Matahari telah menunjukkan eksistensinya, menandakan hari sudah pagi. Suasana di rumah Yeri lebih ramai dari biasanya karena para sahabatnya menginap. Dentingan garpu dan sendok menggema di ruang makan, sesekali terlontar candaan membuat minggu pagi ini terasa lebih menyenangkan.
"Oh iya, Yeri dimana?" Tanya Jena saat menyadari Yeri belum berkumpul dengan mereka. Semua yang ada di ruang makan hanya saling menatap hingga Wendy bersuara, "Dia masih di kamar"Jawab Wendy sambil menyantap makanannya.
-:-
Yeri baru saja menyelesaikan ritual paginya, mandi. Setelah memakai busana, Yeri melihat pantulannya di cermin, memoles sedikit bedak pada wajahnya dan menyisir rambutnya.
Dukk
Gerakan Yeri terhenti. Yeri mengedarkan pandangan keseluruh penjuru kamarnya, namun nihil. tidak ada apa-apa. Yeri mengangkat bahunya dan kembali mematut dirinya di cermin. Tak berselang lama, suara itu terdengar lagi. Kali ini pandangan Yeri tertuju pada lemari pakaiannya. Dengan tangan yang masih mengenggam sisir, Yeri mendekati lemari itu. Tanganya terulur memegang kenop pintu lemarinya, gerakannya sempat terhenti saat Ia merasa ragu.
Dengan sekali gerakan cepat pintu lemari terbuka lebar, dia hanya melihat baju-bajunya yang tergantung dengan rapi. Kemudian Yeri menyibak pakaiannya, untuk memastikan tidak ada sesuatu di dalam lemarinya. Yeri masih terdiam di depan lemari. Kemudian suara ketukan pintu dan seruan wendy terdengar. Yeri menoleh ke arah pintu, “Kenapa, Wen?”
“Ayo sarapan!” ajak Wendy. Yeri menjawab ajakan Wendy tanpa membuka pintu kamarnya. Di saat yang bersamaan, sebuah tangan yang penuh luka dan darah muncul perlahan dari dalam lemari. Tangan itu terus bergerak berusaha menggapai kepala Yeri yang sedang menoleh kearah pintu.
Setelah menyuruh Wendy pergi lebih dulu, Yeri kembali menoleh ke arah lemari. Menatap baju-baju yang tergantung. Yeri hendak menutup pintu lemarinya, namun gerakan tangannya terhenti saat Ia mendengar suara gesekan besi dari dalam lemarinya. Seperti suara yang dihasilkan saat Ia menyibak pakaiannya yang tergantung. Yeri langsung berlari keluar kamarnya menuju ruang makan. Setelah Yeri keluar dari kamarnya. Pintu lemari yang tadi tidak tertutup sempurna itu tertutup dengan sendirinya secara perlahan dan dibarengi dengan suara tawa yang mengerikan bagi siapapun yang mendengarnya.
-:-
Waktu sarapan sudah terlewat, Yeri dan sabahat perempuannya lebih memilih menghabiskan waktu di kamar Yeri. Bercanda dan saling bertukar cerita mereka lakukan, namun Yeri tidak bisa melupakan kejadian tadi pagi. Mata nya sesekali mencuri pandang ke arah lemari.
"Yeri!"
"E-eh iya?" Yeri menoleh ke arah Wendy yang di sambut oleh raut bingung empunya.
"Kenapa sih lo? daritadi gue panggil ga nyaut, malah melamun." celetuk Wendy, Yeri hanya bisa meringis meminta maaf.
Mereka pun melajutkan acara girls time mereka, kali ini mereka memutuskan menonton drama korea di laptop. Dengan punggung bersandar di headboard kasur, laptop diletakkan diatas bantal, selimut melilit tubuh dan minuman serta camilan yang sudah tersedia di atas meja nakas. Mereka sangat menikmati itu. Tapi-
BRAK
Gagal sudah. Pintu terbuka kasar dan menampilkan lelaki dengan raut jenaka dan tak berdosa, menyandarkan badannya di daun pintu. Wendy yang kesal pun melempar bantal ke arah Helmi yang sayangnya langsung ditangkap oleh Helmi. "lagi ngapain sih? ngebokep ya?" tanya Helmi dengan jahil.
