~Ta'aruf antara kau dan aku berada dalam waktu sepertiga malam dengan berawal nawaitu berharap qobiltu~
♤♤♤
Para Boyguard datang menjemput Imaz. Ia sudah bersiap-siap membawa tas perlengkapannya. Bisa bernapas lega karena sebentar lagi hempas dari Desa. Sayangnya tanpa Ibu dan Bapak. Dari ambang pintu, Imaz, Ibu dan Bapak berpelukan.
"Jaga baik-baik dirimu Imaz. Doakan Ibu dan Bapak selalu sehat. Supaya bisa menjengukmu. Kau tau kebahagiaan orang tua adalah melihat anaknya bahagia. Bukankah ini kebahagiaanmu berada di Pesantren?" Nasehat Ibu.
Air mata Imaz meleleh. Mereka larut tenggelam dalam air matanya. Ibu dan Bapak melepaskan pelukan.
"Sudah dramanya." Tuan Darwin menghentikan.
Ia melempar tas besar di hadapan Imaz, "ini ongkos untuk perjalananmu. Tapi ingat! Jangan pernah menghianatiku lagi. Kalau sampai kau menghianatiku lagi, orang tuamu taruhannya."
Imaz mengangguk ringan. Belum ikhlas untuk meninggalkan orang tuanya. Tangan lembut mereka terlepas. Saatnya Imaz pergi. Ia masuk mobil. Mereka melambaikan tangan dengan penuh kerinduan. Mobil berjalan meninggalkan bayang-bayang mereka.
"Ya Allah...aku tidak pernah menginginkan harta duniawi. Biarpun rumahku kumuh, dijalanan atau dimanapun tempat tinggal itu, yang penting ada Ibu dan Bapak dalam hidupku." Bisikan hatinya terdalam.
Ia berharap Tuan Darwin tidak berbuat kejam terhadap mereka.
Tiba di laut, Imaz berganti transportasi. Ya. Desa yang ia tempati untuk menuju kota butuh mental untuk naik kapal apalagi kapal veri milik Tuan Darwin.
Sungguh ! Tuan Darwin memiliki segalanya tapi sayangnya tak menganggap Tuhannya. Imaz memasuki kapal veri. Besar dan sejuk untuk ditempati. Ia duduk di sebelah nahkoda sekadar menghirup udara segar.
Saat nanti kau sudah menikah, ketaatanmu tidak pada Ibu dan Bapak tapi pada suami.
Kata-kata itu tiba-tiba terngiang ditelinganya.
***
Kota targetnya telah tercapai. Para Bodyguard meninggalkan Imaz di tepi laut. Mereka menghilang menembus cakrawala.Hari sudah semakin sore.
Perbatasan antara Desa dan Kota memang berbeda. Ketika menyeberangi laut menuju Desa, pemandangan mereka hanya Nelayan-nelayan yang mencari ikan. Tapi terlihat disana seorang gadis sedang melukis sendirian. Memakai kursi roda. Imaz menghampiri gadis tersebut.
"Hay..." sapaan untuk gadis pelukis.
Dia menoleh dengan senyuman mengembang dipipi. Sangat cantik. Kecantikan yang khas. Matanya bening. Bibirnya tipis. Bulu matanya lentik. Hidungnya biasa saja. Tidak mancung dan tidak pesek. Kelebihannya lagi, ia memakai hijab sederhana tanpa motif ala-ala jaman sekarang.
"Kau melukis apa?" Imaz menengok papan lukisnya.
Seorang pria berpeci hitam duduk ditepi laut. Ia lihat di tepi laut benar-benar ada pria berpeci hitam. Ia pikir lukisan itu khayalan. Gadis pelukis hanya diam. Terfokuskan pada lukisannya.
"Dia siapa kamu? Kakakmu? Atau calon suamimu?" Tanya Imaz tiada henti-henti.
"Kau begitu penasaran." Gadis pelukis baru menunjukkan suaranya.
Begitu lembut selembut sutra. Sepertinya ia sangat penyabar menghadapi masalah.
Mata Imaz tiba-tiba menyala. Menunjukkan data identitas siapa gadis pelukis itu. Tertulis disana, namanya Alfiyyah Musthofa. Biasanya dipanggil Fiyyah. Dia putri Romo Kiyai Abdul Musthofa, pengasuh Pondok Pesantren Benang Biru. Disana juga ada sebuah pesan,selamat sudah bertemu targetmu; By: Darwin.
