Davin mengangguk kecil mengiyakan saran Galih. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, melihat rumah mana yang gerbangnya buka. Namun nihil, semuanya tertutup rapat. Bahkan tidak ada satu orang pun yang berkeliaran.
"Di sini sepi banget sih, kayak komplek kosong," gumam Davin pelan tetapi masih dapat didengar yang lain.
Maya ikut melihat sekitar. Di dalam hatinya dia mengiyakan perkataan Davin. Semakin lama di sini dia semakin merasa tidak nyaman.
"Galih, lo ngapain? Kalau ada yang lihat entar kita dikira mau maling," celetuk Bella yang sedari tadi melihat Galih berkutat dengan gembok.
Galih menoleh kemudian mengangkat tangannya yang memegang gembok.
"Anjir, lo ngapain? Galih, kenapa lo copot itu gemboknya? Astaga, nanti kalau yang punya rumah tau bisa mampus kita!" seru Bella heboh membuat Davin dan Maya menoleh.
Keduanya melongo tidak percaya. Bahkan matanya sudah
Happy reading ❤️ Absen yuk, kalian dari kota mana?
Melihat wajah Bella yang seakan bertanya siapa dirinya membuat laki-laki tersebut tersenyum tipis. "Kamu lupa sama aku?" "Ha? Em, maaf, apa kita pernah ketemu?" tanya Bella hati-hati. Pandangannya tidak lepas dari wajah tampan laki-laki di depannya. Berusaha mengingat apakah mereka saling kenal atau pernah bertemu, sampai laki-laki tersebut bertanya seperti itu. Namun nihil, Bella sama sekali tidak ingat. Bahkan dia merasa ini pertama kalinya mereka bertemu. "Ah, ternyata kamu sudah lupa. Enggak papa, enggak usah dipikirin. Sekarang kita kenalan aja," ucap laki-laki tersebut menyodorkan tangannya ke hadapan Bella. "Aku Gery." Bella menatap wajah dan tangan berurat laki-laki yang bernama Gery itu bergantian. Perlahan dia menjabat tangan Gery dengan diiringi senyum manisnya. "Gue Bella," balas Bella ceria. Senyum Bella menular kepada Gery. Dia merasa
Mereka masih terdiam, berusaha mencerna kalimat yang dilontarkan Bundanya Iko. Sedangkan Bella berpindah tempat ke samping Bunda Ina saat melihat wanita paruh baya tersebut semakin terisak. Tangannya bergerak pelan mengusap punggung Bunda Ina, berharap bisa membuatnya tenang. "Saya ... saya tidak sanggup hidup tanpa Iko. Dia anak saya satu-satunya," ucap Bunda Ina menutup wajahnya dengan telapak tangan. Tangisnya semakin keras, terdengar begitu pilu membuat hati mereka yang mendengarnya terasa sesak. "Tante, tenang. Ikhlasin Iko supaya dia bisa pergi dengan tenang," tutur Bella dengan suara bergetar menahan tangis. Bella saja yang hanya seorang teman tanpa pernah bertemu merasa sakit hati, apalagi Bunda Ina yang merupakan Ibunya. Terlebih lagi Iko anak tunggal. Hati orang tua mana yang tidak hancur? "Tante, apa Iko pernah cerita kalau punya musuh?" tanya Galih tiba-tiba yang mendapat tatapan tajam dari
Bukan hanya Bella, tetapi semua yang berada di dalam mobil ikut menoleh ke arah Maya. "Ternyata semuanya namanya Bella," sindir Maya mengalihkan pandangannya ke samping. Sedangkan yang disindir hanya menunjukkan senyum lebarnya. "Kenapa, May?" tanya Bella. Mereka kompak menyibukkan diri tetapi memasang telinga selebar mungkin. Sifat Maya yang galak dan susah ditebak membuat mereka merasa takut. Namun, rasa penasaran lebih mendominasi. Tidak ada cara lain selain mendengarkan dalam diam. "Sini!" titah Maya menyuruh Bella untuk mendekat. Meskipun bingung, Bella tetap menuruti perkataan sahabatnya. "Kenapa?" "Lo harus hati-hati. Gue enggak mau lo kenapa-napa," bisik Maya sepelan mungkin supaya hanya bisa didengar oleh Bella. "Lo keluarga gue, adik kesayangan." Luna yang kebetulan duduk sejajar dengan kedua sahabatnya pun berusaha mendekatkan diri. Kenin
