Lyla membeku di tempatnya, tak dapat memalingkan wajah dari pria beraura gelap yang berada di hadapannya itu.
Damian Green Foster, pria yang memakai kacamata hitam dan menggenggam tongkat itu duduk dengan tenang dan tampak berwibawa dengan setelan kemeja biru dan celana panjang navy miliknya.
Lyla tadi begitu panik dan sedikit gemetar saat Jake membawanya memasuki rumah besar dengan halaman luas yang penuh dengan pohon rindang di sekelilingnya. Ditambah saat ia memasuki sebuah ruangan, dua pria berjas hitam yang berdiri di ambang pintu menjadi pemandangan mengerikan tersendiri baginya dan semakin menambah kepanikannya.
Lyla menelan ludahnya berkali-kali demi meredakan kegugupannya. Ia sesekali melirik Jake yang tampak santai dan tenang menghadapi Damian.
"Perkenalkan dirimu, Lyla." Jake membuyarkan kebisuan dalam ruangan yang sekilas mirip dengan ruangan baca itu karena di sekeliling mereka banyak berbagai macam buku-buku yang tersusun rapi pada rak yang memenuhi dinding ruangan.
"L ... Lyla, nama saya Lyla Auburn, Tuan." Suaranya yang tercekat terdengar sedikit mencicit karena kegugupannya.
"Kau tak ingin duduk, Lyla?" Damian sedikit menggeser postur tubuhnya agar lebih tegak. Lyla yang masih berdiri, refleks sedikit mundur menanggapi gerakan Damian itu.
Ya, ia serasa ingin melarikan diri dari ruangan bernuansa gelap yang begitu menakutkan saat itu juga. Walau sekarang masih sore dan terbilang cukup cerah diluar, entah mengapa begitu memasuki ruangan ini keadaan seolah berubah seperti malam yang mencekam.
"Duduklah," bisik Jake padanya. Ia sendiri kemudian mengambil tempat pada salah satu kursi yang sama-sama menghadap ke arah Damian.
"Kau karyawan baru?" Damian meraih cangkir tehnya perlahan, dan dengan cara elegan yang tenang ia meneguk isinya begitu Lyla mendudukkan diri pada kursi ukiran yang lembut yang berhadapan persis dengan Damian.
Lyla sedikit heran dengan ketenangan Damian mengambil cangkir teh di hadapannya tanpa kesulitan sama sekali. Jika tak tahu, sekilas ia tampak seperti orang normal lainnya yang tidak memiliki kekurangan fisik apapun.
"Kau heran? Sudah sejak setengah tahun yang lalu aku berdamai dengan keadaanku. Jika untuk melakukan hal-hal kecil seperti ini, sudah tidak menjadi masalah bagiku." Damian tersenyum seolah dapat membaca pikiran Lyla.
"Ma ... maaf, aku tidak bermasud ...." Lyla seketika menutup mulutnya dengan telapak tangannya saat menyadari ketidaksopanannya. "Maksudnya, saya tidak bermaksud apa-apa, Tuan," lanjutnya lagi.
Damian sedikit tergelak. "Tidak perlu formal padaku, panggil aku Damian karena panggilan itu nanti yang akan kau gunakan setiap kali kau menyebutku."
"Benarkah? Maksudku, apa berarti kau ...?" Jake bergiliran menatap Damian dan Lyla dengan penuh arti.
Damian tersenyum dan mengangguk. "Ya, kau benar Jake."
"Kau tak ingin mengujinya atau semacamnya?" tanya Jake lagi.
Lyla menahan napasnya saat Jake menyebutkan itu. Ia berkeringat dingin dan rasanya seperti hendak menangis. "T ... Tuan, maaf sebelumnya,"
"Damian. Panggil aku seperti itu," potongnya.
"D ... Damian, aku harus mengakui sesuatu padamu," ucap Lyla terbata.
"Jake, kau bisa meneruskan pekerjaan yang terakhir aku minta ...," potong Damian yang seketika menghentikan ucapan Lyla. "Jika kau keluar, panggil Ben dan Joe untuk segera masuk," lanjutnya.
