Nalen berjalan dengan langkah cepat memasuki rumah Mark. Kehadirannya yang tak terduga membuat Anna dan Mark yang tengah mengobrol serius kaget sekaligus panik. Takut kalau laki-laki itu mendengar pembicaraan mereka."Nalen, bukannya kamu di Ja-" Belum selesai kalimat yang Anna ucapkan, Nalen tiba-tiba bergerak dengan cepat dan langsung mengarahkan bogem mentah pada Mark.BUGH! BUGH!"Aaaa!" Anna memekik kaget. Ia langsung menyingkir menjauhi dua pria yang kini terlibat adu jotos di depannya."Di mana kamu menyembunyikan Safiyya, Brengsek!" seru Nalen dengan kemarahan tak terkendali.Laki-laki itu masih mengenakan kemeja rapi. Memang usai semua masalah perusahaan beres, Nalen langsung tebang ke Bali. Sesuai rencana, ia berniat menjemput Safiyya dan Nafis, tapi pertemuan indah yang sudah dibayangkan dalam benaknya justru harus berakhir dengan kenyataan berbeda. Safiyya tak ada di rumah. Bahkan semua barang-barang sang istri, Nafis, dan Gibran pun sudah tak ada.Tanpa menunggu waktu ia
Nalen duduk dengan gelisah di sebuah kafe. Sudah sekitar setengah jam ia di sana. Tapi orang yang ditunggunya tak kunjung datang. Bolak-balik ia menatap ke arah pintu masuk, berharap orang itu tiba-tiba muncul. Walau kemungkinannya kecil, Nalen akan tetap menunggu.Tak berapa lama, seorang wanita berhijab masuk. Nalen melambaikan tangan ke arah Maira saat melihatnya mengedarkan pandangan. Dengan langkah anggun akhirnya wanita itu mendekat."Ada apa kamu meminta bertemu? Waktuku nggak banyak. Jadi cepatlah katakan," ujar Maira ketus. Lalu menjatuhkan diri di kursi, tepat di depan Nalen.Lama Nalen menatap Maira yang kini memalingkan wajahnya ke luar jendela. Wanita di depannya sekarang ini, terlihat jauh berbeda dari dua tahun lalu. Maira tampak lebih dewasa. "Maaf, karena kedatangan saya mungkin menganggu ketenangan hidupmu lagi," ujar Nalen akhirnya. Biar bagaimanapun Nalen masih merasa bersalah pada wanita ini dan keluarganya. Dari ayahnya, Nalen tahu kalau keluarga Maira pun memut
"Mark, aku akan berlibur ke Indonesia," ujar Alice dengan antusias saat Mark tengah berkutat dengan buku-buku di meja.Mark tak memperdulikan sang adik yang mengganggu acara belajarnya. "Kau akan mencari apa di sana? Kau pikir aku peduli," Mark membalas tak acuh. Mark memang tipikal orang yang tak pandai mengekspresikan perasaan. Alhasil selalu kata-kata pedas yang keluar dari mulutnya. Padahal dalam hati ia begitu menyayangi Alice.Hal itu membuat Alice mencabikan bibir kesal. Kakak laki-lakinya ini memang terlalu kutu buku. Bahkan di usianya yang menjelang dua puluh tujuh tahun, Mark belum pernah berpacaran. Menurut Alice kakaknya ini benar-benar kuno. Bahkan saking kupernya Mark hampir tak memiliki teman dekat. Hari-harinya hanya dihabiskan untuk belajar dan mengurus perusahaan keluarga."Aku ingin melihat kampung halaman pacarku. Kau ingat Nalendra, kan? Laki-laki berdarah campuran Indonesia itu. Dia sekarang kekasihku," ujar Alice semakin antusias."Ya, ya. Laki-laki yang kau bil
