Begitu kereta kuda terparkir di tepi jalan, beberapa meter dari depan pasar, Zero membantu Aquila untuk turun lalu mereka berjalan bersama memasuki pasar.Suasana lebih ramai dari yang sebelumnya Aquila bayangkan, tapi ia tidak merasa khawatir bahwa identitas asli mereka yang merupakan seorang Putra Mahkota dan Putri dari seorang Duke akan diketahui oleh orang-orang yang berlalu lalang di sini, sebab, selain karena memakai tudung, orang-orang di sini tidak begitu mengenali wajah mereka. Mereka jarang memiliki kesempatan untuk bertemu langsung dengan para pemimpin, yang mereka tahu hanyalah desas-desus bahwa sang putra mahkota memiliki wajah yang tampan."Menurutmu, hadiah seperti apa yang sepantasnya aku berikan untuk kakakku?" Aquila meminta pendapat. Sebenarnya, Aquila sudah memiliki bayangan mengenai apa yang akan ia hadiahkan, tapi ia hanya ingin tahu pandangan Zero."Umh, mungkin hadiah yang mahal dan jarang ditemukan, namun bisa digunakan." Zero berkata. "Mungkin seperti sarung
Untungnya, Aquila belum kehilangan jejak penculik itu. Keramaian yang begitu padat memang menyulitkan langkah Aquila untuk menjangkau mereka, tapi sama halnya dengan yang Aquila rasakan, keramaian ini juga pasti mempersulit mereka untuk bergerak. Itu dia! Dapat Aquila lihat kedua pria itu yang berbelok, masuk ke dalam sebuah gang sempit. "Permisi, ugh! Maafkan aku!" Aquila berusaha melewati beberapa orang yang berjalan berlawanan, beberapa kali ia menabrak dan tertabrak bahu orang-orang itu. Tapi, fokusnya sekarang adalah jangan sampai ia kehilangan jejak mereka. Akhirnya. Aquila telah sampai pada depan gang sempit yang para penculik itu lalui. Aquila melangkah maju, ugh! Ini benar-benar gang yang kumuh, dipenuhi dengan berbagai sampah dan makanan sisa, aroma tak sedap langsung menyerangnya begitu ia melangkahkan kaki. Ketemu! Hal pertama yang Aquila lihat adalah kedua pria yang berusaha memasukkan anak kecil itu ke dalam kereta kuda, mulut anak itu disumpal sebuah kain sehingga
Aquila baru memiliki kesempatan untuk bicara berdua dengan Alaster pada malam hari.Bukan karena mereka sama sekali tidak berpapasan pada hari ini, bukan pula karena Aquila sengaja menundanya, tapi karena Aquila sedang mencari celah untuk bisa berbicara berdua tanpa diketahui Zero. Karena asal mula perdebatan mereka adalah disebabkan oleh Alaster yang melarang Aquila menepati janjinya untuk menyelamatkan elf itu."Kau terlihat nyaman sekali membalikkan punggungmu setiap kali berpapasan denganku pada hari ini." Terdengar suara Alaster dari arah belakangnya, membuyarkan lamunan Aquila yang sedang bersandar pada sebuah pilar, memandangi langit malam yang indah. "Kau juga terlihat nyaman sekali membiarkan hubungan kita sedikit berjarak." lanjutnya.Aquila menoleh pada Alaster di belakangnya, ia mengulas senyuman. "Oh, percayalah, aku yang paling tersiksa atas jarak yang tercipta."Alaster memberikan tatapan sangsi, baginya, ucapan Aquila hanya terdengar manis di mulut saja, tapi kalau Aqu
Waktu berlalu dengan cepat, lima hari empat malam sudah mereka lalui bersama pada Villa itu. Ketika hari pertama Aquila sampai di rumahnya, ia benar-benar tidak bisa bangkit dari ranjangnya karena tubuhnya merasa kelelahan. Malam nanti adalah saat di mana Alaster akan pergi untuk menyertai acara perdagangan itu, akses masuk dan topeng beserta jubah sudah ia siapkan. Aquila sempat berpikir bahwa semuanya dapat berjalan lancar, tapi tiba-tiba rasa keraguan itu muncul ketika secara mendadak Zero datang berkunjung. Ada apa ini? Apakah Zero mengendus hal-hal yang mencurigakan darinya? "Selamat pagi, Yang Mulia." Aquila menyapa dengan senyuman, ia menunduk hormat lalu menghampiri Zero yang nampaknya sudah menunggu di ruang tamu. "Kau pasti terkejut, ya, atas kehadiranku yang tiba-tiba?" Zero mengangkat sebelah alisnya, mengulas senyuman yang memberi kesan rasa kepercayaan diri yang tinggi. Entah kenapa Aquila rasa ada maksud tersirat dari kalimatnya itu. Senyum yang Zero ulas, memberik
