Kini Alaster berada di ambang pintu ruangan itu, ketika baru memasuki dan menutup kembali pintunya, Alaster langsung disambut dengan sebuah seruan. "Kau?! Kau adalah pengunjung, kan? Apa yang kau lakukan di sini? Kau tahu kan kalau pengunjung dilarang memasuki area ini?!" Pria penjaga itu berseru, suaranya terdengar melengking, membuat Alaster panik karena bisa saja ada yang mendengarnya."Ah? Maaf." Alaster berujar seraya melangkah perlahan mendekati pria itu. "Aku tadi tersasar, aku tidak tahu kalau area ini dilarang.""Omong kosong!" Bentaknya. "Tersasar? Memangnya ini pertama kalinya kau datang ke sini?! Segera pergi atau aku akan-"Bugh! "Berisik." Ketus Alaster seraya memukul bagian belakang orang itu, membuatnya pingsan seketika.Pandangan Alaster menyisiri ruangan ini, berusaha menemukan hal yang mencolok, ia harus bergerak dengan cepat karena pasti sebentar lagi akan ada penjaga yang berdatangan. Ah! Matanya kini terfokus pada sebuah kurungan paling besar yang ditutupi sebu
Tiba-tiba, terdengar suara pintu yang didobrak, datang penjaga yang dilengkapi dengan senjata mereka. Penjaga itu datang dalam jumlah yang banyak. "Itu dia penyusupnya!" Salah seorang menunjuk dan berseru, "Bunuh dia! Jangan beri ampun!" Teriaknya yang langsung dipatuhi oleh penjaga-penjaga lainnya. "Kau, bersembunyilah di belakangku." Alaster memberi arahan kepada elf tersebut. "Cari jalan keluar sementara aku menahan mereka." Rombongan penjaga itu berseru, berlari ke arah Alaster dengan pedang yang teracung. Alaster menyambut mereka dengan keadaan siap, satu, dua, atau mungkin puluhan jumlah keseluruhan mereka. Alaster tertawa pahit, sialan, lupakan saja rencana A dan rencana B yang sebelumnya Alaster susun. Karena kini rencana paling realistis yang bisa ia lakukan hanyalah rencana C, Serang saja semuanya lalu kabur! Pertarungan tak dapat terelakkan, satu melawan, ugh, elf ini tidak memiliki waktu untuk menghitung. Sekarang, sesuai dengan yang diperintahkan, ia harus mencari j
"Hei, sepertinya ada satu orang yang bersembunyi di sana!" Alaster membulatkan matanya, sepertinya ada anggota pasukan khusus yang hendak menghampirinya. "Minggir, biar aku saja yang memeriksanya, kalian langsung saja masuk ke dalam." "Baik, laksanakan!" Alaster bersembunyi di balik dinding, ia menahan napasnya seraya memperhitungkan langkah anggota pasukan khusus yang semakin dekat dengannya. Hanya ada satu orang, Alaster akan segera melumpuhkannya lalu kabur. Satu orang. Itu bukan masalah besar baginya. Alaster mengintip, begitu dirasa orang itu telah berjarak kurang dari satu meter darinya, Alaster segera menebaskan pedangnya dalam satu serangan fatal, targetnya adalah leher orang itu. Seharusnya, serangan pamungkas itu langsung melumpuhkannya. Tapi, kenapa orang ini memiliki refleks yang bagus sekali?! Alaster sungguh dibuat terkejut, orang ini dapat menghindari serangannya itu. Levelnya berbeda! "Benar, ternyata ada yang bersembunyi di sini." Ia bergumam dengan wajah da
“Itu berita yang bagus.” Komentar Aquila Ketika Alaster mengabarinya mengenai apa yang telah terjadi sejak tadi malam, termasuk ketika sang ketua Elf mengatakan mereka bersedia membantu apapun dalam hal yang berbau ramuan dan sejenisnya. “Kau juga telah bekerja dengan keras, aku harap kau tidak terluka.” Lanjut sang adik. Mendengarnya membuat Alaster tersenyum kecil, adiknya mengkhawatirkannya! Meskipun Aquila mengatakannya dengan wajah datar, Alaster tahu kalau adiknya itu pasti cemas. “Yah, aku memang agak merasa kelelahan, tapi itu cukup menyenangkan.” “Lalu, ada hal yang membuatku penasaran.” Alaster melangkah mendekati sang adik yang sedang duduk di hadapannya. “Semalam Pangeran Iluka datang memeriksa tempat itu, kebetulan yang mengejutkan, bukan? Apa ada sesuatu yang bisa kau katakan tentang itu?” Alaster memelankan suaranya, terdengar nyaris berbisik. “Ah? Ketahuan, ya?” Aquila mengusap wajahnya, ya, memang dirinya yang secara tidak langsung memancing Pangeran Iluka ke temp
