Dia tertawa pelan. Kenangan tentang saat kami baru mulai berkencan terlintas di pikiranku. Dulu, dia selalu tertawa dengan setiap lelucon yang aku buat. Mungkin, mendapatkannya kembali bukanlah ide yang buruk atau ... mungkin saja."Aku sudah berpikir," kataku setelah dia agak tenang. Sambil menggenggam tangannya, aku berkata, "Aku akan menarik gugatan yang aku ajukan terhadapmu."Isaac terdiam dan menatapku dengan mulut terbuka. "Apa kamu serius?" Hatiku dipenuhi kegembiraan saat aku melihat harapan yang bersinar terang di matanya.Aku mengangguk."Kamu benar-benar mau memberiku kesempatan lagi?"Aku tertawa, "Ya, Isaac. Kamu mencintaiku, 'kan?""Ya. Aku mencintaimu, dengan seluruh hatiku.""Kamu siap untuk berubah menjadi pria yang aku cintai?"Dia mengangguk."Kita bisa mulai dari awal lagi."Mata Isaac membelalak dan senyumannya semakin lebar. "Bella, aku bersumpah akan selalu mencintaimu. Aku mengakui bahwa aku telah memperlakukanmu dengan buruk dan aku salah, aku siap untuk berub
Sudut pandang Sydney:"Wow!" Akhirnya aku mengalihkan pandanganku dari ponselku.Aku baru saja menerima telepon dari departemen kepolisian. Mereka menangkap Bella karena membunuh Isaac. Beberapa minggu terakhir, banyak hal yang terjadi. Dari Doris, Mark, hingga hal-hal sepele yang harus aku hadapi, baik di tempat kerja maupun di rumah sakit tempat Mark dirawat. Banyak sekali yang terjadi dan aku menghadapinya seolah-olah aku sudah diprogram untuk melakukannya.Aku hanya terdiam kaku ketika mendengar berita itu, tidak bisa memproses apa yang dikatakan oleh petugas polisi. Setelah kupikir-pikir, kata-kata petugas itu terulang kembali di kepalaku. Aku bertanya-tanya, mengapa mereka meneleponku. Bagaimana dengan orang tua kami? Hebatnya, berita itu tidak mengejutkanku seperti yang seharusnya. Mungkin itu sebabnya butuh waktu lama bagiku untuk bereaksi. Aku rasa tidak ada yang bisa mengejutkanku lagi. Jujur, aku salut pada Bella. Pasti memerlukan banyak keberanian dan tekad untuk mela
"Halo, Bu Sydney," sapa dokter dengan senyuman saat melihatku masuk ke ruangannya. "Apakah kamu datang untuk menanyakan tentang pa ....""Nggak, nggak." aku menggeleng. Sudah menjadi kebiasaanku untuk mengunjungi dokter setiap kali aku datang untuk melihat Mark. Aku akan bertanya gimana kondisinya dan kapan dia akan bangun, tetapi nada bicara dokter selalu terdengar sedih saat menjawabku.Aku duduk di hadapannya. "Aku datang untuk menanyakan tentang pasien lain." Dokter itu terhenti sejenak, lalu mengangguk. "Apa itu?" "Selain Mark dan dua orang lainnya yang ada di mobilnya, apakah ada pasien lain yang dibawa ke sini malam itu?" Dokter itu mengernyit dan menggeleng. "Apakah seharusnya ada orang lain?" "Aku nggak tahu. Itulah alasan kenapa aku ada di sini. Sebuah mobil menabrak mobil Mark dan kemudian menabrak tiang setelah kehilangan kendali. Aku ingin melihat pengemudi yang mengendarai mobil itu." "Oh. Tenaga medis yang tiba di lokasi hari itu melaporkan bahwa nggak ada o
