"Lyla! Kemarilah, cepat!" Jake menarik tangannya dan membawa gadis itu untuk mengikutinya masuk ke dalam pantri.
"Ada apa?" Bola mata kecoklatan gadis itu menatapnya serius.
"Setelah jam kerja berakhir, jangan pulang dulu. Ada sesuatu yang harus aku bicarakan padamu, dan ini penting," tegasnya pada Lyla.
"T ... tentang apa, Jake?" tanyanya was-was. Jantungnya sedikit berdebar menatap pria tampan yang ada di hadapannya itu.
Jake adalah salah satu rekan kerjanya yang sangat ramah dan banyak disukai karyawan wanita di kantor ini, begitu juga oleh para atasan. Selain wajahnya, mereka juga terkesan dengan kecakapannya dalam menyelesaikan pekerjaan.
"Apa ada masalah dengan laporan yang kukerjakan?"
"Bukan, mm... sebenarnya ada sesuatu yang harus kau lakukan."
"Apa itu?"
"Kau harus ikut denganku ke suatu tempat dan melakukan sebuah pekerjaan yang rahasia," jelas Jake tanpa berbasa-basi.
Lyla mengerutkan alisnya. "Apa aku bisa menolak itu?"
Jake menggeleng. "Well ... aku rasa kau tidak sepenuhnya bisa menolak," ucapnya ragu.
"Jangan membuatku takut. Pekerjaan apa yang harus aku lakukan? Dan siapa yang menyuruhmu? Apa ini untuk kepentingan pribadi?" tanya Lyla mulai was-was.
"Ya. Aku mendapat perintah khusus dari Damian untuk membawamu menghadapnya."
"Siapa?" Lyla memasang wajah heran dengan nama yang Jake sebutkan.
"Damian Green Foster, putra bungsu Gilbert Green Foster." Jake menjelaskan dengan raut serius.
"Gilbert, pemilik perusahaan kita?" tanya Lyla.
"Sebenarnya, kita bekerja pada Damian. Secara teknis, ini adalah perusahaannya," jelasnya. "Ayahnya hanya sementara saja menjalankan perusahaan ini karena setahun yang lalu putranya mengalami kecelakaan hingga menyebabkan kebutaan bagi Damian. Aku bisa memaklumi kau tak mengetahuinya, kau baru tiga bulan berada di sini, banyak hal yang belum kau ketahui."
"O ... oke, lalu apa hubungannya denganku?"
"Dia butuh jasamu Lyla," ucap Jake.
"Jasaku? Untuk? Merawatnya atau semacamnya?"
"Bukan, konyol." Jake memutar kedua bola matanya. "Ia membutuhkan jasa cenayangmu untuk suatu hal," bisik Jake.
Lyla mengerjap. Dengan susah payah ia mencoba mencerna perlahan-lahan ucapan Jake. Ia kemudian tertawa karena menurutnya sekarang Jake sedang membuat lelucon untuk mengerjainya. "Oke, itu cukup mengesankan. Aku sempat serius menanggapi leluconmu." Lyla mengusap setitik air mata pada kedua sudut matanya.
Jake memasang tampang datar, menatap Lyla lekat-lekat hingga gadis itu menghentikan sisa-sisa tawanya dan terdiam.
"Ini bukan lelucon?" Lyla membasahi bibir bawahnya dengan gugup. Menyadari ekspresi Jake yang serius Lyla dapat menyimpulkan jika pria itu tak bercanda.
Jake mengangguk. "Sayangnya ini bukan lelucon. Ini serius."
"T ... tapi kenapa aku?"
"Kau ingat nama Cool Guy? Aku yakin dalam ponselmu kau menyimpan nomor dengan nama itu." Jake tersenyum, sebelum menambahkan lagi, "Lyla, aku tahu siapa kau. Sudah dua bulan ini aku menjadi salah satu klienmu, Miss Zodiak. Itu identitasmu dalam dunia maya bukan?"
Lyla menahan napasnya. Ia begitu terkejut Jake dapat mengetahui nama yang ia gunakan untuk mengelola sosial medianya dalam pembacaan zodiak dan tarot. Ia sudah lama merahasiakan identitasnya itu. "B ... bagaimana kau?" Lyla terkesiap, menutup mulutnya seketika.
