Koridor yang sepi membuat suara langkah kakinya menggema. Hanya segelintir orang yang terlihat. Maklum, jam sekolah telah usai satu jam yang lalu. Yeri diminta oleh Pak Jodi untuk membantunya memasukkan nilai dan itu membuatnya pulang lebih lambat dari siswa lainnya. Yeri berjalan dengan santai, tangannya mengenggam tali tas. Tak sengaja matanya melihat sekelompok murid perempuan di ujung koridor.
Yeri menghela napas. Dengan terpaksa Yeri harus melewati mereka karena tidak ada jalan lain. Ia mempercepat langkahnya saat melewati para perempuan itu, lagipula Tara sudah menunggunya di depan gerbang sekolah, ia harus cepat.
“Hallo, Yeri!”
Langkah Yeri terhenti dan menoleh kearah orang yang tadi menyapanya. Nancy- yang tadi menyapa Yeri- menampilkan wajah mengejek dan senyuman sinis, “Sekarang lo udah sadar kan? Jordan ga bakal ngelirik dan milih lo!”
Teman-teman Nancy tertawa setelahnya sedangkan Nancy bersidekap dada dengan angkuh, menunggu respon yang akan Yeri berikan. Namun Yeri tidak menjawab. Dia hanya menatap Nancy dan teman-temannya, “Udah kan? Gue duluan ya..” ucap Yeri, kemudian beranjak pergi. Nancy merenggut kesal dan menghentakkan kakinya.
Sebelum Yeri melangkahkan kakinya, Nancy kembali bersuara, “Dasar ga tau diri! Sekarang lo berani bawa bodyguard kemana-mana? Mana anak kecil lagi.”
Yeri memandang Nancy dengan pandangan bingung. Bukan Yeri saja, teman-teman Nancy pun memandang Nancy dengan aneh. Yeri pun menoleh ke belakang dirinya. Tidak ada siapapun. Lalu siapa yang dimaksud oleh Nancy? Di rasa tidak ada yang penting, Yeri kembali melangkahkan kaki nya pergi menuju gerbang sekolah.
Setelah Yeri pergi salah satu dari mereka menepuk bahu Nancy, “Maksud lo apa sih? Anak kecil siapa? Ga ada anak kecil disini.”
“Lo ga liat? Jelas-jelas ada anak kecil yang dari tadi ngikutin Yeri. Mana pucet lagi tuh mukanya.” Yang lain menatap Nancy dengan terkejut. Ketakutan mulai nampak pada wajah mereka. Nancy yang yang melihat perubahan pada teman-temannya hanya bisa mengangkat alisnya bingung. Namun, saat Ia sadar apa yang sudah terjadi, rasa kaget dan takut langsung terlihat jelas pada wajahnya.
-:-
Langit semakin gelap, diluar sana hujan terus menguyur. Dinginnya malam terus mengigit tubuh Yeri. Suara hewan malam yang bersahutan membuat suasana terasa mencekam. Yeri tidak bisa tidur. Yeri terus bergerak gelisah ke kanan dan kiri. Mencari posisi yang nyaman untuk tidur. Ia terus berusaha memejamkan matanya namun dirinya tidak kunjung terlelap.
Oh ayolah, ia harus bangun pagi esok hari.
Yeri bangun dari tidurnya. Mungkin segelas susu akan membuatnya mengantuk, pikirnya. Yeri pun keluar kamar menuju dapur. Suara televisi adalah yang pertama kali ia dengar saat keluar kamar.
“Belum tidur?” tanya Tara. Yeri hanya melirik sekilas kearah kakaknya yang tengah duduk di sofa dan membalasnya dengan gumaman kecil. Kemudian Yeri melangkah menuju dapur. Setelah selesai membuat segelas susu, Yeri kembali ke kamarnya.
“Langsung tidur Yer!”
“Iya ih! Bawel!”
-:-
Yeri menenggak habis susunya dan menaruh gelas kosong itu diatas meja belajar. Kemudian ia merapihkan buku untuk esok hari dan memasukkannya kedalam tas. Setelahnya, Yeri membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Namun, sebelum badannya menempel pada tempat tidur, matanya terpaku pada sebuah kunci yang ada diatas nakas dekat lampu tidur. Yeri mendudukkan dirinya diatas tempat tidur dan mengambil kunci itu.
