Lyla masih termenung saat Jake menghentikan mobilnya di pinggir jalanan tepat di depan apartemen kecil tempatnya tinggal.
"Lyla, kau tak turun?" Jake membuyarkan lamunan Lyla. Sepanjang perjalanan tadi gadis itu memang tampak termenung dan melamun.
"Ah, ya ... aku akan turun." Lyla melepas sabuk pengamannya. "Jake, berapa gajimu?" tanya Lyla tiba-tiba.
Jake sedikit terkejut dengan pertanyaan Lyla, "Kenapa kau menanyakan itu? Apa kau benar-benar ingin tahu gaji yang kudapatkan?" balas Jake dengan heran.
"Ah, maksudku, Jake apa kau tahu Damian menawarkan sepuluh kali lipat dari pendapatanku sebelumnya?" Lyla mengatakan hal tersebut dengan wajah seolah ngeri.
Jake tergelak memperhatikan ekspresi gadis itu. "Jadi itu yang dari tadi mengganggumu? Bukankah kau seharusnya merasa senang?" balasnya. "Damian bisa memberikan berapa pun gaji yang ia inginkan pada siapapun yang ia kehendaki. Jika ia memberimu sejumlah uang yang bagus, artinya kau pantas mendapatkan itu Lyla."
"Ta ... tapi aku bahkan belum pernah benar-benar mendapat uang sebanyak itu seumur hidupku! Bisa kau bayangkan, itu hanya gajiku setiap bulannya saja," gumam Lyla seolah masih tak percaya.
"Jake, benarkah aku akan mendapat gaji seperti yang Damian janjikan?" tanyanya lagi seolah tak yakin.
"Kau sudah menandatangani kontraknya bukan?" tanya Jake lagi. Lyla serta merta mengangguk mantap. "Maka kau akan mendapatkan apapun yang sudah kau tandatangani di dalamnya, Lyla," jelas Jake.
"Lalu, menurutmu pekerjaan seperti apa yang akan kulakukan?" tanyanya.
"Hm, aku tidak bisa menjawab itu. Damian pasti tahu apa yang ia butuhkan darimu. Ia tak akan membayarmu tanpa alasan yang jelas. Sudah pasti ia jelas membutuhkan jasamu atau kemampuan apapun yang mungkin kau miliki."
Lyla mengangguk dan kemudian tersenyum simpul. "Baiklah, mulai besok aku hanya harus berangkat dan bekerja untuknya, bukan?"
"Ya, lakukan saja apa yang Damian minta. Ia pasti akan memberitahumu apa yang harus kau lakukan. Dan ingatlah, jangan terlalu takut padanya. Damian juga manusia biasa, ia tak akan melakukan hal yang aneh padamu."
"Yah, harus aku akui, aku terlalu ketakutan saat bertemu dengannya. Apa ia perlu dikelilingi oleh begitu banyak pengawal walau di rumahnya sendiri seperti tadi?" tanya Lyla.
"Sangat perlu. Percayalah, Damian tahu apa yang ia lakukan. Walau ia sekarang memiliki keterbatasan, tetapi insting dan pola pikirnya tetap tajam. Ia hanya sedang menyesuaikan diri dengan kehilangan dan keadaan dirinya yang baru. Bersabarlah dengannya Lyla. Aku harap kau dapat membantunya."
"Kau begitu peduli dengannya. Apa kau begitu dekat dengan Damian?"
Jake tersenyum simpul, "Cukup dekat hingga sepupuku yang merupakan tunangannya harus meninggal dengan cara yang tragis akibat kecelakaan yang mereka alami setahun yang lalu."
"Oh!" Lyla menutup mulutnya karena terkejut. "Maafkan aku, aku tak tahu."
"Tak masalah, Damian adalah teman baikku. Aku dengan tulus mengharapkanmu agar dapat membantunya untuk melewati masa-masa terpuruknya."
Lyla membasahi bibirnya dengan gugup, "Baiklah, walau aku tak yakin apa yang bisa aku lakukan untuknya, tapi aku akan berusaha sebisaku."
