"Pikirin nanti aja, sekarang kita cari orang yang keracunan tadi," celetuk Galih yang sedari tadi diam. Tanpa permisi, dia meraih tangan Bella untuk digenggam lalu mengajaknya berjalan menuju resepsionis.
Davin dan Maya yang melihat perilaku sahabatnya yang seenaknya itu entah kenapa menjadi tidak suka. Mencari kesempatan dalam kesempitan. Galih memanfaatkan Bella yang masih melamun untuk bisa menggenggam tangannya.
"Ayo!" sentak Luna mengagetkan keduanya yang langsung mendapat tatapan tajam, membuat gadis tersebut cengengesan tidak jelas. "He he gue cuma mau bilang kalau kita udah ditinggal sama Galih."
Ucapan Luna tersebut membuat Davin dan Maya mengalihkan pandangannya ke arah perginya Galih dan Bella tadi. Benar saja, keduanya sudah tidak ada. Tanpa berkata apa-apa, mereka berdua melangkahkan kakinya dengan begitu cepat. Meninggalkan Luna yang melongo tidak percaya dan Yuda yang menahan tawa.
"Gitu
Jika takdir sudah berkehendak, kita tidak bisa apa-apa selain menerimanya:) Terima kasih sudah mampir ❤️
"Permisi," ucap Bella dan Maya serempak kepada tiga orang wanita dan dua lelaki paruh baya yang sedang berbincang di depan warung kecil. Mereka menoleh. Senyum ramah terpampang jelas di wajah mereka yang sudah terdapat kerutan halus. "Ada apa ya?" tanya Ibu yang memakai daster berwarna ungu. Bella dan Maya saling pandang seraya tersenyum kikuk saat kelima orang di depannya menatap intens. "Saya mau tanya, Bu. Rumahnya Albara di mana ya?" tanya Bella serius. Kini, giliran Ibu dan Bapak tersebut yang saling pandang. Raut ramah dan senyum manis mereka mendadak hilang, tergantikan dengan raut yang tidak dapat diartikan. Perubahan mereka itu ditangkap dengan baik oleh Bella dan Maya. Keduanya merasa ada yang tidak beres di sini. "Lebih baik kalian pulang aja, Nak." Bukan Ibu daster ungu yang berucap, tetapi Ibu berbaju hitam. Kalimat yang mengandung usiran secara halus itu semakin memperkuat kecurigaan Bella dan Maya. "Saya harus ke
Seorang laki-laki tampan yang berpakaian cukup rapi melangkahkan kakinya memasuki rumah mewah. Matanya menatap lurus ke depan dengan tangan yang sesekali memijat keningnya, merasa pening. Saat melewati ruang tengah, dia menangkap keberadaan sepasang suami istri yang merupakan orang tuanya sedang fokus dengan ponselnya masing-masing. Laki-laki tersebut melewatinya begitu saja. Tidak ada sapaan hangat yang biasa dilakukan oleh seorang anak kepada orang tuanya. Baru saja kakinya menginjak anak tangga pertama, sebuah suara yang begitu lembut memanggil namanya. "Gery," panggil Anna, wanita paruh baya yang merupakan ibu Gery. Dengan gerakan malas Gery menoleh. Matanya meredup, menatap orang tuanya lembut. "Ya, Ma?" "Dari mana aja kamu?" tanya Mama Anna berjalan mendekati sang anak yang masih terdiam di anak tangga pertama. "Dari main di rumah teman, Ma," jawab Gery tersenyum manis hingga tiba-tiba suara gebrakan meja membuat keadaan menegang
"Sayang, kamu mau ikut ke supermarket nggak?" tanya Mama Dea kepada Bella yang sedang menonton televisi. Bukan, lebih tepatnya televisinya yang melihat Bella. Pasalnya, gadis itu melamun dengan pikiran yang berkelana ke mana-mana. "Sayang," panggil Mama Dea menjentikkan jarinya di depan wajah Bella, membuat sang empu tersentak kaget. Bella mengerjap pelan lalu menatap Mamanya yang sedang menatapnya tajam. "Ada apa, Ma?" "Kamu ini, masih pagi udah ngelamun aja. Nggak baik, Sayang. Kamu mikirin apa sih?" Mama Dea mendudukkan diri di samping sang anak dengan tangan yang mengusap rambutnya lembut. Bella menggeleng pelan seraya tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang putih dan rapi. Seolah dirinya memang tidak memikirkan apa pun. Bella hanya tidak ingin Mama atau papanya kembali marah saat tahu dia belum juga berhenti menyelidiki kasus itu. Apalagi saat mereka tahu bahwa sekarang, pikirannya sedang penuh. Yang ada mereka akan semakin murka, karena men
