, ada stop kontak untuk menyalakan TV. Aku arahkan cahaya senter ke tempat itu, dan ternyata benar, di sanalah saklar lampu yang kucari. Aku begegas menekan tombol itu. Namun saat kakiku mendekati meja TV, tak sengaja ada benda yang tersenggol olehku. Seperti kaki manusia. Buru-buru aku tekan tombol itu dan lampu pun nyala seketika. Alhamdulillah akhir nya nyala” pekik Mas Halid terdengar kecil, karena tersamar dengan bunyi genset. Aku lntas berbalik badan, mencari suamiku yang tadi masih berdiri tak bergerak di depan pintu kamar. “Lho, kok Mas Halid nggak ada. Secepat itukah dia keluar rumah?” gumamku. “Dek, nyala?” teriaknya. “Iya, Mas, alhamdulillah.” Aku masih penasaran dengan benda yang aku senggol tadi, tetapi di bawah kakiku tidak ada apa-apa, hanya lantai yang sedikit berdebu karena belum sempat aku bersihkan. Aku beralih ke rumah tamu, menghidupkan lampu di sana dan lampu teras. Alhamdulillah masih berfungsi semua. Tak berapa lama, Mas Halid pun muncul. Wajahnya penuh keringat. “Lho, senternya kamu bawa toh, Dek? Pantesan tak cari-cari nggak ada.” “Kan tadi Mas yang ke sini, nyusulin aku, bawa senter ini.” “Ah nggak kok, aku dari tadi di ruangan genset, belum ada masuk rumah. Baru inilah,” kilahnya. “Jadi siapa yang tadi ke sini,” gumamku. “Ah sudahlah, aku mau periksa kamar mandi, Mas. Kamu coba periksa kamar itu, lampunya mungkin yang putus.” “Iya, Dek, Mas juga udah gerah, pengen mandi terus shalat, terus tidur, udah capek banget. Besok pagi-pagi ada pekerja yang mau bersihkan lahan.” “Iya, Mas.” Aku lantas ke kamar mandi belakang, yang berada di dekat dapur. memeriksa kran air. Ternyata airnya mati. Aku pun beranjak ke dapur, kulihat di samping kulkas, ada beberapa stop kontak, ku coba satu per satu. Siapa thu salah satunya ada colokan untuk menghidupkan air. Ketika mencoba colokan ke tiga. Benar saja, ketika kucolokan, lampu sedikit berkedip, dan terdengar msin air di bawah meja kompor berbunyi. "Alhamdulillah, bisa mandi," gumamku. Tak berapa lama, air di kamar mandi mengucur dengan deras. Aku pun membersihkan kamar mandi seadanya, karena sikat pembersih kamar mandi ternyata patah. "Mas, mandilah dulu." Aku susul Mas Halid di kamar. Pria itu sedang menukar lampu bohlam. Sepertinya dia ambil dari ruang tamu. Karena lampu di sana mati. "Kayaknya saklar yang bermasalah, Dek. Besok aja ya benerinnya. Nanti pintunya nggak usah ditutup, biar ada cahaya dari ruang tengah." "Iya, Mas, yang penting kita bisa istirahat dulu." Aku pindai sekeliling kamar, ternyata di ruangan besar ini ada ruangan kecil yang memungkinkan itu kamar mandi. Aku periksa ruangan itu, dan ternyata benar, ada kamar mandi di dalam kamar ini. Lampunya pun menyala walaupun hanya remang. Syukurlah, jadi kalau kebelet, tidak perlu ke belakang. "Mas kamu mandi di belakang dulu ya. Kamar mandi sini biar kubersihkan dulu." "Iya, Dek, mana handuknya?" "Di tas cokelat itu, Mas, sabun, sampo juga ada di sana, di kantung kecil sampingnya." Pria itu berlalu setelah menemukan apa yang dia cari. Setelah mandi kami pun shalat berjamaah di ruang tengah. Setelah itu kami pun beranjak ke peraduan. Rasanya badan ini sudah tidak mampu lagi melakukan aktivitas lain kecuali tidur. "Mas, gensetnya nggak dimatikan?" "Besok aja, Dek, kita nggak ada penerangan lain soalnya." "Iya, Mas." Malam semakin sunyi, hanya terdengar deru suara mesin genset yang tak begitu kuat. Perlahan mata ini terpejam dengan lelap. ** "Yaa-Siiin." "Wal-Qur-aanil-Hakiim." Sayup aku dengar orang