"sini loh!!" Wendy bangkit dari tempat tidur dan langsung mengejar Helmi yang belari menuju ruang tamu. Tara yang baru keluar dari kamar Key terkejut kala Wendy tiba-tiba lewat di hadapannya. Ia pun memasuki kamar Yeri.
"Kenapa mereka lari-larian gitu? lagi syuting film india?" tanya Tara. Serena tertawa kecil sedangkan Yeri menghela napas. Kakaknya itu selalu sukses membuat Yeri darah tinggi. Tara pun menyuruh Yeri dan Serena ke ruang tamu dengan alasan semua orang sedang berada di sana dan Yeri tidak bisa membantah. Yeri menyuruh Serena untuk keluar kamar terlebih dahulu. Setelah mematikan Laptopnya, menaruhnya ke atas meja dan mengambil kembali bantal yang tadi dilemparkan oleh Wendy, Yeri pun berjalan Keluar kamar.
Samar-sama telinga Yeri mendengar suara tawa dari dalam kamarnya, namun kali ini Yeri mengabaikannya dan bergabung dengan yang lain di ruang tamu.
-:-
“Dadah Yeri!” Seru Wendy. Yeri membalas dengan lambaian tangan. Mereka pulang saat hari sudah sore, mereka betah sekali di rumah Yeri. Yeri masih berdiam diri di teras rumah, mengamati sahabat-sahabatnya beranjak pulang hingga eksistensi mereka menghilang di ujung jalan.
Yeri pun masuk kedalam rumah dan berjalan menuju kamarnya. Ia ingin menyelesaikan tugas yang harus dikumpulkan esok hari. Baru saja tangannya memegang kenop pintu kamarnya, terdengar deritan pintu. Yeri menoleh dan mendapati pintu loteng terbuka sedikit. Ia mengangkat sebelah alisnya bingung. Setahu Yeri, pintu itu terkunci dan Tara kehilangan kuncinya.
“Udah ketemu kuncinya?” tanya Yeri entah pada siapa. Ia pun berjalan menuju pintu loteng. Namun, suara pecahan dan teriakan Jena terdengar saat Yeri ingin membuka lebar pintu loteng. Yeri reflek menoleh kearah belakangnya. Jena mecahin gelas kali, pikirnya. Yeri pun membalikkan badannya kembali. Yeri terkejut saat mendapati pintu loteng yang tadi terbuka sekarang tertutup rapat. Yeri pun mencoba untuk membuka pintu namun nihil. Pintu itu terkunci.
Yeri memandangi pintu itu bingung sekaligus takut. Ia yakin melihat pintu itu terbuka tadi, lalu kenapa pintu itu tiba-tiba tertutup dan terkunci? Yeri melangkah mundur dan kemudian lari menuju ruang tamu.
Saat berada di ruang tamu, ia melihat Jena sedang membersihkan pecahan vas bunga sedangkan Key sedang duduk disofa sambil menonton serial kartun. Yeri memandang Jena dan Key bergantian, “Kenapa? Key mecahin vas bunga?”
“Bukan. Vas bunganya jatuh sendiri.”
“terus kenapa lo teriak?”
“Ya kaget lah. Vas bunganya jatoh padahal ga ada yang nyenggol sama sekali.” Gerutu Jena kemudian pergi ke dapur untuk membuang pecahan vas bunga. Tatapan Yeri mengikuti Jena yang beranjak kedapur dan beralih menatap pecahan vas bunga yang masih tersisa di lantai. Yeri mengangkat bahunya kemudian bergabung dengan Key duduk di sofa.
-:-
Yeri berjalan mengendap-endap masuk ke dalam kamar kakak laki-lakinya. Tara sedang pergi, maka dari itu Yeri ingin mencari kunci pintu loteng. Entahlah, Yeri sangat yakin kalau kakak laki-lakinya itu bohong kalau kunci loteng hilang. Yeri yakin pasti Tara sengaja menyembunyikan kunci pintu loteng.
Yeri menutup kembali pintu kamar Tara saat dia sudah berhasil masuk. Dia langsung menyapu pandangannya ke setiap sudut ruangan. Mendekati ranjang dan kemudian Ia duduk di pinggir ranjang, tangannya mengambil pigura yang ada di atas nakas. Foto keluarga nya. Yeri tersenyum kecil dan meletakkan kembali pigura itu. Setelah itu, Yeri langsung bergegas membuka semua laci meja dan lemari yang ada diruangan itu. Bahkan Yeri mencari di kolong tempat tidur juga.