Imaz mendengus kesal. Kapanpun dan dimanapun Imaz berada, Tuan Darwin bisa memantaunya. Sial.
"Kenapa diam?" Gadis pelukis membuncah lamunan Imaz.
"Mmm...namamu Fiyyahkan?"
Ia hanya berdehem. Masih fokus dengan lukisannya.
"Putri dari Romo Kiyai Abdul?"
Ia tetap berdehem.
"Senang bertemu denganmu, Ning Fiyyah."
"Aku juga senang. Hanya kau orang luar yang mau berkenalan denganku. Kau wanita yang sangat ramah, siapa namamu?"
"Imaz."
"Nama lengkap?"
"Tidak boleh."
"Kenapa?" Ning Fiyyah terheran.
Tangannya terhenti untuk melukis. Ia memandang Imaz penuh tanya.
"Kata Bapak, aku tidak punya akta kelahiran. Biarpun aku punya nama lengkap, Bapak tak merestui jika namaku disebarkan."
"Kenapa tidak buat akta kelahiran?"
"Mmmm...kami hanya rakyat jelata."
Imaz tersenyum meskipun dirasa itu pahit. Sudah miskin, ia dijadikan korban serta mata-mata untuk umat manusia yang sejalan dengannya. Cita-cita itu nyata. Tapi tujuannya terpaksa. Menaklukan Pesantren Benang Biru.
"Sebagai hadiah, kau duduklah di samping pria itu. Nanti kau ku lukis bersama senja."
"Sendirian bersama senja?" Imaz tampak sumringah.
"Sama pria itu. Maksudku, kalian berdua aku lukis. Dipemandangan senja. Ingat ya, tidak boleh bergerak."
Imaz mengangguk antara percaya atau tidak. Ia berjalan. Duduk berjauhan dengan pria itu.
Ning Fiyyah menepuk jidat. Imaz menoleh, Ning Fiyyah mengintruksi lebih dekat dengan pria itu.
Dengan polosnya, Imaz menjawab, "bukan muhrim."
Ning Fiyyah menepuk jidat lagi.
Ia menempelkan kedua tangan memohon. Terpaksa Imaz duduk berdekatan dengan pria itu. Imaz hanya diam seperti patung. Pria itu terheran-heran melihat Imaz duduk di sampingnya.
"Kau siapa?" Pria itu mulai bicara.
Imaz diam seperti patung."Maaf Mbak. Kau ini siapa?" Pria itu menegaskan. Imaz tetap saja seperti patung.
"Ingat Imaz. Kau harus jadi patung. Supaya hasil lukisan Ning Fiyyah bagus. Biarin pria ini ngomong terus." Dalam hati Imaz.
Matahari terbenam dari arah barat. Awan menunjukkan warna kemerah-merahannya.
Dalam hitungan kelima, senja akan menampakkan rupawannya. Ning Fiyyah menghitung jarinya.
Lima, Imaz dan pria itu konsisten jadi patung. Rupanya pria itu faham kedatangan Imaz.
Empat, mereka sudah tak tahan. Imaz mencoba melirik pria itu. Meskipun dari samping, ternyata pria itu masih terlihat tampan. Pasti pria itu calon suami Ning Fiyyah, pikir Imaz.
Tiga, berganti pria itu melirik Imaz. Hanya sekilas melihat wajahnya. Begitu lama melihat koper jelek disampingnya. Memperburuk pemandangan. Pikir pria itu.
Dua, mereka menghembuskan napas. Sudah tak sabar melihat senjanya.
Satu, senja menampakkan rupawannya dengan sempurna.
"Lihat senjanya sudah datang. Subhanallah..." Imaz berteriak girang menunjuk warna pemandangan senjanya.
Pria itu menatap Imaz dari samping. Aneh.
Ning Fiyyah menyulap tangannya menjadi karya lukisan yang menakjubkan. Gerak-gerik tangannya mengayun lembut menyulam persis di depannya. Bak sepasang kekasih berlibur di laut bersama senja.