Safiyya menatap sebuah bangunan pesantren sederhana di depannya. Meski tak sebesar pondok pesantren Gibran saat di Bali, tapi Safiyya yakin tempat ini adalah tujuan paling tepat bagi hidupnya ke depan. Ia dan Gibran baru saja turun dari angkutan umum setelah melewati perjalanan berjam-jam lamanya. Sang adik terlihat menggendong Nafis yang tertidur. Beruntung letak pesantren tak jauh dari bandara. Tak berapa lama seorang wanita paruh baya terlihat menghampiri Safiyya di depan gerbang."Mbak Safiyya?" tanya wanita bertubuh gemuk itu memastikan.Safiyya mengangguk dengan senyum sopan."Selamat datang, semoga kerasan di sini. Saya Ibu Surti, yang bertugas mengurus semua makanan untuk anak-anak di pondok. Adik saya, Bu Mirah, sudah menceritakan tentang kamu sama saya. Mari saya antar masuk," sambung wanita itu sambil membantu Safiyya membawa barang bawaan.Bu Surti membawa Safiyya masuk ke bangunan paling belakang pondok. Melewati beberapa ruang yang biasa digunakan untuk menimba ilmu. Ia
Nalen terlihat gelisah dan mondar-mandir di depan meja kerjanya. Ia tengah menunggu kabar dari orang suruhan yang ia tugasi untuk mencari laki-laki asing asal Australia. Sudah lima bulan berlalu sejak Safiyya pergi, ia masih berusaha keras untuk bisa menemukan sang istri. Tanpa lelah ia terus menyuruh orang-orangnya mencari wanita itu,Tak berapa lama, Anna tiba-tiba masuk bersama Aidan. Nalen sedikit kaget saat melihat wanita itu di perusahaannya."Anna, untuk apa kamu di sini?" Nalen sedikit heran. Kehadiran wanita itu sama sekali tak diinginkan untuk saat ini. Mengingat Safiyya pasti akan terluka jika tahu. Nalen tak ingin menghianati cinta Safiyya."Hai," sapa Anna ceria. Ia berusaha bersikap sopan di depan ayah Nalen."Papa sengaja membawa dia ke sini untuk membantu kamu menemukan Safiyya sekaligus mengurus perusahaan. Papa harap dengan kehadiran Anna kamu bisa merasa lebih baik. Mulai hari ini dia akan jadi sekretaris kamu," ujar Aidan yang duduk di kursi roda. Ia menatap putran
Nalen melajukan mobilnya dengan kecepatan maksimal. Langit kota Sydney mulai berwarna jingga saat kendaraannya mulai memasuki wilayah Tamarama. Sekitar lima kilometer dari pusat kota. Daerah tepi pantai yang juga dikenal sebagai Glamarama ini, mengalami banyak perubahan sejak Nalen terakhir kali ke negeri kanguru.Tak berapa lama ia pun sampai di depan sebuah rumah mewah tiga lantai, dengan elemen bangunan menggunakan banyak panel kaca. Setelah menunggu beberapa saat pemilik rumah pun akhirnya mengizinkan Nalen masuk. Rupanya Mark memang bukan orang sembarangan.Bangunan bergaya era 70-an itu dikelilingi taman luas dilengkapi dengan kolam renang. Fasilitasnya pun sangat banyak dan mewah. Sepertinya Mark mendesain khusus rumah itu sesuai dengan seleranya. Rupanya Mark benar-benar bukan orang biasa.Tak perlu menunggu lama ketika Nalen sudah siap mengarahkan bogem mentah pada Marik, ia justru dikejutkan dengan kondisi laki-laki itu yang terlihat pucat dan tak berdaya. Kata-kata makian y
Nalen melajukan mobilnya ke arah pemakaman Waverley. Seperti rencananya kemarin saat bertemu Mark. Pemakaman yang Nalen tuju memiliki pemandangan pantai yang indah karena berada di atas tebing Bronte di pinggiran timur Sydney, New South Wales.Setelah lama mencari, Nalen akhirnya menemukan nisan bertuliskan Alicia Johnson. Ia tertegun saat melihat makam wanita yang pernah jadi bagian hidupnya, diapit oleh dua makan lain yang ia tahu adalah orang tua Alice. Kini ia memahami apa yang menyebabkan Mark begitu membencinya. Laki-laki itu telah kehilangan orang-orang yang dicintai, dan menyalahkannya atas kematian sang adik.Nalen meletakan buket bunga lili kesukaan Alice sebelum ia bicara. "Maaf karena baru sempat menjengukmu. Maaf karena membuatmu menunggu begitu lama untuk mengucapkan kalimat penyesalan ini." Nalen menundukan kepala, semua kata-kata yang ingin diucapkan seperti tertahan di tenggorokan. Lidahnya kelu."Maaf karena tak pernah tahu tentang keberadaan anak kita, dan membuatny