Mark mengernyit semakin kuat. Matanya melihat ke seluruh tubuhku dari atas ke bawah selama hampir satu menit sebelum dia berkata, "Aku mungkin amnesia, tapi aku nggak bodoh. Gimana mungkin aku bisa punya ibu yang masih muda seperti kamu? Memangnya umurku berapa?"Aku tidak bisa menahan tawaku. Aku sedih karena dia kehilangan ingatannya, tapi rasanya sangat menyenangkan, akhirnya dia kembali. Mendengarnya melontarkan pernyataan tajam yang blak-blakan.Ternyata, yang hilang hanya ingatannya. Syukurlah. Aku rasa aku tidak akan bisa menghadapinya jika dia kehilangan ingatannya dan menjadi bodoh juga. Setidaknya dia masih punya kecerdasan.Aku duduk di samping tempat tidurnya, lalu dia bergeser dan duduk. "Tentu saja, aku nggak mungkin melahirkan anak sebesar kamu. Aku ibu tiri kamu." Aku tidak tahu kenapa aku terus melakukannya, tetapi rasanya menyenangkan. Sepertinya aku ingin memanfaatkan kesempatan ini. Sekarang, aku hanya seorang wanita biasa dan dia hanya pria biasa ... mungkin seor
Aku mengangkat alisku. Ekspresi marah di wajahnya tiba-tiba menghilang dan berubah menjadi ekspresi lembut begitu dia menatap Mark. Dia mengernyit karena khawatir sambil berkaca-kaca. Dia mendekat ke tempat tidur dan duduk. "Mark." Suaranya bergetar saat berbicara. "Ada apa? Kamu nggak mengenaliku?" Dia meletakkan telapak tangannya di wajah Mark, tetapi Mark menepisnya."Apa kamu ibu kandungku?" Dia bertanya dengan nada agak kasar. Rose mengangguk. "Ya, Nak, aku ibumu. Ibu kandungmu. Aku mengandungmu selama berbulan-bulan, apa kamu nggak ingat?" Mark mengernyit. "Gimana aku bisa ingat kalau aku ada di perutmu?" Suara aneh keluar dari bibirku saat aku berusaha menahan tawa. Sebelum Rose sempat melontarkan hinaan, Mark, yang tampaknya tidak menyadari dampak kata-katanya bertanya, "Kalau begitu siapa dia?" Tatapan bingung itu kembali tertuju padaku. Aku buru-buru menyela sebelum Rose melontarkan jawaban bodoh, "Aku kreditormu. Kamu berhutang padaku." "Apa?" Rose dan Mark terk
Rose akhirnya datang untuk mengklaim perannya sebagai anggota keluarga Mark, yang berarti aku tidak punya urusan lagi di sana. Aku mendorong diriku melewati tubuh orang-orang itu yang memakai pakaian mencolok dan parfum menyengat yang membuatku mengernyit jijik, hingga aku mencapai ujung koridor. Entah kenapa, aku menoleh kembali ke pintu bangsal Mark sambil tertawa sinis. Lihat saja semua orang ini, bertingkah seperti penjilat kelas bawah, padahal beberapa hari lalu mereka sama sekali tidak terlihat. Kita tidak pernah tahu siapa teman sejati kita sampai segalanya benar-benar berantakan. Aku menghela napas, lalu masuk ke dalam mobil dan menutup pintu. Aku melempar tas ke kursi penumpang dan menatap keluar melalui kaca depan, melihat orang yang keluar masuk rumah sakit.Yang terus terlintas di benakku saat duduk di sana adalah adegan kecelakaan Mark, di mana aku melihat Luigi. Aku ingat melihat sosoknya yang kurus, tepat di arah jam lima dariku hari itu, sebelum dia menghilang.
