"Gue duluan," lanjut Galih yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban para sahabatnya.
Suasana canggung meliputi meja tersebut. Apalagi dengan Galih yang memotong acara perkenalan Davin dan pergi begitu saja.
Tidak lama kemudian, Maya pergi menyusul Galih yang entah ke mana.
"Maaf ya, Ger. Mereka berdua emang gitu kalau sama orang baru," ucap Bella meringis tidak enak.
"Enggak papa kok, Bel. Wajar aja kalau mereka gitu, karena ini juga salah aku yang tiba-tiba gabung sama kalian. He he akunya aja yang sok akrab sama kamu," jawab Gery tersenyum lembut membuat ketiga orang di depannya tertegun merasa bersalah.
"Lo jangan diambil hati ya kelakuan mereka berdua. Gue yakin, besok Galih sama Maya udah bisa akrab sama lo," sambung Davin.
Laki-laki dengan tahi lalat di dagu itu mengangguk dengan senyum lebarnya. Terlihat begitu manis sampai membuat Bella dan Luna terpana.
"Daripada bahas dua orang datar itu, lebih baik kita
Terima kasih udah mau mampir di ceritaku.... Sayang kalian ❤️
Setelah pitanya terbuka, Galih dapat melihat kalau di dalam masih ada amplop lagi. Bedanya, yang sekarang berwarna hitam dengan ukuran lebih kecil. Maya yang sudah sangat penasaran pun merebut amplop tersebut, lalu mengeluarkan isinya. Menurutnya, Galih terlalu lambat. Galih berdecak kesal melihat tingkah sahabatnya itu. Tidak sopan! Raut bingung tercetak begitu jelas di wajah Maya. Dia membagi tatapannya antara amplop hitam, Galih dan juga pintu masuk perpustakaan. Tanpa membuang waktu lagi, Maya membuka amplop tersebut yang ternyata tidak diberi perekat. Melihat raut wajah Maya yang berubah, Galih berpindah duduk menjadi di samping gadis itu untuk ikut membaca isi surat yang berada di dalam amplop hitam. Keduanya saling pandang dengan raut yang sulit diartikan. Selanjutnya, Maya dan Galih berjalan cepat menuju tempat yang disebutkan gadis culun tadi, seseorang yang menjadi pengirim surat ini.
"Kenapa sama Albara?" tanya Bella tanpa mempedulikan Luna yang merenggut kesal. "Ini, lo artikan ini." Maya menyodorkan kertas yang dipegangnya kepada Bella secara heboh. Tanpa bertanya lagi, Bella mengambil kertas tersebut dan mulai mengartikan satu-persatu. "Albara, lusa," gumam Bella yang masih mencerna maksud dari dua kata tersebut. "Bella, kenapa lo jadi lemot kayak Luna sih?" Galih berdecak kesal membuat Luna melebarkan matanya. Kenapa namanya dibawa-bawa? Padahal sedari tadi dia diam saja. "Hah? Ini ... jadi cowok yang ngasih gue coklat itu calon korbannya?" tanya Bella yang tanpa sadar meninggikan suaranya, membuat beberapa orang menoleh. "Bel, suara lo," tegur Davin sedikit menunduk, menghindari tatapan tajam dari mereka yang merasa terganggu. "Eh." Bella menutup mulutnya dengan kedua tangan lalu mengalihkan pandangannya ke sekitar. Seketika nyalinya menciut saat melihat tatapan mahasiswa lain yang seakan ingin m
"Bantuan, ini bantuan buat kita!" seru Bella senang sekaligus takut. "Hah?" Mereka kompak melongo tidak mengerti. Bahkan Galih yang biasanya datar pun menampilkan wajah konyolnya. Sekuat tenaga Bella menahan tawanya supaya tidak lepas saat melihat reaksi para sahabatnya. Sekarang bukan waktunya untuk bercanda. Dia tidak ingin menyia-nyiakan waktunya lagi. "Kalau surat yang dari pelaku tentang korban selanjutnya. Maka beda dengan ini yang ngasih kita petunjuk tentang pelakunya," jelas Bella menyodorkan kertas yang dipegangnya kepada Davin. Tidak mau semakin dilanda kebingungan, Davin langsung menerimanya. "Seharusnya kamu tidak melupakan masa lalu kamu, Bella. Jika ingin menemukan pelaku, ingatlah dulu masa lalumu." Davin membaca tulisan yang ada pada kertas tersebut dengan suara sedang. "Masa lalu? Emang lo enggak inget sama masa lalu lo, Bel?" tanya Luna menatap Bella aneh. Menurutnya, sangat tidak mungkin seseorang bisa lupa ak