sedang membaca surat Yasin, dan diiringi dengan isak tangis. Seperti sedang ada kematian. Sontak aku pun bangun bngun dari tidur. "Mas, Mas bangun, kayaknya udah Subuh." "Hemmm." Mas Halid hanya menggeliat. Aku pun turun dari ranjang dan berjalan mengendap-endap menuju pintu. Aku intip dari dalam kamar keadaan ruangan tengah. Sontak kakiku seperti tak bertulang. Di ruang tengah itu ada beberapa orang berbaju hitam sedang duduk di depannya ada mayat yang tertutup kain jarik. Tak hanya satu, tapi ada tiga mayat sekaligus. "Astaghfirullah, mayat si–sipa itu?" ***"Eh Dek, ngapain kamu tidur di situ?” Guncangan tangan Mas Halid membuatku terjaga.Mataku mengerjap. Suara adzan dari desa terdengar sayup. Kuurut kepalaku yang berdenyut. Aku mencoba mengingat apa yang terjadi semalam, hingga bisa tidur di depan pintu.“Dek, kok malah bengong, kamu tidur sambil jalan? Perasaan nggak pernah kamu tidur sambil jalan.”“A–anu, Mas, semalam aku kebangun, terus dengan ada suara orang baca Yasin, aku bangunin kamu, tapi kamu nggak bangun, bangun. Terus aku turun dari ran—”Belum aku selesai cerita, tiba-tiba suara genset di samping rumah tersendat-sendat. Lampu di ruang tengah pun berkedip-kedip.“Kayaknya habis bahan bakar, Dek, mas matikan dulu ya. Senternya ada di dekat tas.”“Iya, Mas.” Sebelum lampu benar-benar mati, aku perhatikan ruangan tengah ini. Kosong, tidak ada apa pun di sini, hanya ada sofa, lemari hias, meja TV dan ada karpet yang digulung dan disandarkan di sudut ruangan.Tak berapa lama, lampu benar-benar mati. Hanya kegelapan tersisa di
Sepanjang jalan aku terus memikirkan perkataan Bu RT. Memang siapa pun akan berdiam diri di rumah ketika Magrib menjelang. Namun gestur tubuh Bu RT seperti menunjukkan sesuatu yang tidak biasa. Seperti ada yang sembunyikan oleh beliau. Ah mungkin itu hanya perasaanku saja. Kan memang kalau Magrib-magrib tidak boleh keluar rumah.Sampai di rumah aku lihat di sekitaran pagar dan halaman sudah bersih dijabat oleh mereka. Jadi nanti aku tinggal mengumpulkan sampah-sampahnya saja. Rumah bercat putih itu semakin terlihat kemewahannya. Taman yang ada di samping kiri rumah pun sudah bersih. Tampak kolam ikan yang kemarin tertutup rumput, tak luput dibersihkan oleh para pekerja.Nati tinggal ada dan mas Halid mengaturnya saja, dipasang lampu taman, agar suasana rumah ini tidak lagi terlihat sanggup.Sebelum masuk ke dalam rumah tadi, aku lihat para pekerja sudah istirahat untuk melepas dahaga. Aku pun langsung memberikan jajan pasar kepada mereka langsung dari plastik. Karena aku belum sempat
Aku berlari turun dari lantai dua tanpa mengunci kembali pintu kamar yang terakhir aku masuki. Penampakan tali seperti potongan kain kafan bernoda darah itu sukses membuat tubuhku bergetar hebat.Sampai di bawah, aku langsung keluar dari rumah, duduk di teras sambil memeluk lutut. Menunggu Mas Halid yang tak kunjung pulang. Ke mana sebenarnya suamiku itu. Kenapa selama ini kalau hanya melihat batas perkebunan?Ingin rasanya aku menyerah tinggal di sini, baru sehari saja aku sudah diteror dengan hal-hal janggal di rumah ini; bayangan hitam di dalam kamar, pria yang menyerupai Mas Halid, sosok benda seperti mayat yang terbaring di ruang tengah dan ini terakhir tali bernoda darah, seperti bekas digunakan untuk menyiksa seseorang di dalam kamar itu.Apa penghuni rumah ini dulu memiliki kelainan s3ksual menyimpang yang mengharuskan pasangannya ditali di atas ranjang? Atau apa? "Astaghfirullah hal adzim." Buru-buru aku beristighfar untuk menetralkan degup jantung yang tak kunjung reda.Ha