"Baiklah, Lyla aku keluar sebentar." Jake merujuk padanya dengan tatapan menenangkan dan tersenyum.
Lyla yang mulai membaca situasi seketika memasang wajah memohon dan menggeleng untuk memberi isyarat pada Jake agar tidak meninggalkannya sendirian. Tanpa bersuara, Jake menepuk perlahan bahunya sebelum berlalu dari Lyla.
"Jadi, mari kita lanjutkan. Kau ingin berkata apa tadi?" tanya Damian.
Lyla kembali fokus menatap Damian dengan jantung yang berdegup kencang. "A ... aku hanya ingin mengatakan kebenaran padamu. Damian, mungkin aku bukanlah orang yang kau cari." Lyla membasahi bibir bawahnya dengan gugup. "A ... aku bukanlah cenayang seperti yang kau inginkan," ucapnya setengah berbisik.
Kedua pengawal Damian yang berada di luar tadi tiba-tiba saja masuk dengan tenang dan berdiri di belakang Lyla dengan menempel pada dinding ruangan.
Damian melipat kedua tangannya perlahan, ia seperti sedang mencerna ucapan Lyla tadi. "Ben, apa yang terjadi pada Kathy kemarin?" seolah tak menghiraukan Lyla, Damian bertanya pada salah satu pengawalnya.
"Dia tak selamat, Tuan, kami menguburkannya," jawab pria berambut cepak itu dengan mantap.
Tanpa seorang pun tahu, entah mengapa hati Lyla mencelos seketika mendengar jawaban pria itu. Lyla meremas jemarinya untuk menahan perasaannya.
"Hmmm ... sayang sekali," Damian menggeleng-geleng prihatin. "Lalu Clarissa? Apa yang terjadi padanya, Joe?" lanjutnya.
"Patah tulang di beberapa bagian tubuhnya, dan sedang dirawat di rumah sakit, Tuan," ucap pria bernama Joe.
Lyla kembali menahan napasnya. Detik itu juga jawaban mengerikan lainnya yang dilontarkan pengawal Damian membuatnya seolah kehabisan oksigen.
Kathy? Clarissa? Siapa mereka? Apa mereka adalah gadis-gadis sebelum dirinya? Apa mereka telah mengecewakan Damian sehingga mendapat balasannya atau apa? Kepala Lyla terasa berputar, ia mulai bernapas pendek-pendek untuk mengimbangi kecemasan yang tengah menjalarinya.
"Kalian boleh keluar," perintah Damian kemudian.
Kepanikan yang sudah ditahannya sejak tadi, akhirnya tak kuasa Lyla bendung lagi. Air mata bening mulai berlinang dari pipinya. Ia menangis tanpa suara!
"Lyla," panggil Damian dengan suaranya yang dalam dengan heran.
"M ... maafkan aku!" sembur Lyla kemudian. "A ... aku tak dapat memenuhi permintaanmu, aku bukanlah cenayang seperti yang kau cari! Izinkan aku pulang Damian." Lyla terisak dan menangis pilu. Kali ini ia tidak menahan lagi perasaannya. Ia bahkan tak peduli apa yang selanjutnya akan terjadi padanya.
"Mengapa kau menangis? Kau mengejutkanku, Lyla." Ada nada keterkejutan dalam suara Damian. Ia mungkin tidak menyangka jika gadis yang ada di hadapannya itu tiba-tiba menangis.
"Kau yang mengejutkanku!" Lyla kembali terisak. "Apa kau akan membunuhku? Atau me ... mematahkan tulangku? Atau menguburku jika aku tak memenuhi keinginanmu seperti yang telah kau lakukan pada Kathy dan Clarissa?!" semburnya berang. Lyla seolah sudah lupa dengan siapa ia berhadapan.