“Kunci apa ya?” gumam Yeri sambil memperhatikan kunci itu. Ia mencoba mengingat kunci apa itu dan bagaimana kunci itu ada dikamarnya. Kunci berwarna kuning keemasan dengan karat diujungnya. Seutas tali dengan beberapa manik menggantung di kunci tersebut.
“Oh iya, ini kan kunci loteng yang gue ambil di kamar Tara.” Ucap Yeri. Yeri menaruh kembali kunci itu ke atas nakas, namun kunci itu terjatuh. Yeri menghela napas kasar, kemudian membungkukkan badannya guna meraih kunci itu. Saat tangannya berhasil meraih kunci itu, tiba-tiba sebuah tangan muncul dari bawah tempat tidur dan menggenggam tangan Yeri. Yeri memekik kaget, “Apaan tuh!”
Yeri terdiam. Ia tidak bergerak sama sekali, napasnya mulai tidak beraturan. Yeri memandang tangannya yang baru saja disentuh oleh sesuatu. Tangan dengan ukuran kecil dan pucat itu masih terekam jelas dalam ingatannya. Yeri pun kembali membungkukkan badannya, tangannya mencengkram erat pinggiran ranjangnya. Keringat dingin mulai keluar dari pori-porinya. Perlahan Yeri mulai menjulurkan kepalanya kebawah dengan mata terpejam. Saat Yeri membuka matanya, hanya gelap yang dilihatnya. Namun, lama-kelamaan netranya menangkap sosok lain di bawah ranjangnya. Semakin jelas. Ia pun langsung berteriak histeris dan bersembunyi di balik selimutnya. Teriakan Yeri membangunkan seisi rumah. Tara yang masih terjaga langsung berlari menghampiri Yeri.
“YERI!!”
Tara menghampiri Yeri dan mencoba membuka selimutnya. Namun yeri semakin histeris dan memberontak, “Hey, hey! Ini gue, Tara.” Tara mencoba menenangkan Yeri dengan memegang kedua bahu adiknya. Saat matanya menangkap wajah Tara, Yeri langsung memeluk kakaknya itu dengan erat dengan tangisan yang belum usai. Tara mengelus rambut adiknya sambil mengucapkan kalimat penenang. Tara melarikan pandangannya pada ambang pintu. Terlihat Jena dengan Key di gendongannya.
“Ada apa Tar? Yeri kenapa?”
Tara menggeleng pelan, “Gak. Gak kenapa-kenapa. Lo balik aja ke kamar.”
-:-
Hari telah berlalu. Sudah lebih dari sebulan Yeri dan saudaranya menempati rumah ini. Cahaya matahari mulai meredup dan perlahan menghilang dibawah garis cakrawala disebelah barat. Pohon-pohon besar nan rindang menjadi objek pandang. Yeri mendekati jendela, menikmati pemandangan sebelum matahari benar-benar tenggelam. Suara perempuan dan laki-laki yang berasal dari halaman rumah menarik perhatian Yeri. Dilihatnya Jena dan Tara saling mengoceh sebelum masuk kedalam mobil dan kemudian melaju jauh. Mereka pergi untuk membeli bahan makanan dan kebutuhan lainnya.
"Parah banget gue sama Key ditinggal dirumah." rutuk Yeri. Ditariknya gorden berwarna navy dan kemudian ia membaringkan tubuhnya di atas ranjang dengan kaki yang menjuntai ke lantai. Matanya menatap ke langit-langit kamarnya hingga Ia teringat akan sesuatu.
"Oh iya. Loteng."
Yeri beranjak dari ranjangnya dan mengambil kunci loteng yang dua minggu lalu Ia curi dari kamar kakak laki-lakinya. Namun, sebelum Yeri menuju pintu loteng, Ia mengecek keadaan adiknya terlebih dahulu. Yeri tersenyum saat melihat Key sedang asyik menggambar di atas ranjangnya. Key bisa Ia tinggal sebentar, pikirnya.
Yeri pun berjalan menuju pintu loteng, sebelah tangannya memegang plastik berisikan barang-barang yang jarang terpakai. Yeri agak sedikit ragu untuk membuka pintu loteng tapi rasa penasarannya terus muncul. Memangnya ada apa didalam sana hingga Tara berbohong kalau kunci nya hilang?