Bella yang sedang menuruni tangga mengernyit bingung karena keadaan rumahnya yang sangat sepi. Tidak seperti biasanya. Meskipun hanya bersama para bibinya, tetapi mereka pasti berjalan ke sana ke ke sini untuk mengerjakan pekerjaannya. Namun sekarang, rumah besar ini tampak sepi, seperti hanya ada dia sendiri. "Pada ke mana sih? Papa sama mama juga bukannya lagi libur ya? Kenapa sekarang nggak ada?" tanya Bella pada dirinya sendiri. Dengan rasa bingung dan penasaran yang semakin melambung tinggi, Bella melangkah pelan menuju dapur. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Karena sejujurnya, dia merasa sedikit takut. Suasana seperti ini sama seperti malam itu. Bedanya, sekarang masih siang. "Non, ada paket." Perkataan pria paruh baya yang niatnya memberi tahu justru membuat Bella terlonjak kaget dan hampir tersungkur jika tidak segera menahan diri. Bella menoleh dengan wajah kagetnya. Terlihat pria paruh baya yang merupakan satpamnya sedang meme
"Jadi, yang lo maksud petunjuk itu ini?" tanya Davin duduk di karpet seraya menatap kotak kecil yang terletak di tengah meja. Bella yang duduk di depan Davin dengan tangan bertumpu pada meja pun mengangguk mantap. "Ini kotak yang gue dapet pas malam itu." "Malam itu? Maksudnya apa?" tanya Yuda, Galih dan Maya kompak. Davin yang memang sudah tahu langsung menatap Bella tidak mengerti. Waktu itu, Bella berkata hanya dirinya yang dapat dipercaya, kenapa sekarang diberi tahu kepada mereka? Bella menatap Davin lalu tersenyum kecil. "Malam di mana gue dapet kotak ini. Ada orang yang pakai pakaian serba hitam ngasih gue ini dan pada saat itu juga lampu rumah gue padam. Gue lupa yang mau buka," jelas Bella. Luna yang sedari tadi diam pun bergerak mengambil kotak tersebut. Membolak-baliknya sebentar lalu membukanya. Melihat Luna yang terdiam saat melihat isinya, membuat mereka yang sedari tadi memperhatikannya pun mengernyit bingung. "Isinya ap
Beberapa jam sebelumnya. Tepat pukul sembilan malam, seorang laki-laki yang merupakan teman lama Bella, Tio, melangkahkan kakinya keluar dari cafe. Dia berniat pulang karena sedari tadi ibunya tidak berhenti mengirim pesan. Tidak seperti biasanya. Padahal, jika Tio sudah pamit keluar untuk nongkrong bersama teman-temannya di cafe langganan mereka, orang tuanya tidak pernah mengirim pesan untuk segera pulang. Apalagi masih pukul sembilan. Sempat terjadi perdebatan di antara Tio dan teman-temannya. Namun, akhirnya mereka mengalah. Mungkin ibu Tio ada sesuatu hal yang penting hingga menyuruh laki-laki itu segera pulang. Di sepanjang jalan, Tio mengendarai motor maticnya dengan kecepatan sedang seraya bersenandung pelan. Ternyata motor matic milik supirnya enak juga. Di depan sana, terdapat dua jalan yang mengarah ke kanan dan ke kiri. Dengan pelan Tio memutar setirnya ke kanan. Seketika jalan yang tadinya ramai dan terang menjadi sepi serta reman