Bella yang tidak mendengar suara bibinya pun bergetar ketakutan. Tidak tahan dengan pemandangan rumahnya yang begitu gelap, Bella memilih memejamkan mata seraya mendudukkan diri di tempatnya berpijak. Hatinya juga tidak berhenti untuk merapalkan do'a apa pun yang ada di ingatannya saat ini. Dalam keadaan takut seperti ini, ayat kursi yang sudah sangat dihafalnya pun mendadak lupa. Bukan, bukan takut ada orang jahat yang tiba-tiba masuk. Namun Bella takut jika ada hantu yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Di tengah ketakutannya, Bella mendengar suara ketukan pintu yang begitu pelan tetapi berirama. Keadaan sekitar yang begitu hening membuat suara tersebut terdengar begitu jelas dan meninggalkan kesan horor bagi Bella. "Kenapa di saat kayak gini mereka pada hilang sih?" Bella mencebikkan bibinya kesal saat semua pekerja di rumahnya tidak ada yang menampakkan diri. Bahkan bibi yang tadi menjemputnya pun pergi entah ke mana. Hal yang terakh
Davin yang sedang memperhatikan sekitarnya pun menoleh. Menatap selembar foto yang dipegang Bella. Matanya menyipit dan segera mengambil foto yang terasa familiar tersebut untuk melihat lebih dekat. "Loh, lo kok punya foto ini juga?" tanya Davin balik. Bella menaikkan sebelah alisnya heran. "Juga?" Davin menyerahkan kembali foto tersebut yang langsung diterima oleh Bella. Keduanya terlihat sama-sama bingung. "Ini emang bener nyokap gue. Lo dapet dari mana? Soalnya di rumah juga ada foto kayak gitu," ungkap Davin menggaruk pelipisnya pelan. "Eh, ya wajar sih kalau lo juga punya. Soalnya di situ 'kan juga ada nyokap lo." Mendengar ucapan Davin tersebut membuat Bella melotot kaget. Menatap foto di tangannya dengan saksama, berusaha mencari mamanya seperti yang dibilang Davin. Di dalam foto tersebut terdapat enam orang. Dua laki-laki dan empat perempuan. "Mama gue yang mana, Vin?" tanya Bella cemas. Davin mendekat, menunjuk seseora
"Mama? Papa?" Bella yang baru saja membuka pintu rumah dikejutkan dengan kehadiran orang tuanya yang sedang duduk santai di ruang tamu. Sepasang suami istri itu menoleh dengan senyum teduhnya. Tangannya melambai memberi isyarat kepada Bella untuk mendekat yang langsung dituruti oleh gadis tersebut. "Mama sama Papa kok udah pulang?" tanya Bella heran. Papa Dion menaikkan sebelah alisnya tidak kalah heran. "Kamu nggak suka kalau kami pulang?" "Bukan, bukan gitu, Pa," sahut Bella menggelengkan kepalanya cepat. "Bella cuma kaget aja. Bukannya Papa sama Mama pulangnya besok ya?" "Iya, Sayang. Ada hal penting yang mau kami bicarakan sama kamu. Makanya mama sama Papa bisa di sini sekarang," timpal Mama Dea membuat Bella menatap takut wajah orang tuanya yang berubah serius. Keadaan seperti ini yang selalu berhasil membuatnya was-was. Takut jika dia tanpa sengaja telah membuat kesalahan hingga orang tuanya murka. Sungguh, rasanya Bella ingin me