Dia kemudian membaringkanku ke tempat tidur sambil menekanku."Kamu nggak tahu sudah berapa lama aku menunggu ini. Terlalu lama," bisik Lucas sambil mulai mencium leherku. "Aku juga," jawabku dengan penuh semangat. Ini adalah sesuatu yang sangat kunanti-nanti, dan aku berharap momen ini tidak akan berakhir dalam waktu dekat. Aku telah melalui begitu banyak hal. Aku pantas mendapatkan kebahagiaan sebesar ini setelah semuanya. Perasaan melayang bebas yang membuatku lupa akan segalanya, meski hanya untuk sementara. Oh, Lucas benar-benar pemandangan yang menakjubkan.Wajahnya yang tampan, mata tajam yang membuatku jatuh cinta, dan rambut panjangnya yang jatuh begitu alami, seolah meminta jariku untuk menyentuhnya.Aku merasakan gelombang keinginan yang baru saat melihat pakaiannya yang memperlihatkan otot-ototnya, serta bagian dadanya yang sedikit terbuka karena beberapa kancing yang terlepas. Sebuah liontin perak tergantung di rantai di lehernya. Tanpa bisa menahan diri lagi, aku
Sudut pandang Sandra:Aku berjalan cepat keluar dari lift, suara sepatu hak tinggiku menggema seirama dengan ayunan pinggulku saat melangkah menyusuri lorong menuju kantor ayahku. Pada saat yang sama, aku bisa merasakan tatapan orang-orang mengikuti setiap gerakanku.Beberapa pekerja yang berpapasan menyapaku, tetapi aku tidak menoleh ataupun menjawab, tetap melangkah lurus melewati mereka. Ketika sampai di pintu kantor ayahku, aku langsung masuk tanpa mengetuk. Di dalam, ayahku sedang duduk di mejanya dengan dua pria di depannya. Mereka serempak menoleh saat aku masuk. Ayahku mengangkat alisnya melihat kedatanganku sebelum mengakhiri percakapan dengan tamunya. "Aku akan mengurus sisanya. Kalian berdua bisa pergi sekarang." Kedua pria itu mengangguk dan meninggalkan ruangan, sementara aku melihat mereka keluar. Kemudian, aku kembali menghadap ayahku, berjalan ke salah satu kursi di depan mejanya dan melempar tas tanganku ke atas meja dengan lelah.Ayahku, James Henderson, adala
Sudut pandang Dennis:"Dia ada di sini, di Eclipse?" tanyaku. "Bukan bermaksud menyinggung, tapi kamu yakin info yang kamu punya sudah benar?"Detektif itu tersenyum. "Ya, Pak Dennis. Kami nggak akan berada di sini kalau kami nggak yakin.""Bisa kamu kasih tahu siapa orang itu? Mungkin aku tahu kalau dia memang sering ke sini."Dia menggeleng dengan raut wajah menyesal dan menyatukan tangannya di atas meja. "Aku nggak bisa memberi tahu lebih dari yang sudah aku sampaikan. Tapi aku jamin kamu nggak perlu khawatir. Kamu nggak berada dalam masalah apa pun.""Keberadaan kami di sini bukanlah suatu kesalahan, kami sudah memastikan itu. Meskipun belum ada bukti kalau si pembunuh benar-benar ada di klub ini, tapi kemungkinannya cukup besar."Saat mendengar penjelasan detektif itu, aku berada di antara rasa lega dan cemas. Dia baru saja bilang tidak ada bukti, tetapi kemudian bilang ada kemungkinan besar."Sebenarnya, apa yang kamu butuhkan?"Dia melepas genggaman tangannya dan menaruh kedua t
Tidak bisa berkata-kata, aku hanya tersenyum dan mengangguk untuk menerima rasa terima kasihnya. Saat memikirkan situasi itu lebih dalam, aku sadar bahwa aku sebenarnya tidak berpikir saat berteriak menghentikannya.Argh, ada apa denganku? Sekarang semua orang mencuri pandang ke arahku."Bagaimana kamu tahu kalau dia punya alergi?" Salah satu rekan timku memanfaatkan kedekatannya denganku untuk bertanya.Hanya ada satu cara untuk menghindari pertanyaan itu. Aku langsung mengabaikannya dan pura-pura tidak mendengar sambil fokus memperhatikan para juri yang mencicipi makanan, seolah-olah mereka sedang melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar membuka mulut, memasukkan makanan dengan sendok atau garpu, lalu mengunyah dengan sadar untuk menilai rasa.Tanpa kendali, mataku melirik ke arah Aiden, tetapi aku segera mengalihkan pandanganku. Meski begitu, pikiranku tetap tertuju padanya.Aku bergidik membayangkan apa yang akan terjadi jika aku tidak tanpa sengaja mendengar mereka membicarakan r
