Safiyya menilik jam di pergelangan tangan dengan gelisah. Masih tersisa beberapa jam lagi untuk penerbangannya dan Nafis kembali ke Indonesia. Safiyya ragu apakah harus menyetujui permintaan terakhir Mark."Sudahlah, biar aku yang menghubungi Mark kalau kau akan datang." Kalyra tiba-tiba berseru sambil merebut ponsel dari tangan Safiyya.Rupanya Kalyra benar-benar dibuat gemas oleh Safiyya karena dari tadi hanya mondar-mandir di ruang tengah. Padahal dirinya sudah tak sabar melihat Nalen marah besar."Kaly, jangan!" seru Safiyya sambil berusaha merebut ponsel dari wanita bertubuh tinggi itu."Terlambat, dia sudah mengangkatnya," ujar Kalyra sambil memperlihatkan deretan giginya yang rapih. Safiyya menatap kesal sepupu Nalen saat di seberang sana terdengar sebuah suara."Halo," sapa Josh."Jemput Safiyya sekarang di rumah ku. Dia sudah bersiap. Nanti aku kirim alamatnya."Setelah mengatakan itu, Kalyra langsung mengirim alamat lewat pesan. Lagi-lagi tindakanya membuat Safiyya menghembu
"Terimakasih karena selalu peduli padaku. Kamu bahkan rela meninggalkan Safiyya hanya demi aku," ujar Anna sambil menerima suapan dari Nalen. Wanita itu pura-pura merasa tak enak hati walau jauh di dasar hatinya Anna bersorak bahagia.Laki-laki yang diajak bicara tak menunjukan respon berarti. Nalen hanya mengangguk dengan senyum dipaksakan. Matanya kini sibuk menatap foto Safiyya yang tiba-tiba dikirim Kalyra. Bukan foto istri dan anaknya yang membuat laki-laki itu gelisah, tapi isi caption yang Kalyra tulus lah yang membuat Nalen sangat merasa terusik, karena sekilas ia melihat nama Mark disebut. Nalen tak bisa leluasa membaca pesan itu karena Anna sedari tadi mengajaknya bicara."Kamu kenapa, Nalen? Apa ada sesuatu yang kamu pikirkan? Apa Safiyya marah karena kamu pulang demi aku?" tanya Anna penasaran. Wanita itu sedang merasa di atas angin karena akhirnya berhasil mencuri perhatian Nalen lagi. Rupanya Anna sadar atas perubahan sikap Nalen, karena sedari tadi laki-laki itu tak fo
Dua hari sebelum kepulangan Safiyya...."Yusuf," Maira memanggil Yusuf yang masih berkutat dengan pekerjaan.Laki-laki yang dipanggil pun mendongak. Ia menautkan alis menatap Maira. Tak biasanya wanita berhijab itu menyambangi ruangannya. Belum lagi saapan non formal yang keluar dari bibir Maira."Ada apa?" jawab Yusuf datar lalu kembali menekuni pekerjaan. Ia sama sekali tak menyuruh wanita di depannya untuk duduk lebih dulu."Aku ingin bicara," jawab Maira serius."Bicara saja, aku akan dengarkan." Yusuf menjawab tak acuh tanpa menatap Maira. Ia akhirnya juga menggunakan sapaan non formal setelah memastikan tak ada karyawan yang mendengar pembicaraan mereka."Bantu aku menyelidiki Nalen," ujar Maira akhirnya.Mendengar nama Nalen disebut, Yusuf pun mengalihkan perhatian pada Maira. Ia mencopot kacamata dan mulai fokus mendengarkan wanita itu bicara."Ada apa dengan Safiyya?" tanya Yusuf. Perasaannya tiba-tiba menjadi khawatir. Jika Maira meminta bantuannya menyelidiki Nalen pasti ad