"Terima kasih Lyla. Kau adalah orang pertama yang dipilihnya setelah aku menyodorkan beberapa orang yang ia minta sebelumnya."
"Bukan hanya gadis saja? Berapa banyak yang sudah kau carikan untuknya?"
"Beberapa, termasuk seorang pria paruh baya dan beberapa pemuda yang mengaku menguasai hal-hal di luar nalar kita. Tapi tampaknya semua tidak mengesankan Damian."
"Lalu bagaimana denganku? Apa yang ia lihat dariku? Aku hanya menangis ketakutan saat menghadap dirinya!" jelas Lyla.
Jake kembali tergelak. "Ya, aku bisa tahu itu. Ia bahkan tak memberimu tes-tes aneh seperti yang ia lakukan sebelum-sebelumnya."
"Oke, terima kasih karena tak memberiku peringatan sebelumnya tentang Damian. Aku hampir pingsan saat ia bertanya tentang Kathy dan Clarissa!" Lyla membelalak. "Kathy yang sudah dikubur, dan Clarissa yang sedang dirawat di rumah sakit dengan beberapa patah tulang. Apa kau tahu apa yang kupikirkan saat itu?! Aku bahkan tak berani bernapas setelah ia dengan tenang bertanya tentang kedua gadis malang itu."
Lyla menghembuskan napasnya perlahan. "Aku baru bisa sedikit tenang ketika Damian hanya menertawakanku saat aku bertanya tentang mereka. Aku pikir itu bukanlah sesuatu yang mengerikan seperti yang sudah aku bayangkan. Tapi aku tetap penasaran. Apa kau tahu siapa mereka Jake?" tanyanya kemudian.
Jake mengerjap sesaat sebelum akhirnya kembali tergelak, "Kathy dan Clarissa?" jelasnya. "Maksudmu kucing-kucing Damian?! Mereka bukanlah seorang gadis, mereka adalah kucing! Kenapa? Apa ia sudah menakutimu dengan mengatakan sesuatu tentang mereka?!"
"A ... apa?! Kucing kau bilang?!" Lyla membelalak tak percaya. "Jadi aku ketakutan karena kucing? A ... aku pikir mereka... Oh, ya Tuhan!" Lyla menghembuskan napasnya dengan lega.
"Ya, mereka adalah kucing-kucing Damian. Walau begitu, beberapa hari yang lalu mereka mengalami hal yang tragis," ucap Jake dengan serius. "Kathy ditemukan mati karena keracunan. Dan Clarissa terluka dengan beberapa tulang yang patah, seperti habis tertabrak sesuatu. Lebih tepatnya, mereka adalah kucing-kucing milik Olivia, sepupuku."
"Oh, benarkah? Malang sekali."
"Ya, menurutmu mengapa Damian memerlukan pengawal walau ia berada di rumahnya sendiri? Itu karena, bisa jadi mungkin bukan hanya kucing saja yang dapat terluka, tetapi juga dirinya sendiri. Maka dari itu, ia butuh pengawal untuk berjaga-jaga." Jake menatap Lyla dengan tatapan serius.
"Maksudmu?! A ... ada yang sengaja ingin mencelakainya?" Lyla tercekat menyimpulkan ucapan Jake.
"Apa menurutmu aneh jika salah satu seorang pengusaha besar di Vancouver yang memiliki beberapa perusahaan yang menghasilkan banyak keuntungan, merasa hidupnya terancam semenjak ia mengalami beberapa musibah beruntun dan akhirnya membawanya dalam keadaan seperti sekarang ini?" Jake menatap Lyla dengan serius.
"Damian hanya merasa mungkin ada seseorang atau entah siapa yang menginginkannya celaka. Ia menyadari beberapa hal yang aneh semenjak kematian Olivia," jelas Jake.
"Ia menjadi sensitif dan selalu was-was pada hal apapun. Aku mengerti yang dirasakannya. Sekarang ia pasti merasa tak berdaya dengan keadaan dirinya, yang mana pastinya akan ada banyak orang yang bisa mengambil keuntungan dengan kebutaan dirinya itu." Jake menghela napas lagi. "Menurutmu mengapa aku ditempatkan sebagai seorang kepala akuntan di perusahaannya?"