Menit telah berlalu. Setiap sudut dikamar Tara sudah Yeri telusuri namun Ia tidak menemukan kunci itu. Yeri mulai putus asa. Mungkin Tara benar, kunci itu hilang. Akhirnya Yeri memutuskan untuk kembali ke kamarnya. Saat hendak beranjak, tiba-tiba Yeri teringat tempat yang belum ia periksa.
“Semoga ada disini,” Ucap Yeri. Tangannya menyeret kursi kedekat lemari. Ia pun naik ke atas kursi dan dia langsung tersenyum saat melihat kotak berukuran kecil di atas lemari. Yeri mengambil kotak dan membukanya, "Yes, ketemu juga kuncinya."
Koridor yang sepi membuat suara langkah kakinya menggema. Hanya segelintir orang yang terlihat. Maklum, jam sekolah telah usai satu jam yang lalu. Yeri diminta oleh Pak Jodi untuk membantunya memasukkan nilai dan itu membuatnya pulang lebih lambat dari siswa lainnya. Yeri berjalan dengan santai, tangannya mengenggam tali tas. Tak sengaja matanya melihat sekelompok murid perempuan di ujung koridor. Yeri menghela napas. Dengan terpaksa Yeri harus melewati mereka karena tidak ada jalan lain. Ia mempercepat langkahnya saat melewati para perempuan itu, lagipula Tara sudah menunggunya di depan gerbang sekolah, ia harus cepat. “Hallo, Yeri!” Langkah Yeri terhenti dan menoleh kearah orang yang tadi menyapanya. Nancy- yang tadi menyapa Yeri- menampilkan wajah mengejek dan senyuman sinis, “Sekarang lo udah sadar kan? Jordan ga bakal ngelirik dan milih lo!” Teman-teman Nancy tertawa setelahnya sedangkan Nancy bersidekap dada dengan angkuh, menunggu respon yang akan Yeri berikan. Namun Yeri ti
"Cepetan buka bagasi nya." "Iya bawel." Setelah selesai berbelanja kebutuhan rumah, Jena dan Tara langsung bergegas pulang kerumah. Namun, saat mereka sudah masuk kedalam mobil, Tara tidak langsung menyalakan mesin mobil melainkan berkutat dengan ponselnya. Hal itu pun membuat Jena kesal. "Buruan jalan. Kasian dua bocil dirumah sendirian," Omel Jena sambil memukul bahu Tara. "Bentar napa sih! gue mau bales chat Irena dulu." jawab Tara dan dibalas dengan puluhan ocehan Jena. "Sumpah, besok-besok mending gue ngajak Yeri buat belanja. Lo bikin gue pengen gigit stir mobil mulu." dumel Tara. Setelah itu mobil Tara melaju dengan kecepatan rata-rata. Jalanan yang tidak terlalu ramai mempersingkat waktu perjalanan. Saat berada di jalan menuju rumahnya, tiba-tiba sesuatu melesat dengan cepat di depan mobil Tara. Tara yang terkejut pun menginjak rem dengan kuat membuat tubuhnya dan Jena terhuyung ke depan. "Apaan itu? jangan-jangan lu nabrak orang!!" ucap Jena Histeris. Jena pun menyuruh
Atensi Yeri terpaku pada layar televisi. Sesekali tanganya mengambil cemilan diatas meja kemudian memasukkannya kedalam mulutnya. Hanya Yeri yang berada di ruang tamu. Jena sedang membantu adik bungsunya mengerjakan tugas rumah dikamar Key, sedangkan Tara belum kembali dari tempat kerjanya.tuk tuk tukSuara ketukan sedari tadi terdengar dari arah dapur. Yeri yang mulanya menikmati siaran televisi harus terganggu oleh suara yang membuat siapapun yang mendengarnya menjadi parno. Entah mengapa semakin Yeri mengabaikan suara itu, semakin keras pula suara itu terdengar. Yeri meraih remote kemudian menambah volume suara televisi. Sesaat suara itu tidak lagi terdengar. Yeri pun kembali menyamankan tubuhnya diatas sofa dengan kaki yang Ia naikkan keatas meja.Tidak lama kemudian tubuh Yeri kembali menegang. Suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras dan jelas seakan suara itu berasal dari samping Yeri. Sangat jelas. Yeri mengigit bibir bawahnya dan mencengkram erat pinggiran sofa. Ia ing
