Share

Bab 5

Author: Miola Xaveria
last update Last Updated: 2024-11-27 19:12:57

Sepanjang jalan aku terus memikirkan perkataan Bu RT. Memang siapa pun akan berdiam diri di rumah ketika Magrib menjelang. Namun gestur tubuh Bu RT seperti menunjukkan sesuatu yang tidak biasa. Seperti ada yang sembunyikan oleh beliau. Ah mungkin itu hanya perasaanku saja. Kan memang kalau Magrib-magrib tidak boleh keluar rumah.

Sampai di rumah aku lihat di sekitaran pagar dan halaman sudah bersih dijabat oleh mereka. Jadi nanti aku tinggal mengumpulkan sampah-sampahnya saja. Rumah bercat putih itu semakin terlihat kemewahannya.

Taman yang ada di samping kiri rumah pun sudah bersih. Tampak kolam ikan yang kemarin tertutup rumput, tak luput dibersihkan oleh para pekerja.

Nati tinggal ada dan mas Halid mengaturnya saja, dipasang lampu taman, agar suasana rumah ini tidak lagi terlihat sanggup.

Sebelum masuk ke dalam rumah tadi, aku lihat para pekerja sudah istirahat untuk melepas dahaga. Aku pun langsung memberikan jajan pasar kepada mereka langsung dari plastik. Karena aku belum sempat membersihkan perabotan yang ada di dapur.

Es batu yang kubeli tadi aku seduh bersama minuman saset rasa buat di teko besar lalu aku berikan kepada Bapak-Bapak yang bekerja.

Semntara itu aku belum melihat Mas Halid dan Mas Budi yang tadi pamit untuk melihat perbatasan perkebunan.

Setelah memberikan jajanan, aku kembali ke rumah untuk membersihkan dapur. Namun sebelumnya aku bersihkan kulkas terlebih dahulu. Semalam aku colokan ke listrik dan masih berfungsi.

Jika melihat rumah ini beserta isinya, benar-benar sayang harus ditelantarkan begitu saja. Namun mungkin ada alasan tersendiri sampai rumah ini tidak terurus lagi, tapi apa? Apa ini ada hubungannya dengan hal-hal janggal yang aku lihat semalam. Mungkin saja aku semalam hanya mimpi.

Aku akan tetap berpikir positif paling tidak untuk tiga tahun ke depan. Kalau aku dan Mas Haid tidak terjebak hutang dan satu-satunya sertipikat kebun kami digadaikan, mungkin kami tidak akan terdampar di tengah-tengah perkebunan yang sangat jauh dari tempat tinggalku dulu.

Perjalan dari kota ke tempat terpencil ini pun memakan waktu delapan jam kurang lebih, karena berbeda provinsi.

Beberapa waktu yang lalu kami mendapatkan musibah. Mas Halid ditipu oleh rekan kerjanya sendiri. Entah bagaimana ceritanya Mas Halid harus mengembalikan uang sebesar 70 juta dalam waktu dua bulan saja.

Terpaksa kami gadaikan sertifikat tanah untuk membayar uang tersebut. Masalah selesai, tetapi timbul masalah baru. Angsuran sebesar dua juta perbulan harus dibayar selama tiga tahun. Sedangkan Mas Halid harus mundur dari pekerjaanya karena masalah dengan rekannya tersebut.

Di tengah-tengah kekalutan itu, Pak Hamdan–sahabat ayah Mas Halid menawarkan pekerjaan di tempat ini dengan gaji lima juta perbulan belum termasuk bonus penjualan kelapa sawit nantinya.

Tanpa pikir panjang lagi, kami langsung menerima tawaran itu. Tak apa tinggal di tengah kebun, asalkan hutang bisa terbayar, pikir kami waktu itu.

Aku sendiri tidak masalah tinggal di sini, untuk meminimalisir biaya hidup. Toh rumah ini sangat layak huni, meskipun sudah terbengkalai sepuluh tahun lamanya.

Selesai membersihkan dapur, aku langsung menyapu halaman dan mengumpulkan rumput hasil tebasan di luar pagar.

“Mbak, kami pulang dulu, nanti selepas dzuhur kami kembali lagi ke sini. Tadi juga sudah bilang sama Pak Halid. Soalnya kami nggak bawa bekal untuk makan siang,” kata salah seorang pekerja meminta izin.