Lyla menggeleng tak mengerti.
"Itu karena Damian ingin tetap mengawasi perusahaan walau dirinya tak dapat melakukan banyak campur tangan untuk saat ini karena kondisinya. Ia ingin aku mengawasi ayah dan saudara-saudaranya yang lain yang akan dengan senang hati mengambil alih perusahaan-perusahaannya saat ia tak ada nanti."
"Oh, benarkah?!" Lyla tercekat mendengar penjelasan Jake.
Jake tersenyum menenangkan dan menepuk bahu Lyla perlahan. "Jangan terlalu takut, ini hanya asumsi saja. Yang aku pentingkan sekarang adalah kondisi fisik maupun mental Damian."
"Sungguh, aku ingin ia bisa kembali menjalani hidupnya dengan normal dan sampai berbahagia nantinya. Seperti yang kau tahu, kecelakaan yang menimpanya telah meninggalkan pengalaman traumatis yang begitu mendalam bagi Damian. Jadi, sekali lagi aku mohon, tolong bantu dirinya, Lyla," ucap Jake.
"Baiklah, aku mengerti." Lyla mengangguk.
_____*****_____Lyla merebahkan diri di kasur sederhana miliknya. Setelah membersihkan diri dan merasa segar, ia beristirahat sambil menatap langit-langit kamar kecilnya.Lyla tinggal di sebuah apartemen kecil yang harga sewanya cukup murah untuknya. Ia harus banyak menghemat pendapatannya untuk keperluan hidupnya dan membantu biaya kuliah adik lelakinya, Allen.
Lyla menatap ponselnya sejenak, entah mengapa ia merasa malas untuk mengunjungi sosial medianya. Gambaran pendapatan yang Damian janjikan membuat perutnya melilit setiap kali ia memikirkannya.
Ia mungkin dapat melunasi biaya kuliah adiknya untuk beberapa semester kedepan dari uang yang Damian janjikan. Bahkan, ia sendiri bisa pindah ke apartemen yang lebih bagus dan bersih.
Saat Lyla mulai terserang rasa kantuk, tiba-tiba ponselnya berdering beberapa kali. Dengan malas ia meraih ponselnya dan seketika seolah ia merasa seperti tersengat listrik, saat ia mendapati ada sebuah pesan notifikasi di ponselnya yang melaporkan sejumlah dana telah ditransfer ke dalam rekeningnya.
"NO WAYY!!!"
Lyla melompat dari ranjangnya dan terpekik. Napasnya seolah berhenti saat ia melihat nominal angka yang berderet begitu banyak saat ia membuka pesan notifikasi tersebut.
Sebuah pesan suara kemudian masuk menyusul notifikasi dari pemberitahuan dana yang telah terkirim ke dalam rekeningnya.
Sebuah nomor tak dikenal mengiriminya sebuah pesan suara. "Kemasi barangmu, besok kau mulai menempati tempat tinggal barumu. Ben akan menjemputmu tepat pukul sebelas siang. Dan Lyla, aku sudah memberimu gaji di muka beserta bonus kepindahanmu."
Lyla menganga, walau baru tadi ia bertemu dengan Damian, ia sudah kenal betul dengan suara pria itu.
"B ... baik, Pak!" jawabnya dengan sedikit gagap. Lyla membalas pesan suara tersebut dengan cepat.