Sudut pandang Anastasia:Pikiranku langsung melayang ke saat persiapan masih berlangsung dan setiap tim sibuk bolak-balik mengumpulkan bahan-bahan mereka.Meski aku sedang sibuk memikirkan jumlah dan jenis bahan yang harus kuambil, aku sempat mendengar sekilas percakapan anggota tim di sebelahku. "Kenapa kita nggak tambahin wijen?" Salah satu dari mereka mengusulkan.Temannya menjawab, tetapi aku tidak sempat menangkap jelas apa jawabannya.Beberapa saat kemudian, aku mendengar anggota tim yang lain bertanya, "Butuh bubuk wijen sebanyak apa?"Temannya hanya mengangkat bahu sambil tetap fokus pada wortel yang sedang dia ukir. "Nggak tahu. Tambahin aja secukupnya. Kita cuma butuh rasa wijennya terasa."Saat itu, aku sempat mencatatnya dalam pikiranku tanpa sadar, tetapi aku tidak terlalu memikirkannya. Kupikir, itu bukan urusanku karena setiap tim pasti akan membacakan bahan-bahan yang mereka gunakan sebelum juri mencicipi camilan mereka. Namun, saat mereka memaparkan bahan-bahan yang di
"Kamu yakin?" tanyaku ragu-ragu sambil memotong daun dill dan mint segar yang akan dicampurkan ke dalam yogurt lembut yang sedang dia aduk dengan cekatan.Dia tertawa. "Percaya deh, kamu nggak akan pernah salah kalau pakai yogurt," katanya dengan wajah berbinar. Aku tidak bisa menahan pikiran bahwa dia benar-benar menikmati membuat yogurt.Aku mengangkat bahu. "Aku cuma nggak mau jadi terlalu berlebihan, kamu tahu, 'kan?" Aku melirik ke sekeliling dan melihat semua orang melakukan yang terbaik untuk mengesankan para juri.Meskipun tidak ada hadiah uang, rasanya menyenangkan bisa berkotor-kotoran dengan pekerjaan kami di dunia nyata, bukan cuma di balik layar. Selain itu, aku juga melihat beberapa orang di sini memang punya bakat alami di dapur.Mungkin itu juga alasan kenapa mereka melamar kerja di PT Tasoron. Aku yakin mereka agak kecewa saat tahu kalau bagian "Teknik" di nama perusahaan ini tidak sekeren yang mereka bayangkan.Jujur saja, kami memang lebih banyak berurusan dengan tek
Sudut pandang Anastasia:"Kalian semua harus benar-benar menggunakan bahan-bahan yang tersedia di peternakan ini," kata pembicara, matanya menyapu kami satu per satu. Dia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap sebelum melanjutkan."Tolong, demi kebaikan kalian, patuhi aturan ini," lanjutnya dengan nada memperingatkan."Para juri akan menilai setiap kreasi berdasarkan kreativitas, rasa, penyajian, dan seberapa baik kalian mengolah bahan-bahan segar dari peternakan ini ke dalam hidangan kalian." Dia mengedipkan mata, membuat sebagian besar dari kami tersenyum karena sikapnya yang santai."Itu tadi adalah sebuah petunjuk, jadi pikirkan baik-baik bagaimana cara terbaik untuk menonjolkan keunikan bahan-bahan lokal ini dalam hidangan kalian," katanya dengan nada menggoda."Siapa tahu, kreasi tim kalian bukan hanya jadi pemenang, tapi mungkin juga akan diadopsi sebagai camilan resmi perusahaan." Kata-katanya langsung memicu bisikan antusias dari para peserta.Setelah memberikan sem