Pergerakan tangan Imaz bukan perusak lukisan malah pemanis sebagai kekasih sungguhan. Senja perlahan menghilang. Artinya maghrib akan datang. Pria itu menjemput Ning Fiyyah mengajaknya pulang. Imaz mengikuti mereka.
"Maaf, aku tadi bergerak. Kau pasti marah. Sebab ini pertama kalinya aku melihat senja." Permohonan maaf Imaz.
"Bukan maaf. Malah itu pemanis sebagai kekasih sungguhan. Ini kenangan dariku. Kalian sungguh romantis." Ning Fiyyah menyerahkan hasil lukisannya.
Imaz menerimanya dan benar yang dikatakan Ning Fiyyah seolah-olah dari belakang Imaz dan pria itu sedang kasmaran.
"Jangan lebay. Itu hanya lukisan." Ucap pria itu tanpa memandang Imaz.
"Tapi..." belum sempat Imaz membalas ucapannya, pria itu mendorong kursi roda Ning Fiyyah. Mengajaknya pulang.
Azan maghrib berkumandang. Imaz berjalan kaki entah dimana. Perutnya mulai tidak bisa diajak kompromi.
Sebelum mencari makan, ia mencari masjid. Rupanya masjid tak sejauh yang ia bayangkan. Masjid Ar-rahman menanti kedatangannya. Sebagian orang sudah memposisikan diri membentuk saf.
Kran ia buka. Imaz membasuh muka.
Sudah satu bulan lebih, hujan tak kunjung turun. Namanya di kota, masih mudah untuk mencari air.Salat maghrib sudah terlaksana beberapa menit yang lalu. Saatnya Imaz memberi kerukunan pada perutnya. Alias mencari makanan.
Sekitar satu meter dari masjid, ia menemukan warung soto. Ia memesan satu porsi nasi soto dengan es buah. Mantap untuk disantap. Namanya anak kampung, makan dipinggir jalan lebih istimewa dan natural. Orang-orang yang makan dari kelas sederhana, udaranya dihembuskan langsung oleh sang pencipta dan tak kalah menariknya pengamen jalanan yang bersedia menghibur pembeli. Itu yang ia rasakan dimasa-masa kesendiriannya.
Ia tiba-tiba rindu Ibu dan Bapak.
Dirasa sudah cukup, Imaz kembali lagi ke masjid. Duduk di serambi masjid memandang bintang bertebaran dilangit. Bertemankan angin kesunyian.
"Imaz, cepat cari pesantrennya." Suara muncul tiba-tiba di telinganya.
Ia terkejut serta ketakutan.
"Siapa kamu? Jangan bunuh aku. Apakah kau kuntilanak, pocong, suster ngesot atau genderuwo?" Imaz nyerocos takut.
Orang-orang sekitar melihatnya seperti orang gila. Berbicara sendiri.
Mereka berlari ketakutan melihat Imaz.
"Dasar bego! Aku Darwin. Kenapa kau malah santai-santai dimasjid. Lakukan tugasmu."
Mesin suara yang diciptakan Tuan Darwin sungguh hebat. Menyalur dalam telinga dan mata. Dia memang memiliki ruang khusus untuk pembuatan segala mesin. Ruang yang terdapat monitor besar dengan sistem CCTV yang memantau kerja Imaz. Kapanpun ia bisa mematikan sistemnya. Entah itu sistem mata, suara, atau telinga. Atau malah ketiga-tiganya. Seakan-akan Imaz dijadikan robot yang patuh pada Tuannya.
"Iya...iya...besok. aku kan capek. Perlu istirahat." Imaz menjawab setengah malas.
"Awas kalau kau melanggar, akan ku matikan semua sistemnya. Rasakan tidak punya mata, suara dan telinga."
"Baik baginda. Saya akan melaksanakan tugasmu." Ucap Imaz pura-pura patuh.
"Begitu sikap bawahan terhadap atasanmu."
"Iya...iya..."
"Ya sudah. Aku mau tidur. Selamat malam."
"Hanya satu yang Tuan Darwin tak bisa pantau. Hati. Sampai kapanpun yang tau hati manusia hanyalah Allah."
Senyum tipis ia tunjukkan pada bintang. Dan kata itu terbentang lebar dalam hatinya.