Hari semakin larut. Jena sedang asik memainkan ponselnya, telivisi yang menyala dihadapannya pun ia abaikan. Kemudian Jena tersentak kaget saat Yeri tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya duduk di sampingnya. Jena memukul lengan Yeri pelan, “Ngagetin lo ah!” Yeri hanya tertawa puas melihat wajah terkejut kakak perempuannya. Setelah itu suasana kembali hening. Hanya ada suara televisi dan suara dari handphone Jena. Tak lama terdengar suara dari perut Yeri. Yeri memegang perutnya, ia lapar. Ia pun menusuk-nusuk lengan Jena dengan jari telunjuknya mencoba mencuri atensi kakaknya. "Jena.. gue laper." "Bikin mie instan aja sana, pake nasi biar kenyang" timpal Jena tanpa menoleh ke arah adiknya itu. Sibuk dengan handphonenya. "Gak ada makanan lain? Gue bosen mie terus." "Kalau gak mau yaudah, tunggu Tara pulang." Jawab singkat Jena, Yeri mendengus kesal. "Tara kan pulangnya jam 11, masa gue harus nunggu 2 jam?" "Terserah lo" dengan sangat terpaksa, Yeri bangun dari duduknya dan berjalan menuj
Satu minggu telah berlalu. Lagi-lagi kegaduhan terdengar di dalam rumah Yeri. Keluarga Yeri memang tidak bisa lepas dari kata gaduh. Ya lebih tepatnya Tara dan Jena, dua kakak beradik itu sering membuat kebisingan setiap hari. Kehebohan hari ini berawal dari Jena yang meminta Tara mengajarkannya memasak untuk makan malam dan berakhir dengan Tara yang tidak berhenti mengomel seperti ibu-ibu. 'Lo mau masak apa bakar rumah sih?!' 'Lo mau masak ikan yang bener dong, masa sisik ikannya lo makan juga!' 'Gila! Garamnya dikit aja woy! Lo kalo mau bunuh diri ga usah ngajak yang lain' Kira-kira seperti itulah pertengkaran kakak beradik ini. Tara dan Jena memang susah akur karena umur mereka hanya terpaut 1 tahun, jadi diantara mereka tidak ada yang mau mengalah. Akhirnya Jena menyerah. Dia memang tidak pandai memasak. Dan semua hal tentang masakan diambil alih oleh Tara. Jena hanya membantu menata piring-piring di meja makan. "Lo panggil Yeri sama Key gih" perintah Tara. Dengan malas Jena m
Hari ini Yeri tidak masuk sekolah. Alpha. Tidak ada yang tahu kenapa Yeri absen, bahkan para sahabatnya pun tidak tahu. Saat bel istirahat berbunyi, Serena dan yang lain berkumpul di pojok belakang kelas, duduk mengelilingi meja Helmi dan Justin. Mereka sedang menerka-nerka alasan mengapa Yeri tidak hadir hari ini. “Tumben banget loh. Yeri gak masuk sekolah tapi gak ngasih kabar ke kita sama sekali.” Celetuk Wendy, yang lain mengangguk mengiyakan. “Coba deh Ser, lo chat Kak Tara atau Jena.” Usul Justin. Serena menggeleng pelan dan menunjukkan layar handphonenya, “Udah, tapi gak di bales. Di read aja engga.” Setelah itu hanya ada keheningan di antara mereka. Mereka berkutat dengan pikiran masing-masing hingga Wendy menyarankan Serena untuk mencoba menelepon Tara atau Jena. Serena mengangguk dan kemudian mencoba menghubungi kedua kakak Yeri. “Mau kemana lo