"Ah, jadi ini tempatnya?" Alaster mendongak pada bangunan menjulang tinggi di hadapannya. Setahunya, bangunan ini beroperasi sebagai bar paling mewah di Kapital, ini tempat yang paling mencolok sekaligus paling sering dikunjungi oleh berbagai bangsawan kelas atas. Ternyata, pertemuan itu diadakan di sini ya? Kenapa mereka memilih tempat yang mencolok? Alaster kira acara itu akan digelar pada sebuah tempat terpencil tertutup yang aksesnya sulit dilalui, tapi berdasarkan titik koordinat yang tertera pada tiket masuknya, pertemuan itu diadakan di sini. Tapi, kalau dipikirkan, mereka pintar juga, orang awam pasti berpikiran sama seperti Alaster bahwa pertemuan semacam ini akan dilaksanakan pada tempat yang sulit dijangkau, siapa sangka, ternyata mereka melakukannya tepat di jantung Kapital. Ini akan mengecoh. Alaster membuntuti beberapa orang yang berpenampilan tertutup sama seperti dirinya, kini ia sudah berada di pintu masuk yang lain, tempatnya agak gelap dan lembab. Alaster men
Kini Alaster berada di ambang pintu ruangan itu, ketika baru memasuki dan menutup kembali pintunya, Alaster langsung disambut dengan sebuah seruan. "Kau?! Kau adalah pengunjung, kan? Apa yang kau lakukan di sini? Kau tahu kan kalau pengunjung dilarang memasuki area ini?!" Pria penjaga itu berseru, suaranya terdengar melengking, membuat Alaster panik karena bisa saja ada yang mendengarnya."Ah? Maaf." Alaster berujar seraya melangkah perlahan mendekati pria itu. "Aku tadi tersasar, aku tidak tahu kalau area ini dilarang.""Omong kosong!" Bentaknya. "Tersasar? Memangnya ini pertama kalinya kau datang ke sini?! Segera pergi atau aku akan-"Bugh! "Berisik." Ketus Alaster seraya memukul bagian belakang orang itu, membuatnya pingsan seketika.Pandangan Alaster menyisiri ruangan ini, berusaha menemukan hal yang mencolok, ia harus bergerak dengan cepat karena pasti sebentar lagi akan ada penjaga yang berdatangan. Ah! Matanya kini terfokus pada sebuah kurungan paling besar yang ditutupi sebu
Tiba-tiba, terdengar suara pintu yang didobrak, datang penjaga yang dilengkapi dengan senjata mereka. Penjaga itu datang dalam jumlah yang banyak. "Itu dia penyusupnya!" Salah seorang menunjuk dan berseru, "Bunuh dia! Jangan beri ampun!" Teriaknya yang langsung dipatuhi oleh penjaga-penjaga lainnya. "Kau, bersembunyilah di belakangku." Alaster memberi arahan kepada elf tersebut. "Cari jalan keluar sementara aku menahan mereka." Rombongan penjaga itu berseru, berlari ke arah Alaster dengan pedang yang teracung. Alaster menyambut mereka dengan keadaan siap, satu, dua, atau mungkin puluhan jumlah keseluruhan mereka. Alaster tertawa pahit, sialan, lupakan saja rencana A dan rencana B yang sebelumnya Alaster susun. Karena kini rencana paling realistis yang bisa ia lakukan hanyalah rencana C, Serang saja semuanya lalu kabur! Pertarungan tak dapat terelakkan, satu melawan, ugh, elf ini tidak memiliki waktu untuk menghitung. Sekarang, sesuai dengan yang diperintahkan, ia harus mencari j
"Hei, sepertinya ada satu orang yang bersembunyi di sana!" Alaster membulatkan matanya, sepertinya ada anggota pasukan khusus yang hendak menghampirinya. "Minggir, biar aku saja yang memeriksanya, kalian langsung saja masuk ke dalam." "Baik, laksanakan!" Alaster bersembunyi di balik dinding, ia menahan napasnya seraya memperhitungkan langkah anggota pasukan khusus yang semakin dekat dengannya. Hanya ada satu orang, Alaster akan segera melumpuhkannya lalu kabur. Satu orang. Itu bukan masalah besar baginya. Alaster mengintip, begitu dirasa orang itu telah berjarak kurang dari satu meter darinya, Alaster segera menebaskan pedangnya dalam satu serangan fatal, targetnya adalah leher orang itu. Seharusnya, serangan pamungkas itu langsung melumpuhkannya. Tapi, kenapa orang ini memiliki refleks yang bagus sekali?! Alaster sungguh dibuat terkejut, orang ini dapat menghindari serangannya itu. Levelnya berbeda! "Benar, ternyata ada yang bersembunyi di sini." Ia bergumam dengan wajah da