Viole menganga; matanya terbelalak tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Dia berada di tengah-tengah tempat yang sama sekali tidak dikenalnya. Padahal beberapa detik yang lalu, dia masih berdiri di kamar.
Pemandangan di sekelilingnya adalah tanaman raksasa. Bahkan daun-daun yang tumbuh berukuran mencapai 100 kali lipat dari ukuran daun biasa. Batang pohonnya juga sangat besar. Akar yang menyembul keluar pun ukurannya sangat tidak wajar. Serta suasana di tempat itu seperti musim dingin; tidak adanya sinar matahari.Di tengah rasa kagumnya, Viole teringat akan buku yang sebelumnya ia pegang, kini tak lagi berada di tangannya, dan dia juga menyadari sesuatu. Suhu di sekelilingnya sangat dingin.‘Dingin sekali. Ini aneh, nggak ada sinar matahari, tapi pepohonan di sini tumbuhnya nggak ngotak,’ batin Viole.Untungnya, Viole mengenakan pakaian panjang. Ia menggosok-gosokkan kedua telapak tangan, mencoba menghangatkan tangannya yang tidak tertutupi oleh lengan baju.Di tengah usaha menghangatkan tangan yang terasa seperti es itu, Viole teringat dugaannya selama ini ternyata benar, bahwa buku itu adalah gerbang ke dunia lain. Maka dari itu, dia bertekad mencari sang ayah yang dia percaya juga terjebak disini.‘Gua harus nemuin Papa!’ batin Viole.Lalu tiba-tiba muncul suara aneh. Sontak, Viole langsung menoleh ke belakang, dari mana suara itu berasal. Dia melihat ada segerombolan semak-semak setinggi orang dewasa yang terus bergoyang.Viole memperhatikan dengan seksama tanpa berkedip, ‘Ada apaan sih disana?' batinnya penasaran.Tiba-tiba, dari dalam semak-semak, keluar seorang pemuda. Viole terjatuh ke belakang karena sangat terkejut. Jantungnya berdegup kencang hingga ia merasa jantungnya itu bisa copot.Namun, belum sempat bernapas, Viole melihat pemuda itu berteriak keras sambil berlari melewatinya, "Kau! Ayo lari!"Viole pun berlari mengikuti pemuda yang tidak dikenalnya itu tanpa tahu mengapa ia menyuruhnya lari."Kenapa harus lari sih?!" tanyanya setengah berteriak."Kenapa?! Apa kau mau mati?!" jawab pemuda itu tanpa menoleh.Viole tertegun. Apa yang dimaksud oleh pemuda asing itu dengan mati?Sebelum dia bisa mendapatkan jawaban, dari arah belakangnya terdengar suara derap kaki, membuat jantung Viole semakin berdegup kencang.‘Apaan tuh di belakang?!’ batinnya bertanya-tanya.Dia berlari mengikuti langkah pemuda asing itu, menembus lebatnya hutan, tanpa istirahat. Lama kelamaan napasnya mulai habis, bulir-bulir keringat dingin karena suhu disana, terus mengalir di dahi Viole.Dia melihat jaraknya dengan pemuda di depan mulai semakin jauh. ‘Cepet banget sih larinya?!’ batin Viole.“Tung … gu!” serunya terbata.Si pemuda lantas menoleh ke belakang, kedua matanya seketika membulat, "Kau! Cepat menunduk!”, teriaknya.Viole secara refleks pun merunduk, dan tiba-tiba di belakangnya terdengar suara benturan yang sangat keras, diikuti dengan suara melengking dan menggelegar: "Kheekkhh!"‘Hih apaan itu serem banget!’ batin Viole mendengar suara di belakangnya, begitu menakutkan.Setelah itu, derap kaki yang sebelumnya terdengar, kini tidak terdengar lagi. Penasaran dengan apa yang terjadi di belakangnya, sambil tetap berlari Viole menengok ke belakang.Namun karena rambut panjang Viole yang tergerai menutupi mata, dia tidak dapat melihat dengan jelas.‘Aduh! Ini rambut nutupin!’ batin Viole sambil menyingkap rambutnya dari wajah.Karena gadis itu tidak memperhatikan arah di depannya. Dia pun tidak sengaja menabrak sesuatu hingga terjatuh.