Safiyya tengah berkutat dengan dapur pagi ini. Seperti biasa tugasnya sehari-hari di pesantren adalah membantu Bu Surti menyiapkan makanan anak-anak pondok. Sesekali ia juga diminta menjadi guru pengganti mata pelajaran akuntansi, untuk anak yang bersekolah di yayasan itu. Safiyya tak pernah meminta bayaran, karena bisa diizinkan untuk tinggal di pesantren Ustaz Ghofur saja ia sudah bersyukur.Sudah lima bulan sejak ia datang ke pesantren, Safiyya mulai kerasan tinggal di sana. Ustaz Ghofur, sang pemilik pesantren itu juga sangat baik. Terlebih pada Nafis."Kamu nggak ada keinginan untuk mencari kerja yang lebih baik, Saf? Kamu kan sekolahnya tinggi, toh?" ujar Bu Surti suatu hari.Perkataan wanita itu membuat Safiyya yang tengah menghidupkan api di tungku tersenyum dan menjawab. "Saya nggak bisa meninggalkan Nafis, Bu. Dia masih terlalu kecil.""Walah, kan ada Ibu, Saf. Ada adikmu juga yang menjaga. Ibu cuman kasihan melihat kamu harus kerja seperti sini. Sayang sekali ijasah kamu k
Tiga bulan berlalu dari semua kekacauan hidup yang Safiyya alami. Wanita itu kini tengah menikmati kebahagiaan berlimpah. Terlebih keadaan Nalen pulih dengan cepat setelah melakukan banyak terapi. Kini keduanya tengah berbahagia untuk menanti kelahiran buah hati. Usia kandungan Safiyya kini sudah berusia enam bulan.Safiyya menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Gaun putih brokat dengan detail payet nan mewah bermodel mengembang, membalut tubuh Safiyya dengan pas. Hijab putihnya dipercantik dengan mahkota kecil di atas kepala. Penampilannya hari ini sungguh sangat menakjubkan.Safiyya tersenyum lebar lalu menarik nafas untuk menghilangkan kegugupan, mengingat hari ini acar resepsi pernikahannya akan segera digelar. Keduanya memang sepakat untuk mengundur rencana peresmian pernikahan mereka sampai Nalen benar-benar pulih. Seperti rencana terakhir kemarin, acara itu benar-benar digelar di Bali. Tepatnya di belakang cafe Nalen dengan latar danau Baratan dan pure-pure nan megah."Sayan
Safiyya menatap gundukan tanah merah di depannya dengan perasaan tak menentu. Di sampingnya Maira terus menenangkan wanita itu yang tampak sudah kelelahan. Pemakaman tersebut hanya dihadiri beberapa rekan kantor dan orang-orang yang kenal baik dengan Anna. Sedangkan Brian dikuburkan di samping makam Anna. Keduanyya meninggal dalam waktu bersamaan. Meski dengan kematian keduanya kasus kecelakaan Alice akhirnya tak diusut, Safiyya tetap merasa bersyukur. Mungkin ini yang terbaik menurut Allah.Ya, hari ini Safiyya tengah berada di depan makam Anna dan Brian untuk mengantarkan mereka ke peristirahatan terakhir. Setelah perjuangan Anna selama beberapa hari, wanita itu akhirnya menyerah.Bersamaan dengan itu, Nalen juga dirawat di ruang ICU. Suaminya masih belum bangun hingga detik ini setelah menjalani oprasi."Ayo kita pulang. Anna sudah tenang di alam sana bersama Brian," ujar Maira sambil menuntun Safiyya menjauh dari pemakaman.Safiyya tak banyak bicara, sejak semua kejadian itu ia me