Di sebuah kamar luas yang bernuansa hitam dan merah, terdapat seorang gadis yang sedang duduk termenung di atas ranjangnya. Dia adalah Maya, sahabat Bella yang paling tertutup. Tidak ada yang mengetahui bagaimana kehidupan Maya yang sebenarnya. Bahkan sahabatnya sendiri tidak ada yang mengetahui alamat rumahnya. Maya begitu tertutup. "Huft!" Sudah terhitung puluhan kali Maya mengembuskan napas lelah sejak dia duduk di atas kasur, satu jam yang lalu. "Tidur aja deh," gumamnya hendak merebahkan tubuhnya. Namun gerakannya terhenti saat mendengar suara ribut dari lantai satu. Prang! Maya terlonjak kaget saat mendengar suara pecahan. Mendengar suara yang begitu nyaring, dapat Maya pastikan bahwa benda itu bukan benda kecil seperti piring. Apa mungkin vas bunga? Tanpa mempedulikan niatnya yang ingin tidur, Maya bergegas turun dari ranjang dan berjalan men
Setiap orang memiliki cerita hidup yang berbeda. Begitu pula dengan permasalahan yang mereka hadapi. Entah dalam hal percintaan, persahabatan, atau bahkan keluarga. Bahkan, cara penyelesaiannya pun beragam. Ada yang memilih menyimpan lukanya sendiri dan berakhir bersikap biasa saja, seolah tidak memiliki beban apa pun. Ada juga yang berbagi kepada orang terdekat, mengeluarkan isi hatinya tanpa ragu. Sekarang, opsi pertama tersebut sedang dilakukan oleh Maya. Dengan senyum manisnya, dia bersenda gurau bersama para sahabatnya, seolah kemarin tidak mengalami hal buruk. "Asal kalian tau aja, gue ini banyak yang suka," kata Luna mengibaskan rambutnya sombong. Galih berdecak kesal seraya memutar bola matanya malas. Menurutnya, Luna adalah perempuan paling lebay yang pernah dia kenal. "Tapi sampai sekarang masih jomblo." Gerakan Luna yang mengibaskan rambutnya terhenti. Matanya melebar sempurna dengan hidung yang kembang kempis menahan kesal, membuat tawa Be
"Gue duluan," lanjut Galih yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban para sahabatnya. Suasana canggung meliputi meja tersebut. Apalagi dengan Galih yang memotong acara perkenalan Davin dan pergi begitu saja. Tidak lama kemudian, Maya pergi menyusul Galih yang entah ke mana. "Maaf ya, Ger. Mereka berdua emang gitu kalau sama orang baru," ucap Bella meringis tidak enak. "Enggak papa kok, Bel. Wajar aja kalau mereka gitu, karena ini juga salah aku yang tiba-tiba gabung sama kalian. He he akunya aja yang sok akrab sama kamu," jawab Gery tersenyum lembut membuat ketiga orang di depannya tertegun merasa bersalah. "Lo jangan diambil hati ya kelakuan mereka berdua. Gue yakin, besok Galih sama Maya udah bisa akrab sama lo," sambung Davin. Laki-laki dengan tahi lalat di dagu itu mengangguk dengan senyum lebarnya. Terlihat begitu manis sampai membuat Bella dan Luna terpana. "Daripada bahas dua orang datar itu, lebih baik kita
Setelah pitanya terbuka, Galih dapat melihat kalau di dalam masih ada amplop lagi. Bedanya, yang sekarang berwarna hitam dengan ukuran lebih kecil. Maya yang sudah sangat penasaran pun merebut amplop tersebut, lalu mengeluarkan isinya. Menurutnya, Galih terlalu lambat. Galih berdecak kesal melihat tingkah sahabatnya itu. Tidak sopan! Raut bingung tercetak begitu jelas di wajah Maya. Dia membagi tatapannya antara amplop hitam, Galih dan juga pintu masuk perpustakaan. Tanpa membuang waktu lagi, Maya membuka amplop tersebut yang ternyata tidak diberi perekat. Melihat raut wajah Maya yang berubah, Galih berpindah duduk menjadi di samping gadis itu untuk ikut membaca isi surat yang berada di dalam amplop hitam. Keduanya saling pandang dengan raut yang sulit diartikan. Selanjutnya, Maya dan Galih berjalan cepat menuju tempat yang disebutkan gadis culun tadi, seseorang yang menjadi pengirim surat ini.