"Aku mengetahuinya tanpa sengaja. Aku melihat beberapa pesan yang masuk pada ponselmu yang tergeletak saat mencari laporan di mejamu." Jake mencondongkan tubuhnya ke arah Lyla. "Dan sejak itu, aku mencari tahu media sosialmu, lalu mendaftarkan diri menjadi salah satu klien ramalanmu."
"A ... apa aku akan terkena masalah karena itu? Apa aku akan dipecat? Aku bersumpah aku tidak pernah menipu seorang pun!" Lyla tercekat membayangkan hal buruk yang mungkin dialaminya karena identitasnya itu. Ia tak ingin diberhentikan secara memalukan dari perusahaan tempatnya bekerja sekarang, karena Lyla benar-benar membutuhkan pekerjaan ini.
"Tidak, jangan khawatir. Justru kita berdua yang akan terkena masalah jika aku tak membawamu menghadap Damian."
"Jake!" Lyla mengerang.
"Kau tahu aku menjadi Miss Zodiac hanya karena iseng dan sekadar untuk mengisi waktuku saja. D ... dan bukan salahku jika beberapa dari mereka memberiku sedikit upah karena jasaku itu." Lyla menatap Jake dengan cemas. "Me ... mereka juga yakin dan tahu betul jika ramalan atau segala macam yang berkaitan dengan itu tidak sepenuhnya nyata. Akupun selalu menekankan itu pada mereka. Yang kulakukan hanyalah untuk bersenang-senang, itu saja!"
Jake mengangguk-angguk, "Aku tahu, tapi sayangnya bagi sebagian orang, mereka menganggap itu adalah nyata, Lyla. Mereka berpegang pada hal-hal di luar logika saat mereka tak mampu lagi berharap pada sesuatu yang realistik," jelas Jake.
"Dalam kasus ini misalnya Damian, ia kehilangan tunangannya saat kecelakaan yang menimpa mereka setahun yang lalu. Sejak ia mengalami kebutaan akibat kecelakaan itu, ia menjadi percaya dengan hal-hal yang bersifat mistis atau semacamnya, entahlah."
"Dan, kau mendukung atau memaklumi itu?" tanya Lyla penasaran.
"Aku telah bekerja dengannya selama bertahun-tahun. Aku yakin ia hanya mengalami masa berkabung yang sangat dalam, bukannya tak waras seperti anggapan banyak orang," ucap Jake. "Aku juga yakin, ia akan kembali menjadi dirinya sendiri saat ia dapat menerima kenyataan tentang kehilangan tunangannya dan juga kebutaannya. Aku tahu ia hanya sedang mengalami masa yang sangat berat."
Jake menghembuskan napasnya perlahan. "Apapun keinginan yang ia mau saat ini, aku hanya mencoba membantu memenuhinya. Semustahil atau bahkan seaneh apapun itu. Aku harap kau mau membantunya juga untuk melewati proses itu."
Lyla mendesah bimbang, "Jake, aku bahkan tak tahu apa yang bisa aku lakukan. Membacakannya tarot, atau peruntungan zodiaknya? Yang benar saja."
Jake tertawa sejenak, "Lakukan saja apa yang bisa kau lakukan, kau akan mengetahuinya saat bertemu dengan Damian nanti. Jangan khawatir, ia tak akan menerimamu begitu saja seperti orang-orang bahkan gadis-gadis sebelumnya."
"Apa maksudmu?" tanya Lyla.
"Yah, jangan kau kira baru kali ini saja aku menyodorkan cenayang, paranormal atau semacamnya pada Damian. Sudah beberapa kali aku ditugaskan untuk mencari orang-orang dengan kemampuan paranormal, supranatural lainnya, tapi ia tampaknya tidak berkenan dan menolak mereka semua."
"Benarkah? Memangnya apa yang ia inginkan sebenarnya, semoga ia juga menolakku. Oh, please bisakah kau mencari orang lain saja?" harap Lyla putus asa.
"Sayangnya tidak, sampai ia menolakmu. Aku sudah memberitahunya tentangmu. Please, Lyla tolong kau temui ia sekali saja. Pekerjaan kita yang menjadi taruhannya," pinta Jake sungguh-sungguh.