Anna turun dari mobil mewah milik Nalen dengan perasaan senang. Ia sama sekali tak peduli walau semua orang memperhatikan kedatangannya dan Nalen dengan tatapan menghakimi.Bukan masalah besar bila Anna hanya datang sendiri, tapi yang membuat semua orang heran adalah kemesraan mereka. Sejak turun wanita itu terus mengapit tangan Nalen.Di depan lobi keduanya tak sengaja berpapasan dengan Safiyya. Nalen terlihat syok melihat kehadiran istrinya di kantor. Pasalnya ketika Nalen menghubungi Safiyya kemarin, nomor sang istri tak aktif. Bahkan Kalyra membohonginya dengan bilang Safiyya masih betah di sana dan baru akan pulang minggu depan."Bersikaplah biasa di depan Anna, Saf. Jangan tunjukan kalau kamu merasa terusik dengan kebersamaan mereka. Kamu pasti bisa," bisik Maira ketika Nalen dan Anna berjalan mendekat.Safiyya mengepalkan tangan, ia berusaha menahan gejolak di hatinya saat menatap mata Nalen. Perasaan terluka, kecewa dan cemburu bercampur jadi satu mengaduk hatinya. Bukan hanya
Nalen berjalan mondar-mandir di ruangannya dengan gelisah. Ia sedang memikirkan cara bagaimana membujuk Safiyya agar memaafkannya. Tak berapa lama ketika ia sibuk berpikir, Aidan tiba-tiba masuk."Kamu sedang apa, Nalen?"Nalen kaget, ia mengalihkan perhatian pada sang ayah lalu menjawab. "Nggak ada apa-apa, Pa.""Syukurlah, Papa pikir kamu bertengkar lagi gara-gara Anna," ujar Aidan lega. Ia juga sempat dibuat kaget saat Nalen pulang tanpa Safiyya.Putranya hanya mengangguk samar. Ia memang belum menceritakan soal pertengkarannya dengan Safiyya."Ngomong-ngomong apa kamu sudah meninjau dokumen proyek yang Papa kirimkan?"Nalen kembali mengingat dokumen yang ayahnya maksud. Ia awalnya sedikit bingung. "Ah, proyek sekolah untuk anak-anak disabilitas itu ya?"Aidan mengangguk."Astagfirullah aku lupa, Pa. Harusnya hari ini, kan?" sambung Nalen. Ia merutuki keteledorannya sendiri."Ya, mereka meminta Papa datang di acara peresmian. Tapi Papa masih ada pertemuan dengan direktur Megantara.
"Ada apa sama kamu hari ini, Sayang?" tanya Nalen saat keduanya sudah dalam perjalanan meninggalkan rumah Anna.Selama mereka pergi dari rumah Anna, istrinya tiba-tiba berubah jadi pendiam. Padahal tadi sikapnya masih biasa. Bahkan seolah sengaja membuat Anna tak menempel padanya."Hanya melakukan apa yang seharusnya aku lakukan. Sebagai seorang istri yang memiliki suami kurang peka, aku sadar kalau aku harus jadi agresif demi menjaga milikku. Karena jika aku diam kamu pasti akan dengan mudah terjerat sandiwara Anna."Nalen terdiam lalu menatap istrinya. "Ternyata seburuk itu pikiranmu padaku dan Anna?""Itu fakta. Mas nggak pernah tahu rasanya jadi aku. Aku wanita biasa, dan aku muak harus terus mengalah pada hubungan kalian.""Aku sudah menceritakan alasan kenapa sangat peduli pada Anna, kan? Dia sakit, Safiyya. Emosinya selalu meledak-ledak, dan itu bisa membuat penyakitnya semakin parah." Nalen menekankan kalimatnya. Ia berharap agar Safiyya mau mengerti."Lalu bagaimana dengan ak
Nalen menatap Safiyya yang kini terlelap di sampingnya. Ia mencari-cari kiranya di mana ponsel miliknya Safiyya sembunyikan. Nalen tersenyum senang saat menemukan benda pipih itu tergeletak di samping sang istri. Saat mengaktifkan ponsel ternyata banyak sekali panggilan masuk dan pesan dari Anna.Nalen menghembuskan napas saat menatap istrinya. Nalen benar-benar kewalahan meladeni Safiyya semalam. Sang istri terus saja mengajaknya bercinta. Bahkan Nalen tak dibiarkan sebentar saja untuk melihat ponselnya.Nalen tahu Safiyya melakukan itu karena sengaja ingin membuatnya tak pergi pada Anna. Tapi tak menampik, perubahan Safiyya yang menjadi lebih agresif dan nakal membuat Nalen senang. Dibanding dengan istrinya yang selalu malu-malu dan kaku.Nalen menggeser pesan yang Anna kirim. Isinya kebanyakan adalah ancaman untuk melakukan bunuh diri jika Nalen tak menemuinya.Nalen berdecak kesal, ia sebenarnya juga muak pada sikap Anna yang seperti ini. Tak berapa lama kemudian, panggilan masuk