Aku rogoh kantung celana untuk melihat jam, ternyata memang sudah jam dua belas, saatnya untuk istirahat.

“Oh iya, Pak.”

Mereka pun meletakkan alat pemotong rumput itu di halaman rumah dekat taman. Kemudian satu per satu mereka pulang, meninggalkanku seorang diri di rumah besar ini.

Aku buru-buru masuk dan mengunci pagar. Tengkukku meremang ketika tiba-tiba suasana berubah menjadi hening. karena sebentar adzan Dzuhur berkumandang, aku memutuskan untuk menunda pekerjaan sampai para pekerja itu datang kembali, atau setidaknya menunggu Mas Halid pulang.

Aku kunci semua pintu, termasuk pintu belakang. Sebelum mandi aku bersih-bersih ruangan lain yang kemarin belum terjamah olehku. Karena saking besarnya rumah ini, aku tidak mampu membersihkan dalam waktu singkat.

Saking sibuknya membersihkan dapur dan halaman, aku baru sadar belum melihat isi lantai dua, ada apa di sana. Mungkin saja dia atas letak kamar anak-anak yang dulu menempati rumah.

Satu demi satu anak tangga menuju lantai dua kutapaki. Sembari kusapu satu persatu. Tidak banyak debu yang mengotori tangga ini.

Sampai di anak tangga terakhir, aku bisa melihat keadaan di lantai dua. Di sana ada lorong memajang, yang kanan kiri terdapat dua kamar. Di sisi sebelah kiri tangga asa satu kamar besar. Sementara di ujung lorong sepertinya pintu menuju ke balkon.

Aku yang semakin penasaran dengan isi setiap kamar tersebut, kemudian melangkahkan kaki menuju kamar. Tak lupa satu renteng kunci, aku keluarkan dari dalam saku dan mulai membuka kamar utama yang terlihat besar. terbuka, tampaklah perabotan yang yang masih lengkap dan mewah. bahan ada satu lemari khusus untuk sepatu dan tas branded.

Aku menutup kamar pintu lalu menguncinya kembali. Aku tak berani memegang benda-benda bermerk itu, walaupun Pak Hamdan sudah bilang apa pun yang ada di rumah ini boleh kugunakan.

Aku lantas bergerak memasuki kamar-kamar lainnya, setelah kuperiksa kamar itu hanya kamar biasa, seperti kamar pada umumnya. Kemudian aku memasuki kamar ketika sisi kanan.

Ketika pintu dibuka, bau apek langsung menyambutku. Terlihat dari luar ada ranjang besi berukuran sedang di dalam sana, yang membuat aku penasaran di kepala ranjang, ada dua tali menggantung dan masih dalam keadaan terikat di dalam sana.

Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi. “Kain apa ini?” Aku perhatikan tali itu seperti sobekan kain berwarna putih yang sudah berubah warna.

Aku amati kembali tali itu dengan seksama, di kain itu seperti ada noda darah yang sudah berubah menjadi kehitaman.

“ Astaghfirullah hal adzim, ini kain pa? Kenapa ada noda darah? Tempat apa ini?”

Aku bergidik membayangkan bayangan ada orang disiksa di atas ranjang itu.

***

Related chapters

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    bab 6

    Aku berlari turun dari lantai dua tanpa mengunci kembali pintu kamar yang terakhir aku masuki. Penampakan tali seperti potongan kain kafan bernoda darah itu sukses membuat tubuhku bergetar hebat.Sampai di bawah, aku langsung keluar dari rumah, duduk di teras sambil memeluk lutut. Menunggu Mas Halid yang tak kunjung pulang. Ke mana sebenarnya suamiku itu. Kenapa selama ini kalau hanya melihat batas perkebunan?Ingin rasanya aku menyerah tinggal di sini, baru sehari saja aku sudah diteror dengan hal-hal janggal di rumah ini; bayangan hitam di dalam kamar, pria yang menyerupai Mas Halid, sosok benda seperti mayat yang terbaring di ruang tengah dan ini terakhir tali bernoda darah, seperti bekas digunakan untuk menyiksa seseorang di dalam kamar itu.Apa penghuni rumah ini dulu memiliki kelainan s3ksual menyimpang yang mengharuskan pasangannya ditali di atas ranjang? Atau apa? "Astaghfirullah hal adzim." Buru-buru aku beristighfar untuk menetralkan degup jantung yang tak kunjung reda.Ha