Aquila de Charles : Aku Akan Berinvestasi Pada Sekolah Sihir Itulah kalimat yang tertera sebagai judul pada surat kabar mingguan yang terkenal. “Silakan diminum, Tuan.” Ujar salah seorang pelayan yang meletakkan sebuah cangkir teh di meja Revel yang tengah membaca surat kabar. “Hmm, sekolah sihir, ya…” Revel bergumam, melanjutkan membaca surat kabar itu hingga ke kalimat terakhir. Meskipun tidak semua sihir itu digunakan untuk tujuan yang buruk dan menyesatkan, ilmu sihir dianggap sebagai hal yang tabu di Kekaisaran. Orang-orang yang dianugrahi bakat sihir sejak lahir memutuskan untuk tidak mengembangkannya atau bahkan menyembunyikannya. Dengan dibangunnya sebuah sekolah sihir, itu akan menjadi wadah yang tepat bagi para penyihir untuk mengembangkan bakatnya. Bagi orang awam, ketika mereka membaca berita ini, mereka pasti hanya sekadar berpikir bahwa Aquila akan melakukan investasi. Itu saja. Tapi bagi Revel, ia tahu betul salah satu tujuan Aquila adalah untuk membuat sebuah per
“Sebenarnya, ada hal yang sangat aku butuhkan…” “Aku membutuhkan mantra yang bisa membebaskan monster yang telah disegel.” Aquila terlarut dalam pikirannya begitu dalam, ia bahkan sampai mengabaikan dokumen-dokumen yang saat ini memenuhi meja kerjanya. Bisikan Revel mengenai keinginannya jujur saja sangat mengganggu pikirannya. “Monster?” Gumamnya, bertanya-tanya. “Apa hal semacam itu ada?” Kalau dipikirkan, sejak awal dunia yang saat ini ia masuki menyimpan begitu banyak hal-hal yang tidak masuk akal. Kalau makhluk sebangsa elf atau ilmu sihir saja ada, mungkin saja monster pula ada. Sejak awal, Aquila hanya mengetahui alur yang telah ia baca, latar belakang atau sejarah mungkin tidak dijelaskan di dalam buku atau hanya diberi sedikit penjelasan yang sisanya akan menyesuaikan alur cerita utama dengan sendirinya. Intinya, bisa saja terdapat banyak hal yang terdapat di dunia ini namun terlewatkan oleh Aquila karena minimnya penjelasan latar belakang di buku yang dulu Aquila baca,
Sektor delapan belas merupakan salah satu tempat yang paling kumuh di Kapital, sekaligus salah satu tempat yang memiliki banyak penduduk.Tanpa membuang waktu lagi, begitu menyelesaikan urusan introgasinya dengan si pemimpin organisasi, Iluka segera memecut kudanya menuju tempat ini.“Yang Mulia, izinkan saya menemani anda ke dalam.” John menunduk hormat.“Tidak perlu, aku akan mengatasinya dengan cepat, kau tunggu saja di sini.” Balas sang pangeran yang kini langsung memasuki toko cendera mata itu.“Selamat datang di toko kami, ada yang bisa kami ban- oh, astaga! Salam hormat untuk Pangeran Iluka, semoga keberkahan selalu menyertai anda!” Sang penjaga toko itu nampak terkejut akan kehadiran Iluka yang sama sekali tak disangka-sangka.Suasana tenang yang sebelumnya terasa kini berubah menjadi ricuh, para pengunjung terkejut dan berbisik-bisik atas gerangan apa Pangeran Iluka yang terkenal sangat sibuk itu tiba-tiba mendatangi tempat ini.Pandangan Iluka menyusuri tempat ini, ia tidak
“Huh, kenapa, sih, kediaman Tuan Ares letaknya jauh sekali?!” Aquila mengeluh, ia meregangkan otot-otot pada tubuhnya yang terasa kaku akibat terlalu lama di perjalanan.Efek dari menghabiskan begitu banyak waktu di dalam kereta kuda, merasakan guncangan-guncangan yang terjadi setiap kali melalui jalan yang berlubang, Aquila jadi sedikit oleng ketika menuruni kereta kuda. Untungnya ada Revel yang sigap menahan bahunya.“Terima kasih.” Aquila berujar ketika ia telah menemukan keseimbangan tubuhnya kembali. Malu rasanya, ia terlihat seperti orang yang habis mabuk, seharusnya kan ia bisa menjaga wibawanya di depan pria ini.“Kau baik-baik saja? Apa kau mau istirahat di dalam kereta saja? Biar aku yang menemui Tuan Ares.”“Tidak, tidak.” Aquila membalas kalimat Revel. “Sejak awal kan aku yang mengatakan kalau aku akan mengantarmu.” Lanjutnya. “Ayo.”Kali ini Aquila memimpin jalan menuju kediaman Tuan Ares, mereka hendak mencari informasi mengenai mantra yang bisa digunakan untuk melepas s