Sudut pandang Anastasia:"Apa?"Semua aturan tentang betapa pentingnya menjaga keheningan di tempat kerja langsung terlupakan saat aku menjerit. Jojo langsung melirik ke sekeliling dengan mata membelalak ketakutan. "Kamu terlalu berisik."Mataku juga membelalak, mungkin lebih besar darinya. "Kamu serius?" Aku bisa merasakan jantungku berdegup kencang, seakan ingin meledak. Dunia terasa berputar di sekelilingku saat aku mencoba mencerna informasi ini.Rachel menghela napas dan memutar matanya. "Lihat sekeliling, Anastasia," katanya sambil melambaikan tangan, menunjuk ke ruangan sekitar. "Apa suasana di sini terlihat seperti ini hanya lelucon bodoh?"Ya Tuhan. Tidak, tidak mungkin. "Apa? Kenapa? Tunggu, kapan ini terjadi?" seruku dengan suara yang mulai bergetar. Tuhan, tolong, semoga ini hanya lelucon kejam. Namun, melihat ekspresi di wajahnya, aku tahu ini bukan lelucon.Rachel menghela napas lagi, lalu menjatuhkan tubuhnya ke kursi. Untuk pertama kalinya, aku bisa melihat betapa berat
"Mama!"Amie berlari ke dalam pelukanku dan untuk pertama kalinya sejak mendengar kabar buruk di kantor, senyuman tulus menghiasi wajahku."Sayangku!" Aku menyerang wajahnya dengan ciuman, membuatnya tertawa kecil. "Bagaimana sekolahnya?""Baik! Aku menjawab pertanyaan hari ini.""Wah, anak pintar!" Aku memberikan tos kepadanya dan memintanya menceritakan pertanyaan yang dia jawab. Dia pun mulai berceloteh panjang lebar.Saat kami melangkah keluar dari gedung sekolahnya, wali kelasnya menghampiriku."Aku lupa memberikan ini," katanya setelah menyapaku, lalu menyerahkan sebuah formulir. "Kami akan mengadakan perjalanan sebelum semester berakhir. Jika Amie ingin ikut, pastikan formulir ini diisi dan dikembalikan sebelum minggu depan.""Baik, terima kasih. Aku akan menghubungimu lagi." Aku menjawab, lalu membawa Amie pergi.Di dalam taksi, aku menatap biaya mahal untuk tamasya itu, sementara Amie terus berbicara tentang betapa inginnya dia ikut."Mama, video yang mereka tunjukkan tentang
Sudut pandang Anastasia:Aiden adalah pemilik baru? Bagaimana bisa?Tatapan kami bertemu dan jantungku seolah berhenti berdetak. Dalam sekejap, bertahun-tahun yang telah berlalu terasa mencair, membawa gelombang kenangan manis sekaligus pahit.Saat aku menatap matanya, aku seperti dilempar kembali ke masa lalu. Seperti kilas balik yang kabur, dari saat-saat indah yang kami habiskan bersama hingga hari yang buruk ... tidak, hari yang paling buruk. Rasa sakit dari momen terakhir itu masih terasa baru, bahkan setelah sekian lama.Setelah aku mengatakan padanya bahwa semuanya sudah berakhir, aku tak pernah mendengar kabar darinya lagi. Itu hanya semakin mengonfirmasi bahwa dia memang tidak pernah peduli padaku. Tidak pernah. Aku hanyalah sumber hiburan baginya, terus-menerus mengatakan betapa aku mencintainya dan yakin bahwa aku akan menghabiskan sisa hidupku dengannya.Tuhan! Aku bahkan pernah merancang rumah impian kami dan menunjukkannya padanya, memaksanya memilih nama untuk anak-anak