Bella beserta sahabat-sahabatnya berjalan cepat keluar dari cafe, menuju kerumunan kecil yang berada tepat di samping tempat mereka berada. Dengan perasaan cemas, mereka mencoba membelah kerumunan. Namun, sesampainya di depan, mereka tidak menemukan seseorang yang katanya keracunan. Sontak membuat kerutan samar hadir di kening mereka. Yuda berjalan menghampiri tiga gadis yang sedang bergosip dengan suara kecil. Dia sempat melihat mereka di cafe tadi. "Permisi," ucap Yuda membuat atensi ketiga gadis tersebut teralihkan. Terlihat gadis yang memakai baju hitam menatap datar Yuda. Sepertinya, dia tidak menyukai kehadiran Yuda yang mengganggu kegiatan mereka. Sedangkan kedua temannya yang berbaju pink dan putih tersenyum ramah. "Ada apa ya, Mas?" tanya gadis berbaju putih membuat Yuda meringis di dalam hati. "Mau tanya, katanya ada yang keracunan. Tapi kok enggak ada ya?" tanya Yuda langsung. Mendengar pertanyaan Yuda yang merupakan
"Pikirin nanti aja, sekarang kita cari orang yang keracunan tadi," celetuk Galih yang sedari tadi diam. Tanpa permisi, dia meraih tangan Bella untuk digenggam lalu mengajaknya berjalan menuju resepsionis. Davin dan Maya yang melihat perilaku sahabatnya yang seenaknya itu entah kenapa menjadi tidak suka. Mencari kesempatan dalam kesempitan. Galih memanfaatkan Bella yang masih melamun untuk bisa menggenggam tangannya. "Ayo!" sentak Luna mengagetkan keduanya yang langsung mendapat tatapan tajam, membuat gadis tersebut cengengesan tidak jelas. "He he gue cuma mau bilang kalau kita udah ditinggal sama Galih." Ucapan Luna tersebut membuat Davin dan Maya mengalihkan pandangannya ke arah perginya Galih dan Bella tadi. Benar saja, keduanya sudah tidak ada. Tanpa berkata apa-apa, mereka berdua melangkahkan kakinya dengan begitu cepat. Meninggalkan Luna yang melongo tidak percaya dan Yuda yang menahan tawa. "Gitu
"Gue ngga pernah nyangka bakal ngalamin hal kayak gini," celetuk Bella memecah keheningan di antara dirinya dan Davin. Saat ini mereka berdua berada di halaman belakang rumah Bella. Duduk berdua di atas rumput dengan memandang ribuan bintang yang menghiasi langit malam.Tadinya, Davin merasa sangat khawatir kepada Bella. Mengingat wajah gadis itu yang berubah pucat setelah keluar dari rumah nomor dua puluh itu. Hatinya sedikit lega saat melihat wajah Sahabatnya yang jauh lebih baik.Namun, hal itu tidak mengurungkan niat Davin yang akan mengajak Bella mencari ketenangan. Terlebih dia sendiri sudah membawa gitar."Semuanya emang ngga bisa diprediksi," sahut Davin menunduk, menata kedua tangannya yang saling memilin. "Bohong kalau semua ini ga bikin gue takut. Orang gila yang sedang kita cari itu bisa ada di mana aja. Karena nyatanya, kita ngga punya petunjuk penting yang mengarah ke ciri fisik dia."Bella memutar duduknya hingga menghadap ke arah Davin. "Maafin gue. Setelah kejadian t
Hal yang mereka lihat kali ini bukan lagi sebuah foto, melainkan seorang mayat yang digantung dalam keadaan terbalik. Tentu, siapa yang tidak akan terkejut dan takut saat melihat pemandangan itu begitu membuka pintu?Yuda, orang pertama yang bisa menetralkan degup jantungnya mencoba melangkah pelan agar lebih masuk ke ruangan itu. Dia mengedarkan pandangannya ke sekitar, tidak ada apa pun di sana selain mayat itu dan berbagai macam senjata tajam.Tunggu, senjata tajam? Jantung Yuda yang tadinya sudah berdetak normal kini kembali berdetak kencang, bahkan jauh lebih kencang daripada tadi.Jadi, rumah ini sudah sering dipakai untuk mengeksekusi seseorang. Entah musuhnya atau bagaimana, Yuda tidak bisa berpikir jernih.Perlahan kakinya melangkah mundur lalu berbalik sambil mendorong Galih yang menghalangi pintu. Kemudian dia menutup pintunya."Ke ruangan lain aja," ucap Yuda pelan.Dia menggeleng lalu melangkah mendahului yang lain. Entah dosa apa yang dia perbuat sampai bisa berakhir di