Yeri pun memasukkan kunci loteng kedalam lubang kunci. Suara deritan pintu terdengar saat Yeri membuka pintu dengan perlahan. Objek yang pertama kali ia lihat adalah sebuah tangga kayu yang entah masih kokoh atau tidak. Deritan kayu terdengar kala Yeri menginjakkan kakinya. Suasana yang gelap dan pengap membuat Yeri harus melangkah dengan hati-hati. Saat Yeri sudah berada di loteng, ia meraba dinding guna mencari saklar lampu.
trak
Lampu menyala.
Barang-barang yang berserakan dan lantai kayu yang kotor menjadi hal pertama yang Yeri lihat. Namun, satu-satunya jendala yang berada diruangan itu menarik perhatian Yeri. Ia pun berjalan pelan menuju jendela itu sesekali kakinya menyingkirnya potongan kayu yang menghalangi langkahnya. Yeri bisa memandang bagian atas pohon dari sini. Jemarinya terangkat menyentuh kusen jendela, menelusuri permukaannya. Yeri masih tetap berdiri ditempatnya dan pandangannya turun mengarah pada halaman rumahnya.
Hanya satu yang Yeri ingat.
Sesosok perempuan yang melihatnya dari jendela loteng, persis seperti yang dilakukan Yeri saat ini.
"Cepetan buka bagasi nya." "Iya bawel." Setelah selesai berbelanja kebutuhan rumah, Jena dan Tara langsung bergegas pulang kerumah. Namun, saat mereka sudah masuk kedalam mobil, Tara tidak langsung menyalakan mesin mobil melainkan berkutat dengan ponselnya. Hal itu pun membuat Jena kesal. "Buruan jalan. Kasian dua bocil dirumah sendirian," Omel Jena sambil memukul bahu Tara. "Bentar napa sih! gue mau bales chat Irena dulu." jawab Tara dan dibalas dengan puluhan ocehan Jena. "Sumpah, besok-besok mending gue ngajak Yeri buat belanja. Lo bikin gue pengen gigit stir mobil mulu." dumel Tara. Setelah itu mobil Tara melaju dengan kecepatan rata-rata. Jalanan yang tidak terlalu ramai mempersingkat waktu perjalanan. Saat berada di jalan menuju rumahnya, tiba-tiba sesuatu melesat dengan cepat di depan mobil Tara. Tara yang terkejut pun menginjak rem dengan kuat membuat tubuhnya dan Jena terhuyung ke depan. "Apaan itu? jangan-jangan lu nabrak orang!!" ucap Jena Histeris. Jena pun menyuruh
Atensi Yeri terpaku pada layar televisi. Sesekali tanganya mengambil cemilan diatas meja kemudian memasukkannya kedalam mulutnya. Hanya Yeri yang berada di ruang tamu. Jena sedang membantu adik bungsunya mengerjakan tugas rumah dikamar Key, sedangkan Tara belum kembali dari tempat kerjanya.tuk tuk tukSuara ketukan sedari tadi terdengar dari arah dapur. Yeri yang mulanya menikmati siaran televisi harus terganggu oleh suara yang membuat siapapun yang mendengarnya menjadi parno. Entah mengapa semakin Yeri mengabaikan suara itu, semakin keras pula suara itu terdengar. Yeri meraih remote kemudian menambah volume suara televisi. Sesaat suara itu tidak lagi terdengar. Yeri pun kembali menyamankan tubuhnya diatas sofa dengan kaki yang Ia naikkan keatas meja.Tidak lama kemudian tubuh Yeri kembali menegang. Suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras dan jelas seakan suara itu berasal dari samping Yeri. Sangat jelas. Yeri mengigit bibir bawahnya dan mencengkram erat pinggiran sofa. Ia ing
