"Bye, Sayang, kamu baik-baik di sekolah, ya. Jangan berantem," ujar Nalen pada Nafis kemudian bangkit dari posisi jongkoknya."Oke, Papa, Bunda, daaaah!"Safiyya dan Nalen menatap kepergian putrinya dengan hati bahagia. Keduanya lantas kembali masuk ke mobil untuk menuju ke rumah sakit di mana Anna dirawat. Sepanjang jalan ke sana, Nalen terus menggenggam tangan istrinya.Keduanya seperti dua remaja yang sedang jatuh cinta, karena sedari tadi senyum bahagia terus tersungging di bibir."Kamu sama Maira kok bisa kembali akrab. Kalian sudah berbaikan?" tanya Nalen memecah keheningan."Ya, secara nggak langsung, semua berjalan begitu saja. Mungkin Maira juga baru menyadari kesalahpahaman ini. Dia sudah menceritakan yang sebenarnya. Tentang alasannya berbohong saat kami bertemu di Jogja.""Syukurlah," gumam Nalen sambil tetap fokus mengemudi."Eum ... ngomong-ngomong makasih karena Mas sudah mempertemukan aku dengan Maira. Sebenarnya apa yang kamu bilang sama dia sampai bersedia menemui ak
"Berdasarkan yang Pak Angga jelaskan tadi, kita bisa menekan setengah biaya proyek ini, dan mengalokasikannya untuk membangun fasilitas kesehatan untuk warga menengah ke bawah. Saya dan tim sedang melakukan peninjaun untuk kedepannya, bagaimana menurut Anda, Pak Nalen?" Safiyya mengakhiri presentasinya di depan Nalen dan semua staf yang ikut rapat. Sejujurnya ia agak gugup karena rapat hari ini dipimpin langsung oleh suaminya.Safiyya sedikit kesal pada Bu Inggrid, karena wanita itu tiba-tiba izin pulang lebih cepat, dan menjatuhkan tanggung jawab presentasi ini padanya. Dengan alasan hanya Safiyya lah yang bisa dirinya percaya. Jika tahu rapat itu akan dihadiri juga oleh Nalen, Safiyya benar-benar tak akan mau.Bukan hanya takut akan melakukan kesalahan saat rapat, tapi juga karena Nalen terus menatapnya tanpa kedip. Alhasil selama presentase itu Safiyya harus berusaha mengatur detak jantungnya yang menggila.Safiyya menautkan alis karena Nalen malah terlihat senyum-senyum sendiri. S
"Anna!" seru Safiyya sambil menepuk pundak seorang wanita yang berjalan dengan anak kecil."Ah, Maaf," sambungnya saat mendapati kenyataan bahwa wanita berperawakan seperti Anna itu ternyata orang lain.Sudah hampir setengah jam setelah Safiyya dan Nalen tiba di rumah sakit. Keduanya juatru mendapati kenyataan bahwa Anna sudah keluar dari sana. Terlalu kalut membuat ia dan Nalen memutuskan mencari wanita itu, tapi hasilnya nihil. Anna tetap tak bisa ditemukan."Bagaimana, apa kamu menemukannya?" tanya Nalen dengan napas memburu karena terus berlarian.Safiyya menggeleng lemah, keadaannya benar-benar sangat kacau. Wanita itu sudah akan menangis."Tenang lah. Aku yakin walaupun Anna memang bersama Nafis, dia nggak mungkin berbuat macam-macam pada anak kita."Mendengar ucapan Nalen, Safiyya semakin dibuat frustasi. Ia menatap putus asa pada Nalen. "Tenang Mas bilang? Kalau Anna membawa Nafis pada Mark bagaimana?""Kenapa pikiran kamu sama Anna jadi sepicik itu, Sayang. Aku tahu Anna. Sej
Anna berjalan memasuki ruang kerjanya dengan langkah cepat. Ia terlihat menahan amarah setengah mati."Bisa-bisanya mereka bermesraan di depanku seperti tadi," ujar Anna kesal. Ia kemudian melempar kasar sling bag ke kursi, sebelum kemudian ikut menjatuhkan diri di sana.Napas Anna naik turun karena emosinya yang meledak. Sejak di depan Nalen ia berusaha keras menahan diri untuk tidak menjambak rambut Safiyya.Anna memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. Ingatannya kembali pada pembicaraannya dengan Mark kala itu. Sejujurnya Anna berbohong ketika ia bilang disuruh Mark untuk menemui Nafis. Karena pada awalnya ia memang berniat membawa pergi gadis kecil itu pada Mark tanpa izin. Ia ingin Safiyya merasakan kehilangan yang pedih, tapi setelah Anna mengingat perkataan Mark ia pun mengurungkan niat itu."Aku memang ingin bertemu Nafis dan Safiyya, Ann. Tapi bukan dengan cara jahat seperti itu. Aku akan memintanya langsung pada Safiyya dan Nalen, karena aku tak ingin mengulangi kesalahan