Sehari setelah para sahabatnya menjenguk Yeri, Ia merasa lebih baik dan memutuskan untuk masuk sekolah hari ini. Walaupun luka lebam pada lengannya belum juga sembuh. Tara sempat membujuk sang adik untuk beristirahat dirumah lebih lama namun Yeri menolak bujukan sang kakak. Ia tidak mau tertinggal pelajaran. "Yer, pulang aja ya?" Yeri yang sedari tadi menelungkupkan kepalanya langsung menegakkan badannya dan menghela napas lelah. Sudah yang kesekian kalinya Wendy menyuruhnya untuk pulang, "Gue gapapa Wen." "Ih, muka lo masih pucet Yer!" "Ayo Yer. Biar gue nyuruh si Justin atau Helmi ngan-" ucapan Wendy terputus saat seseorang memasukkan sepotong roti kedalam mulutnya. "Bawel banget deh lo." Helmi- si pelaku- mendapat pukulan yang tidak bisa dikatakan pelan di punggungnya. Sementara Yeri hanya tertawa melihatnya. Ah.. sudah berapa hari Ia tidak masuk sekolah dan Ia merindukan keributan yang dibuat oleh pata sahabatnya itu. "Beneran udah sehat Yer?" tanya Justin. "Udah kok." Just
Matahari belum muncul sepenuhnya namun Tara serta Jena sudah sibuk dan lagi-lagi menimbulkan kebisingan. Yeri yang sedang duduk disofa menatap jengah kearah kedua kakaknya yang mondar-mandir tidak jelas, “Lo berdua ngapain sih?” “Gue sama Jena mau ke rumah Om Seokjin.” Ucap Tara yang sudah rapih dengan setelan kemejanya. “Terus gue gak lo ajak gitu?” sungut Yeri, Tara menatap Yeri datar. Laki-laki itu pun mendudukan bokongnya di samping adik perempuannya. Menunggu Jena yang masih bersiap di kamarnya, “Lo kan tau kejadian semalem, gak mungkin gue ajak Key. Jadi lo dirumah aja jagain Key.” Yeri membenarkan ucapan kakak laki-lakinya dalam hati. Selanjutnya hanya ada suara televisi yang mengisi ruang tamu. Tak lama kemudian, Jena yang telah selesai bersiap datang dan menyeret Tara untuk segera berangkat. Mata Yeri bergerak mengikuti kedua kakaknya hingga mereka tidak terlihat lagi dalam pandangannya. Yeri menggeleng pelan dan terkekeh kecil melihat tingkah kakaknya itu. Setelahnya Yeri
Sepuluh menit menuju tengah malam. Seluruh penghuni rumah sudah terlelap namun Tara masih terjaga, tidak bisa tidur. Ia memandang langit-langit dan menjadikan tangannya sendiri sebagai bantal. Entahlah, dia tiba-tiba merasa khawatir dengan keadaan adik-adiknya dirumah. Walau Ia yakin Yeri pasti mengundang teman-temannya menginap tapi rasa cemas tetap datang menghampirinya. Tara mendudukan tubuhnya dan mengusap wajahnya. Disaat yang bersamaan, pintu kamar Tara terbuka dan memperlihatkan Jena dengan piyama tidurnya. Ada raut gelisah di wajahnya, “Kenapa Jen?” “Can we go home now? Perasaan gue gak enak.” Tanpa berpikir dua kali, Tara mengangguk menyetujui saran adiknya. Dengan tidak enak hati, Tara dan Jena harus membangunkan om serta tantenya di tengah malam untuk berpamitan. Namun siapa sangka Juna dan istrinya memutuskan untuk ikut keponakannya pulang ke rumah. Dengan waktu yang singkat untu
“Om masih punya nomor telepon temen om gak?”“Temen yang mana? Temen Om banyak omong-omong.” Jawab Juna sambil menyesap kopi yang baru dibuat kembali oleh Sonya-istrinya.“Yang waktu itu nolongin kita Om.”“Ohh.. Yoshi?” tebak lelaki itu. Tara dan Jena langsung mengangguk semangat. Juna menatap kedua keponakan kesayangannya intens, sedangkan kedua kakak beradik itu menatap Om-nya penuh harap. Sembari menghela napas, Juna menegakkan tubuhnya dan menyesap kembali kopinya, “Om ga inget nomornya, coba tanya tante mu.”-:-Posisi matahari tepat diatas kepala. Di tengah teriknya matahari, mobil Tara melaju membelah jalanan. Akhirnya mereka mendapatkan nomor telepon dan alamat Yoshi dari Sonya, tantenya. Namun, saat Jena mencoba menghubungi teman Om dan tantenya itu ternyata nomornya sudah tidak aktif. Disinilah m