    Last Updated : 2024-11-27
  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 7

    “Ssst … ada Mbak Miska.” Para Bapak-Bapak itu saling sikut. Mereka langsung diam begitu melihatku datang. Sepertinya mereka memang sedang membicarakan rumah besar itu. Apa yang mereka katakan tentang ibu dan anak yang meninggal serempak itu pemilik rumah ini ya? Aku tersenyum, sembari meletakkan teko berisi cairan hitam yang sudah kucampur dengan pemanis serta cemilan roti kering. Untuk besok, rencananya aku akan membuat gorengan saja. Karena memang sudah membeli stok dan kusimpan di kulkas.“Silahkan kopinya, Bapak-Bapak.”“Wah, kok repot-repot, Mbak Miska, kami sudah mau pulang,” kata seorang Bapak yang sedari tadi suka melucu dan banyak omong.“Nggak apa-apa, Pak, cuma kopi, untuk melepas dahaga.”“Sekali lagi terima kasih, Mbak,” ujar yang lainnya.“Sama-sama, Pak. Saya permisi dulu.”“Iya, Mbak.”Aku lantas kembali masuk ke rumah. Di samping kanan dekat garasi, Mas Halid sedang membersihkan bekas rumput-rumput yang belum sempat aku bersihkan. Kolam ikan tadi juga dibersihkan

    Last Updated : 2024-12-03
  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 8

    Mas Halid masih berkurang di dalam selimut. Badannya bergetar tak karuan. Aku lihat Pintu kamar yang tadi dibanting oleh suamiku itu perlahan terbuka dengan sendirinya. Semakin lama terbuka sempurna.Tak lama setelah itu terlihat sosok bayangan seseorang mendekat. Aku ikut masuk ke dalam selimut. Namun aku masih penasaran apa yang akan terjadi di ambang pintu sana."Mas, ada orang menuju ke sini," bisikanku."Bukannya tadi pintu udah aku kunci?""Itu terbuka sendiri."Mas Halid membuka selimutnya. Lalu mengeluarkan kepalanya. "Yaa Allah, itu kayaknya orang yang mas lihat di ruang tengah tadi.""Yaa Allah, Mas, terus gimana kita ini, Mas?"Perlahan bayang itu semakin terlihat jelas dan pekat. Sorot lampu dari ruang tengah membuat bayangan itu terlihat jelas. Seorang laki-laki berbadan tinggi dan membawa sesuatu di tangannya. Namun aku tak begitu jelas, benda apa yang dia bawa.Air mataku mulai mengucur deras. Tangan Mas Halid merengkuhku ke dalam pelukannya. Aku tahu dia juga ketakutan

    Last Updated : 2024-12-04
  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 9

    Mas Halid mencomot bakwan yang tadi aku goreng, lalu perlahan dimasukkannya ke dalam mulut, tak lupa ia menggigit cabe rawit sebagai pelengkap."Dek, kenapa?" Diletakkan kembali gorengan itu di atas piring. "Kenapa mendadak murung begitu?""Mas, kita batalkan saja kerja di sini, mumpung masih dua hari. Aku ….”“Kenapa, Dek? Justru baru dua hari itu, kita belum tahu kan keadaan di sini, Nanti kita tanya-tanya sama Pak RT. Kita juga udah nerima gaji di awal. Gimana kita mau mengembalikannya, Dek. Sedangkan uangnya udah untuk bayar angsuran. Kalau mau mundur, mau cari kerja di mana lagi, di tempat yang lama kan udah keluar, terus gajinya juga nggak cukup untuk bayar angsuran. Yang ada kita nanti justru tambah utang lagi. Bertahan dulu ya. Nanti kan kalau udah beroperasi normal, kamu ada temannya, banyak pekerja juga yang antar buah sawit ke sini.”“Tapi, Mas. Aku rasa Mas juga udah ngerasain sendiri kejanggalan di rumah ini.”Mas Halid tersenyum. “Kita itu makhluk yang paling sempurna ya