"Kenapa kalian bisa di sini?" tanya seseorang itu lagi. Galih adalah orang pertama yang menoleh, diikuti yang lain tetapi dengan mata yang tertutup rapat. Tanpa sadar Galih menelan salivanya kasar saat melihat sosok di depannya. Seorang pria tua dengan rambut gimbal gondrong dan baju lusuh yang sudah sobek-sobek. Kakinya pun tidak memakai alas, sangat kotor. Mirip seperti orang gila. "Hei!" sentak pria tua. Matanya melotot, membuat kelima remaja yang menutup mata di depannya terkejut. Sedangkan Galih menggigit pipi bagian dalamnya untuk tidak mengumpat. "Anu ... ehem, kami nyari rumah, Kek," jawab Yuda gugup. "Rumah siapa?" tanya pria tua dengan wajah seramnya. "Kalau dilihat dari pakaian kalian, sepertinya kalian bukan orang sini. Apalagi tempat ini jarang dikunjungi orang, meskipun di sini ada saudara atau rumah dulu mereka tinggal." Bella yang tadinya takut kini melangkah lebih ke depan. Merasa ada yang aneh dengan kalimat yang dilontarkan
"Gery, lo ngapain di sini?" tanya Davin sesaat setelah Gery selesai bernyanyi dan semua orang pergi, menyisakan dirinya bersama sahabatnya serta Gery.Gery meletakkan gitarnya di atas kursi yang tadi dia duduki. Melangkah mendekati keenam remaja yang menatapnya dengan berbagai tatapan. Senyum ramah dia lemparkan untuk menyapa."Aku udah biasa main ke sini sejak kecil. Kayak yang kalian lihat tadi, aku ngehibur pengunjung taman dengan bernyanyi," jawab Gery dengan nada lembut seperti biasanya.Mendengar jawaban Gery, mata Maya, Galih dan Davin tidak bisa untuk tidak memicing curiga."Emangnya rumah lo di sekitar sini?" tanya Bella setelah tersadar dari kekagumannya. Matanya menjelajah ke sekitar taman yang sangat berbeda dengan taman bermain lainnya.Masih dengan senyum ramahnya, Gery menggeleng. "Enggak. Rumah aku satu komplek sama Maya."
"Jebakan atau bukan, yang penting besok kita ke sana," putus Maya tegas."Mending sekarang kita makan," celetuk Davin yang memang sudah merasa sangat lapar. Tatapannya beralih kepada Bella yang terlihat melamun. "Bel, lo mau mandi dulu apa makan?"Sedangkan yang diberi pertanyaan tetap diam dengan pikiran yang ke mana-mana. Jangankan menjawab, Bella saja tidak mendengarkan apa yang dibicarakan sahabat-sahabatnya.Luna yang berada di samping Bella pun menggoyang lengannya pelan. "Bel!"Bella tersadar dan menatap linglung sekitarnya. Setelah beberapa detik, dia menormalkan ekspresinya saat merasa banyak pasang mata yang menatap dirinya bingung."Lo kenapa? Ada yang lo pikirin? Apa orang itu bukan cuma nyuruh kita ke taman, tapi juga ngancem elo?" tanya Maya khawatir. Galih tersebut miring samar melihat itu. Kemudian melenggang pergi, kembali ke meja makan. Me
Di tengah ramainya taman bermain, terdapat anak perempuan berusia enam tahun sedang menangis dengan mata yang mengedar ke seluruh taman. Dia terpisah dari kakaknya.Tadinya, dia terlalu antusias melihat badut-badut yang sedang dikelilingi anak seumurannya. Hingga tanpa sadar telah melepaskan tautan tangannya dengan sang kakak.Air matanya semakin mengalir deras. Teriakannya yang memanggil-manggil kakaknya tidak mampu menumbuhkan rasa iba orang-orang yang berlalu lalang. Semuanya hanya menoleh tanpa bertanya apalagi membantu."Jangan nangis, ada aku di sini. Semuanya baik-baik aja." Secara tiba-tiba tangan mungilnya digenggam oleh anak laki-laki seumurannya.Tangis yang awalnya kencang perlahan berhenti, terganti dengan senyum lebar penuh kelegaan dan kebahagiaan. Apalagi saat matanya menangkap keberadaan dua anak kecil yang berdiri di samping anak yang menggenggam tangannya.