Ada jeda sejenak sebelum akhirnya pria itu tergelak! Damian menengadahkan kepalanya ke belakang dan tawa yang renyah seketika terdengar memenuhi ruangan suram tersebut. "Apa maksudmu?" tanyanya heran.
"Kemarilah, berikan tanganmu," perintah Damian dalam sisa-sisa tawanya. Ucapannya masih bercampur dengan nada geli.
"U ... untuk apa?" Lyla refleks melindungi tangannya.
"Kau tahu aku tak dapat melihat bukan? Aku tidak mungkin mendekatimu dan merabamu untuk mencari tanganmu." Damian mengeluarkan saputangan dari dalam kantung celananya dan mengulurkan tangannya ke arah Lyla.
"Apa kau takut? Tak perlu merasa seperti itu, hentikanlah tangisanmu," ucapnya kemudian.
Ragu, tapi Lyla menerima saputangan itu dengan penuh tanya. "Kau tahu apa yang membuatku takut bukan?" tanyanya.
"Aku tahu. Maaf, jika aku mengejutkanmu. Aku tak tahu kau akan setakut ini." Damian sedikit tersenyum. "Besok kembalilah kemari, kau mulai bekerja untukku secara pribadi," terang Damian dengan tegas.
"A ... apa?! Benarkah?" Lyla tercekat. "Ta ... tapi aku belum melakukan apa-apa selain menangis. Dan aku sudah bilang bahwa aku bukan cenayang. Aku hanya bisa membacakan peruntungan zodiak ataupun ramalan tarotmu. Itu pun hanya untuk bersenang-senang. Kau tak menolakku?" tanyanya heran.
Damian mengangkat sebelah alisnya. "Kau ingin aku menolakmu?"
"Jelas!" jawab Lyla tanpa ragu, dan untuk sesaat berikutnya ia mengutuk dalam hati karena telah keceplosan menyuarakan isi hatinya. "Ma ... maksudku, karena aku tak memiliki kemampuan apa-apa. Apa aku memang orang yang tepat?"
"Kau yang kubutuhkan, Lyla," jawab Damian dengan tenang.
"Kenapa? Apa alasannya?" tanya Lyla ingin tahu.
"Ada alasannya, dan aku ragu kau akan mengerti itu. Hm ... begini saja, bagaimana jika aku melipatgandakan gajimu tiga kali lipat dari sebelumnya?" ucap Damian tiba-tiba.
Lyla mengerjap, "Apa? Maksudku bukan begitu, hanya saja ...."
"Lima kali lipat," tawar Damian lagi.
"Ta ... tapi aku belum setuju untuk ...," jawab Lyla terbata.
"Sepuluh kali lipat, dan ini penawaran terakhirku."
"Se ... sepuluuh??!!!" Lyla membelalakkan matanya begitu mendengar tawaran Damian. Ia membeku membayangkan nominal yang akan ia terima jika ia menyetujui permintaan Damian. Otaknya masih mencerna semua ucapan Damian.
Keheningan melingkupi mereka untuk beberapa saat. Lyla tak juga bersuara karena kebekuannya. "Oke, baiklah aku anggap kau setuju." Damian menyimpulkan begitu saja diamnya Lyla sebagai persetujuan atas tawarannya.