    Last Updated : 2024-12-05
  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 10

    Tiga mayat yang terbujur di ruang tengah, kamar yang ada seutas tali bernoda darah yang mengering dan juga pecut yang kutemukan serta seorang pria yang sedang mencambuk seseorang di ruang tengah sepertinya mengandung teka-teki yang saling berkaitan, tetapi apa? Dan siapa mereka?Aku lempar pecut itu keluar kamar melaui jendela. Aku bergidik membayangkan kata Mas Halid melihat seseorang dicambuk di ruang tengah. Apalagi jika memang benar pecut yang dimaksud adalah benda yang aku buang barusan.“Dek, ngapain? Ayo siap-siap!”“Mas, bentar, ayo ikut aku bentar.” Kutarik tangan Mas Halid keluar dari kamar menuju bawah jendela.“Apa itu, Dek?” Mas Halid kebingungan.“Mas, pecut ini kemarin aku temukan di dekat kolam, terus aku masukan ke plastik sampah, terus Mas bakar kan di samping pagar?”Mas Halid lantas mengambil benda yang tadi aku lempar dari dalam kamar. Dia mengamati dengan seksama.“Iya, kemarin mas sempat lihat tangkainya ini terbakar, kok ada lagi ya, Dek?” “Semalam Mas beneran

    Last Updated : 2024-12-06
  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 11

    Nenek yang duduk di sampingku itu terus saja berbicara denganku. Matanya tajam terus saja menyorotiku. Sementara aku yang tidak tahu apa yang dia bicarakan hanya mengangguk sambil tersenyum.Yang aku ingat dia selalu mengulang kata-kata "Ati-ati, Nduk tembang kae iso ngelilakno." Namun aku tidak tahu apa artinya. Sepertinya dia menggunakan bahasa Jawa. "Dek, udah lama nunggu, maaf ya. Tadi mas langsung nungguin petugasnya nyiapin KWH. Soalnya mas desak hari ini pemasangannya." Tiba-tiba Mas Halid sudah berada di belakangku. Pria itu memarkirkan motornya tepat di samping belanjaanku."Eh, Mas, udah setengah jam, ini ditemani sama Nenek ini."Mas Halid mengangguk sopan pada Nenek itu. Lalu kami pun pamit untuk pulang.Aku naikkan barang belanjaan ke atas motor satu per satu. Aku pun naik ke boncengan belakang motor setelah menyapa nenek itu lagi."Ojo ngasi awakmu ngerukake tembang kae suwe-suwe, Nduk." (Jangan sampai kamu mendengarkan lagu itu lama-lama, Nduk?).Lagi-lagi Nenek itu be

    Last Updated : 2024-12-07
  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 12 A

    "Astaghfirullah, Dek." Entah darimana datangnya Mas Halid. Yang kurasa dia langsung membopongku masuk ke dalam kamar. Entah dia melihat atau tidak sosok mayat hidup yang hidungnya tersumpal kapas itu.Mataku sendiri tidak mampu dikedipkan, mungkin karena terlalu syok karena melihat sosok mengerikan tadi.Mas Halid meletakkanku di atas ranjang, kemudian pria itu menutup pintu dan menguncinya, lalu pria itu kembali mendekatiku setelah menyambar botol minum yang berada di atas meja rias.“Dek sadar, kamu kenapa?” Mas Halid memberiku air putih. Namun tanganku tak mampu meraih, kaku, tak bisa digerakkan. Hanya bola mata mampu aku putar kemana-mana.Mas Halid membukakan penutup botol, lalu menyuapiku minum."A'uudzu Billaahi minasy syaithaanir rajiim, bismillahirrahmanirrahim. Ashadualla illahaillallah." Terdengar suamiku itu membaca ta'awudz lalu dilanjutkan dengan membaca syahadat dan juga shalawat Nabi. “Ayo, Dek, diminum!”Aku mengganggu dan Dengan rakus aku meneguk air putih yang ting

    Last Updated : 2024-12-08
  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 12 B