"Aku dan Maira tadinya nggak sengaja bertemu di sebuah restoran seafood. Karena terlalu enak makanannya aku sampai nggak sadar kalau di dalam bahan bumbunya ada campuran kacang," ujar Yusuf memulai cerita."Kalian nggak sengaja ketemu atau emang janjian?" Safiyya memicingkan mata pada Maira, karena tak percaya dengan cerita Yusuf."Nggak usah ngaco deh. Kita beneran nggak sengaja ketemu," sela Maira sambil melirik Yusuf agar laki-laki itu bisa diajak kerja sama."Kamu sendiri gimana sama Nalen? Apa yang terjadi sebenarnya?" Maira mengalihkan topik agar Safiyya tak bertanya semakin jauh. Tapi tak ayal ucapannya membuat Safiyya memelototi sang sahabat seakan memperingatkan wanita itu agar tak membahas Nalen."Kamu ada masalah lagi sama Nalen? Kali ini ada apa sama Bu Anna?" Yusuf merubah posisi menjadi duduk agar bisa leluasa berbicara dengan Safiyya. Ia seolah sudah hafal konflik rumah tangga wanita berhijab peach di depannya."Sudah lah nggak usah dibahas. Aku sepertinya harus kembali
Tiga bulan berlalu dari semua kekacauan hidup yang Safiyya alami. Wanita itu kini tengah menikmati kebahagiaan berlimpah. Terlebih keadaan Nalen pulih dengan cepat setelah melakukan banyak terapi. Kini keduanya tengah berbahagia untuk menanti kelahiran buah hati. Usia kandungan Safiyya kini sudah berusia enam bulan.Safiyya menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Gaun putih brokat dengan detail payet nan mewah bermodel mengembang, membalut tubuh Safiyya dengan pas. Hijab putihnya dipercantik dengan mahkota kecil di atas kepala. Penampilannya hari ini sungguh sangat menakjubkan.Safiyya tersenyum lebar lalu menarik nafas untuk menghilangkan kegugupan, mengingat hari ini acar resepsi pernikahannya akan segera digelar. Keduanya memang sepakat untuk mengundur rencana peresmian pernikahan mereka sampai Nalen benar-benar pulih. Seperti rencana terakhir kemarin, acara itu benar-benar digelar di Bali. Tepatnya di belakang cafe Nalen dengan latar danau Baratan dan pure-pure nan megah."Sayan
Safiyya menatap gundukan tanah merah di depannya dengan perasaan tak menentu. Di sampingnya Maira terus menenangkan wanita itu yang tampak sudah kelelahan. Pemakaman tersebut hanya dihadiri beberapa rekan kantor dan orang-orang yang kenal baik dengan Anna. Sedangkan Brian dikuburkan di samping makam Anna. Keduanyya meninggal dalam waktu bersamaan. Meski dengan kematian keduanya kasus kecelakaan Alice akhirnya tak diusut, Safiyya tetap merasa bersyukur. Mungkin ini yang terbaik menurut Allah.Ya, hari ini Safiyya tengah berada di depan makam Anna dan Brian untuk mengantarkan mereka ke peristirahatan terakhir. Setelah perjuangan Anna selama beberapa hari, wanita itu akhirnya menyerah.Bersamaan dengan itu, Nalen juga dirawat di ruang ICU. Suaminya masih belum bangun hingga detik ini setelah menjalani oprasi."Ayo kita pulang. Anna sudah tenang di alam sana bersama Brian," ujar Maira sambil menuntun Safiyya menjauh dari pemakaman.Safiyya tak banyak bicara, sejak semua kejadian itu ia me