"Kenapa sama Albara?" tanya Bella tanpa mempedulikan Luna yang merenggut kesal. "Ini, lo artikan ini." Maya menyodorkan kertas yang dipegangnya kepada Bella secara heboh. Tanpa bertanya lagi, Bella mengambil kertas tersebut dan mulai mengartikan satu-persatu. "Albara, lusa," gumam Bella yang masih mencerna maksud dari dua kata tersebut. "Bella, kenapa lo jadi lemot kayak Luna sih?" Galih berdecak kesal membuat Luna melebarkan matanya. Kenapa namanya dibawa-bawa? Padahal sedari tadi dia diam saja. "Hah? Ini ... jadi cowok yang ngasih gue coklat itu calon korbannya?" tanya Bella yang tanpa sadar meninggikan suaranya, membuat beberapa orang menoleh. "Bel, suara lo," tegur Davin sedikit menunduk, menghindari tatapan tajam dari mereka yang merasa terganggu. "Eh." Bella menutup mulutnya dengan kedua tangan lalu mengalihkan pandangannya ke sekitar. Seketika nyalinya menciut saat melihat tatapan mahasiswa lain yang seakan ingin m
"Gue ngga pernah nyangka bakal ngalamin hal kayak gini," celetuk Bella memecah keheningan di antara dirinya dan Davin. Saat ini mereka berdua berada di halaman belakang rumah Bella. Duduk berdua di atas rumput dengan memandang ribuan bintang yang menghiasi langit malam.Tadinya, Davin merasa sangat khawatir kepada Bella. Mengingat wajah gadis itu yang berubah pucat setelah keluar dari rumah nomor dua puluh itu. Hatinya sedikit lega saat melihat wajah Sahabatnya yang jauh lebih baik.Namun, hal itu tidak mengurungkan niat Davin yang akan mengajak Bella mencari ketenangan. Terlebih dia sendiri sudah membawa gitar."Semuanya emang ngga bisa diprediksi," sahut Davin menunduk, menata kedua tangannya yang saling memilin. "Bohong kalau semua ini ga bikin gue takut. Orang gila yang sedang kita cari itu bisa ada di mana aja. Karena nyatanya, kita ngga punya petunjuk penting yang mengarah ke ciri fisik dia."Bella memutar duduknya hingga menghadap ke arah Davin. "Maafin gue. Setelah kejadian t
Hal yang mereka lihat kali ini bukan lagi sebuah foto, melainkan seorang mayat yang digantung dalam keadaan terbalik. Tentu, siapa yang tidak akan terkejut dan takut saat melihat pemandangan itu begitu membuka pintu?Yuda, orang pertama yang bisa menetralkan degup jantungnya mencoba melangkah pelan agar lebih masuk ke ruangan itu. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar, tidak ada apa pun di sana selain mayat itu dan berbagai macam senjata tajam.Tunggu, senjata tajam? Jantung Yuda yang tadinya sudah berdetak normal kini kembali berdetak kencang, bahkan jauh lebih kencang daripada tadi.Jadi, rumah ini sudah sering dipakai untuk mengeksekusi seseorang. Entah musuhnya atau bagaimana, Yuda tidak bisa berpikir jernih.Perlahan kakinya melangkah mundur lalu berbalik sambil mendorong Galih yang menghalangi pintu. Kemudian dia menutup pintunya."Ke ruangan lain aja," ucap Yuda pelan.Dia menggeleng lalu melangkah mendahului yang lain. Entah dosa apa yang dia perbuat sampai bisa berakhir di