“Aduh….” gumam Viole sambil menahan rasa sakit di dahi, perlahan ia mengangkat kepala.Perlahan pula pandangan gadis itu mengarah ke atas. Deg! Matanya membulat, melihat wajah si pemuda asing itu, tengah melihat ke arahnya.‘Astaga OMG!’ jerit Viole dalam hati.Dia pun dengan cepat berdiri, namun karena terlalu tergesa-gesa, ia jatuh ke belakang dengan posisi terduduk.Sementara itu, merasa beban berat yang menindihnya telah hilang, si pemuda kemudian berdiri. Dia membersihkan tanah yang menempel di pakaiannya, lalu menoleh ke arah belakang gadis yang duduk di tanah tidak jauh darinya itu.Sang pemuda lantas mengehela napas panjang, merasa lega akan sesuatu. Kemudian matanya tertuju pada gadis yang terus memegangi kepalanya dengan kedua tangan.‘Apakah makhluk itu berhasil mengenai kepalanya?’ batin si pemuda.Akan tetapi, sebelumnya dia melihat, gadis itu berhasil merunduk tepat waktu, dan juga tidak terjadi apa-apa pada kepalanya. Namun, kenapa dia terus memegangi kepalanya?‘Apa kepalanya akan copot bila tidak dia pegang?’ batin si pemuda.“Kepalamu baik-baik saja?” tanyanya kemudian.Viole yang sibuk dengan pikirannya dan juga merasa malu pun menoleh. Ekspresi pemuda itu tampak biasa saja, tidak terkejut atau pun marah padanya. Padahal, Viole sudah menabrak hingga mereka berdua jatuh, bahkan secara tak sengaja menindihnya.‘Dia kok biasa aja sih?’ batin Viole bertanya-tanya.“Apakah kau tuli?” tanya pemuda itu kembali, karena gadis yang dia ajak bicara malah melongo.“Eng…. nggak!” jawab Viole.“Gua gak tuli kok, gua … gua denger,” lanjutnya salah tingkah, kemudian berdiri.“Apa itu?” sahut si pemuda.Viole yang sebelumnya salah tingkah sendiri, kini merasa heran dengan pertanyaan yang pemuda itu lontarkan.‘Maksudnya apaan sih?’ batinnya bingung.“Maksudnya apa?” Viole balik bertanya pada pemuda itu.“Aku bertanya padamu, bukannya dijawab, kau malah balik tanya padaku,” sahut si pemuda dengan nada sewot.‘Anjir ni orang … ternyata nyebelin!’ batin Viole kesal.Dia pun menatap mata si pemuda yang berwarna merah. Dengan langkah kasar, dia berjalan mendekati pemuda itu, hingga sampai di hadapannya.“Gua nanya karena kagak ngerti!” ujar Viole dengan nada tinggi.Alis si pemuda lantas berkerut. Dia tidak mengerti dengan apa yang baru saja diucapkan gadis di depannya ini, dan ekspresi wajah yang menggebu-gebu itu, sepertinya gadis itu marah.‘Kenapa dia marah? Lalu apa yang dia bicarakan? Itu bahasa apa?’ batin si pemuda bertanya-tanya.Sementara Viole, melihat reaksi pemuda itu hanya diam, ia menduga jika si pemuda seakan tidak mengerti dengan apa yang dia ucapkan.Gadis itu lantas menurunkan emosinya. Kemudian menunduk, memalingkan pandangan ke bawah. Seketika rasa tidak enak muncul di benak Viole.Meski sebelumnya nada bicara pemuda itu memang terdengar menyebalkan, akan tetapi dia pun tidak semestinya berkata dengan nada tinggi seperti itu padanya. Lagian secara tidak langsung, si pemuda asing itu telah menolongnya.‘Seharusnya gua berterima kasih sih, bukan marah-marah kaya tadi, tidak sopan juga,’ batin Viole berpikir ulang.Dia pun sedikit menengadah, “Maaf kata-kata gua nyinggung elu ya tadi, makasih udah nolongin gua,”Si pemuda hanya diam. Lagi-lagi gadis yang lebih pendek darinya ini berbicara dengan bahasa yang tidak ia mengerti.‘Apa sih yang dari tadi dia ucapkan?’ batin pemuda itu mulai bingung.Melihat itu, Viole menduga kunci dari komunikasi mereka yang tidak kunjung nyambung adalah bahasa.‘Kayanya dia nggak paham bahasa slank deh,’ terka Viole dalam hati.