____****____
Lyla masih termenung saat Jake menghentikan mobilnya di pinggir jalanan tepat di depan apartemen kecil tempatnya tinggal. "Lyla, kau tak turun?" Jake membuyarkan lamunan Lyla. Sepanjang perjalanan tadi gadis itu memang tampak termenung dan melamun. "Ah, ya ... aku akan turun." Lyla melepas sabuk pengamannya. "Jake, berapa gajimu?" tanya Lyla tiba-tiba. Jake sedikit terkejut dengan pertanyaan Lyla, "Kenapa kau menanyakan itu? Apa kau benar-benar ingin tahu gaji yang kudapatkan?" balas Jake dengan heran. "Ah, maksudku, Jake apa kau tahu Damian menawarkan sepuluh kali lipat dari pendapatanku sebelumnya?" Lyla mengatakan hal tersebut dengan wajah seolah ngeri. Jake tergelak memperhatikan ekspresi gadis itu. "Jadi itu yang dari tadi mengganggumu? Bukankah kau seharusnya merasa senang?" balasnya. "Damian bisa memberikan berapa pun gaji yang ia inginkan pada siapapun yang ia kehendaki. Jika ia memberimu sejumlah uang yang bagus, artinya kau pantas mendapatkan itu Lyla." "Ta ... tapi aku
Lyla menganga mendapati mobil jenis Double Cabin yang terparkir gagah tepat di depan jalanan apartemennya. Ben, sang pengemudi muncul dari dalam. "Berikan barang-barang bawaan Anda, Nona," ucapnya formal. Lyla melirik sekilas dua tumpuk kardus dan sebuah koper besar miliknya yang berjajar tepat di sampingnya. "Hanya ini?" tanya Ben heran. "Yeah, apartemenku tak akan muat jika aku memiliki terlalu banyak barang," jawab Lyla masam. "Baiklah." Ben dengan sigap mengangkut satu demi satu barang milik Lyla ke dalam mobil. Tak memerlukan waktu yang lama baginya untuk mengangkut semua barang milik gadis itu. Hanya perlu sekejap saja, mereka kemudian berangkat memulai perjalanan. Selama perjalanan, Lyla memperhatikan setiap arah dan belokan untuk mengingat-ingat rute tempat tinggal baru yang akan dilewatinya. Betapa terkejutnya ia saat mereka melintasi pagar besar bernaungkan pohon-pohon rindang yang begitu asri yang mengelilingi sebuah rumah klasik mewah di dalamnya, karena pemandangan it
Lyla melangkah menuju pintu kamarnya setelah ia mendengar ketukan halus di pagi hari pertamanya tinggal di kediaman Damian. "Nona, jika Anda telah selesai bersiap, Tuan sedang menunggu Anda di ruang makan." Alice memberitahukan maksud kedatangannya segera setelah Lyla membukakan pintu untuknya. "Benarkah? Jadi Damian sudah berada di lantai bawah?" tanya Lyla. "Ya, Nona. Tuan sudah menunggu kedatangan Nona dari tadi. Dan baru kali ini Tuan terlihat begitu bersemangat." Alice sedikit terkikik. "Apa maksudmu?" "Tuan hari ini keluar dan bangun lebih pagi dari biasanya, Nona. Dan ia sudah bersiap di ruang makan, bahkan sebelum sarapan selesai kami sajikan. Jelas ia pasti sedang menunggu Nona." Lyla hanya tersenyum menanggapi ucapan Alice. "Mungkin karena ia memang sedang ingin bangun pagi hari ini, Alice." "Aku rasa bukan itu alasannya. Tuan pasti senang, karena Nona tinggal di sini," jelas Alice. "Ah, mari Nona, kita segera turun." "Baiklah," jawab Lyla. Tak butuh waktu lama bagi A
"Apa kau yakin ini tempatnya?" tanya Lyla pada Damian. Lyla sedikit tak yakin ketika Damian membawanya ke sebuah salon kecantikan yang terlihat masih tutup. "Benar inilah tempatnya. Mari kita masuk," balas Damian. Seorang pria tiba-tiba keluar dari pintu masuk salon tersebut dan tertawa cerah saat melihat Damian dan Lyla sudah berdiri di hadapannya. "Damian! ... oh, harusnya kau menghubungiku. Aku bisa menjemputmu." "Tak perlu berbasa-basi Clark. Aku ingin kau memberikan kemampuan yang terbaik yang kau punya untuk Lyla." Saat namanya disebut, Lyla sedikit tersentak dan refleks menatap Damian. "Aku? Mengapa? Aku pikir kau yang akan menghabiskan waktu di sini?" Lyla berbisik agar pria di hadapannya tak mendengar yang ia katakan. "Clark, segera persiapkan semuanya," perintah Damian. Lagi-lagi seolah merupakan kebiasaan Damian, ia mengabaikan begitu saja saat Lyla bertanya sesuatu. "Oke, masuklah kalian. Aku akan bersiap!" Pria bernama Clark itu kemudian masuk kembali ke tempatnya.