***
Sepertiga malam kali ini tak seperti sepertiga malam kemarin. Berjamaah dengan keluarga. Sekarang berjamaah dengan angin kesunyian.Sepertiga malam di kota yang makin malam makin dingin. Tak seperti di desa makin panas. Imaz yang tertidur dibawah bedug masjid terbangun untuk mengambil wudhu. Membasuh muka, lalu masuk kedalam masjid. Mukenah tertata rapi di dalam almari serta Alquran di atasnya. Ia pakai mukenahnya. Sajadah dilampirkan.
Masjid ini terbilang unik. Satir perbatasan antara jamaah pria dan wanita membentuk vertikal bukan horizontal. Imaz menegakkan badan. Menata hati. Menatap khidmat dihadapan sang pencipta. Mengucap takbir sembari mengangkat kedua tangan sebahu dalam hati."Allah....akbar...." suara seorang pria dibalik satir. Hati Imaz berpaling pada sang pencipta. Pikirannya teralih pada suara pria tersebut. Rasa penasaran bergejolak. Rasa ketakutan tak bisa mengelak.
Ia membuka satir perlahan-lahan. Benar nyatanya. Seorang pria berpeci. Berbaju koko. Bersarung hitam sedang melaksanakan salat.
Ia sepenuhnya yakin pria itu sedang salat tahajud.
Imaz yang tadinya niat salat tahajud lillahi ta'la, Ia hapus dan diketik kembali niatnya menjadi ma'muman lillahi ta'la.
"Allahu akbar..."
Pria itu berganti rukuk. Imaz ikuti. Terus ia ikuti sampai pada tahiyat akhir dan berakhir dengan ucapan salam.
Imaz mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Alif...lam...mim...
Suara pria itu menegunkan hati Imaz.
Dzalikal kitabu laa royba fiih...
Nada dan irama mengayun merdu menelisik hembusan angin menerpa wajahnya. Membentuk lagu bayyati.
Hudallil muttaqin...
Suaranya terhenti. Satir yang di depan Imaz terombang-ambing terhembus angin.
Alquran yang dibaca pria itu ternyata sudah tua hingga menghasilkan beberapa mushaf. Mushaf yang dibaca terendus angin, melayang dan turun perlahan tepat di depan Imaz. Satir tetap pada hembusan angin.
Pria itu mengikuti arah mushaf Alqurannya. Matanya terpaku melihat Imaz memakai mukenah."Maaf, siapa Anda?" Pria itu bertanya.
Imaz kebingungan antara percaya atau tidak jika pria itu manusia.
Apalagi suasananya membuat bulu kuduk berdiri alias merinding. Perasaan itu tak bisa ia sembunyikan. Ia berlari ketakutan. Bersembunyi dibawah bedug.
Saking takutnya, mukenah dibiarkan menempel ditubuhnya. Imaz melihat dari balik jendela masjid, pria itu tampaknya mencari keberadaannya.
Ia berdiri di ambang pintu masjid. Suara hening. Hanya ada hembusan angin, pria itu berbalik arah.
Jelas sudah wajahnya.
Pria yang menjadi Imam sepertiga malam barusan, ternyata pria yang dilukis Ning Fiyyah.
Mereka bertemu kembali.