"Bantulah aku ya? Aku sendiri sebenarnya sudah cukup putus asa. Aku juga tak dapat memberitahu siapapun tentang permintaannya ini." Jake memasang tampang memelas pada Lyla. "Beruntung kau datang ke perusahaan ini, jadi aku tidak terlalu sulit untuk mencari orang lain. Dan kita lihat saja nanti, apa kau bisa memenuhi permintaannya atau tidak," lanjutnya.
"Oh Jake!" Kengerian seketika terpancar dari wajah manis Lyla.
"Jangan takut, aku akan mendampingimu."
"Harus! Dan memangnya kau siapanya? Sekretarisnya atau asistennya, sehingga ia memintamu hal yang begitu aneh!" keluh Lyla.
Jake tersenyum simpul, "Well, aku memang asistennya, Lyla. Asisten pribadi rahasianya yang memang sedang menjalankan tugas rahasia darinya, jika kau ingin tahu itu." Jake berbisik di dekat telinga Lyla.
"B ... benarkah?" Lyla mengerjap, mulutnya terbuka tak percaya.
_______*****_______
Lyla membeku di tempatnya, tak dapat memalingkan wajah dari pria beraura gelap yang berada di hadapannya itu. Damian Green Foster, pria yang memakai kacamata hitam dan menggenggam tongkat itu duduk dengan tenang dan tampak berwibawa dengan setelan kemeja biru dan celana panjang navy miliknya. Lyla tadi begitu panik dan sedikit gemetar saat Jake membawanya memasuki rumah besar dengan halaman luas yang penuh dengan pohon rindang di sekelilingnya. Ditambah saat ia memasuki sebuah ruangan, dua pria berjas hitam yang berdiri di ambang pintu menjadi pemandangan mengerikan tersendiri baginya dan semakin menambah kepanikannya. Lyla menelan ludahnya berkali-kali demi meredakan kegugupannya. Ia sesekali melirik Jake yang tampak santai dan tenang menghadapi Damian. "Perkenalkan dirimu, Lyla." Jake membuyarkan kebisuan dalam ruangan yang sekilas mirip dengan ruangan baca itu karena di sekeliling mereka banyak berbagai macam buku-buku yang tersusun rapi pada rak yang memenuhi dinding ruangan.
Lyla masih termenung saat Jake menghentikan mobilnya di pinggir jalanan tepat di depan apartemen kecil tempatnya tinggal. "Lyla, kau tak turun?" Jake membuyarkan lamunan Lyla. Sepanjang perjalanan tadi gadis itu memang tampak termenung dan melamun. "Ah, ya ... aku akan turun." Lyla melepas sabuk pengamannya. "Jake, berapa gajimu?" tanya Lyla tiba-tiba. Jake sedikit terkejut dengan pertanyaan Lyla, "Kenapa kau menanyakan itu? Apa kau benar-benar ingin tahu gaji yang kudapatkan?" balas Jake dengan heran. "Ah, maksudku, Jake apa kau tahu Damian menawarkan sepuluh kali lipat dari pendapatanku sebelumnya?" Lyla mengatakan hal tersebut dengan wajah seolah ngeri. Jake tergelak memperhatikan ekspresi gadis itu. "Jadi itu yang dari tadi mengganggumu? Bukankah kau seharusnya merasa senang?" balasnya. "Damian bisa memberikan berapa pun gaji yang ia inginkan pada siapapun yang ia kehendaki. Jika ia memberimu sejumlah uang yang bagus, artinya kau pantas mendapatkan itu Lyla." "Ta ... tapi aku
Lyla menganga mendapati mobil jenis Double Cabin yang terparkir gagah tepat di depan jalanan apartemennya. Ben, sang pengemudi muncul dari dalam. "Berikan barang-barang bawaan Anda, Nona," ucapnya formal. Lyla melirik sekilas dua tumpuk kardus dan sebuah koper besar miliknya yang berjajar tepat di sampingnya. "Hanya ini?" tanya Ben heran. "Yeah, apartemenku tak akan muat jika aku memiliki terlalu banyak barang," jawab Lyla masam. "Baiklah." Ben dengan sigap mengangkut satu demi satu barang milik Lyla ke dalam mobil. Tak memerlukan waktu yang lama baginya untuk mengangkut semua barang milik gadis itu. Hanya perlu sekejap saja, mereka kemudian berangkat memulai perjalanan. Selama perjalanan, Lyla memperhatikan setiap arah dan belokan untuk mengingat-ingat rute tempat tinggal baru yang akan dilewatinya. Betapa terkejutnya ia saat mereka melintasi pagar besar bernaungkan pohon-pohon rindang yang begitu asri yang mengelilingi sebuah rumah klasik mewah di dalamnya, karena pemandangan it