Raut wajah Maya tampak gugup dengan mata yang menatap ke segala arah saat mendapat pertanyaan seperti itu dari Bella.Hal itu tentu tidak luput dari mata tajam Beni yang sejak tadi memang menaruh curiga kepada kedua sahabat Bella itu. Sikap Maya sangat berbeda dengan Galih yang tetap santai dengan wajah datar andalannya. Membuat Beni menyimpulkan bahwa salah satu dari mereka adalah jebakan atau mungkin semuanya."Nggak sengaja kena paku yang ada di pohon mangga," ucap Galih yang mendapat tatapan tidak percaya dari sahabatnya. Luna menutup mulutnya dengan kedua tangan, menahan tawanya yang akan pecah.Mata Beni menyipit curiga. Alasan yang tidak masuk akal menurutnya."Kalau lo kenapa, May?" tanya Bella kepada Maya seraya berjalan mendekat. "Kayaknya sakit banget deh tadi. Sini gue obatin!""Nggak, nggak bisa. Gue nggak bisa bilang alasan yang sebenarnya
Mendapat pertanyaan seperti itu membuat mereka saling melempar tatapan. Rian, Kakak Yuda berdeham pelan. "Bisa dibilang gitu. Motif si pelaku membunuh para cowok ini karena mereka ada rasa sama kamu." "Ini kita nggak akan dibunuh juga 'kan?" tanya Yuda tiba-tiba. Luna yang berada di sampingnya langsung melayangkan pukulan ke paha Yuda. Wajahnya terlihat kesal tetapi tatapannya menyiratkan ketakutan. "Lo jangan ngaco deh, Yud. Kita sahabatnya Bella, mana mungkin dia tega ngebunuh kita," ucap Luna kesal. Yuda meringis seraya mengusap pahanya yang terasa panas karena pukulan Luna. Pukulan seorang perempuan memang tidak bisa diragukan. "Bukan gitu. Maksud gue yang cowok-cowok. Gue, Davin sama Galih nggak akan dibunuh 'kan?" Yuda memperjelas pertanyaannya. Sungguh, dia sangat takut dan tidak siap jika harus meninggal sekarang. Yuda masih ingin sukses, menikah dan punya anak cucu. Rian menatap datar adiknya. "Saya 'kan sudah
"Gue ngga pernah nyangka bakal ngalamin hal kayak gini," celetuk Bella memecah keheningan di antara dirinya dan Davin. Saat ini mereka berdua berada di halaman belakang rumah Bella. Duduk berdua di atas rumput dengan memandang ribuan bintang yang menghiasi langit malam.Tadinya, Davin merasa sangat khawatir kepada Bella. Mengingat wajah gadis itu yang berubah pucat setelah keluar dari rumah nomor dua puluh itu. Hatinya sedikit lega saat melihat wajah Sahabatnya yang jauh lebih baik.Namun, hal itu tidak mengurungkan niat Davin yang akan mengajak Bella mencari ketenangan. Terlebih dia sendiri sudah membawa gitar."Semuanya emang ngga bisa diprediksi," sahut Davin menunduk, menata kedua tangannya yang saling memilin. "Bohong kalau semua ini ga bikin gue takut. Orang gila yang sedang kita cari itu bisa ada di mana aja. Karena nyatanya, kita ngga punya petunjuk penting yang mengarah ke ciri fisik dia."Bella memutar duduknya hingga menghadap ke arah Davin. "Maafin gue. Setelah kejadian t
Hal yang mereka lihat kali ini bukan lagi sebuah foto, melainkan seorang mayat yang digantung dalam keadaan terbalik. Tentu, siapa yang tidak akan terkejut dan takut saat melihat pemandangan itu begitu membuka pintu?Yuda, orang pertama yang bisa menetralkan degup jantungnya mencoba melangkah pelan agar lebih masuk ke ruangan itu. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar, tidak ada apa pun di sana selain mayat itu dan berbagai macam senjata tajam.Tunggu, senjata tajam? Jantung Yuda yang tadinya sudah berdetak normal kini kembali berdetak kencang, bahkan jauh lebih kencang daripada tadi.Jadi, rumah ini sudah sering dipakai untuk mengeksekusi seseorang. Entah musuhnya atau bagaimana, Yuda tidak bisa berpikir jernih.Perlahan kakinya melangkah mundur lalu berbalik sambil mendorong Galih yang menghalangi pintu. Kemudian dia menutup pintunya."Ke ruangan lain aja," ucap Yuda pelan.Dia menggeleng lalu melangkah mendahului yang lain. Entah dosa apa yang dia perbuat sampai bisa berakhir di