***
~Siapapun dirimu, tatapanmu tak bisa mengalihkan pandanganku. Senyumanmu tak bisa menghilangkan debaran hatiku. Mungkinkah, aku mulai jatuh cinta pada Hamba-Mu~ ♤♤♤Petunjuk arah menuju pesantren ia buka. Tertera disana, letak lokasi dekat hutan rimba.Pagi-pagi sekali, ia ditugaskan ke sana untuk menggali informasi tentang pesantren benang biru. Ia ikuti semua arah sesuai peta yang dikasih Tuan Darwin. Dari masjid Ar-rahman,ia menyeberang jalan raya. Memang pagi hari suatu waktu yang tepat melakukan aktivitas dibandingkan siang hari. Bukan itu masalahnya. Ia kesulitan harus menggendong tas dipundak. Juga menenteng tas besar berisi uang jutaan.Selesai menyeberang, selanjutnya menunggu bus di halte. Meskipun masih pagi, bus sudah dipadati penumpang. Mau tak mau, Imaz harus ikhlas tidak mendapatkan tempat duduk alias berdiri. D
~Ketika impian tercapai, tujuan zalim itu tak ku hiraukan. Allah telah menjawab doa-doaku~ ♤♤♤"Siapa nama lengkapmu?" Tanya Salwa, selaku ketua pesantren Benang Biru.Pagi-pagi sekali, dari ruang tamu Imaz mendaftarkan diri di ⁸kantor pondok putri."Imaz.""Daftar kelas berapa?""Kelas alfiyah.""Mau jadi tarbiyah atau khodam?""Khodam.""Sebentar." Salwa mengecek daftar nama khodam. Ternyata khodam dzuriyyah telah penuh."Maaf, kau mau khodam apa? Memasak, kantin atau apa?""Saya ingin menjadi khodam dzurriyah.""Jika kau ingin menjadi khodam dzurriyah, besok kau ikut seleksi. Harus bisa memasak waktu yang cepat dan rasa yang tepat. Apakah kau bersedia?""Aku bersedia." Jawab Imaz mantap.Pendaftaran santri baru telah selesai. Imaz tercatat di kamar Ar-rahim. Kamar yan
~Dia adalah target pertamaku untuk mendapatkan barokahnya~ ♤♤♤Embun menyambut kedatangan pagi dengan semerbak semangat senyum para santri. Seleksi santri baru kelas khodam alfiyah dilaksanakan di halaman masjid atau lebih tepatnya di depan rumah Romo Kiyai. Romo Kiyao beserta dzurriyah-nya duduk berjajar di teras rumah. Menyaksikan para santrinya yang ingin mendapatkan ilmu barokah dari beliau.Dzurriyah Romo Kiyai terdiri dari sembilan. Urutan putri beliau sesuai kelahiran. Sembilan putri Romo Kiyai bisa dijuluki Waliyyah Songo diantaranya; Ning Dijah, Ning Imah, Ning Ais, Ning Maryam, Ning Royya, Ning Minah, Ning Ika, Ning Bilqis, Ning Shita, dan Ning Fiyyah.Keseluruhan telah melepas lajangnya kecuali Ning Fiyyah. Bu Nyai wafat ketika Ning Fiyyah masih duduk dikelas 5 MI. Mereka belum memikirkan pengganti sang Ibu. Mungkin
~Ketika rasa itu hadir, aku bermain mata, bergejolak hati yang menemukan sebuah rasa cinta~ ♤♤♤Majalah dinding mengibarkan berita. Segerombolan santri putri berdesakan. Imaz berjinjit berusaha ingin tau berita baru.Meskipun mata kelihatan setengah tentang informasinya setidaknya membuat hatinya lega. Ya. Ia terpilih menjadi khodam Ning Fiyyah. Sesuai ekspektasi. Jadwal setoran Alfiyah dilaksanakan sehabis isya' dengan guru Robithus Sabilillah atau yang dikenal dengan Robet. Mereka bertemu kembali."Masakan cumi dan udang bakar madumu sungguh enak. Kapan-kapan buatkan lagi ya?" Kata Ning Fiyyah memuji dan bersandar di tembok.Setelah sekian segerombolan santri putri makin mengecil di majalah dinding. Imaz memutuskan berkunjung ke kamar Ning Fiyyah untuk mengucapkan terima kasih atas kerelaan dia menerima sebagai khodamnya."I
~Tanpa perlu meminta doa, tanpa izin aku telah menyematkan namamu disetiap salat lima waktu dan di sepertiga malamku~ ♤♤♤Udara malam terasa hangat. Musim kemarau enggan beranjak. Jam dinding berwarna coklat muda dengan jarum pendek putih bergerak ke arah angka delapan. Imaz masuk ke kamar Ning Fiyyah. Ia duduk bersantai bermain ponsel. Imaz duduk di sampingnya."Ning, maaf aku terlambat memberikan kado ulang tahun." Imaz menyodorkan kado kecil."Tidak masalah."Ning Fiyyah menerimanya. Tangan sudah gatal ingin membuka kado. Perlahan ia menyobek bungkus kado. Sebuah bros kecil berbentuk kupu-kupu. Tersemat nama pada punggung kupu-kupu dengan tulisan 'Fiyyah'."Maaf hanya itu yang bisa saya berikan Ning." Imaz merendah."Ini kado yang paling indah yang pernah aku miliki dari seorang sahabat sepertimu." Kalimat Ning Fiyy
~Tanpamu, apalah arti hidupku? Tak bersemangat setoran. Hanya sibuk memikirkan. Ya. Dirimu yang selalu ku rindukan~ ♤♤♤Malam jum'at hari libur setoran. Digantikan kegiatan khitobah perkamar. Acara bertempat di musholla pondok putri. Peserta pertama perwakilan dari kamar Ar-rahim. Dia adalah Cika. Pendukung dari kamar Ar-rahim tepuk tangan bergemuruh."Assalamu'alaikum warohmatullahi wabarakatuh..." ucap salam Cika dengan semangat."Wa'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh..." jawab santri putri serempak.Durasi hanya diberikan tujuh menit. Cika harus menyampaikan singkat, padat dan jelas."Apa perbedaan cantik luar dan cantik dalam menurut kalian?" Cika bertanya pada audiens."Cantik luarnya karena make up, cantik dalamnya karena cuma pura-pura."Sahut dari ujung kanan berteriak. Para santri sontak tertawa.