Direktur pelaksana kembali duduk dan ruang rapat menjadi hening saat Aiden berdiri untuk berbicara."Seperti yang sudah disampaikan oleh direktur pelaksana, aku adalah pemilik baru PT Tasoron. Aku meminta maaf atas situasi yang tiba-tiba ini, kami nggak punya banyak waktu untuk mengirimkan pemberitahuan sebelumnya ...."Aku menatapnya tajam saat dia melontarkan pidato panjangnya tentang visi baru perusahaan serta hal-hal hebat yang akan dicapai dan membuat PT Tasoron dikenali di masa depan.Aiden berhenti sejenak, menatap semua orang dengan senyum kaku. "Aku menantikan untuk bekerja sama dengan kalian semua demi membawa PT Tasoron ke puncak yang lebih tinggi."Setelah itu, dia kembali duduk dan ruangan langsung dipenuhi dengan suara tepuk tangan berlebihan sekali lagi.Direktur pelaksana berdiri lagi, kali ini dengan senyum lebar. "Sekarang setelah kalian bertemu dengan CEO baru, aku akan menutup pertemuan ini dengan pengumuman yang menyenangkan.""Akan ada pesta untuk merayakan awal k
"Terima kasih," gumamku pelan sambil melepaskan diri darinya.Sentuhan singkat itu meninggalkanku dengan perasaan tak menentu, tubuhku masih mengingat kenyamanan yang dulu terasa akrab, tetapi pikiranku membenci kenangan yang ikut berputar di dalamnya.Tanpa memberinya satu tatapan pun, aku berbalik dan berjalan kembali ke kantorku. Lebih tepatnya, aku melarikan diri ke kantorku, dengan jantung nyaris tersangkut di tenggorokan. Hak tinggi sepatuku berdenting cepat di atas lantai yang mengilap, selaras dengan detak jantungku yang berpacu.Aku ingin sekali meninju wajahku sendiri.Sialan, padahal sudah bertahun-tahun!Lima tahun berlalu, tetapi aku masih bisa mengenali aroma parfum favoritnya. Aroma itu masih tertinggal di hidungku, membawa kembali kenangan-kenangan yang kupikir sudah lama terkubur. Yah, itu memang salah satu hal pertama yang membuatku tertarik padanya, jadi wajar saja, 'kan?Aku berusaha memperbaiki reaksiku, tetapi suara kecil di kepalaku berbisik pelan bahwa mungkin,
Alis Clara terangkat. "Sungguh?"Aku mengangguk perlahan sambil menggigit stroberi, mengunyah dengan diam."Hm, itu cukup menarik. Kedengarannya tim administrasi baru ini suka bersenang-senang, ya?"Aku memutar mata tanpa mengatakan apa-apa."Dan …," desak Clara sambil tetap menatapku dengan tajam.Aku memandangnya. "Dan apa, Clara?""Kamu harus siap-siap untuk ke pesta.""Nggak," kataku dengan tergesa-gesa. "Tentu saja, aku nggak akan pergi," cibirku. "Apalagi setelah cara kejamnya memperkenalkan dirinya dengan memecat karyawan yang nggak bersalah.""Kenapa kamu nggak mau pergi?""Kamu nggak dengar ucapanku?""Alasan itu nggak cukup kuat, Ana. Menurutku, kamu harus pergi.""Nggak, menurutku nggak.""Kamu harus pergi. Kamu butuh itu.""Kenapa?" tanyaku dengan tidak percaya. "Apa aku akan dibayar lebih kalau pergi? Nggak, aku nggak akan buang-buang waktu untuk itu. Aku lebih baik tinggal di rumah dan tidur nyenyak dengan putriku.""Tunggu." Clara menggeser kentang yang sudah dipotong da
Sudut pandang Anastasia:Aku menarik napas dalam-dalam sambil menunggu sopir taksi memberikan kembalianku. Udara sore cukup sejuk dan nyaman di kulitku, tetapi tempat yang aku tuju membuatku sedikit tidak nyaman."Ini, Bu," kata sopir itu sambil menyerahkan uang kertas yang masih baru dengan senyum sopan."Terima kasih." Aku menundukkan kepala saat turun dari mobil, lalu berjalan menuju gedung PT Tasoron.Untuk sesaat, aku terhenti beberapa langkah dari pintu yang dijaga dua pria berbadan besar dengan setelan rapi. Tidak ada yang memberi tahu kami tentang pengaturan pesta ini. Undangannya tidak menjelaskan tentang cara berpakaian.Bagaimana jika gaunku sangat bertentangan dengan tema pesta?Aku ingin sekali menatap gaun midi sutra model kimono yang kukenakan dan merapikannya dengan tangan, tetapi para pria di pintu itu menatap ke arahku dan sikapku akan terlihat aneh, bukan?Aku mengembuskan napas. Apa pun tema pesta ini, aku harus bisa menyatu dengan suasananya. Dengan pikiran itu, ak