Safiyya menatap rumah mewah di depannya dengan perasaan tak menentu. Jantungnya berdetak sangat keras, takut dan khawatir mendominasi pikirannya.Nalen lebih dulu turun membuka pintu mobil untuk sang istri. "Kamu sudah siap bertemu, Mark?" tanya Nalen memastikan, sebelum dia benar-benar membuka pintu."Insya Allah," jawab Safiyya yakin. Ia berusaha membuang jauh semua rasa khawatir. Tak lama setelahnya ia pun turun bersama Nafis."Silahkan Tuan dan Nyonya Akhtar, Tuan Mark sudah menunggu kalian di dalam," ujar Josh, asisten pribadi Mark."Kau tidak berubah, Josh. Masih tetap seperti dulu," ujar Nalen basa-basi. Tak heran jika Nalen bisa terlihat begitu akrab dengan Josh, karena selama ini keduanya memang sering berhubungan untuk membahas bisnis yang Mark tawarkan pada perusahaan Nalen. Bahkan sesekali mereka akan membahas soal kondisi Mark.Josh pun tersenyum sebelum membalas. "Anda juga, Tuan ... mari masuk." Josh akhirnya mengantar mereka ke dalam."Ini rumah siapa, Bunda? Kok bagus
"Sayang, kamu udah siap?" Nalen menyembulkan kepalanya di pintu kamar.Kehadirannya mengagetkan Safiyya yang tengah berkutat dengan hijab pasmina berwarna krem miliknya. Wanita itu tersenyum sebelum menjawab. "Bentar lagi selesai.""Oke, aku tunggu kamu di bawah, ya." Nalen pergi setelah mendapat anggukan dari sang istri.Hari ini keduanya memang akan memutuskan berkencan seharian tanpa Nafis. Beruntung putrinya sangat pengertian dan mau diasuh oleh keluarga William selama ia dan Nalen pergi.Safiyya menatap hasil akhir penampilannya yang sangat cantik hari ini. Midi dres putih brokat, membalut tubuhnya dengan pas. Dipermanis dengan sepatu krem dan sling bag yang senada sepatunya. Keseluruhan penampilan Safiyya sangat simpel tapi tetap cantik. Setelahnya, ia pun memutuskan naik ke lantai atas di mana dapur dan ruang makan berada.Ketika menaiki tangga, Safiyya bisa melihat di sisi kiri ruangan terdapat serangkaian dinding kaca sepanjang lantai sampai langit-langit, yang dikombinasikan
Anna membanting ponselnya ke atas tempat tidur dengan amarah naik ke ubun-ubun. Ia marah setelah melihat foto-foto kebersamaan Nalen dengan Safiyya di sosial media. Anna tak menyangka Nalen benar-benar membawa istrinya menemui Mark. Dan bisa-bisanya laki-laki itu tak pamit padanya."Kalau begini ceritanya, Mark pasti akan mengatakan semua yang terjadi pada Nalen. Termasuk keterlibatanku dengan usahanya menghancurkan Safiyya," gumam Anna gelisah.Meski sejauh ini Mark benar-benar menepati janji untuk tak membawa-bawa namanya di depan Nalen, tetap saja Anna merasa khawatir.Anna pun berjalan mondar-mandir di depan ranjang untuk mencari ide agar membuat Nalen segera pulang ke Indonesia. Sebenarnya bisa saja Anna menyusul Nalen ke Australia, tapi ia mengurungkan niat itu, karena mengingat kalau Kalyra sangat tak menyukainya sejak dulu. Jika sampai ia bertemu sepupu Nalen, bisa-bisa semua sifat aslinya akan terbongkar. Karena dulu Anna dan Kalyra sempat satu sekolah.Tak berapa lama, sebua
Nalen tengah duduk di sebuah bangku taman dengan kepala tertunduk. Bekas luka di pelipis dan bibir karena berkelahi dengan seseorang masih tercetak jelas, tapi Nalen seakan tak menghiraukan kondisinya sendiri. Sejak ayahnya mengatakan akan membawa dia pulang ke Indonesia, Nalen jadi tak bersemangat. Demi meluapkan amarah dia sering sekali berkelahi.Bukannya menunggu ibunya menjemput, ia justru memilih bangkit dan berjalan tanpa arah. Hingga ia sampai di sebuah kawasan pemukiman untuk kalangan menengah ke bawah.Tiba-tiba seorang gadis menabrak tubuhnya dari depan. "Nalen," gumam gadis itu dengan tatapan tak percaya karena bisa bertemu dengan salah satu teman sekolahnya di tempat itu.Nalen tak memperdulikan Anna. Ia hanya menatap gadis itu datar."Anna, kemari kau! Dasar gadis nakal! Kau belum selesai dengan hukumanmu!" Teriak seorang laki-laki dari belakang. Menyadari ayah angkatnya berlari menghampiri, Anna langsung bersembunyi di balik punggung Nalen."Tolong bawa aku pergi dari s