_____*****_____Lyla menganga mendapati mobil jenis Double Cabin yang terparkir gagah tepat di depan jalanan apartemennya. Ben, sang pengemudi muncul dari dalam. "Berikan barang-barang bawaan Anda, Nona," ucapnya formal. Lyla melirik sekilas dua tumpuk kardus dan sebuah koper besar miliknya yang berjajar tepat di sampingnya. "Hanya ini?" tanya Ben heran. "Yeah, apartemenku tak akan muat jika aku memiliki terlalu banyak barang," jawab Lyla masam. "Baiklah." Ben dengan sigap mengangkut satu demi satu barang milik Lyla ke dalam mobil. Tak memerlukan waktu yang lama baginya untuk mengangkut semua barang milik gadis itu. Hanya perlu sekejap saja, mereka kemudian berangkat memulai perjalanan. Selama perjalanan, Lyla memperhatikan setiap arah dan belokan untuk mengingat-ingat rute tempat tinggal baru yang akan dilewatinya. Betapa terkejutnya ia saat mereka melintasi pagar besar bernaungkan pohon-pohon rindang yang begitu asri yang mengelilingi sebuah rumah klasik mewah di dalamnya, karena pemandangan it
Lyla melangkah menuju pintu kamarnya setelah ia mendengar ketukan halus di pagi hari pertamanya tinggal di kediaman Damian. "Nona, jika Anda telah selesai bersiap, Tuan sedang menunggu Anda di ruang makan." Alice memberitahukan maksud kedatangannya segera setelah Lyla membukakan pintu untuknya. "Benarkah? Jadi Damian sudah berada di lantai bawah?" tanya Lyla. "Ya, Nona. Tuan sudah menunggu kedatangan Nona dari tadi. Dan baru kali ini Tuan terlihat begitu bersemangat." Alice sedikit terkikik. "Apa maksudmu?" "Tuan hari ini keluar dan bangun lebih pagi dari biasanya, Nona. Dan ia sudah bersiap di ruang makan, bahkan sebelum sarapan selesai kami sajikan. Jelas ia pasti sedang menunggu Nona." Lyla hanya tersenyum menanggapi ucapan Alice. "Mungkin karena ia memang sedang ingin bangun pagi hari ini, Alice." "Aku rasa bukan itu alasannya. Tuan pasti senang, karena Nona tinggal di sini," jelas Alice. "Ah, mari Nona, kita segera turun." "Baiklah," jawab Lyla. Tak butuh waktu lama bagi A
"Apa kau yakin ini tempatnya?" tanya Lyla pada Damian. Lyla sedikit tak yakin ketika Damian membawanya ke sebuah salon kecantikan yang terlihat masih tutup. "Benar inilah tempatnya. Mari kita masuk," balas Damian. Seorang pria tiba-tiba keluar dari pintu masuk salon tersebut dan tertawa cerah saat melihat Damian dan Lyla sudah berdiri di hadapannya. "Damian! ... oh, harusnya kau menghubungiku. Aku bisa menjemputmu." "Tak perlu berbasa-basi Clark. Aku ingin kau memberikan kemampuan yang terbaik yang kau punya untuk Lyla." Saat namanya disebut, Lyla sedikit tersentak dan refleks menatap Damian. "Aku? Mengapa? Aku pikir kau yang akan menghabiskan waktu di sini?" Lyla berbisik agar pria di hadapannya tak mendengar yang ia katakan. "Clark, segera persiapkan semuanya," perintah Damian. Lagi-lagi seolah merupakan kebiasaan Damian, ia mengabaikan begitu saja saat Lyla bertanya sesuatu. "Oke, masuklah kalian. Aku akan bersiap!" Pria bernama Clark itu kemudian masuk kembali ke tempatnya.