Lyla melangkah menuju pintu kamarnya setelah ia mendengar ketukan halus di pagi hari pertamanya tinggal di kediaman Damian. "Nona, jika Anda telah selesai bersiap, Tuan sedang menunggu Anda di ruang makan." Alice memberitahukan maksud kedatangannya segera setelah Lyla membukakan pintu untuknya. "Benarkah? Jadi Damian sudah berada di lantai bawah?" tanya Lyla. "Ya, Nona. Tuan sudah menunggu kedatangan Nona dari tadi. Dan baru kali ini Tuan terlihat begitu bersemangat." Alice sedikit terkikik. "Apa maksudmu?" "Tuan hari ini keluar dan bangun lebih pagi dari biasanya, Nona. Dan ia sudah bersiap di ruang makan, bahkan sebelum sarapan selesai kami sajikan. Jelas ia pasti sedang menunggu Nona." Lyla hanya tersenyum menanggapi ucapan Alice. "Mungkin karena ia memang sedang ingin bangun pagi hari ini, Alice." "Aku rasa bukan itu alasannya. Tuan pasti senang, karena Nona tinggal di sini," jelas Alice. "Ah, mari Nona, kita segera turun." "Baiklah," jawab Lyla. Tak butuh waktu lama bagi A
"Apa kau yakin ini tempatnya?" tanya Lyla pada Damian. Lyla sedikit tak yakin ketika Damian membawanya ke sebuah salon kecantikan yang terlihat masih tutup. "Benar inilah tempatnya. Mari kita masuk," balas Damian. Seorang pria tiba-tiba keluar dari pintu masuk salon tersebut dan tertawa cerah saat melihat Damian dan Lyla sudah berdiri di hadapannya. "Damian! ... oh, harusnya kau menghubungiku. Aku bisa menjemputmu." "Tak perlu berbasa-basi Clark. Aku ingin kau memberikan kemampuan yang terbaik yang kau punya untuk Lyla." Saat namanya disebut, Lyla sedikit tersentak dan refleks menatap Damian. "Aku? Mengapa? Aku pikir kau yang akan menghabiskan waktu di sini?" Lyla berbisik agar pria di hadapannya tak mendengar yang ia katakan. "Clark, segera persiapkan semuanya," perintah Damian. Lagi-lagi seolah merupakan kebiasaan Damian, ia mengabaikan begitu saja saat Lyla bertanya sesuatu. "Oke, masuklah kalian. Aku akan bersiap!" Pria bernama Clark itu kemudian masuk kembali ke tempatnya.
"Bagaimana perkembangan penyelidikanmu, Sam?" tanya Damian yang sedang duduk di salah satu ruang kerja sederhana yang tampak tersembunyi itu. Pria di hadapannya menghampirinya dan segera duduk di depannya. "Aku hanya menemukan petunjuk kecil saja, dan masih berupaya. Seperti yang kau bilang, kecelakaan yang melibatkanmu dan Olivia memang telah direncanakan, Damian." "Belum ada petunjuk siapa yang mungkin melakukan itu?" tanya Damian lagi. "Maaf, sayangnya belum. Dengan penyelidikan diam-diam dan tersembunyi seperti ini, aku terlalu sulit untuk menggali lebih dalam lagi. Tapi aku kau tahu, aku akan tetap berusaha," jawab pria yang bernama Sam itu. "Damian, bisakah kau ingat-ingat lagi kejadian janggal yang mungkin kau alami sebelum kecelakaanmu terjadi?" tanyanya kemudian. Damian menghela napasnya perlahan. Ia memutar kembali rekaman kejadian sebelum dirinya masuk ke dalam mobil yang mengakibatkan ia kecelakaan itu. "Saat itu aku memang sedang mabuk, Sam. Aku hanya ingat kilasan s