“Ssst … ada Mbak Miska.” Para Bapak-Bapak itu saling sikut. Mereka langsung diam begitu melihatku datang. Sepertinya mereka memang sedang membicarakan rumah besar itu. Apa yang mereka katakan tentang ibu dan anak yang meninggal serempak itu pemilik rumah ini ya? Aku tersenyum, sembari meletakkan teko berisi cairan hitam yang sudah kucampur dengan pemanis serta cemilan roti kering. Untuk besok, rencananya aku akan membuat gorengan saja. Karena memang sudah membeli stok dan kusimpan di kulkas.“Silahkan kopinya, Bapak-Bapak.”“Wah, kok repot-repot, Mbak Miska, kami sudah mau pulang,” kata seorang Bapak yang sedari tadi suka melucu dan banyak omong.“Nggak apa-apa, Pak, cuma kopi, untuk melepas dahaga.”“Sekali lagi terima kasih, Mbak,” ujar yang lainnya.“Sama-sama, Pak. Saya permisi dulu.”“Iya, Mbak.”Aku lantas kembali masuk ke rumah. Di samping kanan dekat garasi, Mas Halid sedang membersihkan bekas rumput-rumput yang belum sempat aku bersihkan. Kolam ikan tadi juga dibersihkan
Mas Halid masih berkurang di dalam selimut. Badannya bergetar tak karuan. Aku lihat Pintu kamar yang tadi dibanting oleh suamiku itu perlahan terbuka dengan sendirinya. Semakin lama terbuka sempurna.Tak lama setelah itu terlihat sosok bayangan seseorang mendekat. Aku ikut masuk ke dalam selimut. Namun aku masih penasaran apa yang akan terjadi di ambang pintu sana."Mas, ada orang menuju ke sini," bisikanku."Bukannya tadi pintu udah aku kunci?""Itu terbuka sendiri."Mas Halid membuka selimutnya. Lalu mengeluarkan kepalanya. "Yaa Allah, itu kayaknya orang yang mas lihat di ruang tengah tadi.""Yaa Allah, Mas, terus gimana kita ini, Mas?"Perlahan bayang itu semakin terlihat jelas dan pekat. Sorot lampu dari ruang tengah membuat bayangan itu terlihat jelas. Seorang laki-laki berbadan tinggi dan membawa sesuatu di tangannya. Namun aku tak begitu jelas, benda apa yang dia bawa.Air mataku mulai mengucur deras. Tangan Mas Halid merengkuhku ke dalam pelukannya. Aku tahu dia juga ketakutan
Mas Halid mencomot bakwan yang tadi aku goreng, lalu perlahan dimasukkannya ke dalam mulut, tak lupa ia menggigit cabe rawit sebagai pelengkap."Dek, kenapa?" Diletakkan kembali gorengan itu di atas piring. "Kenapa mendadak murung begitu?""Mas, kita batalkan saja kerja di sini, mumpung masih dua hari. Aku ….”“Kenapa, Dek? Justru baru dua hari itu, kita belum tahu kan keadaan di sini, Nanti kita tanya-tanya sama Pak RT. Kita juga udah nerima gaji di awal. Gimana kita mau mengembalikannya, Dek. Sedangkan uangnya udah untuk bayar angsuran. Kalau mau mundur, mau cari kerja di mana lagi, di tempat yang lama kan udah keluar, terus gajinya juga nggak cukup untuk bayar angsuran. Yang ada kita nanti justru tambah utang lagi. Bertahan dulu ya. Nanti kan kalau udah beroperasi normal, kamu ada temannya, banyak pekerja juga yang antar buah sawit ke sini.”“Tapi, Mas. Aku rasa Mas juga udah ngerasain sendiri kejanggalan di rumah ini.”Mas Halid tersenyum. “Kita itu makhluk yang paling sempurna ya