~Tasbih senantiasa ku ucap. Menyebut nama dalam ruahan rasa. Berharap qobiltu menjalin sakinah. Apakah engkau jodohku?~ ♤♤♤No signal.Sistem mesin suara bermonitor lebar eror."Tuan, ada apa dengan sistemnya?"Teriak anggota Tuan Darwin yang bertugas memantau sistem mesin suara."Ada apa?"Alih-alih bisa tidur nyenyak, Tuan Darwin dikagetkan dengan teriakannya. Terpaksa datang karena menuruti teriakan."Sistem tiba-tiba eror Tuan. Biasanya tidak seperti ini." Katanya panik."Eror? Kok bisa?" Tak percaya dengan perkataannya, Tuan Darwin mendekat dan mengecek sistem mesin suara. Ia tekan tombol enter percuma monitor menghadirkan kata eror."Gawat." Gumam Tuan Darwin."Kenapa Tuan?""Imaz tidak sadarkan diri. Coba cek rekaman histori, mungkin sebelum eror dia terjadi sesuatu." Per
~Berdetak hati mengucap kalam penghulu. Tanpa sandaran kepercayaan masih tetap utuh meski tidak tahu siapa kekasih halalmu~ ♤♤♤Not found.Kata itu jelas terpampang di monitor sistem mesin suara. Kecemasan menjalar di wajah Tuan Darwin."Ini pasti ada yang mengagalkan rencanaku." Tuan Darwin menggebrak meja kesal."Marvel, kerahkan semua bodyguard untuk menyerang pesantren dan cari dimana mereka menyembunyikan Imaz." Perintah Tuan Darwin tanpa bertele-tele."Baik Tuan." ***Di ruang tamu, perbincangan terjadi lagi."Bagaimana perkembangan pencarian Imaz apakah sudah menunjukkan tanda-tanda keberadaannya?" Romo Kiyai nampak panik.Wajah dipenuhi warna pucat. Sejak k
~Kau pernah menjadi raja di hatiku, ketika rindu itu menggebu. Namun, justru Allah menjadikan aku permaisurimu ketika cinta itu bertemu~ ***Pesawat jatuh terseret arus banjir di kawasan Var. Tim sar segera mengerahkan tenaganya untuk mengevakuasi korban penumpang yang ada di pesawat. Terdapat 12 yang tewas. Mereka membawa 12 mayat ke rumah sakit untuk dimandikan. Sementara yang lain denyut nadinya masih berdetak.Berita bencana badai besar di perancis sudah disiarkan diberbagai media. Berita itu terdengar juga di telinga keluarga Hilda, Robet dan Ning Fiyyah. "Ya Allah, bagaimana keadaan Hilda?" Kiyai Usman sungguh cemas. Abah Hilda sudah makin keriput. Hanya bisa duduk di kursi roda. Ditemani istrinya yang juga sudah beruban. "Semoga Hilda bisa diselamatkan yah," Umik menenangkan. Sampai di rumah sakit, 12 yang tewas dibawa ke kamar mayat. Petugas polisi menyelidik atas nama siapa
~Jika aku bukan jalanmu. Ku berhenti mengharapkanmu. Jika aku memang tercipta untukmu. Ku 'kan memilikimu. Jodoh pasti bertemu~ ***Demi menyenangkan istri tercinta, akhirnya Robet mengajaknya bulan madu di luar negeri. Tepatnya di perancis. Sebelum berangkat, Hilda menyerahkan beberapa wisata yang ingin ia kunjungi, diantaranya; menara eiffel, sungai seine, jembatan gembok cinta atau pont des arts, dinding cinta atau Le Mur des Je T’aime, mobil 2cv, musium louvre, dan Jardin du Luxemburg atau taman bunga. "Ngidamnya banyak amat," goda Robet sambil mengendarai mobil menuju bandara. Sebelumnya mereka sudah berpamitan pada orang tua. Mereka mendoakan semoga Robet dan Hilda berhasil beribadah dengan penuh cinta di malam jum'at. Mereka saling tersipu. Jantung berdetak sudah tak menentu membayangkan akan beribadah penuh cinta di malam hari. "Memang itu yang aku idamkan, sayang," kata Hilda sambil
