Bab 7

“Ssst … ada Mbak Miska.” Para Bapak-Bapak itu saling sikut.

Mereka langsung diam begitu melihatku datang. Sepertinya mereka memang sedang membicarakan rumah besar itu. Apa yang mereka katakan tentang ibu dan anak yang meninggal serempak itu pemilik rumah ini ya?

Aku tersenyum, sembari meletakkan teko berisi cairan hitam yang sudah kucampur dengan pemanis serta cemilan roti kering. Untuk besok, rencananya aku akan membuat gorengan saja. Karena memang sudah membeli stok dan kusimpan di kulkas.

“Silahkan kopinya, Bapak-Bapak.”

“Wah, kok repot-repot, Mbak Miska, kami sudah mau pulang,” kata seorang Bapak yang sedari tadi suka melucu dan banyak omong.

“Nggak apa-apa, Pak, cuma kopi, untuk melepas dahaga.”

“Sekali lagi terima kasih, Mbak,” ujar yang lainnya.

“Sama-sama, Pak. Saya permisi dulu.”

“Iya, Mbak.”

Aku lantas kembali masuk ke rumah. Di samping kanan dekat garasi, Mas Halid sedang membersihkan bekas rumput-rumput yang belum sempat aku bersihkan. Kolam ikan tadi juga dibersihkan olehnya.

“Nggak ikut ngobrol sama Bapak-Bapak itu, Mas. Mereka udah mau pulang.”

“Sebentar lagi, Dek, tanggung, mumpung sesi bersih-bersih aku aku manfaatkan dulu, Besok kalau udah beroperasi normal, udah nggak ada kesempatan lagi, Soalnya mas harus keliling perkebunan ini untuk mengecek para pekerja.”

“Iya, Mas. Mau aku buatin kopi, siapa tahu mau ikuan ngopi bareng mereka.”

“Boleh, Dek.”

Aku masuk ke dapur melalui garasi, jadi setelah garasi ada gudang setelah itu pintu dapur yang langsung mengarah ke kebun sawit. Sementara ruangan genset ada di seberang gudang, atapnya masih menyatu dengan garasi mobil.

Saat aku sedang membuat kopi, pandangan langsung ke arah kebun sawit dimana seseorang menyerupai Mas Halid meloncati pagar. Bulu kudukku tiba-tiba meremang seketika membayangkan hal itu. Aku tutup pintu belakang agar tidak terlihat langsung deretan pohon sawit yang sudah mulainya menggelap di bawah sana i.

Matahari memang belum begitu tergelincir, tetapi keadaan di bawah sana tak ubahnya seperti waktu menjelang Magrib. Mungkin karena pohon-pohon di belakang sana terlalu rimbun dan subur, jadi terlihat gelap. Semoga saja setelah dilakukan tahap pruning daun sawit, keadaan di sana menjadi terang.

Buru-buru aku selesaikan aktifitas membuat kopi, lalu aku antarkan kepada Mas Halid yang ternyata sudah di tempat semula.

“Mas ini kopinya.” Aku letakan secangkir kopi di samping Mas Halid duduk. Dia sudah bergabung dengan Bapak-Bapak pekerja.

Sepertinya mereka sedang membicarakan pasal Mas Budi yang digigit ular saat memeriksa batas.

Aku ikut duduk di samping Mas Halid. Entah sopan atau tidak apa yang aku lakukan. Aku hanya ingin mengetahui cerita yang sempat aku dengar sepotong dari Bapak-Bapak pekerja tadi.

“Memang benar ya, Pak, kalau di rumah yag kami tempati ada yang meninggal?”

“Eh anu, Mbak, itu ... nggak tahu pastinya, Mbak.”

“Dek.” Mas Halid memegang tanganku, lalu alisya terangkat satu. Itu artinya aku tidak boleh meneruskan pembicaran.

Karena sudah mendapatkan peringatan dari mas Halid, aku pun pamit masuk ke rumah. Padahal aku ingin sekali mengorek-ngorek informasi dari para pekerja.

Aku lanjutkan menyapu halaman rumah yang memang belum terlalu bersih, sembari menunggu Mas Halid selesai dengan para pekerjanya.

Aku kumpulkan sampah-sampah dan kumasukan ke dalam plastik. Tak lupa aku bersihkan kembali pinggir-pinggir kolam yang masih berserakan.

Saat aku mengumpulkan sampah, tak sengaja aku lihat ada benda aneh, seperti tali yang dibuat sedemikian rupa dan pangkalnya mempunyai tangkai.

“Kok kayak cambuk ya? Seperti yang biasa digunakan untuk pentas kuda lumping,” gumamku.

Kumasukkan benda itu ke dalam plastik sampah, nanti setelah para pekerja pulang, aku suruh Mas Halid membakarnya.

**

Asap mengepul membubung ke udara. Rumput-rumput kering perlahan tebakar dan lenyap meninggalkan abu.

Sebentar lagi semburat jingga akan tergelincir ke ufuk barat. Tenggelam di balik rimbunnya pohon-pohon sawit di belakang rumah.

"Mas hidupkan genset dulu, Dek. Kamu mandi gih, bau asap." Mas Halid menutup hidungnya.

Aku mencium lenganku sendiri. Ternyata benar, bajuku sudah bau tak karuan.

"Eh, iya, Mas, aku mandi dulu ya. Kamu buruan masuk sebelum magrib."

"Oke, Dek."

Aku bergegas masuk, lalu menyambar handuk yang dijemur di ruang khusus cuci baju, yang berada di samping kamar mandi.

Aku buru-buru menyelesaikan aktifitas membersihkan diri. Lagi-lagi aku terbayang pria itu. Takut tiba-tiba dia gedor-gedor pintu saat aku tangah mandi. Selesai mandi aku langsung ke kamar untuk mengganti pakaian.

Genset sudah menyala, begitu pun dengan lampu di rumah ini sudah terang. Bahkan kumandang adzan sayup terdengar dari arah timur. Namun Mas Halid tak kunjung masuk. Padahal aku sudah berpesan untuk masuk sebelum adzan berkumandang.

"Mas, kamu di mana?" Aku panggil dia dari dalam kamar, tapi tidak ada jawaban. Mungkin karena rumah ini terlalu besar dan tersamarkan juga dengan suara genset, jadi pria itu mendengar panggilanku.

"Dek, udah mandinya, kok lama?" Tiba-tiba Mas Halid keluar dari kamar mandi di dalam kamar.

"Lho, kapan kamu masuk, Mas?"

"Ya pas udah lampu nyala."

"Ya sudah, ayo shalat!"

**

Selepas shalat Isya, aku langsung naik ke ranjang untuk mengistirahatkan badan. Sementara Mas Halid masih berjibaku dengan berkas-berkas pekebunan.

Tadi sebelum aku masuk ke kamar, dia sedang mengocokan data perbatasan dengan fotocopy sertipikat lahan perkebunan.

Cukup lama aku menunggu di kamar, tetapi Mas Halid tak kunjung masuk kamar. Akhirnya aku pun ketiduran.

Entah jam berapa Mas Halid tiba-tiba loncat ke ranjang dan langsung masuk ke selimut. Setelah aku dengar suara pintu dibanting.

"Mas ada apa?" Aku yang terkejut langsung bangun

"I–itu di ruang tengah." Mas Halid menujuk ruang tengah. Mukanya pucat pasi dan badannya bergetar hebat.

"Ada apa Mas."

"A–ada orang lagi dipecut, Dek."

***