"Nggak apa-apa," kataku dengan suara serak, lalu berpamitan. "Aku pergi sebentar."Aku memasang senyum saat berjalan keluar dari ruang pesta, lalu keluar ke lorong belakang yang mengarah ke tangga. Peralihan dari pesta yang meriah ke lorong yang sepi sangat mengejutkan.Aku mengerutkan dahi. Di sini ada lift, tidak ada yang pernah menggunakan tangga, jadi apa masalahnya? Ruang percetakan dan ruang istirahat di sini juga jarang digunakan, tetapi aku tetap melangkah melalui lorong.Mungkin ada masalah dengan mesin cetak? Mungkin salah satu anggota tim administrasi baru membutuhkan suatu bantuan di belakang sini? Namun, kenapa harus aku? Kenapa bukan Rachel atau manajer pemasaran utama?Saat aku membuka pintu ruang percetakan, jari-jari hangat melingkari pergelangan tanganku yang satunya dan menarikku ke arah yang berlawanan.Gerakan itu cepat dan lembut, tetapi hampir membuatku jantungan.Saat pintu ruangan yang aku masuki terhempas tertutup, aku menoleh begitu cepat sehingga leherku ham
Sudut pandang Anastasia:Akhirnya, kami tiba di penginapan untuk perjalanan bisnis ini.Dengan tas di tangan masing-masing, semua orang ternganga kagum melihat bangunan di depan kami. Antisipasi yang tumbuh selama perjalanan tampak memuncak saat kami melihat pemandangan tersebut.Di atas sebuah papan kayu yang dipaku di bagian atas bangunan, terdapat tulisan "Resor Kayupinus" yang terbuat dari potongan kayu kecil dan dihiasi dengan lampu-lampu kecil yang menyala. Kerajinan tangan itu sangat mengesankan, memberikan suasana yang unik tetapi profesional pada tempat tersebut."Rasanya seperti baru saja menginjakkan kaki di negeri dongeng," bisik Rachel saat berhenti di sampingku. Dia tampak sangat kagum, matanya bersinar saat lampu-lampu memantul di sana.Meskipun ada lubang besar di hatiku yang hanya bisa diisi dengan memeluk Amie, aku juga sedikit terpesona.Gubuk-gubuk kecil yang terhubung itu dikelilingi, hampir tertelan, oleh pohon-pohon pinus yang tinggi dan pepohonan hijau yang rimb
Aku tertawa mendengar suara tawa riang Anastasia lagi."Tanganku ada di sini, jadi aku nggak lupa membawanya," ucap Ana, masih dengan tawanya."Syukurlah.""Tapi sejujurnya, aku nggak bakal tahu kalau aku lupa sesuatu sampai aku buka koper.""Ya Tuhan." Aku mengusap dahiku. "Kuharap kamu nggak terdampar. Kalian sekarang di mana?"Ana mendengung sebentar. "Aku nggak tahu. Kami masih di bus.""Kuharap perjalananmu menyenangkan, Sayang.""Terima kasih.""Dan Amie, ya ampun! Aku kangen sekali. Bagaimana kabarnya? Bagaimana dia menghadapi kepergianmu?" tanyaku antusias."Dia baik-baik saja dan kurasa dia menerima kepergian ini dengan cukup baik. Kupikir akan ada lebih banyak drama, jadi aku sudah siap untuk meyakinkannya, tapi dia malah mengejutkanku. Tapi …." Suara Ana mulai meredup. "Amie benar-benar kesulitan dengan tinggal di rumah sakit. Dia terus bilang ingin pulang."Aku menghela napas. "Kasihan sekali. Aku paham. Rumah sakit nggak seperti taman atau toko es krim. Lama-lama di sana m