"Bagaimana perkembangan penyelidikanmu, Sam?" tanya Damian yang sedang duduk di salah satu ruang kerja sederhana yang tampak tersembunyi itu. Pria di hadapannya menghampirinya dan segera duduk di depannya. "Aku hanya menemukan petunjuk kecil saja, dan masih berupaya. Seperti yang kau bilang, kecelakaan yang melibatkanmu dan Olivia memang telah direncanakan, Damian." "Belum ada petunjuk siapa yang mungkin melakukan itu?" tanya Damian lagi. "Maaf, sayangnya belum. Dengan penyelidikan diam-diam dan tersembunyi seperti ini, aku terlalu sulit untuk menggali lebih dalam lagi. Tapi aku kau tahu, aku akan tetap berusaha," jawab pria yang bernama Sam itu. "Damian, bisakah kau ingat-ingat lagi kejadian janggal yang mungkin kau alami sebelum kecelakaanmu terjadi?" tanyanya kemudian. Damian menghela napasnya perlahan. Ia memutar kembali rekaman kejadian sebelum dirinya masuk ke dalam mobil yang mengakibatkan ia kecelakaan itu. "Saat itu aku memang sedang mabuk, Sam. Aku hanya ingat kilasan s
Lyla belum berani membuka matanya sesaat setelah ia mendarat ke dalam pelukan Damian. Ia sendiri masih merasa begitu terkejut dan shock. Jantungnya yang berdetak begitu kencang menandakan seberapa besar keterkejutannya itu. "Kau sungguh tak sabar ingin menyambutku ya ... hmm?" Suara berat Damian yang dalam, dan aroma tubuhnya seketika memenuhi indra penciumannya. Lyla mendongak menatap Damian, dan sedikit bergidik karena meremang akibat efek dari suara maskulin Damian. Jika memang gairah tiba-tiba dapat terbangkitkan karena adanya perpaduan antara aroma dan suara maskulin yang serak dan dalam yang menggodanya sehalus beledu itu nyata, maka Damian adalah pemilik sempurna untuk semua perpaduan itu. "Apa kau begitu senang karena melihatku, Manis?" bisik Damian. Lyla yang sejenak begitu terlena dengan suara seksi dan aroma maskulin Damian, kemudian sedikit bergetar. Entah mengapa, ia seolah merasa enggan untuk melepaskan diri dari dekapan dada bidang dan liat tersebut. Lyla merasa sepe
Tak hanya Alice, tetapi semua karyawan Damian seperti tersihir saat melihat Lyla dan Damian masuk melalui pintu utama. Mereka sejenak menghentikan aktivitas yang sedang dilakukan begitu Sang Tuan kembali dengan wanita cantik di sebelahnya. Alice bahkan menganga saat melihat Lyla dengan anggunnya masuk dan tersenyum padanya saat melewatinya. "Bawa aku ke kamar, Lyla," perintah Damian. Lyla dengan patuh menuntun Damian ke lantai atas dan mengantarkannya ke dalam kamarnya. "Apa kau lelah?" tanya Lyla kemudian. "Mengapa kau bertanya?" "Kau meninggalkanku di tempat Clark dan pergi begitu saja. Apa selama itu kau menungguku? Di mana kau menungguku?" "Apa kau ingin tahu?" ucap Damian balik bertanya. "Yah, hanya saja jika kau memang menungguku, aku akan merasa sangat bersalah. Kita pergi dari pagi hingga menjelang malam. Kau pasti lelah. Apa kau sempat kembali ke rumah? Di mana kau saat makan siang?" tanya Lyla lagi ingin tahu. Damian tersenyum simpul. Setelah Lyla menuntunnya, ia ke
Sajian makan malam di rumah itu telah tertata rapi saat mereka sudah bersiap dan berhadapan di meja makan. Lyla duduk bersebelahan dengan Damian, sedangkan Edric dan Madison, ibu Damian berada berseberangan dengan mereka. Walau terkesan ramah, Lyla merasa sedikit was-was dengan cara Madison memperhatikannya. Terlebih saat Damian memperkenalkannya sebagai kekasihnya. Walau samar, Lyla juga dapat melihat ketidaksukaan di dalam raut keterkejutan yang ditunjukkan oleh wanita itu. Entah, mungkin hanya perasaannya saja, tapi ia bersumpah, ia berhasil menangkap beberapa detik rasa ketidaksukaan itu pada dirinya. "Silakan, mari kita mulai makan malam kita. Sayang, Dad dan saudari-saudariku yang lain tidak dapat bergabung dengan kita." Damian membuka makan malam dengan percakapan ringan. "Oh, maafkan ayahmu, Eva, dan Elina. Mereka memiliki kesibukan yang tak dapat ditinggalkan, Sayang. Lain kali aku akan meminta mereka untuk mengunjungimu agar kau tak merasa kesepian," balas Madison. Damian
