"Ma, dari mana kaka kenal tante Mutiah?" Tanya Risma tanpa basa-basi."Kok kamu tahu tante Mutiah." Hilma menelisik, pasalnya dia tidak pernah mengenalkan Mutiah kepada Risma."Dia dulu tetangga Risma, dia yang Risma ceritain memaksa anaknya untuk bercerai karena istri anaknya miskin.""Jangan ngaco kamu, tante Mutiah itu baik, tidak mungkin dia seperti itu, kamu pasti salah orang.""Risma tak mungkin salah ma, itu beneran tetangga Risma dulu.""Sudahlah Risma, mama sangat mengenal bagaimana tante Mutiah, dia dulu sahabat mama, dia orangnya baik." Hilma memang keras kepala, sekuat apapun Risma menjelaskan, sekuat itu pula dia tak mempercayai, Risma hanya pasrah, dia juga tidak mampu membuktikan jika yang dia ceritakan adalah Mutiah yang sama, pasalnya dia lupa siapa nama anak laki-lakinya dan mukanyaoun dia jarang melihat. Namun dia sangat yakin, jika Mutiah yang dia maksud adalah orang yang sama dengan sahabatnya mamanya."Ada apa? Suara kalian terdengar sampai ruangan sebelah, tida
"ygAku akan memenuhi permintaan mama." Ucap Yuda.Hilma yang tengah disuapi bubur oleh Heru tersenyum senang. Mata wanita paruh baya itu berbinar, seolah penyakitnya lenyap seketika. "Yang bener Tam? Kamu mau menikah dengan Anisa?" Tanya Hilma memastikan."Iya." Jawab Yuda singkat."Mama suruh Anisa kesini ya, sama Tante Mutiah juga, kalian menikah hari ini juga, disini." Lanjut Hilma."Ma, apa tidak ada hari esok? Setidaknya nunggu mama dan Rayyan sembuh.""Justru itu, ya kalau mama sembuh, kalau Allah manggil Mama duluan.""Ma, jangan bicara seperti itu, benar kata Tama, tunggu Mama sembuh.""Pa, kali ini aja turutin permintaan Mama." Ucap Hilma melemah."Baiklah." Jawab Yuda akhirnya menyetujui.Gejolak dalam dirinya semakin meninggi, Yuda membayangkan bagaimana dia akan tidur dengan perempuan selain Kanaya. Bagaimana dia akan memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami nantinya.Laki-laki yang diselimuti kegalauan itu keluar dari ruangan Hilma, diarahkannya tujuan menuju musolah,
"aku ingin kamu saat ini, aku mohon." Tanpa menunggu jawaban dari istrinya, Yuda langsung membekab bibir Kanaya dengan bibirnya. Kini mereka sudah menyatukan tubuh diatas ranjang yang wangi, beberap kali semprotan aromaterapi mengudara dengan sendirinya, dinginnya suhu ruangan karena AC tak mampu mendinginkan suhu tubuh mereka.Kanaya melayani suaminya dengan sepenuh hati, bahkan dia menikmati disetiap sentuhan yang diciptakan Yuda."Mungkin ini terakhir kali kita menyatu sebagai pasangan suami istri sayang." Gumamnya lirih. Membuat Yuda mengulang pertanyaan. Namun Kanaya tak menghiraukan. Dia memeluk tubuh suaminya erat. Kemudian mereka terlelap bersama.Dirumah sakit, Anisa sangat gusar, karena sudah dua jam Yuda menghilang dan tak kunjung datang. Sementara Mutiah dan suaminya sudah pulang dari satu jam yang lalu.Risma hanya terkekeh melihat sikap adik ipar barunya itu bersungut. Setelah shalat dhuhur nanti dia akan pulang, karena suaminya harus kembali bekerja. Sebagai seorang pe
Dimas memasuki mobil dengan wajah masih ditekuk. Dia duduk disebelah Anisa, namun tak menyapa sedikitpun, menolehpun tidak. Padahal biasanya dia dangat senang jika bertemu dengan Anisa. Dia akan cerita apapun, dari kegiatan disekolah maupun saat dirumah."Dimas kenapa kok diam aja?" Sapa Anisa merasa heran. Namun Dimas hanya menggeleng.Yuda melirik Dimas dari kaca spion, kemudian memberi isyarat Kanaya dengan menaikan kedua alisnya sambil melirik kebelakang. Kanaya hanya menaikan kedua bahunya. Tanda dia tak mau mengatakan apa yang terjadi dengan Dimas. Kemudian laki-laki itu menjalankan mobilnya perlahan. Sesampainya dirumah, Dimas langsung lari kekamarnya dan menutup pintu. Yuda yang melihat kelakuan aneh jagoannya itu menyusul kekamar. Dibukanya pintu dengan perlahan, didapatinya Dimas tengah melamun dipinggir jendela, matanya lurus menatap jalanan."Apa ayah tidak lagi sayang sama Dimas dan juga mama, hingga membawa tante Anisa kesini?" Tanyanya tanpa menoleh kearah Yuda.Yuda m