Sudut pandang Clara:Aku melemparkan senyuman pada nenek tua yang tersenyum padaku saat tatapan kami bertemu. Sambil berjalan keluar dari bandara, aku merogoh tas untuk mengambil ponselku yang berdering. Wajahku langsung cerah saat melihat nama peneleponnya."Halo, bestie," sapaku ceria sambil menempelkan ponsel ke telinga."Halo." Suara Ana terdengar di ujung sana. "Aku lihat pesanmu soal toko itu.""Oh, itu." Bibirku melengkung kesal. Rasa marah yang tadi sempat kutahan perlahan muncul lagi."Iya, aku nggak terlalu ngerti sih. Kayaknya kamu ngetiknya buru-buru deh, banyak salahnya.""Bukan ngetik buru-buru, aku ngetiknya sambil kebakar emosi," jawabku blak-blakan."Oh?""Aku harus meluapkannya biar nggak teriak di tengah jalan atau narik rambut cewek itu sambil kasih ceramah ke manajernya!"Ana terkekeh kecil. "Santai, dong. Aku masih belum ngerti ceritanya."Aku memindahkan ponsel dari telinga kanan ke kiri sambil menggeser tas ke bahu satunya."Jadi gini ceritanya. Aku ke toko lang
Aku melingkarkan tanganku erat-erat di sekeliling tubuhnya, lalu berbisik penuh rahasia, "Iya, Mama janji. Para suster ini nggak tahu rencana rahasiaku buat bawa kamu kabur."Tawanya kembali memenuhi telingaku dan dia menarik diri sambil mengedipkan mata nakal. Aku mengecup keningnya sekali lagi, seolah-olah untuk menyegel janji kami. "Sekarang lanjut gambar kita yang banyak, ya."Dia mengangguk cepat, lalu mengambil kembali buku sketsanya dan melanjutkan gambarnya. Aku berdiri dan berjalan menghampiri para suster. "Tolong awasi Amie dengan baik. Aku nggak mau dia keluyuran atau terima barang dari orang asing, ya. Aku sudah cukup banyak pikiran dan nggak mau nambah beban lagi.""Kami benar-benar minta maaf soal itu, Bu. Amie anak yang penuh energi dan punya cara manisnya sendiri. Kami juga nggak tahu gimana dia bisa mengelabui suster, tapi kami akan perhatikan semua yang Ibu sampaikan. Dia akan aman di sini," jawab salah satu suster dengan tulus."Bagus, terima kasih." Pandanganku bera
Sudut pandang Anastasia:Aku duduk di samping ranjang rumah sakit Amie, mengamati saat pensilnya bergerak lincah di atas buku sketsa. Alisnya berkerut penuh konsentrasi dan matanya bersinar-sinar penuh kreativitas."Mama tebak, itu kita ya?" tanyaku sambil menunjuk gambar dua karikatur yang mirip denganku dan Amie, minus kaki yang semuanya mengarah ke satu sisi."Iya, Mama. Itu kita yang lagi bikin kue enak di dapur. Aku sebentar lagi mau gambar Tante Clara soalnya dia suka kue buatan Mama juga," jawabnya tanpa mengalihkan perhatian dari sketsanya."Terus Dennis?" tanyaku lagi.Dia berhenti sejenak, pensilnya berhenti di atas buku sketsa sebelum akhirnya dia mengangkat bahu dan kembali menggambar. "Aku tambahin dia juga. Setelah Tante Clara. Mama, aku pengen cepat pulang. Di sini sepi dan bau obat banget."Rasanya sedikit sedih karena aku tahu sebentar lagi aku harus meninggalkannya. Aku belum pernah berpisah dengannya selama satu hari penuh. Sekarang aku akan berpisah dengannya selama
Aku mulai terbuka padanya. "Hanya saja ... teman-temanku belakangan ini sangat membantu, terutama Clara. Tapi, sekarang dia sedang di luar negeri dan aku tahu Dennis juga sudah banyak membantu, tapi aku nggak mau terus-terusan merepotkannya.""Rasanya seperti aku selalu berutang budi pada orang lain. Jadi ... rasanya sulit mengatur semuanya sekarang. Setiap hari aku selalu berusaha menyeimbangkan antara pekerjaan dan kebutuhan Amie."Remi mengangguk, suaranya penuh dengan empati. Dia meraih tanganku dengan penuh pengertian."Aku paham kalau keluarga adalah alasan yang sah untuk nggak ikut dan aku nggak akan memaksamu."Dia sedikit condong ke depan dan menatapku lekat-lekat. "Tapi, aku mau jujur. Aku secara pribadi merekomendasikan namamu untuk masuk daftar peserta. Sekarang aku tahu sepertinya kamu memang nggak bisa ikut.""Aku nggak nyangka," ucapku pelan di balik rasa terkejut karena perhatian yang dia tunjukkan, mataku membelalak. "Terima kasih, Remi. Itu berarti banyak bagiku. Aku