Lyla yang mematung, menatap iba ke arah Damian. Lebih dari itu, entah mengapa ia merasa ikut menderita hanya dengan melihat wajah kacau Damian. "Damian! Apa yang terjadi padamu? Damian?" Tanpa pikir panjang, Lyla berhambur ke arahnya. Damian yang tampak terkejut menepis Lyla ketika dirinya menyentuh lengan pria itu. "Pergi!! Monster! Pergii!!" teriaknya. Saat itu Lyla kembali terkejut ketika Damian beringsut mundur dengan ketakutan. Ia meringkuk di sudut ranjang dan bahkan menangis terisak dengan pilu! Tak kuasa melihatnya, Lyla kemudian naik ke atas ranjang dan memeluk Damian dengan erat. "Damian, sadarlah. Ini aku, apa yang sebenarnya terjadi padamu?" "Pergi dari sini!! Pergi! Jangan menggangguku!! Kalian monster! Iblis! Aku tak akan kalah! Kalian tak bisa membunuhku dengan mudah!" teriaknya lagi sambil meronta-ronta. "Oh, ya Tuhan. Damian! Sadarlah! Damian!" Lyla merengkuh wajah Damian dan berbicara tepat di hadapannya. Ia berharap Damian dapat mendengarkannya dan berhenti mer
Damian dan Lyla masih sama-sama mengenakan jubah mandi mereka setelah mereka menyantap hidangan makan malam yang diantarkan ke dalam kamar mereka malam itu.Mereka sebelumnya telah mandi bersama setelah selesai melakukan pergumulan panas untuk menghilangkan gundah di hati Damian tepat ketika ia terbangun dari tidurnya. Dan kini, mereka kembali berbaring berdampingan."Apa kau lelah, Sayang?" tanya Damian.Lyla tersenyum kecil. "Mengapa kau bertanya? Kau tahu benar apa yang membuatku lelah, bukan? Yang pasti, saat ini aku sedang kekenyangan.""Oh ya? Tapi katakan kau tidak selelah itu, please, karena aku masih membutuhkan dirimu untuk 'menenangkanku' lagi, Sayang," balas Damian sambil membelai wajah istrinya dan menatapnya penuh arti.Lyla sejenak tertawa. "Oh, ya ampun, kau bocah yang sulit 'ditenangkan' ha? Staminamu masih cukup besar rupanya," jawab Lyla sambil memutar kedua bola matanya dengan geli.Damian tergelak karena mengerti maksud Lyla. "Kau tahu benar diriku, Sayang. Aku ta
Damian yang masih terdiam semenjak mereka kembali dari pabrik hingga ke kediaman mereka lagi, membuat Lyla sedikit khawatir. Ia kemudian beringsut mendekati Damian yang tengah duduk bersandar di atas ranjang sambil membawa secangkir minuman hangat untuknya."Sayang, minumlah," ucap Lyla sambil menyerahkan cangkir tersebut. "Ini sudah menjelang sore, dan kau belum makan apa pun sejak siang tadi."Damian menghela napas dengan berat sebelum akhirnya menoleh. Ia menerima minuman hangat itu dan menyesapnya sejenak. Ia memberikan lagi cangkirnya pada Lyla yang kemudian diletakkannya di meja di samping ranjang."Apakah mereka telah pergi?" tanya Damian kemudian.Mengerti yang dimaksud suaminya, Lyla mengangguk. "Ya, mereka telah memeriksa apa yang mereka perlukan. Dan para petugas itu ... telah membawa Ester," jelasnya."Mereka menemukan ponsel rahasia yang ia gunakan untuk memata-matai semua pergerakanmu pada Madison. Mereka juga menemukan banyak lotre undian yang ia beli beberapa waktu lal