    Nanti hari Sabtu mas antar ya, kan hari Ahad mas libur, kita adakan dulu pengajian di sini hari Jum'at nanti.""Beneran Mas?" Aku berbalik badan"Iya. Sekarang sarapan ya, ini mas masakin telur ceplok setengah matang. Soalnya cuma ini yang mas bisa masak.""Makasih ya, Mas."Mas Halid pun menyuapiku nasi dengan lauk andalannya. Sesekali dia pun itu menyantap hasil kreasinya pagi ini."Jadi pengajiannya pakai nasi apa kue aja, Mas?""Oh iya mas lupa bilang sama kamu. Biasanya kalau di sini cuma di kasih nasi kotak, Dek. Jadi begitu selesai acara, bagi nasi kotak, langsung pada pulang. Kalau di tempat kita kan habis acara, makan cemilan dulu, baru pulang dikasih nasi kotak, kan?""Iya, Mas. Ya udah nanti aku ke rumah Bu RT nanyain apa aja isi nasi kotaknya.""Nanti mas antar, Dek, sekalian mas tamya berapa jumlah warga yg ikut pengajian Bapak-Bapaknya."Iya, Mas." Akhirnya, nasi telur ceplok tadi kami habiskan berdua.Sebenarnya aku lapar, karena sudah terbiasa pagi-pagi sudah sarapan

    Last Updated : 2024-12-09

Latest chapter

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 17 B

    “Paling tiga hari lagi selasai, Pak, tapi nanti ada yang mau terus ikut kerja di sini ada juga yang rombogan Pak Dayat itu nggak lanjut. Karena memang pekerjaan mereka borongan khusus membersikan lahan punya orang. Begitu, Pak.”“Oh begitu, nanti saya minta catatan siapa saja yang mau lanjut kerja dan siapa yang berhenti.”“Baik, Pak Halid, nanti saya akan data. Kalau misalnya ada yang mau ikut lagi, apa masih bisa?”“Masih Pak, justru saya mau minta bantuan Bapak jika ada warga lain yang mau kerja. Soalnya saya masih butuh banyak orang untuk manen dan pekerjaan lainnya. Sopir juga saya butuh sekitar empat orang, Pak.”“Baik, baik, Pak Halid, nanti saya samaikan sama teman-teman yang bisa nyopir.”“Kamu itu Jok, gimana sih, ini lho, kenapa malah pakai yang ini. Pak Halid tadi kan suruh yang itu.”Dari dapur terdengar Pak Didik dan Joko bergaduh, entah apa yang diperdebatkan mereka berdua. Hingga suara mereka terdengar sampai di ruang tamu.“Bentar ya, Pak Halid, saya lihat mereka ber

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 17 A

    “Mayat? Di mana ada mayat Jok?” tanya yang lainnya.Banyak mata memandang aneh ke arahku. Apa mereka mengira aku menyembunyikan mayat? Atau apa mereka mengira aku membunuh seseorang dan menyimpan mayatnya disimpan di dalam rumah? Kenapa pandangan mereka seolah aku melakukan sesuatu? Atau hanya perasaanku saja.“Di ruang tengah, Pak, di depan TV, tadi pas aku masuk ke dapur, ada apa-apa di sana, tapi saat aku keluar bawa air minum, aku lihat ada mayat terbujur di depan TV, ditutup kain jarik,” terang Joko dengan suara bergetar. Sepertinya dia sangat syok dengan apa dia lihat.Ternyata tak hanya aku dan Miska yang mendapatkan teror. Bahkan Joko saja yang hanya lewat di ruang tengah harus melihat penampakan yang mengerikan. “Ah masa? Ayo coba lihat Jok!” Pak Didik terlihat tidak percaya dengan penuturan Joko.Joko menggeleng cepat. “Nggak mau, Pak, ngeri.” Joko menolak. Beberapa orang yang penasaran langsung menyeruak masuk ke dalam rumah. sementara itu, Joko diberi minum oleh rekan ke