Safiyya terbangun subuh hari karena suara putrinya yang memanggil. Gadis kecil itu naik ke kasur empuk dimana di sana ada ibunya yang masih terlelap."Bunda, Papa pergi." Tiba-tiba Nafis berkata seperti itu sambil mengguncang tubuh Safiyya. Mendengar ucapan putri nya, Safiyya reflek bangun, ia mendapati tempat tidur di sampingnya sudah kosong. Wanita itu menundukkan kepala karena sedih. Firasatnya ternyata benar, Nalen pergi setelah mengucap salam perpisahan padanya semalam."Permisi, Bu."Bu Anni menginterupsi obrolan Safiyya dan putrinya, lalu masuk ke kamar. "Ada apa, Bu Ani?" tanya Safiyya dengan nada lemah, wajahnya terlihat pucat dan sembab karena terus menangis sejak malam tadi."Pak Nalen semalam menitipkan ini pada saya. Dia bilang maaf karena pergi dengan cara diam-diam. Beliau nggak mau melihat Ibu sedih dan menangis lagi." Bu Ani lalu menyodorkan sebuah surat pada Safiyya."Ibu tolong bawa Nafis keluar dulu, ya."Bu Ani pun mengangguk lalu membawa gadis kecil itu keluar ka
Seperti rencana kemarin, hari ini Nalen dan keluarga kecilnya berangkat lebih dulu ke Bali. Ia berusaha melakukan yang terbaik untuk melindungi keluarganya. Bukan tanpa alasan mengapa Nalen merasa khawatir dengan belum tertangkapnya Brian.Mark mengatakan pada Nalen beberapa minggu lalu, bahwa Brian pernah memiliki catatan buruk masalah kesehatan mental yang dia derita. Laki-laki itu meski lahir dari keluarga kaya, tapi keluarganya terlalu misterius untuk ditelusuri. Kemungkinan alasan Brian tinggal bersama neneknya di Australia, adalah karena latar belakang keluarganya.Mark hanya bisa membantu Nalen untuk menyelidiki sebatas itu. Dia bilang terlalu berisoko menelusuri lebih jauh keluarga Brian. Sebab Brian sudah lama memilih tinggal terpisah dengan keluarganya yang kaya dengan alasan penyembuhan. Neneknya lah yang mengasuh Brian sejak dia duduk di bangku sekolah menengah.Kenyataan itu semakin membuat Nalen ketakutan setiap hari. Terlebih ia pernah memiliki masalah dengan laki-laki
Safiyya menatap kondisi Anna dari jendela kaca besar di sebuah kamar rumah sakit. Wanita itu masih terbaring lemah di ruang ICU setelah dua hari ini dirawat. Safiyya kembali mengingat perkataan dokter yang menangani Anna waktu itu. Sebuah kalimat yang membuat hatinya seakan ikut tersayat."Wanita ini telah mengalami pemerkosaan yang sangat parah. Sekujur tubuhnya mengalami luka memar akibat pukulan yang sangat keras. Organ vitalnya pun telah dihancurkan dengan cara paling tak manusiawi. Saya tak yakin dia akan sadar dalam waktu dekat setelah siksaan yang ia terima. Beruntung dia masih kuat pergi jauh ke rumah Anda untuk meminta pertolongan. Jiak tidak saya tak yakin dia mampu bertahan dalam waktu tiga hari saja dengan kondisinya yang seperti ini."Dada Safiyya sesak membayangkan apa yang menimpanya dulu harus dialami pula oleh Anna. Meski Anna begitu jahat padanya, tapi hati nuraninya sebagai sesama wanita yang pernah mengalami nasib tragis itu, benar-benar ikut merasa sakit. Butuh wa
Anna membanting pintu dengan keras begitu ia masuk ke dalam rumah. Tatapan matanya menyiratkan kebencian dan amarah. "Hah, Brengsek! Bisa-bisanya mereka mentertawakan aku seperti tadi. Awas saja kalian, tunggu pembalasanku." Napas Anna naik turun karena teriakan itu. Bukan saja marah karena lelucon sahabat Safiyya. Ia juga marah karena wanita itu akhirnya mengandung anak Nalen. Jika sudah begitu semuanya akan semakin sulit."HAAAAAH!" Terlalu kuat teriakan itu hingga membuat nafas Anna kembali naik turun. Merasa sudah tak sanggup lagi menghadapi kesedihan dan rasa putus asa, Anna jatuh terduduk lalu suara tangisnya mulai terdengar memenuhi rumah itu.Haruskah ia menyerah sekarang atau berjuang hingga titik darah penghabisan? Kenapa cinta Nalen begitu sulit untuk digapai? Mengapa perjuangannya tak pernah sedikitpun dilihat olehnya? Memikirkan semua itu, mata Anna tiba-tiba menggelap karena dendam. "Jika aku tak bisa memilikimu, maka kamu tak akan bisa menjadi milik orang lain," ujarnya