Beberapa saat kemudian, segerombolan orang mengetuk pintu ruangan rapat dan masuk setelah Nathan mengangguk dan mempersilakan mereka.Mereka yang terdiri dari empat orang, segera mendekati Nathan sambil menyerahkan sebuah kardus berukuran sedang yang berisikan map-map dan berkas di dalamnya. Mereka lalu meletakkan kardus tersebut di atas meja di hadapan Nathan."Sungguh tepat waktu," gumam Damian puas.Nathan yang sigap, kemudian berdiri setelah mendapat anggukan isyarat dari Damian. "Saudara-saudara sekalian, seperti yang telah Tuan Damian sampaikan, kardus ini berisi semua catatan tentang kejahatan dan kecurangan yang dimiliki oleh mereka," ucap Nathan.Sontak Gilbert, Madison, dan Edric menegakkan tubuhnya. "Apa-apaan itu?! Tak mungkin! Kalian licik dan hanya akan membuat kebohongan, bukan!" seru Edric panik.Edric yang tampak telah tersulut emosinya, hendak maju dan menghambur ke arah Nathan saat kemudian ia ditahan oleh Ben dan Joe yang sigap yang tengah berjaga di dalam ruangan
"Lalu, sekarang apa tanggapanmu tentang ini, Damian? Mengapa kau menyerahkan kekuasaan pada wanita yang telah mengalami kecacatan mental itu?" tanya Madison dengan raut menantang. Ia semakin bersemangat saat ucapannya sudah pasti akan didengar oleh seluruh dewan direksi perusahaan.Bisik-bisik semakin riuh terdengar karena para anggota pertemuan saling mengungkapkan pemikirannya masing-masing satu sama lain. Tak hanya itu, dalam tangkapan layar pun para anggota rapat online lainnya juga tampak saling berbisik."Ayo! Katakan apa penjelasanmu! Jangan membuat kami terlalu lama menunggu!" tantang Edric sambil berseru arogan di tengah-tengah ruangan yang riuh itu.Damian yang tampak tak terganggu, hanya tersenyum kecil. Ia masih tenang dalam menghadapi keriuhan itu. "Kalian ingin mendengar apa penjelasanku?" ucapnya. "Kecacatan mental katamu?" lanjut Damian sambil tertawa kecil. "Katakan, siapa di sini yang tak satu pun mengalami kecacatan mental? Aku ingin tahu. Karena yang kutahu, kita
Tiga hari kemudian ....Pagi itu, semuanya telah berkumpul di kantor utama di dalam pabrik milik mendiang ibu Damian untuk rapat bersama dalam agenda menerima hasil kinerja Allen dan mengumumkan beberapa pemberitahuan baru, termasuk diangkatnya Allen untuk menjalankan pabrik tersebut.Raut beberapa orang terlihat masam setelah mereka menerima hasil dari target yang telah ditentukan untuk pabrik itu dalam masa tenggat yang telah disepakati sebelumnya. Karena pabrik ternyata menghasilkan keuntungan yang mampu menutup semua kekurangan sebelumnya, maka rencana seseorang untuk memilikinya pun pupus sudah.Ya, itulah yang dirasakan oleh Felicia. Selama rapat dewan direksi, ia sudah berwajah masam. Terlebih saat melihat Lyla yang turut mendampingi Damian, membuatnya semakin merasa panas."Baiklah, kurasa sudah cukup. Sekian pertemuan kita hari ini." Damian mengakhiri rapat mereka setelah menjabarkan segala hal penting yang menjadi agenda pertemuan hari itu.Ketika para anggota rapat dan Dami
"Kau sudah melihat bagaimana ayahku tadi bersikap, bukan? Tak perlu diambil hati ya, Sayang, ia memang pria tua yang bodoh dan mudah dimanipulasi. Entah ia memang benar-benar tak tahu, atau ia sengaja tak peduli dan hanya memikirkan dirinya saja, aku pun sesungguhnya tak mengerti. Yang jelas pasti, ia adalah pria yang tak memiliki pendirian karena dari awal saja ia tak tahu harus berpihak dan melindungi siapa.""Yah, walau jawaban itu sudah jelas tak usah dipertanyakan lagi, kita sama-sama tahu bukan, apa jawabannya. Memiliki satu anak dibandingkan dengan tiga lainnya dari wanita berbeda, sudah jelas ia berada di pihak siapa, benar begitu? Bahkan dalam kehidupan pernikahannya pun ia masih saja mampu berkhianat dari istri pertamanya. Andai saja dari dulu aku sudah dapat lepas dari mereka dan hidup dengan kemauanku sendiri, mungkin sekarang kau tak akan ikut menderita dan terhina seperti sekarang, Sayang. Maafkan aku."Lyla mengangguk dan bersandar pada dada Damian ketika malam itu mere