Tiga mayat yang terbujur di ruang tengah, kamar yang ada seutas tali bernoda darah yang mengering dan juga pecut yang kutemukan serta seorang pria yang sedang mencambuk seseorang di ruang tengah sepertinya mengandung teka-teki yang saling berkaitan, tetapi apa? Dan siapa mereka?Aku lempar pecut itu keluar kamar melaui jendela. Aku bergidik membayangkan kata Mas Halid melihat seseorang dicambuk di ruang tengah. Apalagi jika memang benar pecut yang dimaksud adalah benda yang aku buang barusan.“Dek, ngapain? Ayo siap-siap!”“Mas, bentar, ayo ikut aku bentar.” Kutarik tangan Mas Halid keluar dari kamar menuju bawah jendela.“Apa itu, Dek?” Mas Halid kebingungan.“Mas, pecut ini kemarin aku temukan di dekat kolam, terus aku masukan ke plastik sampah, terus Mas bakar kan di samping pagar?”Mas Halid lantas mengambil benda yang tadi aku lempar dari dalam kamar. Dia mengamati dengan seksama.“Iya, kemarin mas sempat lihat tangkainya ini terbakar, kok ada lagi ya, Dek?” “Semalam Mas beneran
Nenek yang duduk di sampingku itu terus saja berbicara denganku. Matanya tajam terus saja menyorotiku. Sementara aku yang tidak tahu apa yang dia bicarakan hanya mengangguk sambil tersenyum.Yang aku ingat dia selalu mengulang kata-kata "Ati-ati, Nduk tembang kae iso ngelilakno." Namun aku tidak tahu apa artinya. Sepertinya dia menggunakan bahasa Jawa. "Dek, udah lama nunggu, maaf ya. Tadi mas langsung nungguin petugasnya nyiapin KWH. Soalnya mas desak hari ini pemasangannya." Tiba-tiba Mas Halid sudah berada di belakangku. Pria itu memarkirkan motornya tepat di samping belanjaanku."Eh, Mas, udah setengah jam, ini ditemani sama Nenek ini."Mas Halid mengangguk sopan pada Nenek itu. Lalu kami pun pamit untuk pulang.Aku naikkan barang belanjaan ke atas motor satu per satu. Aku pun naik ke boncengan belakang motor setelah menyapa nenek itu lagi."Ojo ngasi awakmu ngerukake tembang kae suwe-suwe, Nduk." (Jangan sampai kamu mendengarkan lagu itu lama-lama, Nduk?).Lagi-lagi Nenek itu be
“Paling tiga hari lagi selasai, Pak, tapi nanti ada yang mau terus ikut kerja di sini ada juga yang rombogan Pak Dayat itu nggak lanjut. Karena memang pekerjaan mereka borongan khusus membersikan lahan punya orang. Begitu, Pak.”“Oh begitu, nanti saya minta catatan siapa saja yang mau lanjut kerja dan siapa yang berhenti.”“Baik, Pak Halid, nanti saya akan data. Kalau misalnya ada yang mau ikut lagi, apa masih bisa?”“Masih Pak, justru saya mau minta bantuan Bapak jika ada warga lain yang mau kerja. Soalnya saya masih butuh banyak orang untuk manen dan pekerjaan lainnya. Sopir juga saya butuh sekitar empat orang, Pak.”“Baik, baik, Pak Halid, nanti saya samaikan sama teman-teman yang bisa nyopir.”“Kamu itu Jok, gimana sih, ini lho, kenapa malah pakai yang ini. Pak Halid tadi kan suruh yang itu.”Dari dapur terdengar Pak Didik dan Joko bergaduh, entah apa yang diperdebatkan mereka berdua. Hingga suara mereka terdengar sampai di ruang tamu.“Bentar ya, Pak Halid, saya lihat mereka ber
“Mayat? Di mana ada mayat Jok?” tanya yang lainnya.Banyak mata memandang aneh ke arahku. Apa mereka mengira aku menyembunyikan mayat? Atau apa mereka mengira aku membunuh seseorang dan menyimpan mayatnya disimpan di dalam rumah? Kenapa pandangan mereka seolah aku melakukan sesuatu? Atau hanya perasaanku saja.“Di ruang tengah, Pak, di depan TV, tadi pas aku masuk ke dapur, ada apa-apa di sana, tapi saat aku keluar bawa air minum, aku lihat ada mayat terbujur di depan TV, ditutup kain jarik,” terang Joko dengan suara bergetar. Sepertinya dia sangat syok dengan apa dia lihat.Ternyata tak hanya aku dan Miska yang mendapatkan teror. Bahkan Joko saja yang hanya lewat di ruang tengah harus melihat penampakan yang mengerikan. “Ah masa? Ayo coba lihat Jok!” Pak Didik terlihat tidak percaya dengan penuturan Joko.Joko menggeleng cepat. “Nggak mau, Pak, ngeri.” Joko menolak. Beberapa orang yang penasaran langsung menyeruak masuk ke dalam rumah. sementara itu, Joko diberi minum oleh rekan ke