Safiyya terbangun subuh hari karena suara putrinya yang memanggil. Gadis kecil itu naik ke kasur empuk dimana di sana ada ibunya yang masih terlelap."Bunda, Papa pergi." Tiba-tiba Nafis berkata seperti itu sambil mengguncang tubuh Safiyya. Mendengar ucapan putri nya, Safiyya reflek bangun, ia mendapati tempat tidur di sampingnya sudah kosong. Wanita itu menundukkan kepala karena sedih. Firasatnya ternyata benar, Nalen pergi setelah mengucap salam perpisahan padanya semalam."Permisi, Bu."Bu Anni menginterupsi obrolan Safiyya dan putrinya, lalu masuk ke kamar. "Ada apa, Bu Ani?" tanya Safiyya dengan nada lemah, wajahnya terlihat pucat dan sembab karena terus menangis sejak malam tadi."Pak Nalen semalam menitipkan ini pada saya. Dia bilang maaf karena pergi dengan cara diam-diam. Beliau nggak mau melihat Ibu sedih dan menangis lagi." Bu Ani lalu menyodorkan sebuah surat pada Safiyya."Ibu tolong bawa Nafis keluar dulu, ya."Bu Ani pun mengangguk lalu membawa gadis kecil itu keluar ka
Seperti rencana kemarin, hari ini Nalen dan keluarga kecilnya berangkat lebih dulu ke Bali. Ia berusaha melakukan yang terbaik untuk melindungi keluarganya. Bukan tanpa alasan mengapa Nalen merasa khawatir dengan belum tertangkapnya Brian.Mark mengatakan pada Nalen beberapa minggu lalu, bahwa Brian pernah memiliki catatan buruk masalah kesehatan mental yang dia derita. Laki-laki itu meski lahir dari keluarga kaya, tapi keluarganya terlalu misterius untuk ditelusuri. Kemungkinan alasan Brian tinggal bersama neneknya di Australia, adalah karena latar belakang keluarganya.Mark hanya bisa membantu Nalen untuk menyelidiki sebatas itu. Dia bilang terlalu berisoko menelusuri lebih jauh keluarga Brian. Sebab Brian sudah lama memilih tinggal terpisah dengan keluarganya yang kaya dengan alasan penyembuhan. Neneknya lah yang mengasuh Brian sejak dia duduk di bangku sekolah menengah.Kenyataan itu semakin membuat Nalen ketakutan setiap hari. Terlebih ia pernah memiliki masalah dengan laki-laki
Safiyya menatap kondisi Anna dari jendela kaca besar di sebuah kamar rumah sakit. Wanita itu masih terbaring lemah di ruang ICU setelah dua hari ini dirawat. Safiyya kembali mengingat perkataan dokter yang menangani Anna waktu itu. Sebuah kalimat yang membuat hatinya seakan ikut tersayat."Wanita ini telah mengalami pemerkosaan yang sangat parah. Sekujur tubuhnya mengalami luka memar akibat pukulan yang sangat keras. Organ vitalnya pun telah dihancurkan dengan cara paling tak manusiawi. Saya tak yakin dia akan sadar dalam waktu dekat setelah siksaan yang ia terima. Beruntung dia masih kuat pergi jauh ke rumah Anda untuk meminta pertolongan. Jiak tidak saya tak yakin dia mampu bertahan dalam waktu tiga hari saja dengan kondisinya yang seperti ini."Dada Safiyya sesak membayangkan apa yang menimpanya dulu harus dialami pula oleh Anna. Meski Anna begitu jahat padanya, tapi hati nuraninya sebagai sesama wanita yang pernah mengalami nasib tragis itu, benar-benar ikut merasa sakit. Butuh wa
Anna membanting pintu dengan keras begitu ia masuk ke dalam rumah. Tatapan matanya menyiratkan kebencian dan amarah. "Hah, Brengsek! Bisa-bisanya mereka mentertawakan aku seperti tadi. Awas saja kalian, tunggu pembalasanku." Napas Anna naik turun karena teriakan itu. Bukan saja marah karena lelucon sahabat Safiyya. Ia juga marah karena wanita itu akhirnya mengandung anak Nalen. Jika sudah begitu semuanya akan semakin sulit."HAAAAAH!" Terlalu kuat teriakan itu hingga membuat nafas Anna kembali naik turun. Merasa sudah tak sanggup lagi menghadapi kesedihan dan rasa putus asa, Anna jatuh terduduk lalu suara tangisnya mulai terdengar memenuhi rumah itu.Haruskah ia menyerah sekarang atau berjuang hingga titik darah penghabisan? Kenapa cinta Nalen begitu sulit untuk digapai? Mengapa perjuangannya tak pernah sedikitpun dilihat olehnya? Memikirkan semua itu, mata Anna tiba-tiba menggelap karena dendam. "Jika aku tak bisa memilikimu, maka kamu tak akan bisa menjadi milik orang lain," ujarnya