"Bagaimana perkembangan penyelidikanmu, Sam?" tanya Damian yang sedang duduk di salah satu ruang kerja sederhana yang tampak tersembunyi itu. Pria di hadapannya menghampirinya dan segera duduk di depannya. "Aku hanya menemukan petunjuk kecil saja, dan masih berupaya. Seperti yang kau bilang, kecelakaan yang melibatkanmu dan Olivia memang telah direncanakan, Damian." "Belum ada petunjuk siapa yang mungkin melakukan itu?" tanya Damian lagi. "Maaf, sayangnya belum. Dengan penyelidikan diam-diam dan tersembunyi seperti ini, aku terlalu sulit untuk menggali lebih dalam lagi. Tapi aku kau tahu, aku akan tetap berusaha," jawab pria yang bernama Sam itu. "Damian, bisakah kau ingat-ingat lagi kejadian janggal yang mungkin kau alami sebelum kecelakaanmu terjadi?" tanyanya kemudian. Damian menghela napasnya perlahan. Ia memutar kembali rekaman kejadian sebelum dirinya masuk ke dalam mobil yang mengakibatkan ia kecelakaan itu. "Saat itu aku memang sedang mabuk, Sam. Aku hanya ingat kilasan s
Lyla belum berani membuka matanya sesaat setelah ia mendarat ke dalam pelukan Damian. Ia sendiri masih merasa begitu terkejut dan shock. Jantungnya yang berdetak begitu kencang menandakan seberapa besar keterkejutannya itu. "Kau sungguh tak sabar ingin menyambutku ya ... hmm?" Suara berat Damian yang dalam, dan aroma tubuhnya seketika memenuhi indra penciumannya. Lyla mendongak menatap Damian, dan sedikit bergidik karena meremang akibat efek dari suara maskulin Damian. Jika memang gairah tiba-tiba dapat terbangkitkan karena adanya perpaduan antara aroma dan suara maskulin yang serak dan dalam yang menggodanya sehalus beledu itu nyata, maka Damian adalah pemilik sempurna untuk semua perpaduan itu. "Apa kau begitu senang karena melihatku, Manis?" bisik Damian. Lyla yang sejenak begitu terlena dengan suara seksi dan aroma maskulin Damian, kemudian sedikit bergetar. Entah mengapa, ia seolah merasa enggan untuk melepaskan diri dari dekapan dada bidang dan liat tersebut. Lyla merasa sepe
Tak hanya Alice, tetapi semua karyawan Damian seperti tersihir saat melihat Lyla dan Damian masuk melalui pintu utama. Mereka sejenak menghentikan aktivitas yang sedang dilakukan begitu Sang Tuan kembali dengan wanita cantik di sebelahnya. Alice bahkan menganga saat melihat Lyla dengan anggunnya masuk dan tersenyum padanya saat melewatinya. "Bawa aku ke kamar, Lyla," perintah Damian. Lyla dengan patuh menuntun Damian ke lantai atas dan mengantarkannya ke dalam kamarnya. "Apa kau lelah?" tanya Lyla kemudian. "Mengapa kau bertanya?" "Kau meninggalkanku di tempat Clark dan pergi begitu saja. Apa selama itu kau menungguku? Di mana kau menungguku?" "Apa kau ingin tahu?" ucap Damian balik bertanya. "Yah, hanya saja jika kau memang menungguku, aku akan merasa sangat bersalah. Kita pergi dari pagi hingga menjelang malam. Kau pasti lelah. Apa kau sempat kembali ke rumah? Di mana kau saat makan siang?" tanya Lyla lagi ingin tahu. Damian tersenyum simpul. Setelah Lyla menuntunnya, ia ke