Suasana tegang telah menghiasi meja makan di kediaman Damian yang telah tertata begitu banyak hidangan malam itu. Madison beserta suami dan ketiga anaknya telah duduk di tempat masing-masing yang telah dipersiapkan. Lyla dan Allen sendiri yang duduk di sisi Damian, seolah sedang menegaskan status dan keberadaan mereka. "Silakan menikmati hidangan kalian," ucap Damian memberi aba-aba pada keluarganya. "Mungkin ini tak terlalu sempurna mengingat kalian memberitahukan kunjungan dengan mendadak, jadi aku dan istriku tak sempat mempersiapkan semuanya dengan benar," ucap Damian merendah. "Tak perlu berbasa-basi, kau tentu tahu maksud kedatangan kami, bukan?" ucap Gilbert, sang ayah. "Oh, Dad, tentu saja. Tak perlu terburu-buru. Kau datang kemari karena memang sedang mengkhawatirkan keadaan putramu, alih-alih sesuatu yang lain, benar?" balas Damian sambil tersenyum tipis. "Seperti yang kalian lihat sekarang, aku telah kembali dan baik-baik saja." "Oke, baiklah, kulihat kau memang baik-bai
"Benarkah kau baik-baik saja? Apa yang sebenarnya terjadi padamu?" ucap Felicia yang siang itu mengunjungi kediaman Damian dan menatap Damian dengan raut haru seolah merasa prihatin dengan keadaannya."Aku baik-baik saja, Felicia," ucap Damian tenang. "Sekarang, katakanlah apa tujuanmu berkunjung kemari?" tanyanya."Melihatmu, tentu saja!" ucapnya. Ia mendekati Damian dan meraih lengan pria itu. "Aku harus melihat langsung bagaimana keadaanmu untuk mengetahui bahwa kau baik-baik saja."Sambil berucap, ia melirik Lyla yang sedang mengamit lengan Damian di sisi lainnya dengan penuh arti."Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja, bukan?" ucap Damian kemudian."Benarkah tak ada sesuatu yang terjadi padamu?" tanyanya lagi. "Jika kau sedang menjalani perawatan untuk kesehatanmu, apakah tidak terlalu berlebihan saat kau memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada wanita itu?" Tanpa berbasa-basi lagi, Felicia kini menuding Lyla di hadapan Damian.Lyla hanya mengembuskan napasnya dengan tert
Lyla sedang berfokus pada laptopnya dan terlihat sedang membalas pesan beberapa 'klien' dalam media sosialnya itu dengan raut serius. Beberapa kali ia pun membalas pertanyaan-pertanyaan yang masuk ke dalam pesan miliknya."Kau telah mendapatkan mereka rupanya," ucap Damian yang tiba-tiba telah muncul di sampingnya dan ikut memeriksa layar di depannya."Ya, seperti yang kau katakan, beberapa dari mereka sangat mempercayai hal-hal yang berhubungan dengan tarot dan semacamnya," balas Lyla."Lalu apa kau mempercayainya?" tanya Damian.Lyla tersenyum kecil. "Aku membencinya," jawabnya tenang.Damian mengangkat kedua alisnya seolah bertanya-tanya. "Lalu ... mengapa kau?" ucapnya tak mengerti.Lyla tersenyum lagi. "Mengapa aku membacakan kartu orang lain maksudmu? Bahkan, aku dapat memperoleh pendapatan dari sana? Well ... itu adalah cerita yang lain lagi.""Benarkah? Coba ceritakan padaku," balas Damian.Apakah kau benar-benar ingin mendengarnya?" tanya Lyla."Tentu, sebanyak apapun kau ber