Niswah melirik sinis. Sejak Deka tidur, dia memang menyibukkan diri dengan ponselnya demi menutupi groginya. Ya gimana, meski mereka sudah baikan, ini pertama kalinya mereka tidur satu ranjang. Meski ada pemisah Deka sih."Gak usah macam-macam, Pak. Saya masih kuliah loh.""Kenapa memang? Banyak tuh angkatanmu yang gendong anak? Malah lebih enak kalau kamu sidang skripsi pas gendong bayi. Cepet lulusnya."Niswah mencibir. "Buat sendiri aja sana sama tembok," celetuknya asal.Arjun tertawa. Tangannya terjulur melewati Deka. Hanya demi mengusak rambut gadis di seberangnya. "Saya hanya bercanda. Tenang saja, saya tidak akan memaksa kamu. Biar kamu sendiri yang datang dan memaksa saya."Niswah makin melotot. Apaan! Emang dia gak ada harga diri apa?"Haha. Sudah. Tidur. Jangan hapean terus. Kasian suami dan anakmu kau mamanya kesiangan. Bisa-bisa kelaparan nanti."Niswah mendengkus. Meski begitu dia tidak kunjung meletakkan hapenya. Dan malah dilihatnya A
Bangun tidur, Niswah mendapati hanya ada dirinya dan Deka di kamar. Arjun, entah kemana pria itu. Jam beker di meja belajar Deka menunjukkan angka empat lebih beberapa menit. Menggeliat kecil, Niswah menyingkirkan selimut yang entah sejak kapan terpasang. Karena seingatnya, tadi malam dia tidak sempat memakai selimut. Menoleh pada Deka yang masih terlelap, Niswah membiarkannya. Lagipula waktu subuh belum datang. Sebelum beranjak, Niswah mengecek ponselnya. Mengerutkan dahi saat mendapat notifikasi dari aplikasi merah kotak itu. @Ar__JN mulai mengikuti anda, berikut boom like dari akun tersebut. Sudut bibirnya tertarik melebar. Haha. Ternyata pria itu peka juga. Bersenandung kecil, Niswah beranjak keluar. Kembali ke kamarnya. Namun dia tak mendapati keberadaan Arjun disana. "Jangan-jangan ilang?" gumam Niswah, meski sesaat kemudian dia menepuk kepalanya sendiri. "Heih! Apaan sih. Ya enggaklah. Ilang juga siapa yang mau mungut. Orang nyebelin gitu," bantahnya. Tak mau ambil pusing, Ni
Entah kesambet apa, Arjun makin jahil. Sangat berbeda dengan image nya yang dulu dingin dan tegas itu. Apa mungkin karena bawaan menikah dengan yang jauh lebih muda (?). Sepertinya bukan, mungkin itu sifat asli pria itu. Masa mudahya yang hilang karena dipaksa dewasa sebelum waktunya itu kembali lagi."Ih, bapak, nunduk lagi dong. Kan aku gak nyampek."Arjun meminta Niswah memasangkan dasinya, tapi dia malah sengaja meninggikan badannya. Niswah yang nota bene lebih pendek, merasa kesulitan.Arjun tertawa, membungkukkan badannya sehingga memudahkan gadis itu melakukan tugasnya. "Makanya, jangan cebol," ledeknya."Yee. Itu mah bapak yang kelebihan tulang. Itu badan apa tiang listrik. Tinggi amat," cibirnya tak kalah meledek. Menyimpulkan ikatan terakhir. "Tapi bangga kan, punya suami body model?""Hilih! Sombong. Gak ada yang muji padahal."Arjun tertawa. Menyentil hidung Niswah, membuat gadis itu kembali misuh-misuh."Deka mana?" tolehnya, baru sadar putranya tidak ada di ruang makan.