“Aku minta maaf jika perkataanku menyinggung perasaanmu. Terimakasih sudah menolongku,” ujarnya kemudian.Kedua alis pemuda itu pun terangkat. Rupanya, kalimat dengan bahasa asing yang terus dibicarakan oleh gadis di hadapannya ini, adalah ucapan terima kasih."Kau tidak perlu meminta maaf, kau tidak menyinggungku, dan aku juga tidak menolongmu. Kau yang berusaha sendiri,” ujar si pemuda, kemudian tersenyum.Masalah komunikasi mereka terpecahkan, Viole lantas mengajak pemuda itu untuk berkenalan. Siapa tahu dengan mengetahui nama satu sama lain, pemuda itu bisa menjadi temannya, karena ia hanya sendirian ketika datang.“Gua, maksudku.. namaku Viole,” ujarnya mengulurkan jabat tangan.Pemuda itu pun menyambut, “Namaku Zanquen,” ujarnya memperkenalkan diri.Baru juga keadaan tenang, kedua iris merah Zanquen yang sedang menatap Viole beralih menatap ke arah belakangnya. Senyum Zanquen langsung runtuh, matanya membelalak.Hal itu membuat Viole menjadi penasaran. Apa yang ada di belakangnya?Perlahan-lahan ia pun menoleh ke belakang. Mata almond berbingkai bulu lentik itu langsung membulat, “Anjay! Apa-apaan itu?!”Terlihat sesosok berudu berkaki empat, namun dia tumbuh sangat besar. Ukurannya mencapai satu juta kali lebih besar dari berudu pada umumnya. Sang monster menatap ke arah Viole, air liur si monster terus meluber hingga beberapa berjatuhan ke tanah.‘Eww!’ batin Viole, merasa jijik melihat air liur yang menyerupai lendir itu.Jarak si monster cukup jauh dari tempat Viole berdiri, namun dia dapat mendengar suara geraman dari sang monster.Membuat nyali gadis itu ciut, dirinya sangat takut hingga tubuhnya terasa kaku. Lalu tiba-tiba saja sesuatu menariknya dari arah belakang.Rupanya Zanquenlah yang menarik Viole untuk berlari dari monster itu, karena jika tidak, si monster bisa saja tiba-tiba menyerang. Dan benar, makhluk berkaki empat itu dengan cepat merayap di tanah, mengejar mereka berdua."Zan, i … itu apa?!" tanya Viole terbata panik."Itu monster!" jawab Zanquen sambil menarik tangan Viole untuk berlari lebih cepat.“Lalu makhluk yang tergeletak di belakang itu apa?! Monster juga
Cahaya perak terpancar begitu terang, saking terangnya membuat mata siapapun yang melihatnya akan merasa silau.Namun, seolah tahu jika Viole kesulitan membuka matanya, cahaya perak itu meredup perlahan, hingga ke titik kedua iris mata hitam gadis itu tidak lagi merasa silau.Cahaya terang perak terus bersinar lembut seperti mentari, menerangi tempat Viole berada. Lalu sebuah suara misterius muncul, berbisik halus di telinganya.“Hai anak manusia berparas elok,”Mendengar suara itu, seketika membuat mata Viole yang sebelumnya sayu, langsung melebar. Dirinya tidak salah dengar bukan? Apakah itu suara nyata atau khayalannya saja?‘Jangan-jangan malaikat maut?’ batin Viole menduga suara itu adalah suara malaikat.Kemudian, suara itu terdengar kembali. Namun kali ini ia terkekeh. Suara kekehannya seperti menertawakan nasib Viole yang sangat tidak beruntung.Hal itu membuat Viole tersenyum kecut dalam angan. Bahkan malaikat maut pun menertawakan hidupnya yang sangat tidak lucu ini.‘Menyedi
Cahaya perak kembali bersinar dan aroma belerang yang sangat menusuk hidung pun mulai memudar. Viole dapat bernapas kembali, kemudian perlahan ia membuka mata.Samar-samar dia melihat wajah seseorang tepat di depannya. Setelah pandangan Viole kembali jelas, nampaklah seorang pria berwajah rupawan dengan kulit putih mengkilap bak porselin.Rambut dan iris matanya berwarna perak. Terdapat sedikit garis horizontal berwarna merah di kelopak bawah kanan dan kiri."Hai cantik,” sapa sang pria dengan senyuman hangat tersungging di bibir berwarna merah jambu itu.Viole tertegun, tanpa bisa berkata-kata. Wajah pria itu mampu menyihir siapapun yang melihatnya. Bahkan dia juga memancarkan cahaya yang lebih terang dari sinar matahari.Inikah yang dinamakan malaikat? Makhluk yang Viole dengar dari alkitab?"Sudah aku bilang, aku akan membantumu tapi dengan syarat kontrak," ujar pria itu kembali.Prang! Kekaguman Viole pun buyar seketika, begitu mendengar kalimat yang keluar dari mulut pria itu.‘Lo