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 16

    Aku menatap kepergian dua karyawan Toko Anugrah Makmur dengan perasaan kesal. Belum juga aku mendapatkan informasi yang lengkap mengenai rumah ini, tetapi mereka harus buru-buru pergi karena pekerjaan.Aku periksa kembali barang-barang yang tadi aku beli di gudang penyimpanan. Semuanya lengkap, takada yang tertinggal maupun tercecer. Pasalnya tadi aku lihat, tali yang mengikat barang-barang itu sedikit kendur.Aku tutup kembali, lalu aku kunci pintu gudang, setelah semuanya aman. Aku lantas beranjak menuju rumah untuk beristirahat sejenak sebelum beraktivitas memeriksa pekerjaan para pekerja di bagian utara.Aku duduk di teras sambil menikmati semilirnya angin menjelang siang ini, aku memeriksa ponsel yang sedari tadi menjerit-jerit di dalam tas kecilku. Ada nama “My Wife” di layar ponsel pintarku. “Ya, Dek,” jawabku.“Mas, aku ….”Suara Miska terjeda, entah apa yang hendak dia katakan, padahal dari notifikasi di jendela ponsel, banyak panggilan tak terjawab dari wanitaku itu. Seper

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 15 B

    Mreneo, Le!” (Kesini, Le) Nenek itu melambaikan tangan, seperti isyarat untuk mengikutinya.Aku pun menurut, mengikuti nenek itu duduk di teras ruko, tempat Miska dan dirinya berbincang kemarin.“Ketemu, Mas?” tanya tukang parkir tadi.“Iya, Mas. Oh iya, Masnya bisa bahasa Jawa nggak ya? Kalau bisa bantuin saya artikan kata-kata Nenek, soalnya saya nggak paham, tapi saya butuh informasi dari beliau.”“Wah jelas bisa, Mas, walaupun saya bukan orang Jawa, tapi lingkungan tempat tinggal saya orang Jawa semua.”“Wah, bagus itu, tolongin saya, ya. daripada saya buka googl3 translate.”“Boleh, Mas. dengan senang hati.” tukang parkir itu tersenyum.Kami pun duduk di teras bertiga, Nenek itu membuka dagangannya terlebih dahulu.“Kawanen aku, Le.”“Apa dia bilang, Mas?”“katanya kesingangan, Mas.”“Oh, memangnya Nenek tinggal di mana?”“Manggon neng omah gedongan kae kudu kuat. Tembang iku, biso ngelilakno sopo wae sing ngrungokne, opo meneh cah wedok, iso digowo karo Nyai, dadi budak e Nyai.

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 15A

    Aku masih mencerna kata-kata yang dilontarkan tukang parkir itu. Apa benar nenek itu stress? Tapi jika dilihat dari penampilannya, terawat, tidak seperti orang dalam gangguan jiwa lainnya. Bagaimana dengan peristiwa kebakaran pasar? Apa itu hanya kebetulan?“Kalau begitu saya ke toko pertanian dulu, Mas, nanti ke sini lagi. Siapa tahu neneknya sudah datang.”“Memangnya sangat penting ya, Mas?” tanya tukang parkir itu ingin tahu.“Ya begitulah, saya permisi, Mas.” Aku ulurkan uang receh untuk membayar parkir. Tukang parkir itu lantas mengambilnya seraya mengucapkan terima kasih.Aku pun menarik tuas gas menuju toko alat pertanian yang berada tak jauh dari Pasar Pal Tiga. Banyak sekali alat perkebunan yang harus aku beli, diantaranya; fiber untuk memanen sawit, alat semprot, pupuk dan juga pestisida untuk membunuh gulma.Semua barang-barang itu aku beli dalam jumlah banyak, yang nantinya akan digunakan para pekerja untuk merawat dan memanen sawit. Sebelum aku membeli, aku kirim terleb

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 14 B

    “Astaghfirullah hal adzim, wajah wanita itu sama persis dengan wajah mayat yang tadi kulihat di ruang tengah, bahkan gaya sanggulnya dan gaya berpakaiannya pun sama.Sebenarnya apa yang terjadi di rumah ini? Apa kejadian yang aku lihat dan alami, mempunyai hubungan satu sama lain? Pria yang aku lihat di kamar ini? wanita yang dicambuk? Mayat wanita itu?“Arrrggg …,” Kepalaku rasanya mau pecah memikirkan yang terjadi di rumah ini.“Ati-ati, Nduk tembang kae iso ngelilakno." Tiba-tiba aku teringat perkataan Nenek-nenek yang ada di Pasar Pal Tiga, kira-kira apa arti omongannya kemarin ya? Kenapa doa selalu menyebut kata tembang.Aku segera membuka googl3 translate lalu kumasukkan kata-kata yang nenek itu. Muncullah satu kalimat yang membuatku tercengang “Hati-hati, Nduk. Lagu itu bisa membuatmu pusing/hilang kesadaran.” Begitulah yang kudapat dari translate di aplikasi.Jantungku terasa berhenti sejenak, apa yang nenek itu maksud, tembang yang dinyanyikan Miska tempo hari, sehingga d