Aku terkekeh, tetapi aku merasa ingin segera menanyakan alasan Sharon menelepon agar dia bisa segera menjelaskannya dan panggilan itu bisa segera berakhir.Alih-alih langsung ke inti alasan dia menelepon, Sharon mengerucutkan bibirnya. "Ayo beri aku pemandangan yang lebih baik. Aku bahkan seharusnya nggak perlu minta!""Kamu harus belajar untuk nggak hilang fokus, Sharon. Itu salah satu aturan penting dalam bisnis dan hidup secara umum," kataku dengan berpura-pura serius. "Kenapa kamu menelepon?"Sharon terkikik, menutupi mulutnya dengan tangan. Kemudian, dengan gerakan tangannya, dia menjelajahi wajahku. "Kamu terlihat lebih seksi dengan ekspresi serius seperti itu." Dia mendesah, "Aku beruntung punya pacar setampan kamu, 'kan?"Aku mendesah, "Serius, Sharon, kenapa kamu menelepon?"Dia mengerucutkan bibir bawahnya. "Calon tunanganmu nggak perlu alasan untuk menelepon. Aku bisa menelepon kapan saja aku mau. Aku bisa menelepon hanya untuk mendengar suaramu. Kamu harus terbiasa dengan i
Sudut pandang Aiden:Keluar dari kamar mandi, aku dengan cepat mengacak-acak rambut basahku dengan handuk lembut dari kain terry. Jari-jariku menyisir helaian rambut yang kusut dan merapikan simpul-simpulnya saat aku melakukannya.Entah kenapa, aku sepertinya lupa membawa handuk, dan handuk yang diberikan di sini lebih kecil daripada yang aku butuhkan. Mungkin seharusnya aku lebih menekankan bahwa aku bukan meminta handuk muka?Dengan pilihan yang terbatas, aku memutuskan untuk hanya menggunakan kain kecil itu untuk rambutku. Lagi pula, aku satu-satunya yang menempati ruangan ini, jadi aku punya kemewahan untuk menganginkan tubuhku tanpa rasa khawatir.Aku melangkah di atas karpet, kaki telanjangku tenggelam ke dalam serat-serat lembutnya saat aku berdiri di depan cermin yang terpasang di dinding.Aku kembali melanjutkan tugasku untuk merapikan rambut dengan handuk, mengamati helai-helai yang tadinya acak-acakan perlahan mulai teratur, saat mataku tanpa sengaja beralih dari cermin ke s
Amie terlihat begitu lucu dan polos saat tidur nyenyak dan hatiku terasa sakit saat aku bertanya-tanya apa yang ada di dalam pikiran gadis itu. Meskipun dia mungkin melihat hal-hal seperti itu, apa yang membuatnya menggambarnya?"Aku harus membuat penjelasan panjang besok," kata Clara sambil tertawa pelan, menggaruk-garuk rambutnya. "Aku nggak tahu apa yang akan kukatakan kepadanya saat dia bertanya. Sebelum aku memutuskan untuk merobek halaman itu, aku sudah mencari-cari alasan apa yang akan kukatakan saat dia tahu tentang halaman yang hilang itu."Aku mengangkat bahu sambil mencoba mencari-cari alasan yang bisa dia berikan kepada Amie. "Kamu bisa bilang kalau itu menakutkanmu."Dia menatapku, berkedip. "Serius, Dennis?""Apa?" Aku mengangkat bahu dengan sikap defensif. "Kamu bisa bilang begitu, atau kamu bisa bilang kalau kamu sedang melihat gambar-gambar itu saat makan dan mereka kena noda atau basah. Itu akan berhasil, percayalah."Dia menggelengkan kepala dan aku sudah tahu dia ak
Sudut pandang Dennis:"Oh!" seru Clara, matanya melebar sebesar cawan. "Kamu kembali."Aku menatapnya tanpa berkedip, dengan sengaja menahan diri untuk tidak merespons kekagetannya seperti yang mungkin dia harapkan. Kami tetap terkunci dalam tatapan yang tidak tergoyahkan selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya, dan meskipun aku berusaha sekuat tenaga, aku tidak bisa menahan pikiran yang berlarian dengan kecepatan luar biasa dalam pikiranku.Meskipun Clara terus menatapku, sikapnya memancarkan kecemasan yang nyata. Telapak tangannya menggenggam erat halaman yang dirobeknya dari buku gambar Amie.Aku menatapnya dengan tatapan bertanya, mataku berpindah-pindah antara wajahnya yang terlihat penuh kecemasan yang sulit disembunyikan dan kepalan tangannya yang sedikit gemetar di bawah pengamatanku.Clara sepertinya menyadari pertanyaan tidak terucap dalam tatapanku karena dia tiba-tiba mengeluarkan tawa canggung yang terdengar seperti cegukan tertahan. Mengangkat kedua kepalan ta