Aku menatap kepergian dua karyawan Toko Anugrah Makmur dengan perasaan kesal. Belum juga aku mendapatkan informasi yang lengkap mengenai rumah ini, tetapi mereka harus buru-buru pergi karena pekerjaan.Aku periksa kembali barang-barang yang tadi aku beli di gudang penyimpanan. Semuanya lengkap, takada yang tertinggal maupun tercecer. Pasalnya tadi aku lihat, tali yang mengikat barang-barang itu sedikit kendur.Aku tutup kembali, lalu aku kunci pintu gudang, setelah semuanya aman. Aku lantas beranjak menuju rumah untuk beristirahat sejenak sebelum beraktivitas memeriksa pekerjaan para pekerja di bagian utara.Aku duduk di teras sambil menikmati semilirnya angin menjelang siang ini, aku memeriksa ponsel yang sedari tadi menjerit-jerit di dalam tas kecilku. Ada nama “My Wife” di layar ponsel pintarku. “Ya, Dek,” jawabku.“Mas, aku ….”Suara Miska terjeda, entah apa yang hendak dia katakan, padahal dari notifikasi di jendela ponsel, banyak panggilan tak terjawab dari wanitaku itu. Seper
Mreneo, Le!” (Kesini, Le) Nenek itu melambaikan tangan, seperti isyarat untuk mengikutinya.Aku pun menurut, mengikuti nenek itu duduk di teras ruko, tempat Miska dan dirinya berbincang kemarin.“Ketemu, Mas?” tanya tukang parkir tadi.“Iya, Mas. Oh iya, Masnya bisa bahasa Jawa nggak ya? Kalau bisa bantuin saya artikan kata-kata Nenek, soalnya saya nggak paham, tapi saya butuh informasi dari beliau.”“Wah jelas bisa, Mas, walaupun saya bukan orang Jawa, tapi lingkungan tempat tinggal saya orang Jawa semua.”“Wah, bagus itu, tolongin saya, ya. daripada saya buka googl3 translate.”“Boleh, Mas. dengan senang hati.” tukang parkir itu tersenyum.Kami pun duduk di teras bertiga, Nenek itu membuka dagangannya terlebih dahulu.“Kawanen aku, Le.”“Apa dia bilang, Mas?”“katanya kesingangan, Mas.”“Oh, memangnya Nenek tinggal di mana?”“Manggon neng omah gedongan kae kudu kuat. Tembang iku, biso ngelilakno sopo wae sing ngrungokne, opo meneh cah wedok, iso digowo karo Nyai, dadi budak e Nyai.
Aku masih mencerna kata-kata yang dilontarkan tukang parkir itu. Apa benar nenek itu stress? Tapi jika dilihat dari penampilannya, terawat, tidak seperti orang dalam gangguan jiwa lainnya. Bagaimana dengan peristiwa kebakaran pasar? Apa itu hanya kebetulan?“Kalau begitu saya ke toko pertanian dulu, Mas, nanti ke sini lagi. Siapa tahu neneknya sudah datang.”“Memangnya sangat penting ya, Mas?” tanya tukang parkir itu ingin tahu.“Ya begitulah, saya permisi, Mas.” Aku ulurkan uang receh untuk membayar parkir. Tukang parkir itu lantas mengambilnya seraya mengucapkan terima kasih.Aku pun menarik tuas gas menuju toko alat pertanian yang berada tak jauh dari Pasar Pal Tiga. Banyak sekali alat perkebunan yang harus aku beli, diantaranya; fiber untuk memanen sawit, alat semprot, pupuk dan juga pestisida untuk membunuh gulma.Semua barang-barang itu aku beli dalam jumlah banyak, yang nantinya akan digunakan para pekerja untuk merawat dan memanen sawit. Sebelum aku membeli, aku kirim terleb