Sajian makan malam di rumah itu telah tertata rapi saat mereka sudah bersiap dan berhadapan di meja makan. Lyla duduk bersebelahan dengan Damian, sedangkan Edric dan Madison, ibu Damian berada berseberangan dengan mereka. Walau terkesan ramah, Lyla merasa sedikit was-was dengan cara Madison memperhatikannya. Terlebih saat Damian memperkenalkannya sebagai kekasihnya. Walau samar, Lyla juga dapat melihat ketidaksukaan di dalam raut keterkejutan yang ditunjukkan oleh wanita itu. Entah, mungkin hanya perasaannya saja, tapi ia bersumpah, ia berhasil menangkap beberapa detik rasa ketidaksukaan itu pada dirinya. "Silakan, mari kita mulai makan malam kita. Sayang, Dad dan saudari-saudariku yang lain tidak dapat bergabung dengan kita." Damian membuka makan malam dengan percakapan ringan. "Oh, maafkan ayahmu, Eva, dan Elina. Mereka memiliki kesibukan yang tak dapat ditinggalkan, Sayang. Lain kali aku akan meminta mereka untuk mengunjungimu agar kau tak merasa kesepian," balas Madison. Damian
Damian dan Lyla masih sama-sama mengenakan jubah mandi mereka setelah mereka menyantap hidangan makan malam yang diantarkan ke dalam kamar mereka malam itu.Mereka sebelumnya telah mandi bersama setelah selesai melakukan pergumulan panas untuk menghilangkan gundah di hati Damian tepat ketika ia terbangun dari tidurnya. Dan kini, mereka kembali berbaring berdampingan."Apa kau lelah, Sayang?" tanya Damian.Lyla tersenyum kecil. "Mengapa kau bertanya? Kau tahu benar apa yang membuatku lelah, bukan? Yang pasti, saat ini aku sedang kekenyangan.""Oh ya? Tapi katakan kau tidak selelah itu, please, karena aku masih membutuhkan dirimu untuk 'menenangkanku' lagi, Sayang," balas Damian sambil membelai wajah istrinya dan menatapnya penuh arti.Lyla sejenak tertawa. "Oh, ya ampun, kau bocah yang sulit 'ditenangkan' ha? Staminamu masih cukup besar rupanya," jawab Lyla sambil memutar kedua bola matanya dengan geli.Damian tergelak karena mengerti maksud Lyla. "Kau tahu benar diriku, Sayang. Aku ta
Damian yang masih terdiam semenjak mereka kembali dari pabrik hingga ke kediaman mereka lagi, membuat Lyla sedikit khawatir. Ia kemudian beringsut mendekati Damian yang tengah duduk bersandar di atas ranjang sambil membawa secangkir minuman hangat untuknya."Sayang, minumlah," ucap Lyla sambil menyerahkan cangkir tersebut. "Ini sudah menjelang sore, dan kau belum makan apa pun sejak siang tadi."Damian menghela napas dengan berat sebelum akhirnya menoleh. Ia menerima minuman hangat itu dan menyesapnya sejenak. Ia memberikan lagi cangkirnya pada Lyla yang kemudian diletakkannya di meja di samping ranjang."Apakah mereka telah pergi?" tanya Damian kemudian.Mengerti yang dimaksud suaminya, Lyla mengangguk. "Ya, mereka telah memeriksa apa yang mereka perlukan. Dan para petugas itu ... telah membawa Ester," jelasnya."Mereka menemukan ponsel rahasia yang ia gunakan untuk memata-matai semua pergerakanmu pada Madison. Mereka juga menemukan banyak lotre undian yang ia beli beberapa waktu lal
Beberapa saat kemudian, segerombolan orang mengetuk pintu ruangan rapat dan masuk setelah Nathan mengangguk dan mempersilakan mereka.Mereka yang terdiri dari empat orang, segera mendekati Nathan sambil menyerahkan sebuah kardus berukuran sedang yang berisikan map-map dan berkas di dalamnya. Mereka lalu meletakkan kardus tersebut di atas meja di hadapan Nathan."Sungguh tepat waktu," gumam Damian puas.Nathan yang sigap, kemudian berdiri setelah mendapat anggukan isyarat dari Damian. "Saudara-saudara sekalian, seperti yang telah Tuan Damian sampaikan, kardus ini berisi semua catatan tentang kejahatan dan kecurangan yang dimiliki oleh mereka," ucap Nathan.Sontak Gilbert, Madison, dan Edric menegakkan tubuhnya. "Apa-apaan itu?! Tak mungkin! Kalian licik dan hanya akan membuat kebohongan, bukan!" seru Edric panik.Edric yang tampak telah tersulut emosinya, hendak maju dan menghambur ke arah Nathan saat kemudian ia ditahan oleh Ben dan Joe yang sigap yang tengah berjaga di dalam ruangan
