"Mbak."
Aku mendongak, mengalihkan perhatian sejenak dari pekerjaan. Menatap gadis yang memegang kuncup es krim itu.
"Apa, Nis?"
"Em, mau tanya boleh?""Kenapa?""Soal itu..." Aku menunggunya yang terlihat ragu."Katakan saja. Tapi kalau kamu ragu, ya jangan dulu deh.""Hehe. Enggak, mbak. Cuma mau tanya aja. Perempuan yang waktu itu ketemu di mall, itu siapa ya mbak?"Dahiku berkerut. Untuk apa dia menanyakan Riri."Soalnya... Soalnya waktu itu kan aku nemenin mas Haidar pas ketemu sama temennya. Terus, aku lihat kok mbak itu sama teman yang orang Turki itu. Mereka suami istri?"
Degh! Kalimat terakhir Niswah membuatku terkejut. Mr Arav kan maksudnya? Tapi, untuk apa Riri bersama Mr Arav? Apa mereka saling kenal sebelumnya.
"Dimana kamu ketemu dia?"
"Em, di kafe, mbak. Kan mas Haidar ketemu sama temennya itu di kafe.""Restoran? Mereka makan bareng?"Niswah mengangguk. Otakku berfikir cepat."M-mas Angga," aku ternganga. Pria yang menyeretku ke tangga darurat adalah mas Angga. Dia menatapku tajam tanpa kata."Ba-bagaimana kamu ada disini, mas?""Kenapa? Kamu heran? Terkejut karena kembali kepergok? Huh!"Apa maksudnya kepergok? Dan senyumnya itu, kentara sekali mengejekku."Kamu kenapa sih, mas? Kamu nguntit aku ya?""Nguntit? Kamu pikir seberapa pentingnya kamu sampai aku menguntitmu? Cuih!"Tanganku terkepal. Tatapannya begitu merendahkanku."Ternyata, kelakuanmu semakin busuk ya? Setelah waktu itu berselingkuh dengan pria Turki itu, sekarang dengan dia? Dasar! Lacur!""Jaga mulutmu, mas!""Kenapa? Benar bukan? Sudahlah. Jangan mengelak. Aku sudah tahu semua kebusukanmu. Pura-pura tersakiti, padahal playing victim. Aku pikir, Riri seratus persen lebih baik daripada kamu. Tak salah aku lebih mempertahankan dia daripada kamu.""Riri? Darimana kamu tahu dia perempuan baik-baik, hah? Sementara dia sebelumnya
Pukul sembilan malam. Ternyata usaha tadi tidak kunjung membuat pikiranku tenang. Membolak balikkan badan ke kiri dan ke kanan. Berakhir tengkurap. Karena sudah tak tahan lagi, akhirnya aku beranjak juga. Membuka pintu dengan hati-hati, melirik kamar sebelah Kamar Niswah tertutup rapat. Sepertinya dia sudah tidur."Aish! Sudahlah!" Kuusir pikiran buruk. Mengambil gaun tadi dan memoles wajah. Lalu setelah itu segera membuka pintu. Melangkah pelan menuruni tangga. Mengunci pintu dari luar, dan bergegas ke parkiran. Menyalakan mobil dan meninggalkan rumah.Club malam di kawasan luar kota. Itu tujuanku sekarang. Tempat dimana dulu Riri pernah bekerja. Setengah jam perjalanan, sampai juga di lokasi. Remang-remang cahaya dari bangunan itu. Wanita berpakaian terbuka nampak mojok menggoda pria yang datang. Dari dalam mobil, aku mengawasi bangunan tersebut. Menelan saliva kasar. Haruskah aku lanjut saja penyelidikan ini, atau kembali? Tapi bayangan mas Angga yang me
Pria itu justru terkekeh."Wah, mantan? Atau dia bermain jal*ng saat masih bersamamu?""Dia penghianat," desahku kasar. Lagi-lagi pria itu terkekeh. Dia pikir ini lucu?"Kamu terlalu polos. Pria, tidak akan pernah cukup dengan satu wanita. Apalagi jika kesempatan itu datang. Karena itu lah, kamu lihat sendiri kan? Duniaku adalah wanita. Haha."Dia sedikit mabuk, mungkin. Lalu sejenak kemudian dia menatapku dengan pandangan datar."Dan kamu, kalau saja pria itu tidak mengawasimu, mungkin saja malam ini kita sudah menghabiskan malam bersama, cantik."Pria? Sontak aku menoleh. Tapi yang kudapati hanyalah bartender yang kini sibuk dengan pelanggan barunya."Dia siapamu? Atau.. Itu selingkuhanmu?" aku mendecak. Tapi untuk menolak, rasanya terlalu berbahaya. Setidaknya biarlah begitu yang diketahui oleh pria ini."Dia pacarku sekarang. Kalau begitu, terimakasih atas informasinya."Ku angkat bobot tubuhku dari tempat duduk. Tersenyum tipis, lalu kembali menghampiri bartender tadi."Bagaimana
Sampai di rumah, Haidar tidak langsung pergi, justru ikut masuk ke rumah. Meski sedari tadi dia terus-menerus membuang pandangan."Niswah sudah tidur," tukasku karena dia ikut masuk."Ganti bajumu. Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu," tugasnya dengan pandangan mengarah ke luar. Aku mengangguk. Segera ke atas untuk berganti pakaian. Meski selama ini aku belum berhijab, tapi tak pernah sekalipun aku memakai pakaian terbuka. Itu tadi adalah pakaian yang aku pesan online dadakan, karena timbulnya ide itu juga dadakan. Hanya menunggu waktu yang tepat untuk menjalankan rencana. Dan sekarang aku sesali, kenekatan tadi tak seharusnya ku turuti.Ku hampiri dia yang duduk di ruang tamu. Kali ini aku sudah memakai pakaian yang tertutup, kaos panjang dan rok panjang. Kuserahkan jaket padanya."Terimakasih," ucapku. Dia hanya melirik jaketnya. "Baru tadi sore aku mengantarnya, bisa-bisanya sudah ada disana. Siapa yang menyuruhmu, hmm?""A-aku? Tidak ada." ucapku gugup. Dia tampak tak suka