Hari semakin larut. Jena sedang asik memainkan ponselnya, telivisi yang menyala dihadapannya pun ia abaikan. Kemudian Jena tersentak kaget saat Yeri tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya duduk di sampingnya. Jena memukul lengan Yeri pelan, “Ngagetin lo ah!” Yeri hanya tertawa puas melihat wajah terkejut kakak perempuannya. Setelah itu suasana kembali hening. Hanya ada suara televisi dan suara dari handphone Jena. Tak lama terdengar suara dari perut Yeri. Yeri memegang perutnya, ia lapar. Ia pun menusuk-nusuk lengan Jena dengan jari telunjuknya mencoba mencuri atensi kakaknya. "Jena.. gue laper." "Bikin mie instan aja sana, pake nasi biar kenyang" timpal Jena tanpa menoleh ke arah adiknya itu. Sibuk dengan handphonenya. "Gak ada makanan lain? Gue bosen mie terus." "Kalau gak mau yaudah, tunggu Tara pulang." Jawab singkat Jena, Yeri mendengus kesal. "Tara kan pulangnya jam 11, masa gue harus nunggu 2 jam?" "Terserah lo" dengan sangat terpaksa, Yeri bangun dari duduknya dan berjalan menuj
Satu minggu telah berlalu. Lagi-lagi kegaduhan terdengar di dalam rumah Yeri. Keluarga Yeri memang tidak bisa lepas dari kata gaduh. Ya lebih tepatnya Tara dan Jena, dua kakak beradik itu sering membuat kebisingan setiap hari. Kehebohan hari ini berawal dari Jena yang meminta Tara mengajarkannya memasak untuk makan malam dan berakhir dengan Tara yang tidak berhenti mengomel seperti ibu-ibu. 'Lo mau masak apa bakar rumah sih?!' 'Lo mau masak ikan yang bener dong, masa sisik ikannya lo makan juga!' 'Gila! Garamnya dikit aja woy! Lo kalo mau bunuh diri ga usah ngajak yang lain' Kira-kira seperti itulah pertengkaran kakak beradik ini. Tara dan Jena memang susah akur karena umur mereka hanya terpaut 1 tahun, jadi diantara mereka tidak ada yang mau mengalah. Akhirnya Jena menyerah. Dia memang tidak pandai memasak. Dan semua hal tentang masakan diambil alih oleh Tara. Jena hanya membantu menata piring-piring di meja makan. "Lo panggil Yeri sama Key gih" perintah Tara. Dengan malas Jena m
Hari ini Yeri tidak masuk sekolah. Alpha. Tidak ada yang tahu kenapa Yeri absen, bahkan para sahabatnya pun tidak tahu. Saat bel istirahat berbunyi, Serena dan yang lain berkumpul di pojok belakang kelas, duduk mengelilingi meja Helmi dan Justin. Mereka sedang menerka-nerka alasan mengapa Yeri tidak hadir hari ini. “Tumben banget loh. Yeri gak masuk sekolah tapi gak ngasih kabar ke kita sama sekali.” Celetuk Wendy, yang lain mengangguk mengiyakan. “Coba deh Ser, lo chat Kak Tara atau Jena.” Usul Justin. Serena menggeleng pelan dan menunjukkan layar handphonenya, “Udah, tapi gak di bales. Di read aja engga.” Setelah itu hanya ada keheningan di antara mereka. Mereka berkutat dengan pikiran masing-masing hingga Wendy menyarankan Serena untuk mencoba menelepon Tara atau Jena. Serena mengangguk dan kemudian mencoba menghubungi kedua kakak Yeri. “Mau kemana lo
Sehari setelah para sahabatnya menjenguk Yeri, Ia merasa lebih baik dan memutuskan untuk masuk sekolah hari ini. Walaupun luka lebam pada lengannya belum juga sembuh. Tara sempat membujuk sang adik untuk beristirahat dirumah lebih lama namun Yeri menolak bujukan sang kakak. Ia tidak mau tertinggal pelajaran. "Yer, pulang aja ya?" Yeri yang sedari tadi menelungkupkan kepalanya langsung menegakkan badannya dan menghela napas lelah. Sudah yang kesekian kalinya Wendy menyuruhnya untuk pulang, "Gue gapapa Wen." "Ih, muka lo masih pucet Yer!" "Ayo Yer. Biar gue nyuruh si Justin atau Helmi ngan-" ucapan Wendy terputus saat seseorang memasukkan sepotong roti kedalam mulutnya. "Bawel banget deh lo." Helmi- si pelaku- mendapat pukulan yang tidak bisa dikatakan pelan di punggungnya. Sementara Yeri hanya tertawa melihatnya. Ah.. sudah berapa hari Ia tidak masuk sekolah dan Ia merindukan keributan yang dibuat oleh pata sahabatnya itu. "Beneran udah sehat Yer?" tanya Justin. "Udah kok." Just