Sudut pandang Anastasia:Aku memindai memo di layar komputerku, kata-kata "Retret Perusahaan" dan "Pembangunan Tim" langsung mencuri perhatian. Suasana kantor dipenuhi kegembiraan, rekan-rekanku mengobrol dengan antusias tentang acara liburan yang akan datang."Kamu percaya nggak sih? Seminggu penuh di Hawhi!" seru seorang wanita berambut pirang, berdiri di dekatku."Iya, 'kan? Aku bahkan sudah mulai membayangkan semua pakaian liburan yang bakal kuperlukan," sahut seorang pria dari seberang ruangan.Kegembiraan mereka yang begitu mencolok tidak berhasil menembus suasana hatiku yang suram. Hawhi? Aku memaksakan senyuman, berusaha menyembunyikan kekecewaanku. Aku tahu aku tidak akan bisa ikut karena kondisi kesehatan Amie.Ini bukan masalah yang bisa diperdebatkan, apalagi kalau menyangkut nyawa putriku. Aku akan selalu mengutamakan kepentingannya.Jari-jariku menari di atas papan ketik, mengetik pesan untuk menolak tawaran retret itu.[ Maaf, aku tidak bisa menghadiri retret perusahaan
Selama waktu itu juga, aku memutuskan untuk kembali ke kota. Sharon sempat memprotes, bahkan memohon agar aku tetap tinggal karena dia tidak bisa meninggalkan bisnis. Namun, aku tidak bisa. Aku butuh ruang dan waktu untuk benar-benar berpikir.Namun, sebanyak apa pun waktu yang kuhabiskan untuk mempersiapkan diri atau keputusan apa pun yang kuambil, pernikahan itu tetap harus dilangsungkan. Karena sifat pernikahan yang sudah diatur ini dan dokumen yang kutandatangani dengan sadar, pernikahan itu tidak bisa dihindari.Dulu kupikir semua itu baik-baik saja. Namun, saat aku bertemu Anastasia lagi, pikiranku semakin kacau. Saat itulah aku sadar bahwa aku tidak akan pernah siap untuk pernikahan ini, apalagi untuk kembali ke hubungan yang sedang kubangun dengan Sharon.Jadi, aku melakukan satu-satunya hal yang bisa kulakukan, yaitu menghindari Sharon dan pernikahan yang semakin dekat ini dengan segala cara yang kubisa.Sekarang, Sharon yang duduk di seberang meja, menatapku tajam dari balik
Sudut pandang Aiden:Ibuku, entah tidak menyadari senyumanku yang membeku atau memang tidak peduli, melangkah ke samping, memberi ruang bagi Sharon untuk menerima pelukan yang seharusnya untuknya.Dengan senyum lebar, Sharon melingkarkan lengannya di tubuhku. "Astaga! Aku sangat merindukanmu," ucapnya sambil menyandarkan wajahnya ke dadaku."Hmm," gumamku saat dia melepaskan pelukannya, lalu menaruh tangannya di dadaku sebelum berjinjit untuk mengecup pipiku.Entah kenapa, aku ingin menghapus bekas kecupannya dari pipiku dengan jaketku. Namun, aku menahan diri dan memberikan kecupan singkat di pipinya. Sejujurnya, aku bahkan ragu apakah bibirku benar-benar menyentuh kulitnya.Aku tetap berdiri di tempat sementara Sharon duduk dan ibuku mengambil tempat di sampingnya.Alih-alih ikut duduk, aku hanya berdiri dan memasukkan tangan ke saku. "Bu, gimana kabarmu?" tanyaku.Setidaknya, dia akan menjawab ini, mengingat dia baru saja memberikan pelukannya ke orang lain."Aku baik-baik saja, Say