"Seharusnya kamu mengenalnya. Perempuan itu, kakakku adalah wanita yang sempat dekat dengan mas Haidar."
Niswah mengerjapkan matanya. Apa iya? Kenapa dia tidak mengenalnya. Memang sih, sempat merasa tak aaing. Tapi rupanya memorinya tidak juga menemukan titik temu."Dulu, mas Haidar dan mbak Rifa sempat dekat. Maksudnya, sebatas ta'aruf. Mbak Rifa ... Ah, sepertinya kamu lebih mengenalnya dengan nama Aini.""Aah! Mbak Aini. Kalau itu, saya tahu," seru Niswah. Pantas saja, rasanya tak asing. Dia hanya sempat tahu, tapi tidak mengenal. Wajar saja, dia lupa."Jadi, mamanya Deka itu mbak Aini. Tap-tapi, bagaimana bisa? Soalnya, setahuku, mbak Aini itu orangnya baik. Lah, ini ... Nyebel--- hehe." Niswah menggaruk pelipisnya, salah bicara."Tidak papa. Mbak Rifa memang berubah sejak hari itu," tukas Arjun santai. "Tidak perlu merasa bersalah. Karena saya juga tidak menyukai sifatnya yang sekarang." Arjun tampak mengela napas. Niswah jadi merasa bersalah, tapi juga pena"Tak peduli bagaimana orang tuanya bersikap, pak Arjun adalah orang tua sejati bagi Deka. Deka pasti bahagia, mendapat kasih sayang melimpah dari pak Arjun."Arjun tak menjawab. Pundak pria itu bergetar. Sepertinya memori lama itu membawanya ke dalam kesedihan. Wajar saja, membayangkan nasib malang Deka memang miris. Apalagi Arjun yang menemui sendiri kejadian itu. Merawat penuh kasih bayi yang seharusnya menjadi keponakannya itu, tapi malah menjadi papa tunggal di usia muda. Melewatkan masa-masa yang biasanya digunakan untuk bersenang-senang. Niswah ingat, Arjun pernah berkata bahwa pria itu nyaris tidak mempercayai wanita. Mungkin karena rasa marahnya atas sikap kakak kandung dan mamanya sendiri yang tak punya hati."Mereka tidak pernah menemui Deka satu kali pun, dan kini dia datang memintanya. Saya tidak ikhlas, Nis. Lahir batin, saya tidak ikhlas Deka diambilnya lagi," ujar Arjun, mengutarakan ketakutannya."Deka tidak akan pernah pergi, Pak. Deka adalah putra
Setelah tahu kisah kelam Deka, Niswah semakin menyayangi anak itu. Kisah mereka hampir sama. Hanya bedanya, Niswah sempat merasakan hidup bersama orang tua kandungnya. Sedangkan Deka, anak itu bahkan sampai sekarang belum tahu kalau dia bukan anak kandung dari pria yang selama ini dianggapnya sebagai sosok ayah. Arjun bilang, akan memberi tahu Deka setelah anak itu dewasa dan bisa mencerna dengan baik. Untung saja, Deka laki-laki, jadi tak akan ada masalah ke depannya dalam hal perwalian.Niswah juga baru tahu, bahwa dirinyalah satu-satunya yang tidak tahu tentang rahasia besar itu. Kakaknya, Haidar dan Dinda sudah tahu. Yang Niswah penasarankan, bagaimana reaksi kakaknya saat tahu wanita yang dulu sempat diincarnya berubah menjadi kasar dan menyebalkan. Terlepas dari nasib buruk yang sempat menimpanya, tetap saja sikapnya tak bisa diterima. Tapi nyatanya, tiga orang itu tidak ada yang membahasnya. Seolah masalalu tinggal masalalu. Hari ini, sepulang dari kampus, Niswa
"Arjun sibuk, Ma. Belum sempat." Bohong! Jelas saja dia tidak pernah berkunjung. Hubungan ibu anak itu belum membaik. Kehadiran di pernikahan kemarin sebatas simbol belaka."Ya mama kemarin dengar kabar kalau kamu pindahan. Jadi mama menyempatkan waktu buat ngunjungin anak mama. Ternyata kamu sedang pergi.""Arjun di kampus, Ma.""Iya. Mama tahu. Yah, untung saja ada istrimu. Jadi, mama gak kelamaan di luar." Yulia tersenyum menatap Niswah. Tapi gadis itu membalasnya canggung. Tadi saja dia dipojokkan, tapi kenapa sekarang sok manis."Itu tadi, anak itu?""Iya. Dia anakku, Ma." "Mama sudah menduganya. Anak itu sudah besar. Tampan dan cerdas." Arjun menyeringai samar. Rasanya tidak sopan, tapi dia sudah terlanjur muak. "Jadi gini, Jun. Mbakmu kemarin pulang-pulang nangis. Katanya, kamu mengusir dia dan melarang untuk bertemu anaknya?""Anakku, Ma. Bukan anak mbak Rifa.""Iya. Mama tahu. Kamu yang merawatnya. Tapi bagaimanapun juga, dia tetap
Karena hanya tinggal dia di ruang tamu sendirian, Niswah menutup pintu dan menyusul ke atas. Pintu kamar mandi tertutup. Terdengar suara shower menyala. Sepertinya Arjun sedang mandi. Niswah menyiapkan baju ganti untuk pria itu, meletakkannya di atas ranjang, lalu dia keluar lagi. Ke dapur untuk memberesi belanjaan yang masih teronggok nganggur..Gelak tawa terdengar dari kamar Deka. Niswah mengulas senyum. Dia tahu, Arjun tengah berdamai dengan perasaannya. Oleh karena itu, pria itu sejak tadi terus menempel kepada keponakan yang sudah dianggapnya menjadi anak sendiri itu. Setelah menyelesaikan tugas dari kampus, Niswah menyusul keberadaan dua laki-laki itu."Kalian ngapain?" Niswah terheran melihat wajah ayah anak itu cemong-cemong merah putih. Bahkan di lantai ada taburan bedak bertebaran."Tante mama, sini ikut!" ajak Deka semangat. Niswah menoleh ke Arjun, sementara pria itu hanya tersenyum lebar. Menepuk tempat kosong di sampingnya."Kita tebak-tebaka