Matahari belum muncul sepenuhnya namun Tara serta Jena sudah sibuk dan lagi-lagi menimbulkan kebisingan. Yeri yang sedang duduk disofa menatap jengah kearah kedua kakaknya yang mondar-mandir tidak jelas, “Lo berdua ngapain sih?” “Gue sama Jena mau ke rumah Om Seokjin.” Ucap Tara yang sudah rapih dengan setelan kemejanya. “Terus gue gak lo ajak gitu?” sungut Yeri, Tara menatap Yeri datar. Laki-laki itu pun mendudukan bokongnya di samping adik perempuannya. Menunggu Jena yang masih bersiap di kamarnya, “Lo kan tau kejadian semalem, gak mungkin gue ajak Key. Jadi lo dirumah aja jagain Key.” Yeri membenarkan ucapan kakak laki-lakinya dalam hati. Selanjutnya hanya ada suara televisi yang mengisi ruang tamu. Tak lama kemudian, Jena yang telah selesai bersiap datang dan menyeret Tara untuk segera berangkat. Mata Yeri bergerak mengikuti kedua kakaknya hingga mereka tidak terlihat lagi dalam pandangannya. Yeri menggeleng pelan dan terkekeh kecil melihat tingkah kakaknya itu. Setelahnya Yeri
Sehari setelah para sahabatnya menjenguk Yeri, Ia merasa lebih baik dan memutuskan untuk masuk sekolah hari ini. Walaupun luka lebam pada lengannya belum juga sembuh. Tara sempat membujuk sang adik untuk beristirahat dirumah lebih lama namun Yeri menolak bujukan sang kakak. Ia tidak mau tertinggal pelajaran. "Yer, pulang aja ya?" Yeri yang sedari tadi menelungkupkan kepalanya langsung menegakkan badannya dan menghela napas lelah. Sudah yang kesekian kalinya Wendy menyuruhnya untuk pulang, "Gue gapapa Wen." "Ih, muka lo masih pucet Yer!" "Ayo Yer. Biar gue nyuruh si Justin atau Helmi ngan-" ucapan Wendy terputus saat seseorang memasukkan sepotong roti kedalam mulutnya. "Bawel banget deh lo." Helmi- si pelaku- mendapat pukulan yang tidak bisa dikatakan pelan di punggungnya. Sementara Yeri hanya tertawa melihatnya. Ah.. sudah berapa hari Ia tidak masuk sekolah dan Ia merindukan keributan yang dibuat oleh pata sahabatnya itu. "Beneran udah sehat Yer?" tanya Justin. "Udah kok." Just
Hari ini Yeri tidak masuk sekolah. Alpha. Tidak ada yang tahu kenapa Yeri absen, bahkan para sahabatnya pun tidak tahu. Saat bel istirahat berbunyi, Serena dan yang lain berkumpul di pojok belakang kelas, duduk mengelilingi meja Helmi dan Justin. Mereka sedang menerka-nerka alasan mengapa Yeri tidak hadir hari ini. “Tumben banget loh. Yeri gak masuk sekolah tapi gak ngasih kabar ke kita sama sekali.” Celetuk Wendy, yang lain mengangguk mengiyakan. “Coba deh Ser, lo chat Kak Tara atau Jena.” Usul Justin. Serena menggeleng pelan dan menunjukkan layar handphonenya, “Udah, tapi gak di bales. Di read aja engga.” Setelah itu hanya ada keheningan di antara mereka. Mereka berkutat dengan pikiran masing-masing hingga Wendy menyarankan Serena untuk mencoba menelepon Tara atau Jena. Serena mengangguk dan kemudian mencoba menghubungi kedua kakak Yeri. “Mau kemana lo
Satu minggu telah berlalu. Lagi-lagi kegaduhan terdengar di dalam rumah Yeri. Keluarga Yeri memang tidak bisa lepas dari kata gaduh. Ya lebih tepatnya Tara dan Jena, dua kakak beradik itu sering membuat kebisingan setiap hari. Kehebohan hari ini berawal dari Jena yang meminta Tara mengajarkannya memasak untuk makan malam dan berakhir dengan Tara yang tidak berhenti mengomel seperti ibu-ibu. 'Lo mau masak apa bakar rumah sih?!' 'Lo mau masak ikan yang bener dong, masa sisik ikannya lo makan juga!' 'Gila! Garamnya dikit aja woy! Lo kalo mau bunuh diri ga usah ngajak yang lain' Kira-kira seperti itulah pertengkaran kakak beradik ini. Tara dan Jena memang susah akur karena umur mereka hanya terpaut 1 tahun, jadi diantara mereka tidak ada yang mau mengalah. Akhirnya Jena menyerah. Dia memang tidak pandai memasak. Dan semua hal tentang masakan diambil alih oleh Tara. Jena hanya membantu menata piring-piring di meja makan. "Lo panggil Yeri sama Key gih" perintah Tara. Dengan malas Jena m