"What? Ini serius?" Luna menatap isi ponselnya tidak percaya. "Woi, cepet lihat ini! Ayo cepet ke sini!" Maya dan Bella yang sibuk membaca buku berdecak pelan. Namun tak ayal mengikuti perintah Luna untuk mendekat. Begitu juga dengan Davin, Galih dan Yuda yang berbincang santai di balkon, menikmati udara pagi. Mereka melingkar mengelilingi Luna yang masih heboh dengan ponselnya. "Ada apa?" tanya Davin merangkul Yuda yang berada di sampingnya. "Ini, lihat ini! Tiga orang yang kebakar kemarin ternyata taruhan sama Iko!" seru Luna heboh menunjukkan ponselnya kepada mereka. Bella merampas pelan ponsel Luna karena tidak dapat melihat dengan jelas. Ternyata sebuah postingan dari i*******m seseorang yang katanya teman ketiga laki-laki kemarin. Seseorang itu menulis bahwa ketiga temannya itu sempat taruhan dengan Iko untuk mendapatkan Bella. Di sana juga ditulis permintaan maaf kepada Bella karena keempat laki-laki itu sudah meninggal. "Taruha
Di rumahnya masing-masing tampak keenam remaja yang sama-sama fokus pada ponselnya. Mereka sedang membicarakan sesuatu melalui grup yang mereka buat. Bella yang sedang duduk di meja belajar menatap ponselnya serius. Dia sedang berpikir apakah harus bercerita kepada sahabatnya tentang Gery kemarin atau tidak. Setelah lumayan lama bergelut dengan pikirannya, akhirnya Bella memutuskan untuk memberi tahu saja. Mencari Pelaku. Sorry karena kemarin gue pergi gitu aja. Sebenarnya gue ke taman dan di sana ketemu Gery. Mayaa.Tapi lo nggak papa 'kan, Bel? Gery ada nyakitin lo nggak?
Masih dalam keadaan terkejut, mereka berlima membalikkan badan menghadap gerbang. Di sana sudah ramai dengan mahasiswa lain yang berbondong-bondong untuk melihat apa yang terjadi. Kelimanya saling pandang sejenak lalu mulai melangkah mengikuti yang lain. Sesampainya di tempat yang sudah ramai dengan kerumunan mahasiswa dan warga sekitar, mereka tidak dapat menyembunyikan wajah terkejutnya. Bahkan Luna sampai menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sekitar lima belas langkah di depan mereka, terdapat sebuah mobil yang terbakar. Posisinya yang berada di pinggir jalan memudahkan para warga untuk memadamkan apinya. Galih mempertajam penglihatannya saat merasa tidak asing dengan mobil yang sedang dilahap kobaran api tersebut. Setelahnya, dia melebarkan matanya sejenak saat melihat sesuatu yang menempel di bagian belakang mobil yang tidak terdapat api. "Shit! Itu mobil mereka!" pekiknya tertahan. Bella menoleh cepat dengan wajah takut dan juga