"Kenapa kalian bisa di sini?" tanya seseorang itu lagi. Galih adalah orang pertama yang menoleh, diikuti yang lain tetapi dengan mata yang tertutup rapat. Tanpa sadar Galih menelan salivanya kasar saat melihat sosok di depannya. Seorang pria tua dengan rambut gimbal gondrong dan baju lusuh yang sudah sobek-sobek. Kakinya pun tidak memakai alas, sangat kotor. Mirip seperti orang gila. "Hei!" sentak pria tua. Matanya melotot, membuat kelima remaja yang menutup mata di depannya terkejut. Sedangkan Galih menggigit pipi bagian dalamnya untuk tidak mengumpat. "Anu ... ehem, kami nyari rumah, Kek," jawab Yuda gugup. "Rumah siapa?" tanya pria tua dengan wajah seramnya. "Kalau dilihat dari pakaian kalian, sepertinya kalian bukan orang sini. Apalagi tempat ini jarang dikunjungi orang, meskipun di sini ada saudara atau rumah dulu mereka tinggal." Bella yang tadinya takut kini melangkah lebih ke depan. Merasa ada yang aneh dengan kalimat yang dilontarkan
"Gery, lo ngapain di sini?" tanya Davin sesaat setelah Gery selesai bernyanyi dan semua orang pergi, menyisakan dirinya bersama sahabatnya serta Gery.Gery meletakkan gitarnya di atas kursi yang tadi dia duduki. Melangkah mendekati keenam remaja yang menatapnya dengan berbagai tatapan. Senyum ramah dia lemparkan untuk menyapa."Aku udah biasa main ke sini sejak kecil. Kayak yang kalian lihat tadi, aku ngehibur pengunjung taman dengan bernyanyi," jawab Gery dengan nada lembut seperti biasanya.Mendengar jawaban Gery, mata Maya, Galih dan Davin tidak bisa untuk tidak memicing curiga."Emangnya rumah lo di sekitar sini?" tanya Bella setelah tersadar dari kekagumannya. Matanya menjelajah ke sekitar taman yang sangat berbeda dengan taman bermain lainnya.Masih dengan senyum ramahnya, Gery menggeleng. "Enggak. Rumah aku satu komplek sama Maya."
"Jebakan atau bukan, yang penting besok kita ke sana," putus Maya tegas."Mending sekarang kita makan," celetuk Davin yang memang sudah merasa sangat lapar. Tatapannya beralih kepada Bella yang terlihat melamun. "Bel, lo mau mandi dulu apa makan?"Sedangkan yang diberi pertanyaan tetap diam dengan pikiran yang ke mana-mana. Jangankan menjawab, Bella saja tidak mendengarkan apa yang dibicarakan sahabat-sahabatnya.Luna yang berada di samping Bella pun menggoyang lengannya pelan. "Bel!"Bella tersadar dan menatap linglung sekitarnya. Setelah beberapa detik, dia menormalkan ekspresinya saat merasa banyak pasang mata yang menatap dirinya bingung."Lo kenapa? Ada yang lo pikirin? Apa orang itu bukan cuma nyuruh kita ke taman, tapi juga ngancem elo?" tanya Maya khawatir. Galih tersebut miring samar melihat itu. Kemudian melenggang pergi, kembali ke meja makan. Me
Di tengah ramainya taman bermain, terdapat anak perempuan berusia enam tahun sedang menangis dengan mata yang mengedar ke seluruh taman. Dia terpisah dari kakaknya.Tadinya, dia terlalu antusias melihat badut-badut yang sedang dikelilingi anak seumurannya. Hingga tanpa sadar telah melepaskan tautan tangannya dengan sang kakak.Air matanya semakin mengalir deras. Teriakannya yang memanggil-manggil kakaknya tidak mampu menumbuhkan rasa iba orang-orang yang berlalu lalang. Semuanya hanya menoleh tanpa bertanya apalagi membantu."Jangan nangis, ada aku di sini. Semuanya baik-baik aja." Secara tiba-tiba tangan mungilnya digenggam oleh anak laki-laki seumurannya.Tangis yang awalnya kencang perlahan berhenti, terganti dengan senyum lebar penuh kelegaan dan kebahagiaan. Apalagi saat matanya menangkap keberadaan dua anak kecil yang berdiri di samping anak yang menggenggam tangannya.