~Kecupan punggung tanganmu. Kecupan bibirku di dahimu. Belaian tanganmu mencuci kakiku. Tatapan matamu menyibak arti kecantikanmu. Dengan besanding bersamamu di pelaminan, inilah tahap awal belajar untuk mencintaimu~ ***Selesai prosesi pernikahan, para tamu dipersilakan makan hidangan yang tersedia di kursi tamu undangan. Para tamu undangan memakannya dengan lahap. Tambah nikmat dengan diiringi sholawat banjari. Sementara mempelai putra dan putri duduk saling diam di pelaminan. "Aku memang seperti ini orangnya," kata Robet memulai perbincangan pada Hilda karena sedari tadi saling diam membisu. "Iya Gus. Aku tahu mungkin kau butuh waktu menerima pernikahan ini." Hilda memaklumi. Usai mereka menikmati hidangan makanannya, para tamu undangan dipersilakan sesi foto. Foto bersama teman-teman, kerabat dan yang paling utama adalah kedua keluarga mempelai. Selesai sesi foto, kedua m
~بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ"Barakallahu laka wabaraka 'alaika wajama'a bainakuma fi khair""Semoga Allah memberi barakah kepadamu dan atasmu serta mengumpulkan kamu berdua dlm kebaikan." (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi)~***Robet merasa ada yang mereka sembunyikan. "Bu, ayah kemana? Kok aku sama sekali tidak mendengar suaranya?" Ningsih bingung harus menjawab apa. Ia pun terpaksa menjawab seadanya. "Ayah sedang mencari makanan." "Oh, begitu." Ningsih menahan air matanya. Sultan dan pihak kepolisian membawa satpam ke kantor untuk dimintai keterangan. Saat Sultan bertemu langsung dengan geng mafia. Dengan emosi, dia menampar mereka satu persatu. "Sebenarnya, siapa kalian sampai berusaha membunuh Robet?" Pihak polisi berusaha menenangkan Sultan dengan menyuruhnya duduk. Ray sebagai ketua geng tersenyum licik. "Kau mau tau siapa kita?" Ra
~Kebahagianku adalah melihat Robet bahagia. Kesedihanku adalah melihat Robet sedih. Karena harta yang paling berharga adalah memiliki anak seperti Robet~ ---NINGSIH---- ***Hilda mencoba menelponnya, namun tak dapat dihubungi. Jadi benar ia telah memblokir nomornya. Apa dia merasa sakit hati? Air mata Hilda meleleh. Ia kemudian terisak. Kenangan bersamanya sungguhlah banyak. Ketika saat pertama kali bertemu dengan dia. Di sebuah jembatan ampera, ia tak sengaja menabraknya. Itu semua karena kecerobohannya. Bangun kesiangan. Tidak sempat sarapan. "Kau baik-baik saja?" Saga justru menanyakan keadaannya. "Iya, aku baik-baik saja. Maaf ya, aku buru-buru." Hilda meraih tasnya yang tergeletak di sampingnya. Lalu, berlari masuk ke kelasnya. Pertemuan itu ketika Saga skripsi jurusan bahasa inggris. Ia tetap lanjut kuliahnya di jurusan