Lyla belum berani membuka matanya sesaat setelah ia mendarat ke dalam pelukan Damian. Ia sendiri masih merasa begitu terkejut dan shock. Jantungnya yang berdetak begitu kencang menandakan seberapa besar keterkejutannya itu. "Kau sungguh tak sabar ingin menyambutku ya ... hmm?" Suara berat Damian yang dalam, dan aroma tubuhnya seketika memenuhi indra penciumannya. Lyla mendongak menatap Damian, dan sedikit bergidik karena meremang akibat efek dari suara maskulin Damian. Jika memang gairah tiba-tiba dapat terbangkitkan karena adanya perpaduan antara aroma dan suara maskulin yang serak dan dalam yang menggodanya sehalus beledu itu nyata, maka Damian adalah pemilik sempurna untuk semua perpaduan itu. "Apa kau begitu senang karena melihatku, Manis?" bisik Damian. Lyla yang sejenak begitu terlena dengan suara seksi dan aroma maskulin Damian, kemudian sedikit bergetar. Entah mengapa, ia seolah merasa enggan untuk melepaskan diri dari dekapan dada bidang dan liat tersebut. Lyla merasa sepe
Tak hanya Alice, tetapi semua karyawan Damian seperti tersihir saat melihat Lyla dan Damian masuk melalui pintu utama. Mereka sejenak menghentikan aktivitas yang sedang dilakukan begitu Sang Tuan kembali dengan wanita cantik di sebelahnya. Alice bahkan menganga saat melihat Lyla dengan anggunnya masuk dan tersenyum padanya saat melewatinya. "Bawa aku ke kamar, Lyla," perintah Damian. Lyla dengan patuh menuntun Damian ke lantai atas dan mengantarkannya ke dalam kamarnya. "Apa kau lelah?" tanya Lyla kemudian. "Mengapa kau bertanya?" "Kau meninggalkanku di tempat Clark dan pergi begitu saja. Apa selama itu kau menungguku? Di mana kau menungguku?" "Apa kau ingin tahu?" ucap Damian balik bertanya. "Yah, hanya saja jika kau memang menungguku, aku akan merasa sangat bersalah. Kita pergi dari pagi hingga menjelang malam. Kau pasti lelah. Apa kau sempat kembali ke rumah? Di mana kau saat makan siang?" tanya Lyla lagi ingin tahu. Damian tersenyum simpul. Setelah Lyla menuntunnya, ia ke
Damian dan Lyla masih sama-sama mengenakan jubah mandi mereka setelah mereka menyantap hidangan makan malam yang diantarkan ke dalam kamar mereka malam itu.Mereka sebelumnya telah mandi bersama setelah selesai melakukan pergumulan panas untuk menghilangkan gundah di hati Damian tepat ketika ia terbangun dari tidurnya. Dan kini, mereka kembali berbaring berdampingan."Apa kau lelah, Sayang?" tanya Damian.Lyla tersenyum kecil. "Mengapa kau bertanya? Kau tahu benar apa yang membuatku lelah, bukan? Yang pasti, saat ini aku sedang kekenyangan.""Oh ya? Tapi katakan kau tidak selelah itu, please, karena aku masih membutuhkan dirimu untuk 'menenangkanku' lagi, Sayang," balas Damian sambil membelai wajah istrinya dan menatapnya penuh arti.Lyla sejenak tertawa. "Oh, ya ampun, kau bocah yang sulit 'ditenangkan' ha? Staminamu masih cukup besar rupanya," jawab Lyla sambil memutar kedua bola matanya dengan geli.Damian tergelak karena mengerti maksud Lyla. "Kau tahu benar diriku, Sayang. Aku ta
Damian yang masih terdiam semenjak mereka kembali dari pabrik hingga ke kediaman mereka lagi, membuat Lyla sedikit khawatir. Ia kemudian beringsut mendekati Damian yang tengah duduk bersandar di atas ranjang sambil membawa secangkir minuman hangat untuknya."Sayang, minumlah," ucap Lyla sambil menyerahkan cangkir tersebut. "Ini sudah menjelang sore, dan kau belum makan apa pun sejak siang tadi."Damian menghela napas dengan berat sebelum akhirnya menoleh. Ia menerima minuman hangat itu dan menyesapnya sejenak. Ia memberikan lagi cangkirnya pada Lyla yang kemudian diletakkannya di meja di samping ranjang."Apakah mereka telah pergi?" tanya Damian kemudian.Mengerti yang dimaksud suaminya, Lyla mengangguk. "Ya, mereka telah memeriksa apa yang mereka perlukan. Dan para petugas itu ... telah membawa Ester," jelasnya."Mereka menemukan ponsel rahasia yang ia gunakan untuk memata-matai semua pergerakanmu pada Madison. Mereka juga menemukan banyak lotre undian yang ia beli beberapa waktu lal
