Seorang laki-laki tampan yang berpakaian cukup rapi melangkahkan kakinya memasuki rumah mewah. Matanya menatap lurus ke depan dengan tangan yang sesekali memijat keningnya, merasa pening.
Saat melewati ruang tengah, dia menangkap keberadaan sepasang suami istri yang merupakan orang tuanya sedang fokus dengan ponselnya masing-masing. Laki-laki tersebut melewatinya begitu saja. Tidak ada sapaan hangat yang biasa dilakukan oleh seorang anak kepada orang tuanya.
Baru saja kakinya menginjak anak tangga pertama, sebuah suara yang begitu lembut memanggil namanya.
"Gery," panggil Anna, wanita paruh baya yang merupakan ibu Gery.
Dengan gerakan malas Gery menoleh. Matanya meredup, menatap orang tuanya lembut. "Ya, Ma?"
"Dari mana aja kamu?" tanya Mama Anna berjalan mendekati sang anak yang masih terdiam di anak tangga pertama.
"Dari main di rumah teman, Ma," jawab Gery tersenyum manis hingga tiba-tiba suara gebrakan meja membuat keadaan menegang
Terkadang, keluarga adalah penyebab utama dari hancurnya mental seseorang. ~Gery. Setidaknya, masih ada sahabat yang bisa memberi warna dan juga semangat. ~Galih. Terima kasih sudah mampir ❤️
"Sayang, kamu mau ikut ke supermarket nggak?" tanya Mama Dea kepada Bella yang sedang menonton televisi. Bukan, lebih tepatnya televisinya yang melihat Bella. Pasalnya, gadis itu melamun dengan pikiran yang berkelana ke mana-mana. "Sayang," panggil Mama Dea menjentikkan jarinya di depan wajah Bella, membuat sang empu tersentak kaget. Bella mengerjap pelan lalu menatap Mamanya yang sedang menatapnya tajam. "Ada apa, Ma?" "Kamu ini, masih pagi udah ngelamun aja. Nggak baik, Sayang. Kamu mikirin apa sih?" Mama Dea mendudukkan diri di samping sang anak dengan tangan yang mengusap rambutnya lembut. Bella menggeleng pelan seraya tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang putih dan rapi. Seolah dirinya memang tidak memikirkan apa pun. Bella hanya tidak ingin Mama atau papanya kembali marah saat tahu dia belum juga berhenti menyelidiki kasus itu. Apalagi saat mereka tahu bahwa sekarang, pikirannya sedang penuh. Yang ada mereka akan semakin murka, karena men
Bella yang sedang menuruni tangga mengernyit bingung karena keadaan rumahnya yang sangat sepi. Tidak seperti biasanya. Meskipun hanya bersama para bibinya, tetapi mereka pasti berjalan ke sana ke ke sini untuk mengerjakan pekerjaannya. Namun sekarang, rumah besar ini tampak sepi, seperti hanya ada dia sendiri. "Pada ke mana sih? Papa sama mama juga bukannya lagi libur ya? Kenapa sekarang nggak ada?" tanya Bella pada dirinya sendiri. Dengan rasa bingung dan penasaran yang semakin melambung tinggi, Bella melangkah pelan menuju dapur. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Karena sejujurnya, dia merasa sedikit takut. Suasana seperti ini sama seperti malam itu. Bedanya, sekarang masih siang. "Non, ada paket." Perkataan pria paruh baya yang niatnya memberi tahu justru membuat Bella terlonjak kaget dan hampir tersungkur jika tidak segera menahan diri. Bella menoleh dengan wajah kagetnya. Terlihat pria paruh baya yang merupakan satpamnya sedang meme
"Jadi, yang lo maksud petunjuk itu ini?" tanya Davin duduk di karpet seraya menatap kotak kecil yang terletak di tengah meja. Bella yang duduk di depan Davin dengan tangan bertumpu pada meja pun mengangguk mantap. "Ini kotak yang gue dapet pas malam itu." "Malam itu? Maksudnya apa?" tanya Yuda, Galih dan Maya kompak. Davin yang memang sudah tahu langsung menatap Bella tidak mengerti. Waktu itu, Bella berkata hanya dirinya yang dapat dipercaya, kenapa sekarang diberi tahu kepada mereka? Bella menatap Davin lalu tersenyum kecil. "Malam di mana gue dapet kotak ini. Ada orang yang pakai pakaian serba hitam ngasih gue ini dan pada saat itu juga lampu rumah gue padam. Gue lupa yang mau buka," jelas Bella. Luna yang sedari tadi diam pun bergerak mengambil kotak tersebut. Membolak-baliknya sebentar lalu membukanya. Melihat Luna yang terdiam saat melihat isinya, membuat mereka yang sedari tadi memperhatikannya pun mengernyit bingung. "Isinya ap