Kota ini kembali diguyur hujan lebat, genangan air dimana-mana, jalanan kota yang biasanya lengah, kini mengular beberapa kilometer karena banjir menggenangi jalanan yang biasa dilalui Wira saat hendak ke tokonya.Cabang tokonya akan dibuka bulan depan, setelah dia dan Lely menikah, sementara, pernikahannya dengan Lely hanya kurang dari tiga hari saja.Bimbang kembali menghantui fikirannya, bahkan setiap hari dia harus melakukan sholat istikharah untuk meyakinkan hatinya. Tapi entah kenapa, hatinya semakin bimbang untuk melanjutkan pernikahannya dengan gadis itu."Ly, bisa kita ketemu?" Ucap Wira ketika telepon sudah tersambung."Bisa mas, tapi nanti sore ya, aku masih ada kerjaan.""Oke" jawab Wira singkat.Lely sendiri bertanya-tanya, tak biasanya Wira mengajak ketemuan, sebelumnya selelu Lely yang ingin ketemu terlebih dahulu. Sepulang kerja, Lely sudah siap dengan dandan maksimal, dia yakin sore ini Wira akan memberikan kejutan untuknya. Berkali-kali dia memandangi wajahnya didepa
Raut wajah Kanaya berubah cemas mendengar dokter Prita mengucap istighfar. Beberapa kali dokter Prita menangkap gambar hasil USG. Kemudian memgeprinnya menjadi semcam foto kecil.Setelah selesai, Kanaya dipersilahkan turun dari dan duduk didepan meja dokter Prita. Berkali-kali dokter Prita menghela nafas panjang."Ada apa dokter?" Tanya Kanaya cemas. Kentara sekali dari wajahnya yang sedari tadi.tidak tenang."Dari hasil USG, ada sesuatu diperutmu Nay, ada masalah di ovarium, sejenis kanker, aku kasih surat rujukan, kamu langsung cek lab ya Nay, nanti aku resepkan obat penahan nyeri, biar sakit diperutmu berkurang."Terang dokter Prita."Maksud Dokter, bukannya rahimku sudah diangkat?""Iya betul, tetapi hanya rahim dan leher rahim, sementara ovarium atau indung telur tidak diangkat." Jelas dokter Prita. Tangannya dengan lincah membuat surat rujukan dan menulis resep dan menyerahkan pada Kanaya.Tak kuasa Kanaya menahan tangis, diusapnya buliran bening yang membasahi pipinya."insyaAl
Yuda terbangun pukul 04.45, dilirik istri mudanya diatas ranjang, sementara dia tidur lesehan dilantai. Berat rasanya tidur dengan wanita lain selain Kanaya.Dibukanya gawainya ada pesan dari nomor Kanaya, namun pesan itu Dimas yang mengirimkan. Yuda terperanjat ketika membaca pesan itu."Jam sebelas? Berarti aku semalam ketiduran, Yaa Allah Kanaya." Lirihnya.Tanpa membangunkan istri mudanya, Yuda bergegas kekamar mandi untuk cuci muka, kemudian dia menyiapkan mobilnya untuk segera pulang, dia sangat khawatir dengan keadaan Kanaya. "Adzan subuh masih 15 menit lagi, sebaiknya aku shalat dijalan saja nanti.""Tam, kok sudah mau berangkat? Gak nunggu siang dulu?" Tanya Heru yang sedang menghangatkan badan didepan tungku."Ada meeting pagi Pa, persiapan meeting belum Tama siapkan, laptop dirumah soalnya." Jawab Yuda sedikit berbohong, jika dia pulang karena Kanaya, pasti jika Hilma mendengar dia tidak akan mengizinkan."Yasudah hati-hati, gak usah ngebut-ngebut.""Iya Pa, nanti tolong b
"kenapa kamu Nis?" Tanya Risma, karena Anisa terlihat aneh ketika Hilma menyuruhnya mengisi pengajian."Eh, gak apa-apa kok mbak," jawab nisa gugup, pasalnya sebenarnya dia tak pernah lulus pesantren.Waktu SMA dulu, Anisa sempat masuk pesantren namun hanya tiga bulan, dia kabur karena tidak betah, akhirnya dia sekolah diluar daerah karena Mutiah malu. Mutiah sudah membanggakan Anisa pada tetangganya jika Anisa anak yamg soleha dan nantinya akan kuliah di Kairo.Pada akhirnya para tetangga tahu jika Anisa tidaklah sekolah di pesantren, karena malu, akhirnya Mutiah pindah didekat lingkungan yang sekarang dibangun pesantren oleh Yuda.Disitulah Mutiah selalu cari muka pada Yuda dan kiayi Abdurrahman, meninggikan Anisa, seolah Anisa kuliah di Kairo. Padahal Anisa kuliah di STIA, itupun lulus dengan nilai-nilai pas-pasan, bahkan skripsinyapun dia membayar jasa pembuatan skripsi.Dipesantren Anisa hanya mengajari anak-anak yang masih iqro atau juz ama. Bahkan untuk berbicara didepan umum m