Beberapa saat kemudian, segerombolan orang mengetuk pintu ruangan rapat dan masuk setelah Nathan mengangguk dan mempersilakan mereka.Mereka yang terdiri dari empat orang, segera mendekati Nathan sambil menyerahkan sebuah kardus berukuran sedang yang berisikan map-map dan berkas di dalamnya. Mereka lalu meletakkan kardus tersebut di atas meja di hadapan Nathan."Sungguh tepat waktu," gumam Damian puas.Nathan yang sigap, kemudian berdiri setelah mendapat anggukan isyarat dari Damian. "Saudara-saudara sekalian, seperti yang telah Tuan Damian sampaikan, kardus ini berisi semua catatan tentang kejahatan dan kecurangan yang dimiliki oleh mereka," ucap Nathan.Sontak Gilbert, Madison, dan Edric menegakkan tubuhnya. "Apa-apaan itu?! Tak mungkin! Kalian licik dan hanya akan membuat kebohongan, bukan!" seru Edric panik.Edric yang tampak telah tersulut emosinya, hendak maju dan menghambur ke arah Nathan saat kemudian ia ditahan oleh Ben dan Joe yang sigap yang tengah berjaga di dalam ruangan
"Lalu, sekarang apa tanggapanmu tentang ini, Damian? Mengapa kau menyerahkan kekuasaan pada wanita yang telah mengalami kecacatan mental itu?" tanya Madison dengan raut menantang. Ia semakin bersemangat saat ucapannya sudah pasti akan didengar oleh seluruh dewan direksi perusahaan.Bisik-bisik semakin riuh terdengar karena para anggota pertemuan saling mengungkapkan pemikirannya masing-masing satu sama lain. Tak hanya itu, dalam tangkapan layar pun para anggota rapat online lainnya juga tampak saling berbisik."Ayo! Katakan apa penjelasanmu! Jangan membuat kami terlalu lama menunggu!" tantang Edric sambil berseru arogan di tengah-tengah ruangan yang riuh itu.Damian yang tampak tak terganggu, hanya tersenyum kecil. Ia masih tenang dalam menghadapi keriuhan itu. "Kalian ingin mendengar apa penjelasanku?" ucapnya. "Kecacatan mental katamu?" lanjut Damian sambil tertawa kecil. "Katakan, siapa di sini yang tak satu pun mengalami kecacatan mental? Aku ingin tahu. Karena yang kutahu, kita
Tiga hari kemudian ....Pagi itu, semuanya telah berkumpul di kantor utama di dalam pabrik milik mendiang ibu Damian untuk rapat bersama dalam agenda menerima hasil kinerja Allen dan mengumumkan beberapa pemberitahuan baru, termasuk diangkatnya Allen untuk menjalankan pabrik tersebut.Raut beberapa orang terlihat masam setelah mereka menerima hasil dari target yang telah ditentukan untuk pabrik itu dalam masa tenggat yang telah disepakati sebelumnya. Karena pabrik ternyata menghasilkan keuntungan yang mampu menutup semua kekurangan sebelumnya, maka rencana seseorang untuk memilikinya pun pupus sudah.Ya, itulah yang dirasakan oleh Felicia. Selama rapat dewan direksi, ia sudah berwajah masam. Terlebih saat melihat Lyla yang turut mendampingi Damian, membuatnya semakin merasa panas."Baiklah, kurasa sudah cukup. Sekian pertemuan kita hari ini." Damian mengakhiri rapat mereka setelah menjabarkan segala hal penting yang menjadi agenda pertemuan hari itu.Ketika para anggota rapat dan Dami