Safiyya melangkahkan kaki memasuki kantor dengan langkah ringan. Sepanjang jalan ia tiba-tiba merasa semua orang memperhatikan dirinya."Mereka semua kenapa, Mas?" tanya Safiyya heran sambil mengedarkan pandangan ke seluruh sudut kantor. Dimana orang-orang tengah memperhatikan dirinya dan Nalen.Mendengar ucapan istrinya, Nalen pun tersenyum. "Mereka pasti sudah tahu berita bahagia tentang kamu."Safiyya menautkan Alis mendengar ucapan suaminya. Ia masih tak paham karena Safiyya memang sudah dua hari ini tak berangkat ke kantor. Nalen terus memaksanya istirahat. Bahkan hari ini juga Nalen ingin Safiyya keluar dari kantor demi kesehatan bayinya sekaligus menjaga dari kemungkinan terburuk. Nalen khawatir kalau Anna bisa saja merencanakan mencelakakan dia dan bayinya di kantor ini. Mempertimbangkan semua itu Safiyya pun akhirnya setuju. Dan hari ini dia akan berpamitan pada semua teman baiknya di sini."Selamat, Bu Safiyya, atas kehamilannya," ucap seorang karyawan yang berpapasan dengan
Safiyya keluar dari ruang dokter dengan perasaan tak menentu. Ia menatap lagi kertas putih yang ia bawa dan membaca setiap huruf bertuliskan kalimat 'positiv' dengan seksama. Senyum Safiyya merekah kala mengingat Nalen pasti akan sangat bahagia jika tahu bahwa ia kini tengah mengandung anaknya.Maira yang melihat tingkah aneh sang sahabat akhirnya ikut mendekat. Ia pun penasaran. "Gimana hasilnya, Saf? Apa kata dokter?" Maira sungguh penasaran.Safiyya menatap Maira sejenak sebelum menjawab pertanyaannya, senyumnya merekah. "Aku hamil, Mai. Aku hamil!" seru Safiyya bahagia. Ia langsung memeluk Maira antusias. Bahkan sangking bahagianya ia seolah tak peduli dengan tatapan aneh orang-orang di sana.Senyum Maira pun mengembang mendengar kabar itu. Ia ikut senang dengan kabar baik ini. "Selamat, Saf. Aku ikut bahagia mendengarnya. Nalen pasti seneng banget kalau tahu," ujar Maira tulus. Ia mengurai pelukan dan menatap Safiyya yang kini menitikan air mata karena terharu."Ayo kita pulang d
"Lepas, brengsek!" Anna berteriak pada beberapa orang yang coba menghajarnya ketika ia di jalan menuju rumah. Mereka terdiri dari dua orang laki laki dan dua perempuan.Mereka semua adalah teman-temannya yang hidup di jalanan dan bernasib kurang beruntung sepertinya. "Heh Anna, sekarang kau sombong sekali. Mentang-mentang bisa sekolah di tempat orang kaya!" Seru salah satu dari mereka. Sementara dua yang lain memegangi tangan wanita itu."Kalau kau ingin seperti aku, belajarlah agar otakmu bisa cerdas sepertiku, dasar sampah!" Balas Anna arogan.Mendengar hinaan itu, perempuan di depan Anna pun marah. Tanpa pikir dua kali mereka bergantian memukuli Anna. Ia sudah akan menyerah ketika sebuah suara tiba-tiba terdengar menginterupsi."Apa yang kalian lakukan!" seru suara itu mendekat. Kehadirannya membuat anak-anak itu pun ketakutan, lalu membubarkan diri.Nalen mengalihkan perhatian pada Anna yang sekarang kondisinya sudah babak belur. "Kau tak apa?" tanya Nalen sambil membantu Anna ber