Begitu mendengar jawaban dari Viole, senyum lebar merekah di wajah Gorfen yang rupawan. Anak manusia ini menyetujui kontrak tanpa mengetahui syaratnya, dan itu membuat Gorfen merasa sangat puas.Setelah sekian lama, Soul Cleaver urutan ke tujuh itu, Silver Gorffennaf, akhirnya memiliki seorang tuan.Dia menampakkan diri, seketika Viole kembali ke tempat serba putih seperti sebelumnya. Membuat gadis itu terheran lagi, “Loh pindah ke sini lagi?”Gorfen bertepuk tangan sambil berjalan menghampiri Viole yang masih tergeletak dengan posisi yang sama. Dia kemudian berjongkok dan tersenyum, tangan kanannya menyentuh pundak Viole. Cahaya perak terang muncul sesaat, kemudian menghilang.“Aku sudah menyembuhkanmu. Berdirilah,” ujar Gorfen.Mendengar itu, Viole segera mencoba berdiri, dan berhasil. Dia pun menangis bahagia, akhirnya tubuhnya itu kembali pulih. Saking bahagianya, Viole sampai tidak menyadari jika Gorfen telah berdiri di belakangnya.Pria itu lantas menutup mata Viole, membuat gadi
Tidak jauh dari tempat Viole berdiri, terlihat bayangan terpantul diatas iris hitam mata almond berhias bulu lentik itu.Mata Viole melebar, melihat keberadaan monster lain berbentuk iguana raksasa tengah memandangi Zanquen yang tidak sadarkan diri.Kepala gadis itu menggeleng pelan sambil bergumam, “Tidak, jangan katakan...."Napas Viole seakan tercekat di tenggorokan ketika monster itu benar-benar melakukan apa yang ada dalam bayangannya."Zanquen!" teriak keras Viole, melihat sang monster membuka mulutnya lebar-lebar.Namun sekeras apa pun dirinya memanggil Zanquen, pemuda itu sama sekali tidak bergerak. Dia hanya bergeming di tempat.'Apa dia udah mati?' 'Enggak!' batin Viole menepis pikirannya sendiri. Dia percaya Zanquen masih hidup, pemuda itu hanya pingsan!Viole lantas memungut sebuah batu sebesar telapak tangannya, kemudian melemparkan batu itu ke arah sang monster.Tuk! Lemparan Viole tak ubahnya kerikil pasir, tidak memberikan efek apapun pada kulit sang monster. Mata si
Seseorang pria dengan sambut panjang dan berpakaian kimono jaman dahulu berdiri di samping Gorfen. Wajahnya tenang, namun dibalik itu, sorot matanya sangat mengintimidasi. “Jangan galak-galak Silver, nanti kau cepat tua.” ujar pria itu.“Berhenti mengucapkan kata yang menjijikkan! Siapa yang mengundangmu ke sini … Liftor?!” tanya Gorfen menatap tajam.Terlihat jiwa Soul Cleaver itu sangat membenci keberadaan seorang yang dia panggil Liftor tersebut.“Siapa yang mengundangku ke sini?” Liftor balik dengan wajah lugu, memegang dagunya.Kemudian dia menjawab pertanyaannya sendiri sambil tersenyum, “Tidak ada,” “Aku bebas masuk sesuka hatiku bahkan tanpa persetujuanmu sekali pun,” lanjutnya, senyum di wajah itu seketika menghilang.Rahang Gorfen mengeras, tangannya mengepal kuat. Dia tidak suka jawaban itu, meski memang itulah kebenarannya. “Kenapa malah kau yang marah? Seharusnya aku yang marah, kau tidak sopan padaku Silver,” ujar Liftor kembali."Kenapa kau tidak mau membantu pemilik