"Kenapa kalian bisa di sini?" tanya seseorang itu lagi. Galih adalah orang pertama yang menoleh, diikuti yang lain tetapi dengan mata yang tertutup rapat. Tanpa sadar Galih menelan salivanya kasar saat melihat sosok di depannya. Seorang pria tua dengan rambut gimbal gondrong dan baju lusuh yang sudah sobek-sobek. Kakinya pun tidak memakai alas, sangat kotor. Mirip seperti orang gila. "Hei!" sentak pria tua. Matanya melotot, membuat kelima remaja yang menutup mata di depannya terkejut. Sedangkan Galih menggigit pipi bagian dalamnya untuk tidak mengumpat. "Anu ... ehem, kami nyari rumah, Kek," jawab Yuda gugup. "Rumah siapa?" tanya pria tua dengan wajah seramnya. "Kalau dilihat dari pakaian kalian, sepertinya kalian bukan orang sini. Apalagi tempat ini jarang dikunjungi orang, meskipun di sini ada saudara atau rumah dulu mereka tinggal." Bella yang tadinya takut kini melangkah lebih ke depan. Merasa ada yang aneh dengan kalimat yang dilontarkan
"Gery, lo ngapain di sini?" tanya Davin sesaat setelah Gery selesai bernyanyi dan semua orang pergi, menyisakan dirinya bersama sahabatnya serta Gery.Gery meletakkan gitarnya di atas kursi yang tadi dia duduki. Melangkah mendekati keenam remaja yang menatapnya dengan berbagai tatapan. Senyum ramah dia lemparkan untuk menyapa."Aku udah biasa main ke sini sejak kecil. Kayak yang kalian lihat tadi, aku ngehibur pengunjung taman dengan bernyanyi," jawab Gery dengan nada lembut seperti biasanya.Mendengar jawaban Gery, mata Maya, Galih dan Davin tidak bisa untuk tidak memicing curiga."Emangnya rumah lo di sekitar sini?" tanya Bella setelah tersadar dari kekagumannya. Matanya menjelajah ke sekitar taman yang sangat berbeda dengan taman bermain lainnya.Masih dengan senyum ramahnya, Gery menggeleng. "Enggak. Rumah aku satu komplek sama Maya."
"Jebakan atau bukan, yang penting besok kita ke sana," putus Maya tegas."Mending sekarang kita makan," celetuk Davin yang memang sudah merasa sangat lapar. Tatapannya beralih kepada Bella yang terlihat melamun. "Bel, lo mau mandi dulu apa makan?"Sedangkan yang diberi pertanyaan tetap diam dengan pikiran yang ke mana-mana. Jangankan menjawab, Bella saja tidak mendengarkan apa yang dibicarakan sahabat-sahabatnya.Luna yang berada di samping Bella pun menggoyang lengannya pelan. "Bel!"Bella tersadar dan menatap linglung sekitarnya. Setelah beberapa detik, dia menormalkan ekspresinya saat merasa banyak pasang mata yang menatap dirinya bingung."Lo kenapa? Ada yang lo pikirin? Apa orang itu bukan cuma nyuruh kita ke taman, tapi juga ngancem elo?" tanya Maya khawatir. Galih tersebut miring samar melihat itu. Kemudian melenggang pergi, kembali ke meja makan. Me
Di tengah ramainya taman bermain, terdapat anak perempuan berusia enam tahun sedang menangis dengan mata yang mengedar ke seluruh taman. Dia terpisah dari kakaknya.Tadinya, dia terlalu antusias melihat badut-badut yang sedang dikelilingi anak seumurannya. Hingga tanpa sadar telah melepaskan tautan tangannya dengan sang kakak.Air matanya semakin mengalir deras. Teriakannya yang memanggil-manggil kakaknya tidak mampu menumbuhkan rasa iba orang-orang yang berlalu lalang. Semuanya hanya menoleh tanpa bertanya apalagi membantu."Jangan nangis, ada aku di sini. Semuanya baik-baik aja." Secara tiba-tiba tangan mungilnya digenggam oleh anak laki-laki seumurannya.Tangis yang awalnya kencang perlahan berhenti, terganti dengan senyum lebar penuh kelegaan dan kebahagiaan. Apalagi saat matanya menangkap keberadaan dua anak kecil yang berdiri di samping anak yang menggenggam tangannya.