Beberapa jam sebelumnya. Tepat pukul sembilan malam, seorang laki-laki yang merupakan teman lama Bella, Tio, melangkahkan kakinya keluar dari cafe. Dia berniat pulang karena sedari tadi ibunya tidak berhenti mengirim pesan. Tidak seperti biasanya. Padahal, jika Tio sudah pamit keluar untuk nongkrong bersama teman-temannya di cafe langganan mereka, orang tuanya tidak pernah mengirim pesan untuk segera pulang. Apalagi masih pukul sembilan. Sempat terjadi perdebatan di antara Tio dan teman-temannya. Namun, akhirnya mereka mengalah. Mungkin ibu Tio ada sesuatu hal yang penting hingga menyuruh laki-laki itu segera pulang. Di sepanjang jalan, Tio mengendarai motor maticnya dengan kecepatan sedang seraya bersenandung pelan. Ternyata motor matic milik supirnya enak juga. Di depan sana, terdapat dua jalan yang mengarah ke kanan dan ke kiri. Dengan pelan Tio memutar setirnya ke kanan. Seketika jalan yang tadinya ramai dan terang menjadi sepi serta reman
Raut wajah Maya tampak gugup dengan mata yang menatap ke segala arah saat mendapat pertanyaan seperti itu dari Bella.Hal itu tentu tidak luput dari mata tajam Beni yang sejak tadi memang menaruh curiga kepada kedua sahabat Bella itu. Sikap Maya sangat berbeda dengan Galih yang tetap santai dengan wajah datar andalannya. Membuat Beni menyimpulkan bahwa salah satu dari mereka adalah jebakan atau mungkin semuanya."Nggak sengaja kena paku yang ada di pohon mangga," ucap Galih yang mendapat tatapan tidak percaya dari sahabatnya. Luna menutup mulutnya dengan kedua tangan, menahan tawanya yang akan pecah.Mata Beni menyipit curiga. Alasan yang tidak masuk akal menurutnya."Kalau lo kenapa, May?" tanya Bella kepada Maya seraya berjalan mendekat. "Kayaknya sakit banget deh tadi. Sini gue obatin!""Nggak, nggak bisa. Gue nggak bisa bilang alasan yang sebenarnya
Mendapat pertanyaan seperti itu membuat mereka saling melempar tatapan. Rian, Kakak Yuda berdeham pelan. "Bisa dibilang gitu. Motif si pelaku membunuh para cowok ini karena mereka ada rasa sama kamu." "Ini kita nggak akan dibunuh juga 'kan?" tanya Yuda tiba-tiba. Luna yang berada di sampingnya langsung melayangkan pukulan ke paha Yuda. Wajahnya terlihat kesal tetapi tatapannya menyiratkan ketakutan. "Lo jangan ngaco deh, Yud. Kita sahabatnya Bella, mana mungkin dia tega ngebunuh kita," ucap Luna kesal. Yuda meringis seraya mengusap pahanya yang terasa panas karena pukulan Luna. Pukulan seorang perempuan memang tidak bisa diragukan. "Bukan gitu. Maksud gue yang cowok-cowok. Gue, Davin sama Galih nggak akan dibunuh 'kan?" Yuda memperjelas pertanyaannya. Sungguh, dia sangat takut dan tidak siap jika harus meninggal sekarang. Yuda masih ingin sukses, menikah dan punya anak cucu. Rian menatap datar adiknya. "Saya 'kan sudah
Davin yang berada di sampingnya pun lebih mendekat guna melihat foto yang dimaksud oleh Bella. Ekspresinya tidak jauh berbeda, sama-sama menampilkan kebingungan. Di dalam foto itu terdapat dua anak kecil berbeda gender yang sedang tersenyum lebar dengan tangan yang saling merangkul."Mungkin kakak lo," jawab Davin asal.Mendapat jawaban seperti itu membuat Bella langsung menggeleng berulang kali. "Mana ada. Gue ini anak tunggal kalau lo lupa."Davin menggaruk pelipisnya seraya meringis pelan. Iya juga, dirinya baru ingat jika sahabatnya ini anak tunggal. Bagaimana bisa dia mengatakan bahwa anak yang di foto itu adalah kakaknya?Mata Davin menyipit untuk memperjelas penglihatannya. Merasa kurang, lelaki itu merampas pelan album foto dari tangan Bella. Sedangkan Bella yang hendak protes pun menjadi diam saat melihat wajah serius Davin."Tapi muka dua anak ini
Masih dalam keadaan terkejut, mereka berlima membalikkan badan menghadap gerbang. Di sana sudah ramai dengan mahasiswa lain yang berbondong-bondong untuk melihat apa yang terjadi. Kelimanya saling pandang sejenak lalu mulai melangkah mengikuti yang lain. Sesampainya di tempat yang sudah ramai dengan kerumunan mahasiswa dan warga sekitar, mereka tidak dapat menyembunyikan wajah terkejutnya. Bahkan Luna sampai menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sekitar lima belas langkah di depan mereka, terdapat sebuah mobil yang terbakar. Posisinya yang berada di pinggir jalan memudahkan para warga untuk memadamkan apinya. Galih mempertajam penglihatannya saat merasa tidak asing dengan mobil yang sedang dilahap kobaran api tersebut. Setelahnya, dia melebarkan matanya sejenak saat melihat sesuatu yang menempel di bagian belakang mobil yang tidak terdapat api. "Shit! Itu mobil mereka!" pekiknya tertahan. Bella menoleh cepat dengan wajah takut dan juga