"Aku benar-benar merindukanmu dan Nafis. Harusnya kemarin kalian ikut saja ke Jakarta." Nalen menarik nafas dalam saat mengatakan hal itu pada orang di seberang yang tak lain Safiyya. Sudah dua minggu ini keduanya benar-benar menjalani hubungan jarak jauh yang sangat menyiksa. Tak terhitung berapa kali Nalen menghubungi istrinya hanya untuk mengeluhkan betapa rindunya dia.Di seberang sana Safiyya pun terkekeh mendengar keluhan suaminya. "Sabarlah, selesaikan dulu urusan Mas soal perusahaan. Aku dan Nafis nggak kemana-mana, kok, selalu di sini nunggu kamu pulang." Safiyya menenangkan.Nalen yang mendengar nasihat itu mengangguk walau Safiyya tak melihat. Laki-laki dengan kemeja abu-abu itu menarik nafas panjang setelahnya. "Baiklah, aku akan sabar menahan rindu ini. Tapi berjanjilah tunggu aku pulang. Jangan pergi ke tempat di mana aku nggak bisa menemukanmu, mengerti."Safiyya tersenyum samar mendengar kalimat bernada mengintimidasi suaminya "Ya, aku janji. Kalau begitu lanjutkan pek
Nalen berjalan dengan langkah cepat memasuki rumah Mark. Kehadirannya yang tak terduga membuat Anna dan Mark yang tengah mengobrol serius kaget sekaligus panik. Takut kalau laki-laki itu mendengar pembicaraan mereka."Nalen, bukannya kamu di Ja-" Belum selesai kalimat yang Anna ucapkan, Nalen tiba-tiba bergerak dengan cepat dan langsung mengarahkan bogem mentah pada Mark.BUGH! BUGH!"Aaaa!" Anna memekik kaget. Ia langsung menyingkir menjauhi dua pria yang kini terlibat adu jotos di depannya."Di mana kamu menyembunyikan Safiyya, Brengsek!" seru Nalen dengan kemarahan tak terkendali.Laki-laki itu masih mengenakan kemeja rapi. Memang usai semua masalah perusahaan beres, Nalen langsung tebang ke Bali. Sesuai rencana, ia berniat menjemput Safiyya dan Nafis, tapi pertemuan indah yang sudah dibayangkan dalam benaknya justru harus berakhir dengan kenyataan berbeda. Safiyya tak ada di rumah. Bahkan semua barang-barang sang istri, Nafis, dan Gibran pun sudah tak ada.Tanpa menunggu waktu ia
Nalen duduk dengan gelisah di sebuah kafe. Sudah sekitar setengah jam ia di sana. Tapi orang yang ditunggunya tak kunjung datang. Bolak-balik ia menatap ke arah pintu masuk, berharap orang itu tiba-tiba muncul. Walau kemungkinannya kecil, Nalen akan tetap menunggu.Tak berapa lama, seorang wanita berhijab masuk. Nalen melambaikan tangan ke arah Maira saat melihatnya mengedarkan pandangan. Dengan langkah anggun akhirnya wanita itu mendekat."Ada apa kamu meminta bertemu? Waktuku nggak banyak. Jadi cepatlah katakan," ujar Maira ketus. Lalu menjatuhkan diri di kursi, tepat di depan Nalen.Lama Nalen menatap Maira yang kini memalingkan wajahnya ke luar jendela. Wanita di depannya sekarang ini, terlihat jauh berbeda dari dua tahun lalu. Maira tampak lebih dewasa. "Maaf, karena kedatangan saya mungkin menganggu ketenangan hidupmu lagi," ujar Nalen akhirnya. Biar bagaimanapun Nalen masih merasa bersalah pada wanita ini dan keluarganya. Dari ayahnya, Nalen tahu kalau keluarga Maira pun memut
"Mark, aku akan berlibur ke Indonesia," ujar Alice dengan antusias saat Mark tengah berkutat dengan buku-buku di meja.Mark tak memperdulikan sang adik yang mengganggu acara belajarnya. "Kau akan mencari apa di sana? Kau pikir aku peduli," Mark membalas tak acuh. Mark memang tipikal orang yang tak pandai mengekspresikan perasaan. Alhasil selalu kata-kata pedas yang keluar dari mulutnya. Padahal dalam hati ia begitu menyayangi Alice.Hal itu membuat Alice mencabikan bibir kesal. Kakak laki-lakinya ini memang terlalu kutu buku. Bahkan di usianya yang menjelang dua puluh tujuh tahun, Mark belum pernah berpacaran. Menurut Alice kakaknya ini benar-benar kuno. Bahkan saking kupernya Mark hampir tak memiliki teman dekat. Hari-harinya hanya dihabiskan untuk belajar dan mengurus perusahaan keluarga."Aku ingin melihat kampung halaman pacarku. Kau ingat Nalendra, kan? Laki-laki berdarah campuran Indonesia itu. Dia sekarang kekasihku," ujar Alice semakin antusias."Ya, ya. Laki-laki yang kau bil