Matahari belum muncul sepenuhnya namun Tara serta Jena sudah sibuk dan lagi-lagi menimbulkan kebisingan. Yeri yang sedang duduk disofa menatap jengah kearah kedua kakaknya yang mondar-mandir tidak jelas, “Lo berdua ngapain sih?” “Gue sama Jena mau ke rumah Om Seokjin.” Ucap Tara yang sudah rapih dengan setelan kemejanya. “Terus gue gak lo ajak gitu?” sungut Yeri, Tara menatap Yeri datar. Laki-laki itu pun mendudukan bokongnya di samping adik perempuannya. Menunggu Jena yang masih bersiap di kamarnya, “Lo kan tau kejadian semalem, gak mungkin gue ajak Key. Jadi lo dirumah aja jagain Key.” Yeri membenarkan ucapan kakak laki-lakinya dalam hati. Selanjutnya hanya ada suara televisi yang mengisi ruang tamu. Tak lama kemudian, Jena yang telah selesai bersiap datang dan menyeret Tara untuk segera berangkat. Mata Yeri bergerak mengikuti kedua kakaknya hingga mereka tidak terlihat lagi dalam pandangannya. Yeri menggeleng pelan dan terkekeh kecil melihat tingkah kakaknya itu. Setelahnya Yeri
“Om masih punya nomor telepon temen om gak?”“Temen yang mana? Temen Om banyak omong-omong.” Jawab Juna sambil menyesap kopi yang baru dibuat kembali oleh Sonya-istrinya.“Yang waktu itu nolongin kita Om.”“Ohh.. Yoshi?” tebak lelaki itu. Tara dan Jena langsung mengangguk semangat. Juna menatap kedua keponakan kesayangannya intens, sedangkan kedua kakak beradik itu menatap Om-nya penuh harap. Sembari menghela napas, Juna menegakkan tubuhnya dan menyesap kembali kopinya, “Om ga inget nomornya, coba tanya tante mu.”-:-Posisi matahari tepat diatas kepala. Di tengah teriknya matahari, mobil Tara melaju membelah jalanan. Akhirnya mereka mendapatkan nomor telepon dan alamat Yoshi dari Sonya, tantenya. Namun, saat Jena mencoba menghubungi teman Om dan tantenya itu ternyata nomornya sudah tidak aktif. Disinilah m
Sepuluh menit menuju tengah malam. Seluruh penghuni rumah sudah terlelap namun Tara masih terjaga, tidak bisa tidur. Ia memandang langit-langit dan menjadikan tangannya sendiri sebagai bantal. Entahlah, dia tiba-tiba merasa khawatir dengan keadaan adik-adiknya dirumah. Walau Ia yakin Yeri pasti mengundang teman-temannya menginap tapi rasa cemas tetap datang menghampirinya. Tara mendudukan tubuhnya dan mengusap wajahnya. Disaat yang bersamaan, pintu kamar Tara terbuka dan memperlihatkan Jena dengan piyama tidurnya. Ada raut gelisah di wajahnya, “Kenapa Jen?” “Can we go home now? Perasaan gue gak enak.” Tanpa berpikir dua kali, Tara mengangguk menyetujui saran adiknya. Dengan tidak enak hati, Tara dan Jena harus membangunkan om serta tantenya di tengah malam untuk berpamitan. Namun siapa sangka Juna dan istrinya memutuskan untuk ikut keponakannya pulang ke rumah. Dengan waktu yang singkat untu
“Om masih punya nomor telepon temen om gak?”“Temen yang mana? Temen Om banyak omong-omong.” Jawab Juna sambil menyesap kopi yang baru dibuat kembali oleh Sonya-istrinya.“Yang waktu itu nolongin kita Om.”“Ohh.. Yoshi?” tebak lelaki itu. Tara dan Jena langsung mengangguk semangat. Juna menatap kedua keponakan kesayangannya intens, sedangkan kedua kakak beradik itu menatap Om-nya penuh harap. Sembari menghela napas, Juna menegakkan tubuhnya dan menyesap kembali kopinya, “Om ga inget nomornya, coba tanya tante mu.”-:-Posisi matahari tepat diatas kepala. Di tengah teriknya matahari, mobil Tara melaju membelah jalanan. Akhirnya mereka mendapatkan nomor telepon dan alamat Yoshi dari Sonya, tantenya. Namun, saat Jena mencoba menghubungi teman Om dan tantenya itu ternyata nomornya sudah tidak aktif. Disinilah m