Mata almond Viole dengan iris hitamnya berubah tajam, seperti seekor serigala yang tengah mengintai mangsa. Viole mengeratkan genggamannya pada Silver Gorffennaf.Kaki belakangnya memulai aba-aba dan dengan mata berapi-api, dia berlari cepat ke arah monster itu.Begitu pula dengan sang monster, dia tidak tinggal diam. Mengetahui gerakannya tidak bisa cepat, dia pun menggunakan cara lain untuk menghentikan Viole, si makhluk kecil.Dia menggunakan kaki bawahnya yang panjang dan bercabang seperti akar pohon sebagai senjata. Dia menjulurkannya ke arah Viole.Melihat akar melesat ke arahnya dengan cepat, Viole bersiap mengayunkan tongkat perak di tangannya ke arah kiri, berniat menebas akar itu.Namun, sebelum dia melakukannya, Silver Gorffennaf yang menyadari jika serangan dari si monster hanyalah bayangan pun berseru, "Ke kanan anak manusia!" Viole segera mengubah arah tebasannya ke kanan. Ayunan dari senjata suci itu menimbulkan sebuah angin yang dapat dilihat dengan mata fisik.Terlih
Viole pun menoleh ke arah depan. Matanya seketika membulat. Monster yang sudah dia tebas ternyata masih bisa bergerak bahkan berusaha membawa pergi Zanquen.Monster itu rupanya hanya berpura-pura kalah dan menipu Viole. Itu membuat emosi gadis itu memuncak. Dia berlari seraya menggenggam erat Silver Gorffennaf. "Sialan! Lu nipu gua!"Dia lantas mengibaskan tongkat perak itu ke kanan dan kiri. Angin yang tercipta mengoyak pepohonan raksasa di sekitar si monster. Namun, karena Viole mengibaskan tak beraturan, serangannya malah tidak mengenai monster itu sama sekali.Ditambah, keberadaan pohon-pohon raksasa di sekitar seakan menjadi tameng bagi si monster. Perasaan Viole bercampur aduk. Kesal, marah, dan juga ada rasa penyesalan karena tidak mendengarkan ucapan Silver Gorffennaf sebelumnya.Dia terus berlari mengejar monster itu hingga masuk lebih dalam ke arah hutan. Matanya yang berapi-api tidak melepas pandangannya sedikitnya pun dari si monster.Meski gadis itu berlari sekuat tenag
“Kau … ingat bukan pesanku tadi?” tanya Liftor. Zanquen tertegun. Hanya pertanyaan sederhana itu yang keluar dari mulut Liftor? Bukankah beberapa detik lalu, pria di depannya ini dengan jelas ingin membuat nyawanya melayang? ‘Apa aku terlalu curiga padanya?’ batin Zanquen. Ekspresi curiga kembali muncul di wajah pemuda itu. ‘Tapi … dia sering berubah-ubah, tidak bisa dipercaya,’ pikirnya. Melihat itu, Liftor terkekeh. “Kau masih saja curiga padaku ya …” “Bersiap-siaplah,” katanya. Angin di sekitar mereka kian berhembus kencang. Perlahan kaki Zanquen terangkat. Tubuhnya terasa sangat ringan seperti kapas yang disedot ke atas. Di saat itu juga, dirinya melihat Liftor menorehkan sebaris senyuman. “Sampaikan salamku … pada Luca,” kata Liftor. Mendengarnya, mata Zanquen seketika melebar. Kenapa Liftor tahu nama itu? Apa dia mengenalnya? Belum sempat ia bertanya, Liftor tiba-tiba melepaskan tangannya. Zanquen pun terhempas ke atas. Setelah itu angin mereda, kemudian menghilan
Sementara itu di tempat lain, Liftor tengah memunguti beberapa ranting kering dan membawanya. Setelah jumlah ranting dirasa sudah cukup, dia memutuskan untuk kembali. Begitu berbalik badan dan akan melangkah, tangannya yang terdapat urat hitam terasa sakit dan berdenyut. Hingga ranting pohon yang dia pegang pun terjatuh. Liftor memegang lengannya. "Anak manusia itu ...."Dia pun duduk, bersandar pada batang pohon. Ia mendongak, melihat sekat antar lantai yang banyak disebut sebagai langit.Dia teringat mengenai amukan gadis yang menjadi tuan Silver Gorffennaf beberapa waktu lalu. Senyum miring tersungging di bibir Liftor. Dia baru kali ini melihat seseorang yang mampu membuat senjata suci sampai seperti itu.‘Bukan Silver yang memakan jiwa tuannya, tapi gadis itu yang memakan kesadaran Silver. Menarik sekali,’ batinnya. Dia juga teringat akan Zanquen, ketika pemuda itu menuduhnya berbohong setelah mendongak ke atas.Reaksi pemuda itu secara tidak langsung memberi tahu bahwa dia ti