"Lalu, sekarang apa tanggapanmu tentang ini, Damian? Mengapa kau menyerahkan kekuasaan pada wanita yang telah mengalami kecacatan mental itu?" tanya Madison dengan raut menantang. Ia semakin bersemangat saat ucapannya sudah pasti akan didengar oleh seluruh dewan direksi perusahaan.Bisik-bisik semakin riuh terdengar karena para anggota pertemuan saling mengungkapkan pemikirannya masing-masing satu sama lain. Tak hanya itu, dalam tangkapan layar pun para anggota rapat online lainnya juga tampak saling berbisik."Ayo! Katakan apa penjelasanmu! Jangan membuat kami terlalu lama menunggu!" tantang Edric sambil berseru arogan di tengah-tengah ruangan yang riuh itu.Damian yang tampak tak terganggu, hanya tersenyum kecil. Ia masih tenang dalam menghadapi keriuhan itu. "Kalian ingin mendengar apa penjelasanku?" ucapnya. "Kecacatan mental katamu?" lanjut Damian sambil tertawa kecil. "Katakan, siapa di sini yang tak satu pun mengalami kecacatan mental? Aku ingin tahu. Karena yang kutahu, kita
Tiga hari kemudian ....Pagi itu, semuanya telah berkumpul di kantor utama di dalam pabrik milik mendiang ibu Damian untuk rapat bersama dalam agenda menerima hasil kinerja Allen dan mengumumkan beberapa pemberitahuan baru, termasuk diangkatnya Allen untuk menjalankan pabrik tersebut.Raut beberapa orang terlihat masam setelah mereka menerima hasil dari target yang telah ditentukan untuk pabrik itu dalam masa tenggat yang telah disepakati sebelumnya. Karena pabrik ternyata menghasilkan keuntungan yang mampu menutup semua kekurangan sebelumnya, maka rencana seseorang untuk memilikinya pun pupus sudah.Ya, itulah yang dirasakan oleh Felicia. Selama rapat dewan direksi, ia sudah berwajah masam. Terlebih saat melihat Lyla yang turut mendampingi Damian, membuatnya semakin merasa panas."Baiklah, kurasa sudah cukup. Sekian pertemuan kita hari ini." Damian mengakhiri rapat mereka setelah menjabarkan segala hal penting yang menjadi agenda pertemuan hari itu.Ketika para anggota rapat dan Dami
"Kau sudah melihat bagaimana ayahku tadi bersikap, bukan? Tak perlu diambil hati ya, Sayang, ia memang pria tua yang bodoh dan mudah dimanipulasi. Entah ia memang benar-benar tak tahu, atau ia sengaja tak peduli dan hanya memikirkan dirinya saja, aku pun sesungguhnya tak mengerti. Yang jelas pasti, ia adalah pria yang tak memiliki pendirian karena dari awal saja ia tak tahu harus berpihak dan melindungi siapa.""Yah, walau jawaban itu sudah jelas tak usah dipertanyakan lagi, kita sama-sama tahu bukan, apa jawabannya. Memiliki satu anak dibandingkan dengan tiga lainnya dari wanita berbeda, sudah jelas ia berada di pihak siapa, benar begitu? Bahkan dalam kehidupan pernikahannya pun ia masih saja mampu berkhianat dari istri pertamanya. Andai saja dari dulu aku sudah dapat lepas dari mereka dan hidup dengan kemauanku sendiri, mungkin sekarang kau tak akan ikut menderita dan terhina seperti sekarang, Sayang. Maafkan aku."Lyla mengangguk dan bersandar pada dada Damian ketika malam itu mere