~Ketika kedua kali aku mengucapkan Qobiltu, aku akan belajar untuk mencintaimu. Walau terkadang melawan hati sulit bagiku. Karena adanya keyakinan, aku percaya Allah yang memberi restu~ -----SAGA------ ***Hal yang paling dinantikan Robet adalah bisa melihat. Ketika sudah lama ia menunggu antrian, akhirnya Dokter Thomas memanggilnya juga. Ningsih dan Sultan senang melihatnya. Mereka menunggunya di depan ruang operasi sambil berdoa. Kapten Richard masih memberi pertanyaan pada geng mafia itu. Ia belum puas jika tidak ada bukti. Maka, kalau sampai hari ini ia tak menjawab jujur lagi, ia akan mencari bukti bersama anggota-anggotanya. Petugas polisi membawa Ray lagi. Ia menatapnya dengan memutar bola matanya malas. Lalu, duduk. "Ray, jangan bosan-bosan mendengar pertanyaanku jika kau tidak mau jujur," kata Kapten Richard."Apalagi yang
~Janji kita berdua yang dulu pernah kita ikrarkan untuk bersatu dalam ikatan cinta harus terpisah dalam alam berbeda. Akankah janji kedua bisa satu untuk selamanya?~ ***Sultan sudah meminta taarufan mereka selesai. Tak mau nanti kesiangan dan terlalu menunggu lama di bandara, Sultan menuntun Robet. Hilda menatapnya sangsi. Kiyai Usman juga merasa tak enak jika mengganggu keberangkatan mereka. Maka, beliau meminta maaf dan pamit langsung pulang ke rumah. Sultan menyalakan mesin mobilnya. Mobil siap melaju ke bandara. Robet siap untuk dioperasi. Mata siap untuk melihat luasnya dunia. Selama tiga bulan ini, mereka akan menetap di Singapura. Menanti keberhasilan penglihatan Robet. Masalah pekerjaan, Sultan sudah meminta Daniel menghandle-nya. Masalah jadwal pengajian, Robet sudah mencari penggantinya dari kang-kang lain yang siap mengajar. Masalah pernikahan, mereka serahkan semuanya pada Allah ta'ala. Mu
~Mencoba mengobati dengan pengganti baru. Mencoba melupakan karena dia bukan untukku. Dan mencoba mengikhlaskan walau kadang hati sering berdusta. Cinta tak salah. Tapi aku yang salah~ ***Senja membutakan segalanya dengan segala keindahannya. Ning Fiyyah dengan gesit melukisnya. Ibu Robet memotretnya. Keluarga Hilda merekam saat senja datang hingga menghilang. Mereka mengabadikan momen dengan cara masing-masing. Ketika senja menghilang, Ning Fiyyah mengucapkan terima kasih telah mengizinkan melukisnya. Robet mengucapkan terima kasih telah hadir walau dia tak bisa melihat kehadirannya. Hilda mengucapkan terima kasih sudah hadir walau sebentar. Tapi, ia yakin dia akan datang dengan segala keindahannya. Senja yang datang untuk mengindahkan, rela menghilang demi langit yang menggelapkan. Langit sudah menunjukkan kegelapannya. Keluarga Hilda memulai makan malamnya. "Hilda, besok pagi k
~ jika kau cinta, siapkan hatimu. Jika kau kecewa, siapkan akalmu. Jika sudah terlanjur sakit dan kecewa, siapkan relasi antara hati dan akalmu. Kadang punya hati tapi tak dapat memahami. Kadang punya akal tapi tak dapat berpikir~ ***Melihat kabar kematian Imaz, Irma ingin berkunjung ke makamnya. Tetapi, bagaimana bisa sedang dia di penjara. Penjaga polisi tadi langsung menarik tangan Irma. Mengisyaratkannya untuk kembali ke sel tahanan. Ia melintasi sel tahanan. Tepat di depan sel tahanan Arman, ia menghentikan langkahnya. Arman yang sedang duduk termenung di pojokan segera mendekat. Irma menatapnya nanar. "Man, apa kau sudah tau kabar tentang Imaz?" Tanya Irma menyeka air matanya. "Dia sudah ketemu?" "Iya.""Alhamdulillah.""Dan dia sudah bahagia disana." "Mereka menikah?""Imaz sudah bahagia di alam sana."Arman terperangah. Jantungnya berdetak