"What? Ini serius?" Luna menatap isi ponselnya tidak percaya. "Woi, cepet lihat ini! Ayo cepet ke sini!" Maya dan Bella yang sibuk membaca buku berdecak pelan. Namun tak ayal mengikuti perintah Luna untuk mendekat. Begitu juga dengan Davin, Galih dan Yuda yang berbincang santai di balkon, menikmati udara pagi. Mereka melingkar mengelilingi Luna yang masih heboh dengan ponselnya. "Ada apa?" tanya Davin merangkul Yuda yang berada di sampingnya. "Ini, lihat ini! Tiga orang yang kebakar kemarin ternyata taruhan sama Iko!" seru Luna heboh menunjukkan ponselnya kepada mereka. Bella merampas pelan ponsel Luna karena tidak dapat melihat dengan jelas. Ternyata sebuah postingan dari i*******m seseorang yang katanya teman ketiga laki-laki kemarin. Seseorang itu menulis bahwa ketiga temannya itu sempat taruhan dengan Iko untuk mendapatkan Bella. Di sana juga ditulis permintaan maaf kepada Bella karena keempat laki-laki itu sudah meninggal. "Taruha
Di rumahnya masing-masing tampak keenam remaja yang sama-sama fokus pada ponselnya. Mereka sedang membicarakan sesuatu melalui grup yang mereka buat. Bella yang sedang duduk di meja belajar menatap ponselnya serius. Dia sedang berpikir apakah harus bercerita kepada sahabatnya tentang Gery kemarin atau tidak. Setelah lumayan lama bergelut dengan pikirannya, akhirnya Bella memutuskan untuk memberi tahu saja. Mencari Pelaku. Sorry karena kemarin gue pergi gitu aja. Sebenarnya gue ke taman dan di sana ketemu Gery. Mayaa.Tapi lo nggak papa 'kan, Bel? Gery ada nyakitin lo nggak?
Masih dalam keadaan terkejut, mereka berlima membalikkan badan menghadap gerbang. Di sana sudah ramai dengan mahasiswa lain yang berbondong-bondong untuk melihat apa yang terjadi. Kelimanya saling pandang sejenak lalu mulai melangkah mengikuti yang lain. Sesampainya di tempat yang sudah ramai dengan kerumunan mahasiswa dan warga sekitar, mereka tidak dapat menyembunyikan wajah terkejutnya. Bahkan Luna sampai menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sekitar lima belas langkah di depan mereka, terdapat sebuah mobil yang terbakar. Posisinya yang berada di pinggir jalan memudahkan para warga untuk memadamkan apinya. Galih mempertajam penglihatannya saat merasa tidak asing dengan mobil yang sedang dilahap kobaran api tersebut. Setelahnya, dia melebarkan matanya sejenak saat melihat sesuatu yang menempel di bagian belakang mobil yang tidak terdapat api. "Shit! Itu mobil mereka!" pekiknya tertahan. Bella menoleh cepat dengan wajah takut dan juga