"Nah ini dia, bintang kita sekarang. Kita sambiit, Niswah Melati Sukma Jiwa Raga!"Kelas makin ramai dengan sorakan seolah mengelu-elukan pemenang. Sedang gadis itu tertawa. Melayangkan tinju tipuan pada temannya yang berlagak menyambutnya tadi. Memang, semenjak rahasianya terbongkar, teman-temannya kerap menggoda. Niswah juga tak marah, dia tahu teman-temannya hanya bercanda, bukan mengejek. Malah terkadang dia merasa bangga karena nyatanya, dari sekian yang mendambakan dosen itu, dirinyalah yang terpilih. "Ngarang banget ya namanya," cebiknya berpura kesal.Temannya itu tertawa. Kembali ke bangkunya yang kebetulan berada di depan Niswah."Eh, Nis, ntar salam sama pak Arjun!" teriak temannya yang lain. Niswah mengangkat jari tengahnya. Yang mendapat tawa dari temannya itu."Gila, bar-barnya anak ini masih sama weh. Gak takut dihukum pak Arjun loh," Syifa menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya."Yang penting pak Arjun gak lihat," sahut Nis
Sebelum menuju tempat makan, mereka berdua menjemput Deka terlebih dahulu. Lalu ketiganya makan siang bersama-sama. Terlihat seperti pasangan muda yang berbahagia. Deka yang lebih banyak bercerita mengenai kegiatannya di sekolah tadi. Lantas ditimpali oleh dua manusia dewasa tersebut. Deka memang kini lebih terbuka dan suka bercerita. Sosialisasinya juga lebih baik. Tidak gampang menolak di dekati, seperti saat dulu.Tanpa mereka sadari, ada yang terus mengawasi kekompakan keluarga muda itu dengan perasaan tak terima. Tangannya mengepal, serta air mata yang mengalir."Mama juga ingin dekat denganmu seperti itu, Nak. Tolong, kembalilah pada mama." Permohonan yang tidak pernah terdengar oleh bocah di seberang sana. Jangankan terdengar, Deka mengenalnya saja tidak. Dia menyesal, tapi dibubuhi dengan keegoisan tinggi.Kini dia hanya bisa menatap hampa saat keluarga kecil itu telah menyelesaikan urusannya, dan beranjak dari tempat duduknya. Membayar ke kasir, l
"Deka inget, pesan papa apa tadi?"Sebelum berpisah, Arjun kembali memberi wejangan."Gak boleh ngobrol sama orang asing, Pa.""Nah, sip. Pintar." Mengusap puncak kepala Deka. Bocah itu tersenyum. Mencium punggung tangan papa dan mamanya."Ya udah, masuk. Belajar yang rajin, ya.""Iya, Pa. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Deka berlari kecil bergabung dengan teman-teman kecilnya itu. Sementara Arjun memandanginya lekat. Seakan terasa berat melepas putranya tersebut. Ini gara-gara semalam, efeknya masih terasa hingga pagi ini. Ada rasa khawatir yang menelusup. Membuatnya enggan beranjak."Pak? Berangkat, gak?" tanya Niswah akhirnya. Karena ternyata mereka disini sudah beberapa menit."Ah, iya." Arjun mengangguk, lalu masuk kembali ke mobil. Pandangannya masih terarah pada keramaian anak kecil di gedung sekolah sana."Bapak masih memikirkan yang tadi malam?" tanya Niswah. Pria itu menoleh, helaan napasnya terdengar pelan. Melihat reaksi
"Dan, kalau mama belum puas, ambil saja dia jadi anak mama. Aku yang akan pergi dari rumah ini," pungkasnya seraya meraih kunci mobil kasar. Meninggalkan mamanya yang mematung."Sayang ... Tunggu! Bukan itu maksud mama ...."Aini tak peduli. Menaiki mobil dan melajukan cepat meninggalkan mamanya yang berteriak-teriak sendiri...Memandangi gedung menjulang tinggi di seberang sana. Air matanya mengalir di pipinya. Sakit, juga terluka yang amat sangat. Perasaan yang masih tertanam pada mantan ta'arufaannya itu membuat siksaan tersendiri untuk Aini. Tapi, dia tidak berani menampakkan wajahnya lagi semenjak labrakan istri Haidar padanya waktu itu. Bagaimanapun juga, Aini masih punya malu. Dia tidak mau harga dirinya direndahkan."Arrrgh!" teriaknya. Memukul stir seraya menangkupkan wajahnya ke stir. Merutuki hidupnya yang hancur dalam sekejap. Masih teringat, bahagianya dia saat Haidar mengutarakan niatnya untuk mendekatinya. Pria tampan berwajah teduh itu
Di sebuah bengkel, Niswah mencak-mencak. Bagaimana tidak? Mobil pesanan yang dia tumpangi mogok di tengah jalan. Sudah begitu, dia juga harus ikut mendorong mobil itu sampai ke bengkel. Penumpang perempuan mana yang diajak menanggung kerusakan mobil dengan jadi tukang dorong? Menyebalkan sekali. Keringat sebesar jengkol membuat penampilannya semakin lusuh. Belum lagi capek dan pegal karena mendorong mobil."Makasih, mbak. Mbak cari grab lain aja ya. Soalnya, ini bakal lama.""Yang maksa nungguin mas siapa juga sih! Dari tadi juga saya mau nyari yang lain, eh malah disuruh ndorong mobil," kesalnya merepet mengomel. Rasanya, emosinya hampir meledak di ubun-ubun. Ingin rasanya mbejek-mbejek sopir menyebalkan itu. Belum lagi, dia ditertawakan orang-orang di bengkel, karena mau-maunya dibohongi si sopir. Sementara si sopir itu malah senyam senyum tak merasa berdosa. Dari tadi memang niat Niswah juga begitu. Begitu mobil mogok, dia langsung ingin mencari yang lain.