Setelah pitanya terbuka, Galih dapat melihat kalau di dalam masih ada amplop lagi. Bedanya, yang sekarang berwarna hitam dengan ukuran lebih kecil. Maya yang sudah sangat penasaran pun merebut amplop tersebut, lalu mengeluarkan isinya. Menurutnya, Galih terlalu lambat.
Galih berdecak kesal melihat tingkah sahabatnya itu. Tidak sopan!
Raut bingung tercetak begitu jelas di wajah Maya. Dia membagi tatapannya antara amplop hitam, Galih dan juga pintu masuk perpustakaan. Tanpa membuang waktu lagi, Maya membuka amplop tersebut yang ternyata tidak diberi perekat.
Melihat raut wajah Maya yang berubah, Galih berpindah duduk menjadi di samping gadis itu untuk ikut membaca isi surat yang berada di dalam amplop hitam.
Keduanya saling pandang dengan raut yang sulit diartikan. Selanjutnya, Maya dan Galih berjalan cepat menuju tempat yang disebutkan gadis culun tadi, seseorang yang menjadi pengirim surat ini.
Jangan lupa vote dan komen yaa biar aku makin semangat.... Sayang kalian❤️
"Kenapa sama Albara?" tanya Bella tanpa mempedulikan Luna yang merenggut kesal. "Ini, lo artikan ini." Maya menyodorkan kertas yang dipegangnya kepada Bella secara heboh. Tanpa bertanya lagi, Bella mengambil kertas tersebut dan mulai mengartikan satu-persatu. "Albara, lusa," gumam Bella yang masih mencerna maksud dari dua kata tersebut. "Bella, kenapa lo jadi lemot kayak Luna sih?" Galih berdecak kesal membuat Luna melebarkan matanya. Kenapa namanya dibawa-bawa? Padahal sedari tadi dia diam saja. "Hah? Ini ... jadi cowok yang ngasih gue coklat itu calon korbannya?" tanya Bella yang tanpa sadar meninggikan suaranya, membuat beberapa orang menoleh. "Bel, suara lo," tegur Davin sedikit menunduk, menghindari tatapan tajam dari mereka yang merasa terganggu. "Eh." Bella menutup mulutnya dengan kedua tangan lalu mengalihkan pandangannya ke sekitar. Seketika nyalinya menciut saat melihat tatapan mahasiswa lain yang seakan ingin m
"Bantuan, ini bantuan buat kita!" seru Bella senang sekaligus takut. "Hah?" Mereka kompak melongo tidak mengerti. Bahkan Galih yang biasanya datar pun menampilkan wajah konyolnya. Sekuat tenaga Bella menahan tawanya supaya tidak lepas saat melihat reaksi para sahabatnya. Sekarang bukan waktunya untuk bercanda. Dia tidak ingin menyia-nyiakan waktunya lagi. "Kalau surat yang dari pelaku tentang korban selanjutnya. Maka beda dengan ini yang ngasih kita petunjuk tentang pelakunya," jelas Bella menyodorkan kertas yang dipegangnya kepada Davin. Tidak mau semakin dilanda kebingungan, Davin langsung menerimanya. "Seharusnya kamu tidak melupakan masa lalu kamu, Bella. Jika ingin menemukan pelaku, ingatlah dulu masa lalumu." Davin membaca tulisan yang ada pada kertas tersebut dengan suara sedang. "Masa lalu? Emang lo enggak inget sama masa lalu lo, Bel?" tanya Luna menatap Bella aneh. Menurutnya, sangat tidak mungkin seseorang bisa lupa ak
Bella yang tidak mendengar suara bibinya pun bergetar ketakutan. Tidak tahan dengan pemandangan rumahnya yang begitu gelap, Bella memilih memejamkan mata seraya mendudukkan diri di tempatnya berpijak. Hatinya juga tidak berhenti untuk merapalkan do'a apa pun yang ada di ingatannya saat ini. Dalam keadaan takut seperti ini, ayat kursi yang sudah sangat dihafalnya pun mendadak lupa. Bukan, bukan takut ada orang jahat yang tiba-tiba masuk. Namun Bella takut jika ada hantu yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Di tengah ketakutannya, Bella mendengar suara ketukan pintu yang begitu pelan tetapi berirama. Keadaan sekitar yang begitu hening membuat suara tersebut terdengar begitu jelas dan meninggalkan kesan horor bagi Bella. "Kenapa di saat kayak gini mereka pada hilang sih?" Bella mencebikkan bibinya kesal saat semua pekerja di rumahnya tidak ada yang menampakkan diri. Bahkan bibi yang tadi menjemputnya pun pergi entah ke mana. Hal yang terakh