Niswah melirik sinis. Sejak Deka tidur, dia memang menyibukkan diri dengan ponselnya demi menutupi groginya. Ya gimana, meski mereka sudah baikan, ini pertama kalinya mereka tidur satu ranjang. Meski ada pemisah Deka sih."Gak usah macam-macam, Pak. Saya masih kuliah loh.""Kenapa memang? Banyak tuh angkatanmu yang gendong anak? Malah lebih enak kalau kamu sidang skripsi pas gendong bayi. Cepet lulusnya."Niswah mencibir. "Buat sendiri aja sana sama tembok," celetuknya asal.Arjun tertawa. Tangannya terjulur melewati Deka. Hanya demi mengusak rambut gadis di seberangnya. "Saya hanya bercanda. Tenang saja, saya tidak akan memaksa kamu. Biar kamu sendiri yang datang dan memaksa saya."Niswah makin melotot. Apaan! Emang dia gak ada harga diri apa?"Haha. Sudah. Tidur. Jangan hapean terus. Kasian suami dan anakmu kau mamanya kesiangan. Bisa-bisa kelaparan nanti."Niswah mendengkus. Meski begitu dia tidak kunjung meletakkan hapenya. Dan malah dilihatnya A
Bangun tidur, Niswah mendapati hanya ada dirinya dan Deka di kamar. Arjun, entah kemana pria itu. Jam beker di meja belajar Deka menunjukkan angka empat lebih beberapa menit. Menggeliat kecil, Niswah menyingkirkan selimut yang entah sejak kapan terpasang. Karena seingatnya, tadi malam dia tidak sempat memakai selimut. Menoleh pada Deka yang masih terlelap, Niswah membiarkannya. Lagipula waktu subuh belum datang. Sebelum beranjak, Niswah mengecek ponselnya. Mengerutkan dahi saat mendapat notifikasi dari aplikasi merah kotak itu. @Ar__JN mulai mengikuti anda, berikut boom like dari akun tersebut. Sudut bibirnya tertarik melebar. Haha. Ternyata pria itu peka juga. Bersenandung kecil, Niswah beranjak keluar. Kembali ke kamarnya. Namun dia tak mendapati keberadaan Arjun disana. "Jangan-jangan ilang?" gumam Niswah, meski sesaat kemudian dia menepuk kepalanya sendiri. "Heih! Apaan sih. Ya enggaklah. Ilang juga siapa yang mau mungut. Orang nyebelin gitu," bantahnya. Tak mau ambil pusing, Ni
Entah kesambet apa, Arjun makin jahil. Sangat berbeda dengan image nya yang dulu dingin dan tegas itu. Apa mungkin karena bawaan menikah dengan yang jauh lebih muda (?). Sepertinya bukan, mungkin itu sifat asli pria itu. Masa mudahya yang hilang karena dipaksa dewasa sebelum waktunya itu kembali lagi."Ih, bapak, nunduk lagi dong. Kan aku gak nyampek."Arjun meminta Niswah memasangkan dasinya, tapi dia malah sengaja meninggikan badannya. Niswah yang nota bene lebih pendek, merasa kesulitan.Arjun tertawa, membungkukkan badannya sehingga memudahkan gadis itu melakukan tugasnya. "Makanya, jangan cebol," ledeknya."Yee. Itu mah bapak yang kelebihan tulang. Itu badan apa tiang listrik. Tinggi amat," cibirnya tak kalah meledek. Menyimpulkan ikatan terakhir. "Tapi bangga kan, punya suami body model?""Hilih! Sombong. Gak ada yang muji padahal."Arjun tertawa. Menyentil hidung Niswah, membuat gadis itu kembali misuh-misuh."Deka mana?" tolehnya, baru sadar putranya tidak ada di ruang makan.
"Nah ini dia, bintang kita sekarang. Kita sambiit, Niswah Melati Sukma Jiwa Raga!"Kelas makin ramai dengan sorakan seolah mengelu-elukan pemenang. Sedang gadis itu tertawa. Melayangkan tinju tipuan pada temannya yang berlagak menyambutnya tadi. Memang, semenjak rahasianya terbongkar, teman-temannya kerap menggoda. Niswah juga tak marah, dia tahu teman-temannya hanya bercanda, bukan mengejek. Malah terkadang dia merasa bangga karena nyatanya, dari sekian yang mendambakan dosen itu, dirinyalah yang terpilih. "Ngarang banget ya namanya," cebiknya berpura kesal.Temannya itu tertawa. Kembali ke bangkunya yang kebetulan berada di depan Niswah."Eh, Nis, ntar salam sama pak Arjun!" teriak temannya yang lain. Niswah mengangkat jari tengahnya. Yang mendapat tawa dari temannya itu."Gila, bar-barnya anak ini masih sama weh. Gak takut dihukum pak Arjun loh," Syifa menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya."Yang penting pak Arjun gak lihat," sahut Nis