Hari semakin larut. Jena sedang asik memainkan ponselnya, telivisi yang menyala dihadapannya pun ia abaikan. Kemudian Jena tersentak kaget saat Yeri tiba-tiba menjatuhkan tubuhnya duduk di sampingnya. Jena memukul lengan Yeri pelan, “Ngagetin lo ah!” Yeri hanya tertawa puas melihat wajah terkejut kakak perempuannya. Setelah itu suasana kembali hening. Hanya ada suara televisi dan suara dari handphone Jena. Tak lama terdengar suara dari perut Yeri. Yeri memegang perutnya, ia lapar. Ia pun menusuk-nusuk lengan Jena dengan jari telunjuknya mencoba mencuri atensi kakaknya. "Jena.. gue laper." "Bikin mie instan aja sana, pake nasi biar kenyang" timpal Jena tanpa menoleh ke arah adiknya itu. Sibuk dengan handphonenya. "Gak ada makanan lain? Gue bosen mie terus." "Kalau gak mau yaudah, tunggu Tara pulang." Jawab singkat Jena, Yeri mendengus kesal. "Tara kan pulangnya jam 11, masa gue harus nunggu 2 jam?" "Terserah lo" dengan sangat terpaksa, Yeri bangun dari duduknya dan berjalan menuj
Atensi Yeri terpaku pada layar televisi. Sesekali tanganya mengambil cemilan diatas meja kemudian memasukkannya kedalam mulutnya. Hanya Yeri yang berada di ruang tamu. Jena sedang membantu adik bungsunya mengerjakan tugas rumah dikamar Key, sedangkan Tara belum kembali dari tempat kerjanya.tuk tuk tukSuara ketukan sedari tadi terdengar dari arah dapur. Yeri yang mulanya menikmati siaran televisi harus terganggu oleh suara yang membuat siapapun yang mendengarnya menjadi parno. Entah mengapa semakin Yeri mengabaikan suara itu, semakin keras pula suara itu terdengar. Yeri meraih remote kemudian menambah volume suara televisi. Sesaat suara itu tidak lagi terdengar. Yeri pun kembali menyamankan tubuhnya diatas sofa dengan kaki yang Ia naikkan keatas meja.Tidak lama kemudian tubuh Yeri kembali menegang. Suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras dan jelas seakan suara itu berasal dari samping Yeri. Sangat jelas. Yeri mengigit bibir bawahnya dan mencengkram erat pinggiran sofa. Ia ing
"Cepetan buka bagasi nya." "Iya bawel." Setelah selesai berbelanja kebutuhan rumah, Jena dan Tara langsung bergegas pulang kerumah. Namun, saat mereka sudah masuk kedalam mobil, Tara tidak langsung menyalakan mesin mobil melainkan berkutat dengan ponselnya. Hal itu pun membuat Jena kesal. "Buruan jalan. Kasian dua bocil dirumah sendirian," Omel Jena sambil memukul bahu Tara. "Bentar napa sih! gue mau bales chat Irena dulu." jawab Tara dan dibalas dengan puluhan ocehan Jena. "Sumpah, besok-besok mending gue ngajak Yeri buat belanja. Lo bikin gue pengen gigit stir mobil mulu." dumel Tara. Setelah itu mobil Tara melaju dengan kecepatan rata-rata. Jalanan yang tidak terlalu ramai mempersingkat waktu perjalanan. Saat berada di jalan menuju rumahnya, tiba-tiba sesuatu melesat dengan cepat di depan mobil Tara. Tara yang terkejut pun menginjak rem dengan kuat membuat tubuhnya dan Jena terhuyung ke depan. "Apaan itu? jangan-jangan lu nabrak orang!!" ucap Jena Histeris. Jena pun menyuruh