Safiyya menatap sebuah bangunan pesantren sederhana di depannya. Meski tak sebesar pondok pesantren Gibran saat di Bali, tapi Safiyya yakin tempat ini adalah tujuan paling tepat bagi hidupnya ke depan. Ia dan Gibran baru saja turun dari angkutan umum setelah melewati perjalanan berjam-jam lamanya. Sang adik terlihat menggendong Nafis yang tertidur. Beruntung letak pesantren tak jauh dari bandara. Tak berapa lama seorang wanita paruh baya terlihat menghampiri Safiyya di depan gerbang."Mbak Safiyya?" tanya wanita bertubuh gemuk itu memastikan.Safiyya mengangguk dengan senyum sopan."Selamat datang, semoga kerasan di sini. Saya Ibu Surti, yang bertugas mengurus semua makanan untuk anak-anak di pondok. Adik saya, Bu Mirah, sudah menceritakan tentang kamu sama saya. Mari saya antar masuk," sambung wanita itu sambil membantu Safiyya membawa barang bawaan.Bu Surti membawa Safiyya masuk ke bangunan paling belakang pondok. Melewati beberapa ruang yang biasa digunakan untuk menimba ilmu. Ia
Nalen terlihat gelisah dan mondar-mandir di depan meja kerjanya. Ia tengah menunggu kabar dari orang suruhan yang ia tugasi untuk mencari laki-laki asing asal Australia. Sudah lima bulan berlalu sejak Safiyya pergi, ia masih berusaha keras untuk bisa menemukan sang istri. Tanpa lelah ia terus menyuruh orang-orangnya mencari wanita itu,Tak berapa lama, Anna tiba-tiba masuk bersama Aidan. Nalen sedikit kaget saat melihat wanita itu di perusahaannya."Anna, untuk apa kamu di sini?" Nalen sedikit heran. Kehadiran wanita itu sama sekali tak diinginkan untuk saat ini. Mengingat Safiyya pasti akan terluka jika tahu. Nalen tak ingin menghianati cinta Safiyya."Hai," sapa Anna ceria. Ia berusaha bersikap sopan di depan ayah Nalen."Papa sengaja membawa dia ke sini untuk membantu kamu menemukan Safiyya sekaligus mengurus perusahaan. Papa harap dengan kehadiran Anna kamu bisa merasa lebih baik. Mulai hari ini dia akan jadi sekretaris kamu," ujar Aidan yang duduk di kursi roda. Ia menatap putran
Nalen melajukan mobilnya dengan kecepatan maksimal. Langit kota Sydney mulai berwarna jingga saat kendaraannya mulai memasuki wilayah Tamarama. Sekitar lima kilometer dari pusat kota. Daerah tepi pantai yang juga dikenal sebagai Glamarama ini, mengalami banyak perubahan sejak Nalen terakhir kali ke negeri kanguru.Tak berapa lama ia pun sampai di depan sebuah rumah mewah tiga lantai, dengan elemen bangunan menggunakan banyak panel kaca. Setelah menunggu beberapa saat pemilik rumah pun akhirnya mengizinkan Nalen masuk. Rupanya Mark memang bukan orang sembarangan.Bangunan bergaya era 70-an itu dikelilingi taman luas dilengkapi dengan kolam renang. Fasilitasnya pun sangat banyak dan mewah. Sepertinya Mark mendesain khusus rumah itu sesuai dengan seleranya. Rupanya Mark benar-benar bukan orang biasa.Tak perlu menunggu lama ketika Nalen sudah siap mengarahkan bogem mentah pada Marik, ia justru dikejutkan dengan kondisi laki-laki itu yang terlihat pucat dan tak berdaya. Kata-kata makian y
Nalen melajukan mobilnya ke arah pemakaman Waverley. Seperti rencananya kemarin saat bertemu Mark. Pemakaman yang Nalen tuju memiliki pemandangan pantai yang indah karena berada di atas tebing Bronte di pinggiran timur Sydney, New South Wales.Setelah lama mencari, Nalen akhirnya menemukan nisan bertuliskan Alicia Johnson. Ia tertegun saat melihat makam wanita yang pernah jadi bagian hidupnya, diapit oleh dua makan lain yang ia tahu adalah orang tua Alice. Kini ia memahami apa yang menyebabkan Mark begitu membencinya. Laki-laki itu telah kehilangan orang-orang yang dicintai, dan menyalahkannya atas kematian sang adik.Nalen meletakan buket bunga lili kesukaan Alice sebelum ia bicara. "Maaf karena baru sempat menjengukmu. Maaf karena membuatmu menunggu begitu lama untuk mengucapkan kalimat penyesalan ini." Nalen menundukan kepala, semua kata-kata yang ingin diucapkan seperti tertahan di tenggorokan. Lidahnya kelu."Maaf karena tak pernah tahu tentang keberadaan anak kita, dan membuatny