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 14 A

    Aku masih mematung memandangi jenazah dengan wajah hancur tersebut dengan badan gemetaran. Ingin rasanya segera berlari keluar rumah, tetapi kaki ini seperti terpatri di lantai. Tidak bisa digerakan sama sekali.Mataku pun seolah enggan sekali digerakkan untuk memandang hal lain. Masih terpaku menatap wanita itu,Perlahan mayat itu bergerak dengan sendirinya. Sia pun bangkit dan duduk layaknya manusia. Lantas dia menoleh ke arahku dengan gerakan kaku.“Astaghfirullah hal adzim.” Aku terkejut setengah mati. Mata mayat itu berkedip-kedip, tetapi sepertinya dia kesusahan menggerakkan bola matanya. Kemudian, wanita itu menyunggingkan senyuman“Kamu bawa kemana calon perewanganku, Le?” Matanya menyorortku tajam.“Perewangan?" Aku tak mengerti apa yang dia katakan. Perewangan apa? Siapa yang dia maksud? Seandainya bisa memilih, lebih baik aku pingsan saja.Mayat hidup itu perlahan menggerakkan bibirnya kembali. Namun bukan berbicara, melainkan bersenandung lagu Jawa."Astaghfirullah hal

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 13

    Tidak ada cita-citaku sebelumnya harus tinggal di rumah mewah penuh misteri yang berada di tengah-tengah perkebunan sawit tempatku bekerja saat ini.Saat aku dan Miska pertama kali tiba di depan rumah itu, aku sudah merasakan hawa tak enak. Rumah nan megah menjulang tinggi itu terbengkalai selama sepuluh tahun lamanya. Entah karena sebab apa pemilik sebelumnya membiarkan rumah itu tak berpenghuni, padahal semua fasilitas di rumah ini pun lengkap.Kami tiba saat matahari sudah tergelincir, hanya menyisakan semburat jingga di ufuk barat, karena perjalanan yang sangat melelahkan.Ketika aku masuk, hawa dingin begitu terasa, terlebih ketika memasuki ruang tengah. Auranya seperti berbeda dengan ruangan-ruangan lainnya.Aku coba menyalakan lampu, tetapi sepertinya listrik di rumah ini sudah diputus oleh PLN. Aku pun keliling rumah, biasanya rumah besar seperti ini, apalagi di tengah-tengah perkebunan yang jauh dari tetangga, menyediakan genset untuk jaga-jaga ketika mati lampu.Aku keliling

  • Misteri Rumah Mewah di Perkebunan Sawit    Bab 12 B

    Nanti hari Sabtu mas antar ya, kan hari Ahad mas libur, kita adakan dulu pengajian di sini hari Jum'at nanti.""Beneran Mas?" Aku berbalik badan"Iya. Sekarang sarapan ya, ini mas masakin telur ceplok setengah matang. Soalnya cuma ini yang mas bisa masak.""Makasih ya, Mas."Mas Halid pun menyuapiku nasi dengan lauk andalannya. Sesekali dia pun itu menyantap hasil kreasinya pagi ini."Jadi pengajiannya pakai nasi apa kue aja, Mas?""Oh iya mas lupa bilang sama kamu. Biasanya kalau di sini cuma di kasih nasi kotak, Dek. Jadi begitu selesai acara, bagi nasi kotak, langsung pada pulang. Kalau di tempat kita kan habis acara, makan cemilan dulu, baru pulang dikasih nasi kotak, kan?""Iya, Mas. Ya udah nanti aku ke rumah Bu RT nanyain apa aja isi nasi kotaknya.""Nanti mas antar, Dek, sekalian mas tamya berapa jumlah warga yg ikut pengajian Bapak-Bapaknya."Iya, Mas." Akhirnya, nasi telur ceplok tadi kami habiskan berdua.Sebenarnya aku lapar, karena sudah terbiasa pagi-pagi sudah sarapan

DMCA.com Protection Status