Matahari belum muncul sepenuhnya namun Tara serta Jena sudah sibuk dan lagi-lagi menimbulkan kebisingan. Yeri yang sedang duduk disofa menatap jengah kearah kedua kakaknya yang mondar-mandir tidak jelas, “Lo berdua ngapain sih?” “Gue sama Jena mau ke rumah Om Seokjin.” Ucap Tara yang sudah rapih dengan setelan kemejanya. “Terus gue gak lo ajak gitu?” sungut Yeri, Tara menatap Yeri datar. Laki-laki itu pun mendudukan bokongnya di samping adik perempuannya. Menunggu Jena yang masih bersiap di kamarnya, “Lo kan tau kejadian semalem, gak mungkin gue ajak Key. Jadi lo dirumah aja jagain Key.” Yeri membenarkan ucapan kakak laki-lakinya dalam hati. Selanjutnya hanya ada suara televisi yang mengisi ruang tamu. Tak lama kemudian, Jena yang telah selesai bersiap datang dan menyeret Tara untuk segera berangkat. Mata Yeri bergerak mengikuti kedua kakaknya hingga mereka tidak terlihat lagi dalam pandangannya. Yeri menggeleng pelan dan terkekeh kecil melihat tingkah kakaknya itu. Setelahnya Yeri
Sehari setelah para sahabatnya menjenguk Yeri, Ia merasa lebih baik dan memutuskan untuk masuk sekolah hari ini. Walaupun luka lebam pada lengannya belum juga sembuh. Tara sempat membujuk sang adik untuk beristirahat dirumah lebih lama namun Yeri menolak bujukan sang kakak. Ia tidak mau tertinggal pelajaran. "Yer, pulang aja ya?" Yeri yang sedari tadi menelungkupkan kepalanya langsung menegakkan badannya dan menghela napas lelah. Sudah yang kesekian kalinya Wendy menyuruhnya untuk pulang, "Gue gapapa Wen." "Ih, muka lo masih pucet Yer!" "Ayo Yer. Biar gue nyuruh si Justin atau Helmi ngan-" ucapan Wendy terputus saat seseorang memasukkan sepotong roti kedalam mulutnya. "Bawel banget deh lo." Helmi- si pelaku- mendapat pukulan yang tidak bisa dikatakan pelan di punggungnya. Sementara Yeri hanya tertawa melihatnya. Ah.. sudah berapa hari Ia tidak masuk sekolah dan Ia merindukan keributan yang dibuat oleh pata sahabatnya itu. "Beneran udah sehat Yer?" tanya Justin. "Udah kok." Just
Hari ini Yeri tidak masuk sekolah. Alpha. Tidak ada yang tahu kenapa Yeri absen, bahkan para sahabatnya pun tidak tahu. Saat bel istirahat berbunyi, Serena dan yang lain berkumpul di pojok belakang kelas, duduk mengelilingi meja Helmi dan Justin. Mereka sedang menerka-nerka alasan mengapa Yeri tidak hadir hari ini. “Tumben banget loh. Yeri gak masuk sekolah tapi gak ngasih kabar ke kita sama sekali.” Celetuk Wendy, yang lain mengangguk mengiyakan. “Coba deh Ser, lo chat Kak Tara atau Jena.” Usul Justin. Serena menggeleng pelan dan menunjukkan layar handphonenya, “Udah, tapi gak di bales. Di read aja engga.” Setelah itu hanya ada keheningan di antara mereka. Mereka berkutat dengan pikiran masing-masing hingga Wendy menyarankan Serena untuk mencoba menelepon Tara atau Jena. Serena mengangguk dan kemudian mencoba menghubungi kedua kakak Yeri. “Mau kemana lo
Satu minggu telah berlalu. Lagi-lagi kegaduhan terdengar di dalam rumah Yeri. Keluarga Yeri memang tidak bisa lepas dari kata gaduh. Ya lebih tepatnya Tara dan Jena, dua kakak beradik itu sering membuat kebisingan setiap hari. Kehebohan hari ini berawal dari Jena yang meminta Tara mengajarkannya memasak untuk makan malam dan berakhir dengan Tara yang tidak berhenti mengomel seperti ibu-ibu. 'Lo mau masak apa bakar rumah sih?!' 'Lo mau masak ikan yang bener dong, masa sisik ikannya lo makan juga!' 'Gila! Garamnya dikit aja woy! Lo kalo mau bunuh diri ga usah ngajak yang lain' Kira-kira seperti itulah pertengkaran kakak beradik ini. Tara dan Jena memang susah akur karena umur mereka hanya terpaut 1 tahun, jadi diantara mereka tidak ada yang mau mengalah. Akhirnya Jena menyerah. Dia memang tidak pandai memasak. Dan semua hal tentang masakan diambil alih oleh Tara. Jena hanya membantu menata piring-piring di meja makan. "Lo panggil Yeri sama Key gih" perintah Tara. Dengan malas Jena m