Davin yang sedang memperhatikan sekitarnya pun menoleh. Menatap selembar foto yang dipegang Bella. Matanya menyipit dan segera mengambil foto yang terasa familiar tersebut untuk melihat lebih dekat. "Loh, lo kok punya foto ini juga?" tanya Davin balik. Bella menaikkan sebelah alisnya heran. "Juga?" Davin menyerahkan kembali foto tersebut yang langsung diterima oleh Bella. Keduanya terlihat sama-sama bingung. "Ini emang bener nyokap gue. Lo dapet dari mana? Soalnya di rumah juga ada foto kayak gitu," ungkap Davin menggaruk pelipisnya pelan. "Eh, ya wajar sih kalau lo juga punya. Soalnya di situ 'kan juga ada nyokap lo." Mendengar ucapan Davin tersebut membuat Bella melotot kaget. Menatap foto di tangannya dengan saksama, berusaha mencari mamanya seperti yang dibilang Davin. Di dalam foto tersebut terdapat enam orang. Dua laki-laki dan empat perempuan. "Mama gue yang mana, Vin?" tanya Bella cemas. Davin mendekat, menunjuk seseora
"Mama? Papa?" Bella yang baru saja membuka pintu rumah dikejutkan dengan kehadiran orang tuanya yang sedang duduk santai di ruang tamu. Sepasang suami istri itu menoleh dengan senyum teduhnya. Tangannya melambai memberi isyarat kepada Bella untuk mendekat yang langsung dituruti oleh gadis tersebut. "Mama sama Papa kok udah pulang?" tanya Bella heran. Papa Dion menaikkan sebelah alisnya tidak kalah heran. "Kamu nggak suka kalau kami pulang?" "Bukan, bukan gitu, Pa," sahut Bella menggelengkan kepalanya cepat. "Bella cuma kaget aja. Bukannya Papa sama Mama pulangnya besok ya?" "Iya, Sayang. Ada hal penting yang mau kami bicarakan sama kamu. Makanya mama sama Papa bisa di sini sekarang," timpal Mama Dea membuat Bella menatap takut wajah orang tuanya yang berubah serius. Keadaan seperti ini yang selalu berhasil membuatnya was-was. Takut jika dia tanpa sengaja telah membuat kesalahan hingga orang tuanya murka. Sungguh, rasanya Bella ingin me
Bella beserta sahabat-sahabatnya berjalan cepat keluar dari cafe, menuju kerumunan kecil yang berada tepat di samping tempat mereka berada. Dengan perasaan cemas, mereka mencoba membelah kerumunan. Namun, sesampainya di depan, mereka tidak menemukan seseorang yang katanya keracunan. Sontak membuat kerutan samar hadir di kening mereka. Yuda berjalan menghampiri tiga gadis yang sedang bergosip dengan suara kecil. Dia sempat melihat mereka di cafe tadi. "Permisi," ucap Yuda membuat atensi ketiga gadis tersebut teralihkan. Terlihat gadis yang memakai baju hitam menatap datar Yuda. Sepertinya, dia tidak menyukai kehadiran Yuda yang mengganggu kegiatan mereka. Sedangkan kedua temannya yang berbaju pink dan putih tersenyum ramah. "Ada apa ya, Mas?" tanya gadis berbaju putih membuat Yuda meringis di dalam hati. "Mau tanya, katanya ada yang keracunan. Tapi kok enggak ada ya?" tanya Yuda langsung. Mendengar pertanyaan Yuda yang merupakan
"Pikirin nanti aja, sekarang kita cari orang yang keracunan tadi," celetuk Galih yang sedari tadi diam. Tanpa permisi, dia meraih tangan Bella untuk digenggam lalu mengajaknya berjalan menuju resepsionis. Davin dan Maya yang melihat perilaku sahabatnya yang seenaknya itu entah kenapa menjadi tidak suka. Mencari kesempatan dalam kesempitan. Galih memanfaatkan Bella yang masih melamun untuk bisa menggenggam tangannya. "Ayo!" sentak Luna mengagetkan keduanya yang langsung mendapat tatapan tajam, membuat gadis tersebut cengengesan tidak jelas. "He he gue cuma mau bilang kalau kita udah ditinggal sama Galih." Ucapan Luna tersebut membuat Davin dan Maya mengalihkan pandangannya ke arah perginya Galih dan Bella tadi. Benar saja, keduanya sudah tidak ada. Tanpa berkata apa-apa, mereka berdua melangkahkan kakinya dengan begitu cepat. Meninggalkan Luna yang melongo tidak percaya dan Yuda yang menahan tawa. "Gitu
"Permisi," ucap Bella dan Maya serempak kepada tiga orang wanita dan dua lelaki paruh baya yang sedang berbincang di depan warung kecil. Mereka menoleh. Senyum ramah terpampang jelas di wajah mereka yang sudah terdapat kerutan halus. "Ada apa ya?" tanya Ibu yang memakai daster berwarna ungu. Bella dan Maya saling pandang seraya tersenyum kikuk saat kelima orang di depannya menatap intens. "Saya mau tanya, Bu. Rumahnya Albara di mana ya?" tanya Bella serius. Kini, giliran Ibu dan Bapak tersebut yang saling pandang. Raut ramah dan senyum manis mereka mendadak hilang, tergantikan dengan raut yang tidak dapat diartikan. Perubahan mereka itu ditangkap dengan baik oleh Bella dan Maya. Keduanya merasa ada yang tidak beres di sini. "Lebih baik kalian pulang aja, Nak." Bukan Ibu daster ungu yang berucap, tetapi Ibu berbaju hitam. Kalimat yang mengandung usiran secara halus itu semakin memperkuat kecurigaan Bella dan Maya. "Saya harus ke