Safiyya melangkahkan kaki memasuki kantor dengan langkah ringan. Sepanjang jalan ia tiba-tiba merasa semua orang memperhatikan dirinya."Mereka semua kenapa, Mas?" tanya Safiyya heran sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kantor. Dimana orang-orang tengah memperhatikan dirinya dan Nalen.Mendengar ucapan istrinya, Nalen pun tersenyum. "Mereka pasti sudah tahu berita bahagia tentang kamu."Safiyya menautkan Alis mendengar ucapan suaminya. Ia masih tak paham karena Safiyya memang sudah dua hari ini tak berangkat ke kantor. Nalen terus memaksanya istirahat. Bahkan hari ini juga Nalen ingin Safiyya keluar dari kantor demi kesehatan bayinya sekaligus menjaga dari kemungkinan terburuk. Nalen khawatir kalau Anna bisa saja merencanakan mencelakakan dia dan bayinya di kantor ini. Mempertimbangkan semua itu Safiyya pun akhirnya setuju. Dan hari ini dia akan berpamitan pada semua teman baiknya di sini."Selamat, Bu Safiyya, atas kehamilannya," ucap seorang karyawan yang berpapasan dengan
Safiyya keluar dari ruang dokter dengan perasaan tak menentu. Ia menatap lagi kertas putih yang ia bawa dan membaca setiap huruf bertuliskan kalimat 'positiv' dengan seksama. Senyum Safiyya merekah kala mengingat Nalen pasti akan sangat bahagia jika tahu bahwa ia kini tengah mengandung anaknya.Maira yang melihat tingkah aneh sang sahabat akhirnya ikut mendekat. Ia pun penasaran. "Gimana hasilnya, Saf? Apa kata dokter?" Maira sungguh penasaran.Safiyya menatap Maira sejenak sebelum menjawab pertanyaannya, senyumnya merekah. "Aku hamil, Mai. Aku hamil!" seru Safiyya bahagia. Ia langsung memeluk Maira antusias. Bahkan sangking bahagianya ia seolah tak peduli dengan tatapan aneh orang-orang di sana.Senyum Maira pun mengembang mendengar kabar itu. Ia ikut senang dengan kabar baik ini. "Selamat, Saf. Aku ikut bahagia mendengarnya. Nalen pasti seneng banget kalau tahu," ujar Maira tulus. Ia mengurai pelukan dan menatap Safiyya yang kini menitikan air mata karena terharu."Ayo kita pulang d
"Lepas, brengsek!" Anna berteriak pada beberapa orang yang coba menghajarnya ketika ia di jalan menuju rumah. Mereka terdiri dari dua orang laki laki dan dua perempuan.Mereka semua adalah teman-temannya yang hidup di jalanan dan bernasib kurang beruntung sepertinya. "Heh Anna, sekarang kau sombong sekali. Mentang-mentang bisa sekolah di tempat orang kaya!" Seru salah satu dari mereka. Sementara dua yang lain memegangi tangan wanita itu."Kalau kau ingin seperti aku, belajarlah agar otakmu bisa cerdas sepertiku, dasar sampah!" Balas Anna arogan.Mendengar hinaan itu, perempuan di depan Anna pun marah. Tanpa pikir dua kali mereka bergantian memukuli Anna. Ia sudah akan menyerah ketika sebuah suara tiba-tiba terdengar menginterupsi."Apa yang kalian lakukan!" seru suara itu mendekat. Kehadirannya membuat anak-anak itu pun ketakutan, lalu membubarkan diri.Nalen mengalihkan perhatian pada Anna yang sekarang kondisinya sudah babak belur. "Kau tak apa?" tanya Nalen sambil membantu Anna ber