Hari semakin larut. Jena sedang asik memainkan ponselnya, telivisi yang menyala dihadapannya pun ia abaikan. Kemudian Jena tersentak kaget saat Yeri tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya duduk di sampingnya. Jena memukul lengan Yeri pelan, “Ngagetin lo ah!” Yeri hanya tertawa puas melihat wajah terkejut kakak perempuannya. Setelah itu suasana kembali hening. Hanya ada suara televisi dan suara dari handphone Jena. Tak lama terdengar suara dari perut Yeri. Yeri memegang perutnya, ia lapar. Ia pun menusuk-nusuk lengan Jena dengan jari telunjuknya mencoba mencuri atensi kakaknya. "Jena.. gue laper." "Bikin mie instan aja sana, pake nasi biar kenyang" timpal Jena tanpa menoleh ke arah adiknya itu. Sibuk dengan handphonenya. "Gak ada makanan lain? Gue bosen mie terus." "Kalau gak mau yaudah, tunggu Tara pulang." Jawab singkat Jena, Yeri mendengus kesal. "Tara kan pulangnya jam 11, masa gue harus nunggu 2 jam?" "Terserah lo" dengan sangat terpaksa, Yeri bangun dari duduknya dan berjalan menuj
Atensi Yeri terpaku pada layar televisi. Sesekali tanganya mengambil cemilan diatas meja kemudian memasukkannya kedalam mulutnya. Hanya Yeri yang berada di ruang tamu. Jena sedang membantu adik bungsunya mengerjakan tugas rumah dikamar Key, sedangkan Tara belum kembali dari tempat kerjanya.tuk tuk tukSuara ketukan sedari tadi terdengar dari arah dapur. Yeri yang mulanya menikmati siaran televisi harus terganggu oleh suara yang membuat siapapun yang mendengarnya menjadi parno. Entah mengapa semakin Yeri mengabaikan suara itu, semakin keras pula suara itu terdengar. Yeri meraih remote kemudian menambah volume suara televisi. Sesaat suara itu tidak lagi terdengar. Yeri pun kembali menyamankan tubuhnya diatas sofa dengan kaki yang Ia naikkan keatas meja.Tidak lama kemudian tubuh Yeri kembali menegang. Suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras dan jelas seakan suara itu berasal dari samping Yeri. Sangat jelas. Yeri mengigit bibir bawahnya dan mencengkram erat pinggiran sofa. Ia ing
"Cepetan buka bagasi nya." "Iya bawel." Setelah selesai berbelanja kebutuhan rumah, Jena dan Tara langsung bergegas pulang kerumah. Namun, saat mereka sudah masuk kedalam mobil, Tara tidak langsung menyalakan mesin mobil melainkan berkutat dengan ponselnya. Hal itu pun membuat Jena kesal. "Buruan jalan. Kasian dua bocil dirumah sendirian," Omel Jena sambil memukul bahu Tara. "Bentar napa sih! gue mau bales chat Irena dulu." jawab Tara dan dibalas dengan puluhan ocehan Jena. "Sumpah, besok-besok mending gue ngajak Yeri buat belanja. Lo bikin gue pengen gigit stir mobil mulu." dumel Tara. Setelah itu mobil Tara melaju dengan kecepatan rata-rata. Jalanan yang tidak terlalu ramai mempersingkat waktu perjalanan. Saat berada di jalan menuju rumahnya, tiba-tiba sesuatu melesat dengan cepat di depan mobil Tara. Tara yang terkejut pun menginjak rem dengan kuat membuat tubuhnya dan Jena terhuyung ke depan. "Apaan itu? jangan-jangan lu nabrak orang!!" ucap Jena Histeris. Jena pun menyuruh