"Kau sudah melihat bagaimana ayahku tadi bersikap, bukan? Tak perlu diambil hati ya, Sayang, ia memang pria tua yang bodoh dan mudah dimanipulasi. Entah ia memang benar-benar tak tahu, atau ia sengaja tak peduli dan hanya memikirkan dirinya saja, aku pun sesungguhnya tak mengerti. Yang jelas pasti, ia adalah pria yang tak memiliki pendirian karena dari awal saja ia tak tahu harus berpihak dan melindungi siapa.""Yah, walau jawaban itu sudah jelas tak usah dipertanyakan lagi, kita sama-sama tahu bukan, apa jawabannya. Memiliki satu anak dibandingkan dengan tiga lainnya dari wanita berbeda, sudah jelas ia berada di pihak siapa, benar begitu? Bahkan dalam kehidupan pernikahannya pun ia masih saja mampu berkhianat dari istri pertamanya. Andai saja dari dulu aku sudah dapat lepas dari mereka dan hidup dengan kemauanku sendiri, mungkin sekarang kau tak akan ikut menderita dan terhina seperti sekarang, Sayang. Maafkan aku."Lyla mengangguk dan bersandar pada dada Damian ketika malam itu mere
Suasana tegang telah menghiasi meja makan di kediaman Damian yang telah tertata begitu banyak hidangan malam itu. Madison beserta suami dan ketiga anaknya telah duduk di tempat masing-masing yang telah dipersiapkan. Lyla dan Allen sendiri yang duduk di sisi Damian, seolah sedang menegaskan status dan keberadaan mereka. "Silakan menikmati hidangan kalian," ucap Damian memberi aba-aba pada keluarganya. "Mungkin ini tak terlalu sempurna mengingat kalian memberitahukan kunjungan dengan mendadak, jadi aku dan istriku tak sempat mempersiapkan semuanya dengan benar," ucap Damian merendah. "Tak perlu berbasa-basi, kau tentu tahu maksud kedatangan kami, bukan?" ucap Gilbert, sang ayah. "Oh, Dad, tentu saja. Tak perlu terburu-buru. Kau datang kemari karena memang sedang mengkhawatirkan keadaan putramu, alih-alih sesuatu yang lain, benar?" balas Damian sambil tersenyum tipis. "Seperti yang kalian lihat sekarang, aku telah kembali dan baik-baik saja." "Oke, baiklah, kulihat kau memang baik-bai
"Benarkah kau baik-baik saja? Apa yang sebenarnya terjadi padamu?" ucap Felicia yang siang itu mengunjungi kediaman Damian dan menatap Damian dengan raut haru seolah merasa prihatin dengan keadaannya."Aku baik-baik saja, Felicia," ucap Damian tenang. "Sekarang, katakanlah apa tujuanmu berkunjung kemari?" tanyanya."Melihatmu, tentu saja!" ucapnya. Ia mendekati Damian dan meraih lengan pria itu. "Aku harus melihat langsung bagaimana keadaanmu untuk mengetahui bahwa kau baik-baik saja."Sambil berucap, ia melirik Lyla yang sedang mengamit lengan Damian di sisi lainnya dengan penuh arti."Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja, bukan?" ucap Damian kemudian."Benarkah tak ada sesuatu yang terjadi padamu?" tanyanya lagi. "Jika kau sedang menjalani perawatan untuk kesehatanmu, apakah tidak terlalu berlebihan saat kau memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada wanita itu?" Tanpa berbasa-basi lagi, Felicia kini menuding Lyla di hadapan Damian.Lyla hanya mengembuskan napasnya dengan tert
Lyla sedang berfokus pada laptopnya dan terlihat sedang membalas pesan beberapa 'klien' dalam media sosialnya itu dengan raut serius. Beberapa kali ia pun membalas pertanyaan-pertanyaan yang masuk ke dalam pesan miliknya."Kau telah mendapatkan mereka rupanya," ucap Damian yang tiba-tiba telah muncul di sampingnya dan ikut memeriksa layar di depannya."Ya, seperti yang kau katakan, beberapa dari mereka sangat mempercayai hal-hal yang berhubungan dengan tarot dan semacamnya," balas Lyla."Lalu apa kau mempercayainya?" tanya Damian.Lyla tersenyum kecil. "Aku membencinya," jawabnya tenang.Damian mengangkat kedua alisnya seolah bertanya-tanya. "Lalu ... mengapa kau?" ucapnya tak mengerti.Lyla tersenyum lagi. "Mengapa aku membacakan kartu orang lain maksudmu? Bahkan, aku dapat memperoleh pendapatan dari sana? Well ... itu adalah cerita yang lain lagi.""Benarkah? Coba ceritakan padaku," balas Damian.Apakah kau benar-benar ingin mendengarnya?" tanya Lyla."Tentu, sebanyak apapun kau ber