"Em, pantas saja mbak masak. Hehe, ternyata ada mas Haidar toh."Aku melotot. Niswah masih saja membahasnya."Memang biasanya gak masak?" suara Haidar lembut menanyai Niswah. Dan jangan lupakan senyum manisnya itu. Eh? Aku menggigit bibirku, ayolah Nis... Jangan buka aib."Enggak. Kita biasanya sarapan di kantor. Lagian kata mbak Dinda, percuma kalau masak gak ada yang ma---""A... Ayamnya masih Nis. Nih, makan aja.""Makasih, mbak. Niswah udah kenyang padahal. Tapi, gak papa. Biar mas Haidar aja yang ngabisin. Nih."Aku melotot, bisa-bisanya ayamnya beralih tempat."Kan kalau begini, mbak Dinda jadi ayem. Makanannya ada yang ngabisin. Hehe."Aku meringis pelan, menekan sendok dengan gigiku. Astaga... Niswah."Harusnya kamu yang makan. Biar gak kerempeng kayak tengkorak.""Eitss, jangan salah. Mbak Dinda ini spesial masak karena ada mas Haidar lo. Jadi hargai dong."Runtuh sudah harga diriku. Rasanya seperti tak ada muka. Apalagi saat selintas pandang, Haidar menatapku. Ya Tuhan, rasa
"Perempuan itu melahirkan prematur. Itu yang dia katakan pada suamimu. Tapi, yang sebenarnya, informasi yang aku dapat dari dokter itu, dia sudah genap usia sembilan bulan lebih beberapa hari. Jadi, kemungkinan saat menikah dengan suamimu, dia sudah hamil dua bulan. Dan, yah beruntungnya dia melahirkan tepat di sembilan bulan. Coba saja dia lahir prematur. Apa gak kacau, baru lima bulan sudah lahiran?"Haidar sudah kembali dan bergabung dengan kami. Tapi dia diam saja dengan penjelasan sahabatnya itu. Berbeda denganku yang masih syok. Bagaimana bisa itu Mr Arav? Pria itu terlihat baik. Dan juga, waktu itu kita pernah tak sengaja bertemu di mall, saat bersama ibu mertua melabrakku. Dan Mr Arav wajahnya biasa saja. Padahal dia kan kenal Riri."Apa ibu tahu?""Ibu mertuamu tidak tahu. Mungkin dia akan syok kalau tahu ternyata itu bukan cucu kandungnya. Double kill kan? Setelah putranya lebih memilih orang lain, ternyata yang dipilih bukan cucu kandungnya." Santai sekali dia menikmati ma
Lamunanku buyar. Netraku teralih dari kertas yang baru datang itu. Surat panggilan dari pengadilan untuk sidang perceraian itu telah tiba setelah dua bulan berlalu.Senyum samar nan masam tersungging di bibirku."Tidak. Hanya saja, rasanya lucu," tugasku, melipat kembali kertas itu.Tangan kekar itu mengusap lembut suraiku. Membawanya bersandar di pundak."Abang tahu. Pernikahanmu juga tidak sebentar. Lima tahun. Tapi, kalau memang tidak bisa dipertahankan lagi, mau bagaimana?""Iya, Bang. Akan berbeda kalau mas Angga masih membelaku. Aku mungkin akan mencoba bertahan. Seperti sebelum-sebelumnya. Tapi, sepertinya dia pun lelah," helaku pelan."Kalau sekiranya, Angga nanti mengetahui semuanya, terus dia mengajakmu kembali bersama, bagaimana?"Aku terdiam. Menatap langit bertabur bintang di atas sana. Memejamkan mata sejenak untuk menikmati hembusan dinginnya."Memang bang Aldi setuju?" tolehku pada pria yang menjadi cinta kedua setelah p
"Haa.... Aa, maksud gue, hamil. Eh, apa sih!"Orang aneh. Jujur saja jantungku berdetak kencang. Entah kenapa perkataannya terakhir membuat pikiranku berkelana. "Aunty!"Perhatianku tertoleh. Jansen yang berlari ke arahku sambil tertawa, bersembunyi di balik punggungku. Niswah tertawa lebar, mencoba menangkap bocah itu."Eitss... Jansen kena. Haha."Keduanya tergelak bersama. Kulihat senyum terbit di bibir Zul, dengan netranya yang tertuju pada gadis itu. Ah, maafkan aku Della. Sebaiknya urungkan saja usahamu.Ku senggol bahu pemuda itu. Melirik dengan senyum tertahan."Ngapain Lo? Suka sama Niswah?" ledekku. Zul langsung mingkem. "Apaan sih. Ngawur."Aku tergelak. Sayangnya wajahmu memerah. Ternyata pria kalau tersipu lucu juga.Tak lama bang Aldi memberi kode untuk segera menghampirinya. Kami lapar. Dan restoran seafood adalah tujuan setelahnya.Zul, pria aneh yang kutemui di bar itu ikut bersama kami. Dia datang sendirian, d