“Maksudku? Kau lulus, itu saja,” jawab Liftor enteng. Dahi Zanquen berkerut. Dia tidak mengerti akan maksud pria di depannya ini. Meski begitu, dirinya tidak ingin bertanya lebih jauh lagi.Liftor cukup heran, melihat respon Zanquen.Biasanya makhluk yang dia loloskan akan langsung senang, sampai melompat-lompat kegirangan.“Kau tidak senang?” tanyanya.Belum juga Zanquen menjawab, terdengar sebuah suara. Suara itu sangat familier di telinga Liftor.“Lepaskan aku dari tangan baumu! Liftor sialan!"Zanquen terhenyak mendengarnya. "Siapa ... itu?"Liftor langsung menyodorkan tongkat perak yang dia pegang ke hadapan Zanquen. Pemuda bermanik merah itu pun secara spontan langsung menarik kepalanya ke belakang."Wah, reflek yang bagus," puji Liftor."Apa yang kau lakukan?" tanya Zanquen melirik curiga Liftor."Tenang saja. Aku sudah meluluskanmu, jadi tak usah curiga seperti itu. Kau tadi bertanya siapa? Dia yang bicara," jawab Liftor. "Dia siapa?" tanya Zanquen lagi.Mendengar itu, Lifto
"Wah, tenanglah. Aku tidak punya niat jahat kok," ujar Liftor tersenyum."Kau bisa menurunkan senjatamu itu," lanjutnya menunjuk tongkat perak yang diacungkan ke padanya.Sementara Zanquen, dia merasa ucapan pria di hadapannya ini tidak bisa dipercaya, dan juga nampak mencurigakan. Sehingga alih-alih menurunkan senjata, Zanquen malah semakin erat menggenggam senjatanya.'Waspada sekali,' batin Liftor."Kau siapa? Kau yang menyebabkan semua ini?!" tanya Zanquen."Tenanglah, jangan emosi dulu. Bukan aku yang menghancurkan tanah ini, tapi temanmu itu," jawab Liftor.Iris merah Zanquen melirik ke samping kanannya, tempat Viole terbaring. Melihat gadis itu tidak sadarkan diri, mustahil jika dia yang menyebabkan kehancuran luar biasa seperti ini. Kemudian Zanquen kembali melihat ke depan. 'Dia jelas-jelas sedang berbohong!' batinnya.Melihat reaksi pemuda di depannya malah menatap dirinya tajam dan penuh curiga, Liftor pun menghela napas. ‘Sepertinya dia tidak percaya padaku,’ ujarnya dal
Viole pun menoleh ke arah depan. Matanya seketika membulat. Monster yang sudah dia tebas ternyata masih bisa bergerak bahkan berusaha membawa pergi Zanquen.Monster itu rupanya hanya berpura-pura kalah dan menipu Viole. Itu membuat emosi gadis itu memuncak. Dia berlari seraya menggenggam erat Silver Gorffennaf. "Sialan! Lu nipu gua!"Dia lantas mengibaskan tongkat perak itu ke kanan dan kiri. Angin yang tercipta mengoyak pepohonan raksasa di sekitar si monster. Namun, karena Viole mengibaskan tak beraturan, serangannya malah tidak mengenai monster itu sama sekali.Ditambah, keberadaan pohon-pohon raksasa di sekitar seakan menjadi tameng bagi si monster. Perasaan Viole bercampur aduk. Kesal, marah, dan juga ada rasa penyesalan karena tidak mendengarkan ucapan Silver Gorffennaf sebelumnya.Dia terus berlari mengejar monster itu hingga masuk lebih dalam ke arah hutan. Matanya yang berapi-api tidak melepas pandangannya sedikitnya pun dari si monster.Meski gadis itu berlari sekuat tenag