“Astaghfirullah hal adzim, wajah wanita itu sama persis dengan wajah mayat yang tadi kulihat di ruang tengah, bahkan gaya sanggulnya dan gaya berpakaiannya pun sama.Sebenarnya apa yang terjadi di rumah ini? Apa kejadian yang aku lihat dan alami, mempunyai hubungan satu sama lain? Pria yang aku lihat di kamar ini? wanita yang dicambuk? Mayat wanita itu?“Arrrggg …,” Kepalaku rasanya mau pecah memikirkan yang terjadi di rumah ini.“Ati-ati, Nduk tembang kae iso ngelilakno." Tiba-tiba aku teringat perkataan Nenek-nenek yang ada di Pasar Pal Tiga, kira-kira apa arti omongannya kemarin ya? Kenapa doa selalu menyebut kata tembang.Aku segera membuka googl3 translate lalu kumasukkan kata-kata yang nenek itu. Muncullah satu kalimat yang membuatku tercengang “Hati-hati, Nduk. Lagu itu bisa membuatmu pusing/hilang kesadaran.” Begitulah yang kudapat dari translate di aplikasi.Jantungku terasa berhenti sejenak, apa yang nenek itu maksud, tembang yang dinyanyikan Miska tempo hari, sehingga d
Aku masih mematung memandangi jenazah dengan wajah hancur tersebut dengan badan gemetaran. Ingin rasanya segera berlari keluar rumah, tetapi kaki ini seperti terpatri di lantai. Tidak bisa digerakan sama sekali.Mataku pun seolah enggan sekali digerakkan untuk memandang hal lain. Masih terpaku menatap wanita itu,Perlahan mayat itu bergerak dengan sendirinya. Sia pun bangkit dan duduk layaknya manusia. Lantas dia menoleh ke arahku dengan gerakan kaku.“Astaghfirullah hal adzim.” Aku terkejut setengah mati. Mata mayat itu berkedip-kedip, tetapi sepertinya dia kesusahan menggerakkan bola matanya. Kemudian, wanita itu menyunggingkan senyuman“Kamu bawa kemana calon perewanganku, Le?” Matanya menyorortku tajam.“Perewangan?" Aku tak mengerti apa yang dia katakan. Perewangan apa? Siapa yang dia maksud? Seandainya bisa memilih, lebih baik aku pingsan saja.Mayat hidup itu perlahan menggerakkan bibirnya kembali. Namun bukan berbicara, melainkan bersenandung lagu Jawa."Astaghfirullah hal
Tidak ada cita-citaku sebelumnya harus tinggal di rumah mewah penuh misteri yang berada di tengah-tengah perkebunan sawit tempatku bekerja saat ini.Saat aku dan Miska pertama kali tiba di depan rumah itu, aku sudah merasakan hawa tak enak. Rumah nan megah menjulang tinggi itu terbengkalai selama sepuluh tahun lamanya. Entah karena sebab apa pemilik sebelumnya membiarkan rumah itu tak berpenghuni, padahal semua fasilitas di rumah ini pun lengkap.Kami tiba saat matahari sudah tergelincir, hanya menyisakan semburat jingga di ufuk barat, karena perjalanan yang sangat melelahkan.Ketika aku masuk, hawa dingin begitu terasa, terlebih ketika memasuki ruang tengah. Auranya seperti berbeda dengan ruangan-ruangan lainnya.Aku coba menyalakan lampu, tetapi sepertinya listrik di rumah ini sudah diputus oleh PLN. Aku pun keliling rumah, biasanya rumah besar seperti ini, apalagi di tengah-tengah perkebunan yang jauh dari tetangga, menyediakan genset untuk jaga-jaga ketika mati lampu.Aku keliling
Nanti hari Sabtu mas antar ya, kan hari Ahad mas libur, kita adakan dulu pengajian di sini hari Jum'at nanti.""Beneran Mas?" Aku berbalik badan"Iya. Sekarang sarapan ya, ini mas masakin telur ceplok setengah matang. Soalnya cuma ini yang mas bisa masak.""Makasih ya, Mas."Mas Halid pun menyuapiku nasi dengan lauk andalannya. Sesekali dia pun itu menyantap hasil kreasinya pagi ini."Jadi pengajiannya pakai nasi apa kue aja, Mas?""Oh iya mas lupa bilang sama kamu. Biasanya kalau di sini cuma di kasih nasi kotak, Dek. Jadi begitu selesai acara, bagi nasi kotak, langsung pada pulang. Kalau di tempat kita kan habis acara, makan cemilan dulu, baru pulang dikasih nasi kotak, kan?""Iya, Mas. Ya udah nanti aku ke rumah Bu RT nanyain apa aja isi nasi kotaknya.""Nanti mas antar, Dek, sekalian mas tamya berapa jumlah warga yg ikut pengajian Bapak-Bapaknya."Iya, Mas." Akhirnya, nasi telur ceplok tadi kami habiskan berdua.Sebenarnya aku lapar, karena sudah terbiasa pagi-pagi sudah sarapan