"What? Ini serius?" Luna menatap isi ponselnya tidak percaya. "Woi, cepet lihat ini! Ayo cepet ke sini!" Maya dan Bella yang sibuk membaca buku berdecak pelan. Namun tak ayal mengikuti perintah Luna untuk mendekat. Begitu juga dengan Davin, Galih dan Yuda yang berbincang santai di balkon, menikmati udara pagi. Mereka melingkar mengelilingi Luna yang masih heboh dengan ponselnya. "Ada apa?" tanya Davin merangkul Yuda yang berada di sampingnya. "Ini, lihat ini! Tiga orang yang kebakar kemarin ternyata taruhan sama Iko!" seru Luna heboh menunjukkan ponselnya kepada mereka. Bella merampas pelan ponsel Luna karena tidak dapat melihat dengan jelas. Ternyata sebuah postingan dari i*******m seseorang yang katanya teman ketiga laki-laki kemarin. Seseorang itu menulis bahwa ketiga temannya itu sempat taruhan dengan Iko untuk mendapatkan Bella. Di sana juga ditulis permintaan maaf kepada Bella karena keempat laki-laki itu sudah meninggal. "Taruha
Di rumahnya masing-masing tampak keenam remaja yang sama-sama fokus pada ponselnya. Mereka sedang membicarakan sesuatu melalui grup yang mereka buat. Bella yang sedang duduk di meja belajar menatap ponselnya serius. Dia sedang berpikir apakah harus bercerita kepada sahabatnya tentang Gery kemarin atau tidak. Setelah lumayan lama bergelut dengan pikirannya, akhirnya Bella memutuskan untuk memberi tahu saja. Mencari Pelaku. Sorry karena kemarin gue pergi gitu aja. Sebenarnya gue ke taman dan di sana ketemu Gery. Mayaa.Tapi lo nggak papa 'kan, Bel? Gery ada nyakitin lo nggak?
Masih dalam keadaan terkejut, mereka berlima membalikkan badan menghadap gerbang. Di sana sudah ramai dengan mahasiswa lain yang berbondong-bondong untuk melihat apa yang terjadi. Kelimanya saling pandang sejenak lalu mulai melangkah mengikuti yang lain. Sesampainya di tempat yang sudah ramai dengan kerumunan mahasiswa dan warga sekitar, mereka tidak dapat menyembunyikan wajah terkejutnya. Bahkan Luna sampai menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sekitar lima belas langkah di depan mereka, terdapat sebuah mobil yang terbakar. Posisinya yang berada di pinggir jalan memudahkan para warga untuk memadamkan apinya. Galih mempertajam penglihatannya saat merasa tidak asing dengan mobil yang sedang dilahap kobaran api tersebut. Setelahnya, dia melebarkan matanya sejenak saat melihat sesuatu yang menempel di bagian belakang mobil yang tidak terdapat api. "Shit! Itu mobil mereka!" pekiknya tertahan. Bella menoleh cepat dengan wajah takut dan juga