Mata almond Viole dengan iris hitamnya berubah tajam, seperti seekor serigala yang tengah mengintai mangsa. Viole mengeratkan genggamannya pada Silver Gorffennaf.Kaki belakangnya memulai aba-aba dan dengan mata berapi-api, dia berlari cepat ke arah monster itu.Begitu pula dengan sang monster, dia tidak tinggal diam. Mengetahui gerakannya tidak bisa cepat, dia pun menggunakan cara lain untuk menghentikan Viole, si makhluk kecil.Dia menggunakan kaki bawahnya yang panjang dan bercabang seperti akar pohon sebagai senjata. Dia menjulurkannya ke arah Viole.Melihat akar melesat ke arahnya dengan cepat, Viole bersiap mengayunkan tongkat perak di tangannya ke arah kiri, berniat menebas akar itu.Namun, sebelum dia melakukannya, Silver Gorffennaf yang menyadari jika serangan dari si monster hanyalah bayangan pun berseru, "Ke kanan anak manusia!" Viole segera mengubah arah tebasannya ke kanan. Ayunan dari senjata suci itu menimbulkan sebuah angin yang dapat dilihat dengan mata fisik.Terlih
Seseorang pria dengan sambut panjang dan berpakaian kimono jaman dahulu berdiri di samping Gorfen. Wajahnya tenang, namun dibalik itu, sorot matanya sangat mengintimidasi. “Jangan galak-galak Silver, nanti kau cepat tua.” ujar pria itu.“Berhenti mengucapkan kata yang menjijikkan! Siapa yang mengundangmu ke sini … Liftor?!” tanya Gorfen menatap tajam.Terlihat jiwa Soul Cleaver itu sangat membenci keberadaan seorang yang dia panggil Liftor tersebut.“Siapa yang mengundangku ke sini?” Liftor balik dengan wajah lugu, memegang dagunya.Kemudian dia menjawab pertanyaannya sendiri sambil tersenyum, “Tidak ada,” “Aku bebas masuk sesuka hatiku bahkan tanpa persetujuanmu sekali pun,” lanjutnya, senyum di wajah itu seketika menghilang.Rahang Gorfen mengeras, tangannya mengepal kuat. Dia tidak suka jawaban itu, meski memang itulah kebenarannya. “Kenapa malah kau yang marah? Seharusnya aku yang marah, kau tidak sopan padaku Silver,” ujar Liftor kembali."Kenapa kau tidak mau membantu pemilik
Tidak jauh dari tempat Viole berdiri, terlihat bayangan terpantul diatas iris hitam mata almond berhias bulu lentik itu.Mata Viole melebar, melihat keberadaan monster lain berbentuk iguana raksasa tengah memandangi Zanquen yang tidak sadarkan diri.Kepala gadis itu menggeleng pelan sambil bergumam, “Tidak, jangan katakan...."Napas Viole seakan tercekat di tenggorokan ketika monster itu benar-benar melakukan apa yang ada dalam bayangannya."Zanquen!" teriak keras Viole, melihat sang monster membuka mulutnya lebar-lebar.Namun sekeras apa pun dirinya memanggil Zanquen, pemuda itu sama sekali tidak bergerak. Dia hanya bergeming di tempat.'Apa dia udah mati?' 'Enggak!' batin Viole menepis pikirannya sendiri. Dia percaya Zanquen masih hidup, pemuda itu hanya pingsan!Viole lantas memungut sebuah batu sebesar telapak tangannya, kemudian melemparkan batu itu ke arah sang monster.Tuk! Lemparan Viole tak ubahnya kerikil pasir, tidak memberikan efek apapun pada kulit sang monster. Mata si
Begitu mendengar jawaban dari Viole, senyum lebar merekah di wajah Gorfen yang rupawan. Anak manusia ini menyetujui kontrak tanpa mengetahui syaratnya, dan itu membuat Gorfen merasa sangat puas.Setelah sekian lama, Soul Cleaver urutan ke tujuh itu, Silver Gorffennaf, akhirnya memiliki seorang tuan.Dia menampakkan diri, seketika Viole kembali ke tempat serba putih seperti sebelumnya. Membuat gadis itu terheran lagi, “Loh pindah ke sini lagi?”Gorfen bertepuk tangan sambil berjalan menghampiri Viole yang masih tergeletak dengan posisi yang sama. Dia kemudian berjongkok dan tersenyum, tangan kanannya menyentuh pundak Viole. Cahaya perak terang muncul sesaat, kemudian menghilang.“Aku sudah menyembuhkanmu. Berdirilah,” ujar Gorfen.Mendengar itu, Viole segera mencoba berdiri, dan berhasil. Dia pun menangis bahagia, akhirnya tubuhnya itu kembali pulih. Saking bahagianya, Viole sampai tidak menyadari jika Gorfen telah berdiri di belakangnya.Pria itu lantas menutup mata Viole, membuat gadi