Suasana tegang telah menghiasi meja makan di kediaman Damian yang telah tertata begitu banyak hidangan malam itu. Madison beserta suami dan ketiga anaknya telah duduk di tempat masing-masing yang telah dipersiapkan. Lyla dan Allen sendiri yang duduk di sisi Damian, seolah sedang menegaskan status dan keberadaan mereka. "Silakan menikmati hidangan kalian," ucap Damian memberi aba-aba pada keluarganya. "Mungkin ini tak terlalu sempurna mengingat kalian memberitahukan kunjungan dengan mendadak, jadi aku dan istriku tak sempat mempersiapkan semuanya dengan benar," ucap Damian merendah. "Tak perlu berbasa-basi, kau tentu tahu maksud kedatangan kami, bukan?" ucap Gilbert, sang ayah. "Oh, Dad, tentu saja. Tak perlu terburu-buru. Kau datang kemari karena memang sedang mengkhawatirkan keadaan putramu, alih-alih sesuatu yang lain, benar?" balas Damian sambil tersenyum tipis. "Seperti yang kalian lihat sekarang, aku telah kembali dan baik-baik saja." "Oke, baiklah, kulihat kau memang baik-bai
"Benarkah kau baik-baik saja? Apa yang sebenarnya terjadi padamu?" ucap Felicia yang siang itu mengunjungi kediaman Damian dan menatap Damian dengan raut haru seolah merasa prihatin dengan keadaannya."Aku baik-baik saja, Felicia," ucap Damian tenang. "Sekarang, katakanlah apa tujuanmu berkunjung kemari?" tanyanya."Melihatmu, tentu saja!" ucapnya. Ia mendekati Damian dan meraih lengan pria itu. "Aku harus melihat langsung bagaimana keadaanmu untuk mengetahui bahwa kau baik-baik saja."Sambil berucap, ia melirik Lyla yang sedang mengamit lengan Damian di sisi lainnya dengan penuh arti."Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja, bukan?" ucap Damian kemudian."Benarkah tak ada sesuatu yang terjadi padamu?" tanyanya lagi. "Jika kau sedang menjalani perawatan untuk kesehatanmu, apakah tidak terlalu berlebihan saat kau memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada wanita itu?" Tanpa berbasa-basi lagi, Felicia kini menuding Lyla di hadapan Damian.Lyla hanya mengembuskan napasnya dengan tert
Lyla sedang berfokus pada laptopnya dan terlihat sedang membalas pesan beberapa 'klien' dalam media sosialnya itu dengan raut serius. Beberapa kali ia pun membalas pertanyaan-pertanyaan yang masuk ke dalam pesan miliknya."Kau telah mendapatkan mereka rupanya," ucap Damian yang tiba-tiba telah muncul di sampingnya dan ikut memeriksa layar di depannya."Ya, seperti yang kau katakan, beberapa dari mereka sangat mempercayai hal-hal yang berhubungan dengan tarot dan semacamnya," balas Lyla."Lalu apa kau mempercayainya?" tanya Damian.Lyla tersenyum kecil. "Aku membencinya," jawabnya tenang.Damian mengangkat kedua alisnya seolah bertanya-tanya. "Lalu ... mengapa kau?" ucapnya tak mengerti.Lyla tersenyum lagi. "Mengapa aku membacakan kartu orang lain maksudmu? Bahkan, aku dapat memperoleh pendapatan dari sana? Well ... itu adalah cerita yang lain lagi.""Benarkah? Coba ceritakan padaku," balas Damian.Apakah kau benar-benar ingin mendengarnya?" tanya Lyla."Tentu, sebanyak apapun kau ber